Finansialisasi Kapitalisme: Urgensi Reformasi Moneter untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi

Oleh:
Abri Dealdi Pratama*

 

Demokrasi Ekonomi merupakan pasangan penting demokrasi politik. Presiden Soekarno dalam Pokok – Pokok Ajaran Marhaenisme menekankan urgensi mewujudkan kedua demokrasi tersebut. Begitu juga dengan Mohammad Hatta yang menekankan pentingnya demokrasi ekonomi lewat pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisannya tentang koperasi.

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi seperti dua bagian paru-paru manusia, kehilangan salah satu bagian dapat membuat manusia susah untuk bernapas, bahkan lebih parah lagi; dapat menuntun manusia menuju jalan kematiannya. Tanpa demokrasi ekonomi, demokrasi politik akan pincang. Kelompok serikat pekerja yang dijamin untuk berserikat dan menuntut hak-haknya, misalkan, akan dengan mudah dilemahkan dengan cara ancaman pemecatan jika mereka tak memiliki akses atas demokrasi ekonomi.

Namun, sejak genosida 1965-1967 terhadap kekuatan kiri hingga sekarang, pentingnya perpaduan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik tidak pernah menjadi perhatian pemerintah yang berkuasa, bahkan hilang dalam kontestasi gagasan politik yang semakin oligarkis.

Sekarang, peringatan-peringatan Bung Karno dan Bung Hatta mulai terbukti, bahwa tiadanya demokrasi ekonomi membuat demokrasi politik pun pincang. Sebab, setiap aktifitas manusia, termasuk politik, memerlukan sumber daya ekonomi. Ketika kekuatan ekonomi terpusat pada sekelompok tertentu, demokrasi politik seakan menjadi tak berguna. Aktivitas politik akhirnya hanya bisa dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki sumber daya ekonomi. Ini persis seperti yang ditulis Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas”, bahwa pergantian rezim politik pemerintahan bagi kelompok yang tidak memiliki sumber daya ekonomi tak ubahnya seperti pergantian majikan.

Dalam situasi itu, banyak kalangan aktivis progresif belakangan menginisiasi bangunan kemandirian ekonomi dan demokrasi ekonomi dalam bentuk koperasi untuk mendanai gerakan dan kebutuhan aktivisnya. Namun pertanyaannya, apakah upaya tersebut tidak utopis? Bisakah membangun demokrasi ekonomi di tengah keberlangungan sistem moneter kapitalis hari ini?

Kekacauan Sistem Moneter Kapitalisme

Tujuan kegiatan ekonomi adalah memproduksi segala barang dan jasa yang menjadi kebutuhan konsumsi manusia. Dahulu kala, seiring dengan adanya pembagian produksi material, manusia mulai melakukan barter di antara mereka untuk mendapatkan barang-barang yang tidak diproduksi sendiri.

Saat perdagangan berkembang, uang diciptakan sebagai alat tukar untuk membeli barang dan jasa. Agar orang-orang tidak susah-susah barter dalam pertukaran baik barang maupun jasa, uang digunakan untuk melancarkan aktivitas perekonomian, terutama distribusi. Dalam transformasi awal, uang dirupakan dalam bentuk barang yang memiliki nilai intrinsik, yakni emas dan perak. Namun, keberadan emas dan perak kemudian digantikan dengan uang kertas.

Meski demikian, uang kertas pada awalnya hanyalah pengganti dari pada emas dan perak. Nilai yang tertera pada uang tidak otonom, tetapi ada cadangan emas di baliknya. Sistem keuangan/moneter ibarat sebuah perangkat lunak/software yang menggerakkan seluruh perangkat keras/hardware ekonomi seperti sumber daya alam, kemampuan teknis manusia, teknologi dan faktor-faktor produksi lainnya.

Namun, sejak kira-kira setengah abad terakhir, keberadaan uang telah meleset jauh dari pada fungsi awalnya. Mengapa? Coba perhatikan. Setiap krisis ekonomi yang terjadi dalam suatu negara, belakangan, sebenarnya merupakan krisis moneter. Misalkan, krisis yang terjadi di Indonesia tahun 1997-1998 hingga Venezuela akhir-akhir ini adalah krisis moneter. Pada 1998, Indonesia tidak mengalami krisis karena kekurangan sumber daya alam. Begitu juga dengan Venezuela, negara ini tidak krisis karena kekurangan minyak yang selama ini menopang sebagian besar perekonomian negeri itu.

Krisis moneter dapat kita sebut sebagai hal paling konyol. Sebab, negara mengalami krisis hanya gara-gara benda yang sebetulnya tidak memiliki nilai secara intrinsik, yang oleh pembuatnya diciptakan sendiri nilainya, yaitu uang. Krisis ini bersifat artifisal dan tidak alami karena terjadi pada software yang dipakai dan bukan pada hardware.

Untuk dapat menelaah letak kekacauan dalam sistem moneter yang mengatur peredaran uang saat ini, penting kiranya untuk melemparkan sebuat pertanyaan sederhana: “dari mana uang berasal? Siapa yang menciptakannya?”

Salah satu dokumen yang dipublikasikan oleh Bank of England yakni “Bank of England Quarterly Bulletin 2014 Q1 – Money Creation in the Modern Economy” menjelaskan bahwa perbankan komersial modern bukanlah berfungsi sebagai intermediator antara penabung dan peminjam, namun berperan sebagai lembaga yang kegiatan utamanya menciptakan kredit (credit creation). Artinya, perbankan umum atau komersial memang diberikan kemampuan untuk “menciptakan uang” lewat setiap kredit yang diciptakan.

Lantas, dimana peran Bank Sentral? Bukankah merekalah yang memiliki wewenang untuk mencetak uang?

Secara umum, bank sentral memang sering dipahami memiliki wewenang untuk mencetak uang. Di Indonesia, misalkan, Pasal 20 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menentukan bahwa Bank Sentral—dalam hal ini Bank Indonesia—memiliki wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan rupiah, serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang tersebut dari peredaran. Namun, perlu dipahami bahwa uang nasional yang beredar saat ini terbagi menjadi dua, yakni uang kartal (yang mencangkup uang kertas dan koin) dan uang digital (yang hanya berbentuk angka-angka digital di rekening bank setiap orang yang dengan mudah diakses melalui perangkat komputer). Uang yang dapat kita tarik dari mesin ATM sebetulnya sesuai dengan total nominal angka yang ada di rekening kita. Hal ini berarti bahwa kertas atau koin hanyalah “media yang digunakan sebagai simbol” bagi “nominal atau angka yang tertera dalam kertas dan koin tersebut”.

Dalam kasus Indonesia, Bank Indonesia memang memiliki wewenang untuk mengeluarkan uang kartal tersebut. Namun, apakah Bank Indonesia memiliki kemampuan untuk mengeluarkan uang sebenarnya, yaitu nominal atau angka yang tertulis dalam setiap uang kertas, koin, maupun rekening Bank? Dalam substansi pertanyaan yang sama, apakah Bank Indonesia memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kredit?

Selama ini, adalah bank umum atau bank komersial yang sering dipahami sebagai pemberi kredit, bukan bank sentral. Bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit, sebagaimana menurut Pasal 1 ayat 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, nominal uang yang disalurkan dalam bentuk kredit oleh bank tersebut sebetulnya berasal dari bank sentral. Hal ini terutama uang yang berbentuk angka digital, karena sebagian besar uang yang beredar berbentuk angka-angka digital dalam rekening bank masyarakat.

Aturan yang menyatakan bank sentral sebagai pemberi kredit adalah UU 23/1999 tentang Bank Indonesia Pasal 11 ayat 1: bahwa Bank Indonesia tidak boleh memberikan kredit kepada pemerintah, namun ia bisa memberikan kredit pada perbankan yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Singkatnya, sebagian besar uang yang beredar sebetulnya “dicetak” oleh bank sentral melalui kredit kepada bank umum atau komersial.

Dalam dokumen “Bank of England Quarterly Bulletin 2014 Q1 – Money Creation in the Modern Economy”, disebutkan bahwa 97 % uang di Inggris diciptakan dalam bentuk kredit. Dalam hal ini, uang diciptakan setiap kali kredit diberikan atau setiap kali ada yang meminjam uang ke bank. Menurut Richar A. Werner, melalui tulisannyaHow do banks create money, and why can other firms not do the same?” yang diterbitkan Jurnal Elsevier, kemampuan Institusi perbankan untuk “menciptakan” uang inilah yang kelak disebut Credit Creation Theory. Dengan demikian, menurut teori ini, bank umum bisa dengan sendirinya menciptakan uang/mengeluarkan kredit dari ketiadaan (Out of Nothing). Dalam hal ini, bank umum tidak perlu mengumpulkan deposit dari para penabung maupun menarik deposit dari Bank Sentral untuk memberikan kredit pembiayaan. Di sinilah letak kontradiksi yang berbahaya dari sistem moneter/keuangan berbasis utang ini.

Uang yang ada dalam peredaran adalah uang yang tercipta dari utang yang diberikan oleh perbankan. Ketika semua utang dikembalikan kepada bank, uang yang ada dalam peredaran habis karena semuanya tercipta sebagai utang. Namun, itu tak mungkin. Sebab, total uang yang beredar di masyarakat adalah total utang perbankan.

Setiap kredit yang dikeluarkan bank mewajibkan adanya “nilai lebih” yang harus diberikan oleh peminjam kepada bank. Sebagian besar perbankan di dunia menamainya sebagai “bunga/interest”, sebagian menamainya “bagi hasil”.

Bunga, bagi hasil, dan sejenisnya mewajibkan para pengutang untuk mengembalikan utang mereka plus sejumlah nilai uang yang tidak pernah dicetak. Hal ini membuat bunga atau bagi hasil sekecil apapun tidak akan bisa dibayar oleh seluruh masyarakat karena memang total uang yang ada dalam peredaran tidak cukup. Dengan begitu, jalan satu-satunya bagi masyarakat untuk dapat membayar utangnya ke Bank adalah dengan bertarung sesengit mungkin untuk memperebutkan uang yang ada dalam peredaran. Ketika ada pihak yang dapat berhasil membayar utang, otomatis akan ada pihak lain yang tidak dapat membayar utang. Sekali lagi, karena uang yang tersisa dalam peredaran tidak memungkinkan semua pihak untuk membayar utangnya. Pihak-pihak yang gagal membayar utang akhirnya tinggal menunggu waktu aset-aset mereka akan disita oleh bank.

Dari sini, dapat dilihat bagaimana akhirnya sistem moneter/keuangan yang berbasis utang merubah arah utama aktivitas ekonomi dari memproduksi barang dan jasa, menjadi aktivitas perlombaan melakukan akumulasi finansial. Apa yang merupakan “alat” dan apa yang merupakan “tujuan” telah dibalik. Aktivitas produksi yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi justru dijadikan sebagai “alat ekonomi”, sedangkan uang yang seharusnya digunakan sebagai alat distribusi barang dan jasa dijadikan “tujuan akhir ekonomi”. Sistem keuangan seperti inilah yang dapat dikatakan menjadi jantung dari kapitalisme yang sangat menjunjung perolehan keuntungan finansial. Aktivitas ekonomi menjadi sebuah arena besar bagi masyarakat untuk berkompetisi memperebutkan uang yang ada dalam peredaran. Kondisi ini pun akhirnya juga menciptakan suatu kondisi “kemiskinan di tengah keberlimpahan” karena masyarakat harus memacu produksi secara terus menerus guna keperluan akumulasi finansial, yang pada akhirnya membuat hasil produksi berlimpah. Sedangkan proporsi kepemilikian sumber daya finansial makin terkumpul dalam sekelompok masyarakat, yang akhirnya menyisakan sebagian besar masyarakat menjadi miskin secara finansial. Hal inilah yang membuat kita sering melihat banyak orang kelaparan di tengah menjamurnya supermarket yang sering membuang produk-produk makanannya karena tidak terjual. Di pihak lain, banyak orang tidak memiliki tempat tinggal di tengah maraknya kompleks perumahan yang dibangun dan tak berpenghuni.

Reformasi Sistem Moneter

Solusi untuk permasalahan sistem keuangan yang dalam asumsi penulis memang sengaja dibuat kacau ini sebenarnya sangat sederhana, yakni reformasi sistem moneter. Seorang engineer sekaligus filsuf Skotlandia, Clifford Hugh Douglas dalam bukunya Economic Democracy menjelaskan bahwa reformasi moneter dapat dilakukan dengan cara negara harus merebut kembali wewenang dalam mencetak uang nasional. Uang yang dimaksud adalah nominal angkanya, bukan kertas dan koinnya saja. Setelah itu, negara mesti mengeluarkan uang bebas hutang atau yang biasa disebut sebagai Debt-Free Money. Uang bebas hutang ini bisa diciptakan langsung oleh negara melalui Bank Sentral yang sudah ada, atau institusi independen yang diciptakan khusus untuk itu. Uang bebas hutang ini selanjutnya diberikan ke setiap Individu secara periodik, contohnya bisa dalam kurun waktu sebulan sekali. Nilai uang ini ditentukan oleh produk yang bisa dibeli di negara tersebut. Total uang yang ada bergantung pada total produksi yang ada dalam negara. Setiap produksi meningkat, unit uang pun juga ikut meningkat. Pada akhirnya, uang yang akan diterima masyarakat setiap periodik juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Tidak diperlukan bunga atau sejenisnya setiap kali uang diciptakan, karena uang tidak lagi diciptakan sebagai utang.

Uang bebas hutang/debt-free money yang diciptakan dan secara periodik diberikan kepada setiap individu di dalam negara sebagai deviden. Tinggi rendahnya deviden yang diterima masyarakat bergantung pada tinggi rendahnya produksi yang terjadi. Dengan ini, uang tidak lagi menjadi “Telos” dari aktivitas ekonomi dan secara murni hanya menjadi sebuah sistem, unit akuntansi yang berpindah-pindah mengikuti pembelian dan penjualan. Hal ini pun juga secara otomatis menjadikan negara sebagai sebuah koperasi raksasa karena semakin tinggi total produksi yang ada dalam negara, maka deviden yang akan diberikan ke masyarakat juga akan terus meningkat dan secara tidak langsung juga akan menghancurkan kapitalisme.

Dengan ini, problem sistem keuangan yang dihadapi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dapat di atasi. Tiap Individu akhirnya memiliki daya beli untuk menunjang segala aktivitas mereka, mulai aktivitas sehari-hari hingga aktivitas politik sekalipun. Karena setiap individu mendapatkan deviden secara rutin, para pekerja juga tidak perlu khawatir ketika mereka dipecat dari pekerjaan mereka. Karena dengan deviden yang mereka terima di luar gaji/upah, mereka dapat langsung memulai aktivitas ekonomi yang baru.

Untuk menghilangkan problem sistem keuangan melalui reformasi sistem moneter, tentu World Bank Group dan seluruh Lembaga lintah darat hasil konferensi Bretton Wood atau bahkan organisasi pemerintahan dunia seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tidak akan tinggal diam. Artinya, usaha untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi lewat reformasi sistem moneter ini tidaklah mudah. Karena itu, agenda ini harus integral dengan sosialisasi alat-alat produksi atau revolusi sosialis, untuk selanjutnya menciptakan masyarakat tanpa kelas.

 

*) Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya, Peserta Sekolah Ideologi & Gerakan Sosial Ke-III Intrans Institute

 

Daftar Pustaka

Bank of England Quarterly Bulletin 2014 Q1 – Money Creation in the Modern Economy

Douglas, CH. 1920. Economic Democracy. Cecil Palmer. London

Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta

Hatta, Mohammad. 2015. Membangun Koperasi & Koperasi Membangun – Gagasan & Pemikiran Dr. Mohammad Hatta. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

Soekarno. 2001. Pokok – Pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno. Media Pressindo. Yogyakarta

Werner, Richard A. 2014. How do Banks Create Money, and Why Can Other Firms not Do the Same? An Explanation for the Coexistence of Lending and Deposit Taking. Elsevier. New York.

 

*Sumber Gambar Utama: grrrgraphics.tumblr.com

Tinggalkan Balasan