Jalan Lain Demokratisasi*

Oleh: In’amul Mushoffa[2]

 

Pada tahun 1999, Anthony Giddens dalam bukunya The Runway World memperkenalkan konsep memperdalam demokrasi (deepening democracy). Menurutnya, diperlukan demokratisasi bagi negara-negara berkembang dengan mendorong partisipasi warga aktif (active citizen) dalam sistem pemerintahan.

Kini, konsepsi pendalaman demokrasi Anthony Giddens tersebut tampaknya perlu ditinjau ulang. Sebab, meski kelompok active citizen sudah mulai bermunculan[3], kesejahteraan yang merata ternyata belum juga terwujud. Akhir 2015, Indonesia memasuki fase kesenjangan ekonomi terparah sepanjang sejarah[4]. Meski tren kemiskinan menurun, tapi kesenjangan relatif tetap tinggi.[5] Padahal, diantara tujuan penting demokrasi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

 

gambar 1Sumber: http://www.tipsiana.com/2015/04

 

Lantas, apa yang perlu dibenahi dalam agenda demokratisasi saat ini?

Pseudo Democracy

Penyebab utama[6] gagalnya konsolidasi demokrasi adalah oligraki[7] dan kapitalisme. Dalam iklim demokrasi yang oligarkis, praktik demokrasi elektoral dikuasai kelompok yang kuat secara finansial. Politik uang menjadi lumrah sehingga biaya pemilu semakin mahal. Biaya kontestasi Pilgub Jatim saja bahkan melampaui pilpres di AS (Wiradi: 2015). Disamping itu, kebijakan-kebijakan yang dibuat juga diperuntukkan untuk kepentingan oligark, bukan kepentingan rakyat.

Oligarki sesungguhnya lahir dari stratifikasi sosial-ekonomi yang ekstrim (Winters: 2004). Semakin ekstrim kesenjangan ekonomi, maka oligarki semakin hegemonik. Dampaknya, ruang kontestasi dan partisipasi semakin sempit, baik dalam pemilu maupun perumusan dan evaluasi kebijakan. Demokrasi pun akhirnya mengalami regresi, sebab tidak ada kesetaraan politik[8] di antara warga negara.

Meski kerapkali dianggap sama, oligarki dan kapitalisme sesungguhnya berbeda. Oligarki beroperasi dengan menabrak peraturan perundang-undangan. Sementara, kapitalisme justru melakukan ekspansi dengan menggunakan perangkat hukum, perundang-undangan, dan regulasi.

Kapitalisme sesungguhnya tak ubahnya ekonomi kolonial, yang jauh-jauh hari sebelum negara ini berdiri, Soekarno (1928)[9] sudah merumuskan tiga cirinya: Pertama-tama, sebuah negera diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara maju. Kedua, negara tersebut diposisikan sebagai pasar dari produk negara-negara maju. Dan yang terakhir, negara tersebut dijadikan sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital negara-negara industri maju.

Ketiga ciri tersebut sebetulnya sudah lama melekat, bahkan ketika Indonesia memasuki fase kemerdekaan. Selain menjadi pemasok bahan baku industri negara maju, bahan baku tersebut bahkan kita olah dengan buruh murah, dan kita beli dengan harga mahal. Kelebihan kapital negara maju yang dihasilkan dari proses ini kemudian kita manfaatkan dalam bentuk utang luar negeri (ULN), baik untuk membiayai pembangunan maupun program-program pengentasan kemiskinan. Pada titik inilah, cita-cita berdikari menjadi kabur karena pembangunan yang pemerintah jalankan sesungguhnya merupakan komando kapitalisme global (MNC, IMF, WTO, World Bank).

 

gambar 2Seorang petani di Singapura melakukan unjuk rasa menolak IMF dan World Bank, 2006.
Sumber: http://www.gettyimages.com

 

Yang terjadi kemudian adalah pseudo democracy. Kebijakan pemerintah justru melayani kapital global. Bukan kepentingan rakyat. Berbagai peraturan perundang-undangan dan regulasi disusun hanya untuk menyesuaikan kerangka pikir neoliberalisme: komodifikasi layanan publik, industrialisasi, privatisasi, dan liberalisasi. Di sini, daulat rakyat tergantikan oleh daulat pasar. Kondisi inilah yang disebut Noreena Heartz sebagai the death of democracy.

Demokratisasi Ekonomi

Kematian demokrasi ini seharusnya menjadi momen reflektif bahwa agenda demokratisasi yang selama ini terjebak pada aspek elektoral-partisipatif harus segera diinsyafi. Dalam tulisannya The Truth about Capitalist Democracy (2009), Atilio Boron mengklasifikasi demokrasi menjadi empat, yakni demokrasi elektoral, demokrasi partisipatif, demokrasi sosial, dan demokrasi ekonomi. Klasifikasi ini didasarkan atas aspek apa yang menjadi titik tekan demokratisasi.

Dari keempatnya, demokrasi elektoral dan demokrasi partisipatif menempati posisi demokrasi yang paling rendah. Sebab, demokrasi elektoral kerap mengabaikan perilaku politik kontestan pasca terpilih, sedangkan demokrasi partisipatif—yang ditandai oleh partisipasi publik dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik—juga gagap ketika dihadapkan pada kekuatan oligarki dan pasar.

Level berikutnya adalah demokrasi sosial[10]. Eksistensinya ditandai dengan adanya jaminan sosial pemerintah terhadap warganya. Di Indonesia, jaminan sosial malah mengikuti logika neoliberal yang ditandai dengan pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengikuti mekanisme pasar. Oleh karena itu, sembari membenahi ketiga aspek demokratisasi itu, demokrasi ekonomi—sebagai level demokrasi yang paling tinggi—harus pula dibangun. Bahkan seharusnya diprioritaskan.

Dalam demokrasi ekonomi, kesejahteraan yang merata menjadi tujuan utama. Relasi yang timpang antar anggota masyarakat harus dihindari. Rakyat harus berdaulat secara ekonomi. Produksi harus dikerjakan oleh semua untuk semua (kooperatif). Karena itu, demokrasi tidak boleh ada hanya di bilik suara, tapi juga di tempat kerja. Buruh harus memiliki saham di perusahaan yang dimiliki dan dikelola secara kolektif dan—karena itu juga—memiliki suara untuk menentukan kebijakan perusahaan. Para petani juga seharusnya bebas dari industrialisasi pertanian yang memisahkan para petani dan faktor produksinya, dalam hal ini: tanah.

Pasal 33 ayat 1, 2, 3, UUD 1945 dan Penjelasannya sebenarnya cukup menjadi fondasi demokrasi ekonomi. Sudah jelas dikatakan bahwa bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Bangun perusahaan yang sesuai itu adalah koperasi. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak saja yang boleh ada di tangan orang-seorang. Namun, sebagaimana disinggung di muka, jeratan utang luar negeri (ULN) dan tidak adanya langkah yang serius untuk mencapai kemandirian membuat kebijakan pemerintah selalu mengikuti kerangka kapitalisme-neoliberal.

Oleh karena itu, selain mengupayakan agar demokrasi menuju ke arah yang substantif[11], agenda demokratisasi yang tidak kalah relevan adalah membangun demokrasi ekonomi. Ada dua jalur yang harus dilakukan. Pada level struktur, uji materi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang kapitalistik harus terus dilakukan. Pada level basis, penguatan ekonomi rakyat—selain dengan konsolidasi kekuatan perlawanan terhadap berbagai upaya alienasi ruang hidup oleh rezim dan korporasi kapitalistik—harus dilakukan melalui jalan ekonomi ko-operasi (kerjasama, kekeluargaan, atau gotong royong). Ko-operasi, baik dalam makna institusional maupun kultural, harus dibangun untuk menandingi sistem kompetisi.

 

***

gambar 3
Potret sebuah minimarket yang dikelola secara kooperasi oleh para petani di Denmark.
Sumber: http://www.kompasiana.com

 

Dalam bukunya Membangun Koperasi, Koperasi Membangun, Hatta berkali-kali mencontohkan Denmark yang berhasil membangun demokrasi politiknya setelah sukses membangun demokrasi ekonominya terlebih dahulu. Di Denmark, budaya kerjasama sudah ada pada keseharian masyarakat Denmark dalam bidang ekonomi. Begitu bidang politik dibangun, kultur politik yang tercipta bukan saling menjatuhkan tetapi saling bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejarah yang kemudian mengafirmasi penegasan Hatta itu. Hingga kini, Denmark menjadi salah satu negara paling demokratis di dunia bersama negara lain yang sukses membangun demokrasi sosialnya seperti, Swedia, Norwegia, dan Islandia.

Kesuksesan Denmark dan negara-negara Skandinavia lainnya dalam menyejahterakan rakyat melalui pembangunan demokrasi politik dan ekonomi secara beriringan, tentu saja memiliki faktor lain, seperti: homogenitas kultur dan kondisi geografis yang tak sekompleks dan seluas Indonesia. Akan tetapi, bagaimanapun juga model ekonomi kooperasi seharusnya menjadi acuan dalam membangun ekonomi rakyat yang sudah sejak lama terhegemoni secara struktural oleh kapitalisme, baik lokal maupun global.

Pustaka

Atilio Boron, The Truth about Capitalist Democracy, in Leo Panitch and Colin Leys (ed)., “Telling the Truth,” (Socialist Register, 2006)

Coen Husein Pontoh, Menegaskan Kembli Komitemen Pada Demokrasi. https://coenpontoh.wordpress.com/2007/11/06/menegaskan-komitmen-pada-demokrasi/

In’amul Mushofffa dkk. Konsep Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke Substantif, Menuju Representasi Politik Yang Berkualitas (Malang: Intrans Publishing, 2016)

_________, Quo Vadis Politik Indonesia Pasca Reformasi. http://transisi.org/opini/quo-vadis-politik-indonesia-pasca-reformasi/

Jeffery Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Prisma (Volume 33 tahun 2014)

Jurnal Wacana, Membongkar Proyek Ornop. (Volume … 2002)

Moechtar Mas’oed, Pesimisme Nasional, Optimisme Lokal: Perkembangan Politik Indonesia Sejak 1988 dalam Pradjarta Dirjosanjata, Nico L Kana, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004 (Salatiga: Pustaka Percik, 2006),

Mohammad Hatta, Membangun Koperasi, Koperasi Membangun, (Jakarta: Kompas, 2015)

Mubiyarto dkk, Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Suluh Press, 2014)

Dicky Dwi Ananta, Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer, http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politik-indonesia-kontemporer/

http://bisnis.liputan6.com/read/2384760/ketimpangan-kesenjangan-warga-ri-tertinggi-dalam-sejarah-ri

*) Naskah awalnya disusun untuk keperluan publikasi di media massa. Diperlengkapi dengan cacatan kaki untuk keperluan materi sekolah NDP, “Redefinisi Demokrasi untuk Mewujudkan Masyarakat Berkeadilan” HMI Syaeko UIN Malang, 6 Oktober 2016.

 

________________________

[2] Peneliti Intrans Institute. Penulis Buku Konsep Memperdalam Demokrasi.

[3] Pasca reformasi, tumbuhnya kelompok masyarakat sipil dalam bentuk LSM, NGO, CSO tumbuh bak jamur di musim hujan. Sebagian karena proyek idealis-ideologis untuk memmperkuat gerakan sosial masyarakat sipil. Sebagian didirikan untuk kepentingan pragmatis para pendirinya. Kondisi ini terekam jelas dalam Jurnal Wacana, Membongkar Proyek Ornop.

[4] Ketimpangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia/gini rasio semakin melebar dalam beberapa tahun terakhir. Angkanya 0,42 persen di tahun ini, bahkan disebut-sebut yang tertinggi dalam sejarah. Ketimpangan antara orang kaya dan miskin‎ meningkat dari 0,30 persen (2000) menjadi 0,41 persen (2014) dan melebar di tahun ini 0,42 persen. http://bisnis.liputan6.com/read/2384760/ketimpangan-kesenjangan-warga-ri-tertinggi-dalam-sejarah-ri

[5] Dalam data BPS, jumlah penduduk miskin hingga September tahun lalu turun menjadi 27,76 juta orang apabila dibandingkan dengan Maret 2016 sebanyak 28,01 juta orang. Namun, Survei BPS juga menyebutkan, dari total 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 62,24 persen atau 17,28 juta orang berada di kawasan pedesaan. Sementara, sisanya 37,76 persen atau 10,49 juta penduduk miskin berada di perkotaan. http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170103172141-92-183822/jumlah-penduduk-miskin-berkurang-tapi-kesenjangan-tinggi/

[6] Tentu saja, selain dua penyebab utama tersebut, masih banyak hal yang belum terpenuhi sebagai syarat demokrasi formal. Robert Dahl (1982), Kaldor dan Veivoda (1997), misalkan, mengusulkan kriteria demokrasi formal sebagai berikut: Inclusif Citizenship; Rule of Law; Separation of Power; Elected Power-Holders; Free And Fair Elections; Freedom Of Expression And Alternative Sources Of Informaton; Associtional Autonomy; Civilian Control Over The Security Force. Moechtar Mas’oed, Pesimisme Nasional, Optimisme Lokal: Perkembangan Politik Indonesia Sejak 1988 dalam Pradjarta Dirjosanjata, Nico L Kana, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004 (Salatiga: Pustaka Percik, 2006), xx-xxi

[7] Oligarki pada intinya adalah praktik kekuasaan yang dijalankan untuk mempertahankan dan melipatgandakan kekayaan. Jika di masa Orde Baru dedominasi oleh oligarki sultanian, maka era reformasi dikuasai oleh oligarki kolektif. Lihat mengenai oligarki ini dalam Jeffery Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Prisma (Volume 33 tahun 2014) 11-34 dan In’amul Mushoffa, Quo Vadis Politik Indonesia Pasca Reformasi. http://transisi.org/opini/quo-vadis-politik-indonesia-pasca-reformasi/ Lihat juga: Dicky Dwi Ananta, Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer, http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politik-indonesia-kontemporer/

[8] Kesetaraan politik merupakan prasyarat untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang demokratis. Maka, menjadi penting untuk meningkatkan kualitas kontrol publik dalam demokrasi. Maka, diperlukan upaya pendidikan politik terhadap warga negara dalam menciptakan kesetaraan politik tersebut. Tanpa itu, maka posisi masyarakat sipil akan selalu menjadi subordinat dari negara dan korporasi.

[9] Lihat: Revrisond Baswier dalam Mubiyarto dkk, Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Suluh Press, 2014)

[10] Demokrasi Sosial (Social Democracy) merupakan kombinasi dari elemen-elemen yang melekat pada dua level demokrasi sebelumnya, misalnya, kewargaan sosial, jaminan yang luas akan spektrum hak-hak warga negara seperti, standar hidup, akses terhadap pendidikan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Dderajat indikator yang baik menyangkut keadilan sosial dan kewargaan yang efektif adalah “de-komodifikasi” penyediaan bahan-bahan dasar dan pelayanan yang memadai terhadap kebutuhan mendasar manusia. https://coenpontoh.wordpress.com/2007/11/06/menegaskan-komitmen-pada-demokrasi/

[11] Ada enam prasyarat agar demokrasi substantif bisa tercapai. Pertama, bangunan karakter UUD yang dan kesepahaman persepsi tentang HAM. Kedua, peran partai politik dan efektivitasnya sebagai sarana partisipasi. Ketiga, peran media massa dan kemampuannya dalam mewakili debat politik meluas. Keempat, kemampuan cabang administratif mengubah dirinya sendiri menjadi badan layanan publik sejati yang dipercayai oleh rakyat. Kelima, kemampuan pemerintah daerah mengelola dan menanggapi masalah lokal. Keenam, keberadaan masyarakat sipil yang aktif. Mochtar Masoed, Op. Cit.

Tinggalkan Balasan