Kabinet Indonesia Mundur, Apa yang Bisa Diharap?

Muhammad Nur Fitriansyah

 

Pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober lalu, Jokowi tancap gas mempersiapkan susunan kabinet. Tiga hari setelah itu, nama-nama menteri diumumkan untuk membantu kinerja dalam periodenya yang kedua.

Sialnya, susunan kabinet ini bukan tanpa masalah. Ada nama-nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Moeldoko, Airlangga Hartarto, Pratikno, Pramono Anung, Retno Lestari Priansari Marsudi, Yasonna Hamonangan Laoly, Sri Mulyani, Agus Gumiwang Kertasasmita, Tjahjo Kumolo, Teten Masduki, Basoeki Hadimoeljono, Budi Karya Sumadi dan Siti Nurbaya Bakar.

Juga ada 22 wajah baru seperti Prabowo Subianto, Edhy Prabowo, Tito Karnavian, Fachrul Razi, Erick Thohir, Sofyan Djalil, Johnny Gerald Plate, Syahrul Yasin Limpo, Terawan Agus Putranto, Nadiem Anwar Makarim, Mahfud Mahfuddin, Arifin Tasrif, Agus Suparmanto, Ida Fauziyah, Abdul Halim Iskandar, Juliari Peter Batubara, Wishnutama Kusubandio, I Gusti Ayu Bintang Darmavati, Suharso Monoarfa, Zainudin Amali, Sanitiar Burhanuddin dan Bahlil Lahadalia.

Yang cukup mengangetkan Prabowo Subianto. Setelah cukup lama bersitegang merebut kursi RI 1, akhirnya ia menjadi menteri di Kabinet Jokowi. Isu terkait bagi-bagi jatah kursi pun bertebaran.

Dalam kamus politik non-representatif dan pragmatis, yang abadi adalah kepentingan. Perseteruan adalah cara untuk menaikkan posisi tawar kepentingan. Ketika tawaran yang dinanti tiba, semua akan berkoalisi pada waktunya.

Farid Gaban, sekali waktu dalam akun twitternya, mencuit “Tak ada kawan/lawan abadi dalam politik oligarki. Jokowi dulu didukung Prabowo ketika nyalon gubernur. Prabowo juga pernah bersanding dengan Megawati dalam pilpres melawan SBY. Tak heran jika kini mereka bergabung. Mereka politisi yang sama dalam ekosistem politik oligarki”.

Tersangkut Kasus Korupsi

Selain merapatnya Prabowo dalam jejeran pemerintahan, ada beberapa nama tertanda merah dan sarat masalah, yang justru dipilih Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai Presiden terpilih. Selain pula terdapat indikasi wajah-wajah menteri yang berkaitan erat dengan berbagai bisnis, pengusaha, hingga politisi senior. Belum lagi soal berbagai kapasitas menteri yang diragukan dan cenderung inkompeten mengisi pos-pos kementerian yang ditunjuk tersebut.

Setidaknya, terdapat sembilan wajah menteri diduga terkait dalam beberapa kasus korupsi, yang menjadi corak khas birokrasi negara ini. Beberapa nama itu bisa kita sebutkan dengan cukup jelas. Ada Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Yasonna Hamonangan Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), serta Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olahraga).

Presiden Jokowi tak menghiraukan berbagai tren negatif nama-nama bermasalah itu. Ini kemunduran. Dalam periode sebelumnya, Jokowi berkonsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait beberapa nama yang akan ia angkat menjadi menteri. Beberapa nama yang tersangkut kasus korupsi didepak.

Bersamaan dengan upaya pelemahan KPK dan tak terlihatnya keseriusan Presiden Jokowi menyelesaikan kasus-kasus HAM dan demokrasi – sebagaimana secara implisit tersirat dalam pidato pelantikannya –.terdapat sebuah proses transaksional antara Presiden dan partai politik terkait pembagian jatah kekuasaan dalam kabinet Indonesia Maju. Asas meritokrasi dan pertimbangan integritas absen. Publik bisa menyaksikan, banyak nama yang menduduki pos-pos kementerian merupakan orang-orang titipan partai. 17 kursi menteri diisi oleh kader-kader perwakilan partai. Di antaranya, PDIP 5 kursi, Golkar 3 kursi, Nasdem 3 kursi, PKB 3 kursi, Gerindra 2 kursi, dan PPP 1 kursi (Koran Tempo, 24/10).

Bukan rahasia umum, penentuan kabinet tidak lepas dari rekomendasi sekaligus intervensi petinggi-petinggi partai politik. Proses penentuan itu begitu sarat proses kompromistik, transaksional dan alotnya tarik-ulur kepentingan. Corak-corak demikian mewarnai proses demokrasi negara ini pasca reformasi. Alhasil, pos-pos strategis kementerian begitu potensial dan rentan menjadi ajang berburu rente. Entah kelak dialirkan pada partai asalnya, kolega politiknya, ataupun untuk dirinya sendiri.

Menjelang penyusunan kabinet, Presiden Jokowi berulangkali mengatakan akan menentukan kabinetnya dengan menjunjung tinggi profesionalitas dan tidak berdasar desakan partai. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi tidak teruji, justru menjadi sekedar gimmick politik.

Berbagai upaya rancangan revisi undang-undang kontroversial menambah kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Dominasi Pemodal-Pebisnis

Kekecewaan itu ditambah dengan fakta bahwa dari total keseluruhan 575 politisi yang mengisi slot kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sekitar 45,5 persen atau 262 orangnya adalah pebisnis, dan memiliki afiliasi dengan 1.016 perusahaan (Koran Tempo, 03/10).

Dalam Kabinet Indonesia Maju, sepertiga dari keseluruhan kursi kabinet diisi oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan industri ekstraktif, khususnya batubara.

Laporan #BersihkanKabinet menemukan, dari 50 anggota kabinet Jokowi periode ini, terdapat 19 di antaranya terkait dengan berbagai bisnis tersebut. Mereka adalah Mahfud MD (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), Wishnutama (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi), Erick Thohir (Menteri BUMN), Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial), Fachrul Razi (Menteri Agama), Johnny G. Plate (Menkominfo), Pramono Anung (Sekretaris Kabinet), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Mahendra Siregar (Wakil Menteri Luar Negeri), Wahyu Sakti Trenggono (Wakil Menteri Pertahanan), Angela Tanoesoedibjo (Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Bahlil Lahadalia (Kepala BKPM), Budi Gunadi Sadikin (Wakil Menteri BUMN), Moeldoko (Kepala Kantor Staf Kepresidenan), serta Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan).

Selain keterkaitan beberapa menteri dengan korporasi tambang, beberapa lainnya juga memiliki relasi dekat dengan pengusaha hingga politisi. Sebut saja Angela Tanoesoedibjo (Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), anak dari Harry Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Perindo dan pembesar MNC Group. Adapula Jerry Sambuaga (Wakil Menteri Perdagangan), anak dari Theo L. Sambuaga, politisi senior Partai Golkar dan juga Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang. Pun ada ST Burhanuddin (Jaksa Agung), adik kandung politisi senior PDIP, TB Hasanuddin (Tirto.id, 28/10).

Bagi segelintir elite politik dan oligark, ini adalah fenomena lumrah. Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang saat ini menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sekali waktu dalam ceramahnya berujar bahwa relasi indah nan bersahaja antara pengusaha-penguasa adalah hal lumrah dan wajar. Menurut alur berpikirnya, terdapat hubungan erat antara politik dan bisnis, mereka adalah bagian dari kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Terjunnya pengusaha ke lembah politik adalah pilihan, dan untuk memperluas jaringannya (Merahputih.com, 12/04). Risalah ini ia sampaikan saat menghadiri Diklatda Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Jaya (HIPMI Jaya) 2018 lalu, sewaktu masih menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggantikan Setya Novanto.

Tidak mengherankan logika demikian muncul dan kokoh dalam isi kepala seorang Bamsoet, ataupun politisi cum pebisnis lain sejenisnya. Ia seorang politisi beken Partai Beringin, pun juga merupakan pengusaha kaya raya. Ia tercatat pernah duduk sebagai direktur dan memiliki saham di PT Kodeco-Jhonlin, sebuah perusahaan yang memotori tambang batubara di Kalimantan Selatan, selain bisnis lainnya di sektor angkutan darat, angkutan laut dan alat berat (Beritagar.id, 24/02). Total kekayaannya dalam rilis LHKPN tahun 2018 kurang lebih sekitar 98 miliar, meski jumlah itu patut dicurigai dan tak selalu menggambarkan kisaran aslinya. Politisi glamour kolektor kendaraan mewah ini pula mencatatkan koleksi kendaraannya sekitar 18,5 miliar (moneysmart.id, 01/10). Secara implisit, dalam logika kusut yang ia kemukan itu, ia mengamini pertautan politik dan bisnis, di mana perselingkuhan itu menjadi asbab akselerasi perkembanganbiakkan kapital dengan memanfaatkan hubungan dan perlindungan bisnis melalui tangan negara. Secara tidak sadar, ia menceritakan geliat berpolitiknya yang kerapkali culas dan sangat oportunis itu.

Bagi kita, realita ini adalah malapetaka akut yang merongrong kedaulatan hajat hidup orang banyak, lebih-lebih mereka yang tergolong rentan. Gelanggang demokrasi yang diimpi-impikan menghasilkan kualitas akhir nan demokratis, justru tercederai kepentingan ekonomis segelintir orang belaka.

Untuk melengkapi potret buram kondisinya, mari sejenak kembali ke momen lampau. Tepatnya sebelum kontestasi Pilpres berlangsung. Kita juga akan disuguhkan pemandangan naas soal bagaimana para oligark, khususnya tambang, mem-back-up perhelatan Pilpres lalu. Jaringan Aktivis Anti Tambang (Jatam) mengabarkan, di belakang kedua kandidat Paslon, berdiri pengusaha-pengusaha tambang yang berkontribusi besar sebagai ceruk kapital dalam proses perhelatan akbar itu.

Kita tahu, dalam aras elektoral berbiaya politik bombastis, modal ekonomi menjadi salah satu elemen vital, jika bukan sebagai faktor penentu utama. Untuk mengerahkan pusparagam elemen kemenangan, entah guna bahan bakar tim kampanye hingga penggiringan opini publik, setumpuk material – dalam hal ini modal ekonomi – terlebih dahulu mesti tuntas. Jika tidak ingin misi politiknya seret di tengah jalan. Dan, kepada siapa Paslon hendak merangkul teman, bila bukan kepada orang-orang yang di atas kertas memiliki segunung banyak kekayaan, yang secara matematis berkepentingan mempertahankan dan menumpuk lebih banyak lagi kepemilikan pribadinya.

Lalu, sebagai wujud politik balas jasa, beberapa dari mereka kini telah duduk manis mengisi kursi kabinet. Sebagian lain dari orang-orang itu yang tak mengisi kursi adalah petinggi-petinggi Parpol jempolan, dan telah mendelegasikan anak, kerabat, hingga kaki-tangannya ke lingkaran pemerintahan. Sisa lainnya merupakan pebisnis tambang, dan barang tentu melanjutkan bisnisnya seperti biasa, dengan tingkat keleluasaan makin besar tentunya.

Penutup

Sedari mulainya drama panjang Pilpres bergulir, sejak awal hingga rampungnya jejeran pemerintahan, kita menyaksikan kejanggalan demi kejanggalan muncul naik ke permukaan. Kongkalikong politisi-pengusaha, ataupun sebaliknya, secara telanjang dan terang-terangan kita saksikan. Di episode awal, aroma ijon politik perlahan-lahan terhendus. Di akhir cerita, kiat bagi-bagi kursi dan jatah kekuasaan ditunjukkan dengan gamblang. Dan sialnya, seolah tanpa malu dan berdosa, orang-orang itu bersikap layaknya dewa penyelamat di tengah kekeringan, seolah massa rakyat adalah mainan yang sangat gampang terpedaya.

Di tengah-tengah belantara politik dengan corak pemerintahan defisit representasi mulai Kabinet hingga DPR, terlalu naif rasanya bermimpi di siang bolong. Bahwa negara tetap dan akan memainkan peranan layaknya ajaran normatif dalam diktat akademis. Ataupun dengan cara lain, bersikap kukuh sekukuh-kukuhnya membela junjungan yang disinyalir “terkerangkeng monster” dan kehilangan daya untuk berbuat apapun.

Sudah waktunya kita lepas dari retorika para politisi yang telah memcah kekuatan massa dan membuatnya gagap melihat akar persoalan. Saatnya mengimani kenyataan bahwa negara hari ini bukanlah “kita”. Ia adalah perwujudan dari kepentingan strategis ekonomi-politik “mereka”, yang memanfaatkan Negara sebagai ladang melibatgandakan kekayaan pribadinya.***

 

Gambar: Kiagus Beritagar.id

Tinggalkan Balasan