Potret Pendidikan: Kemajuan di Jepang, Kemunduran di Malang

Oleh: Novrianus Bunga

Tampak jelas bahwa kekayaan riil suatu bangsa bukan terletak pada berlimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, melainkan pada sumber daya manusianya. Kelimpahan sumber daya alam saja tidak menjamin majunya sebuah bangsa, sebab kuncinya ada pada faktor sumber daya manusia itu sendiri (human resources). Ambil contoh negara Singapura dan Jepang. Kedua negara, jika dibandingkan dengan Indonesia sangat jauh berbeda dari sisi kepemilikan sumber daya alamya. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah, namun dari sisi kesejahteraan penduduk sangat jauh berbeda dari kedua negara tersebut. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa SDA saja tidak cukup. Singkatnya, SDM-lah yang mampu mengubah potensi SDA menjadi sesuatu yang bernilai (baca: nilai tambah) bagi peradaban manusia. Sebagaimana bunyi sebuah adigium, “assets make things possible, people make things happen”. Dengan kata lain, kemakmuran suatu bangsa bukan dilihat dari seberapa besar jumlah sumber daya alam yang dimiliki, akan tetapi terletak pada sejauh mana sebuah bangsa berkomitmen untuk membangun sumber daya manusianya demi mengelola potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Alokasi Anggaran Pendidikan di Jepang

Beda negara, beda pula kebijakannya. Mengukur seberapa serius sebuah negara yang berkomitmen dalam memajukan kualitas pendidikan, dapat dilihat melalui porsi alokasi dana pendidikan. Apabila ditelisik dari kebijakan pengalokasian anggaran, antara Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda. Dibandingkan Jepang, Indonesia termasuk paling sedikit/kecil dalam melakukan pendistribusian anggaran pendidikan.

Sebagai perbandingan, di Jepang pada tahun 2007, Kementerian Pendidikan, Olahraga, Budaya dan Teknologi Jepang (MEXT) menetapkan dana pendidikan sebesar 5,270.5 billion yen (901,255,5 miliar). Berikut adalah alokasi anggaran yang diterbitkan oleh MEXT dalam situs murniramli.wordpress.com (https://murniramli.wordpress.com/2008/10/20/alokasi-anggaran-pendidikan-jepang). Anggaran terbesar dialokasikan untuk pembinaan dan pengembangan compulsory education (wajib belajar), yaitu untuk pembayaran SPP siswa sebesar 31.6% dari total anggaran. Sebagaimana diketahui bahwa siswa SD dan SMP di Jepang tidak membayar uang SPP, dan hanya membayar biaya non-SPP, seperti pembelian buku penunjang (buku wajib gratis), biaya ekskul, tour sekolah, dll.

Pengeluaran terbesarnya adalah untuk manajemen pendidikan tinggi yang beralih status dari universitas negeri menjadi “koujinka” (Corporation Law), semacam BHMN di Indonesia. Dana untuk kegiatan ini sebesar 22.9% dari total anggaran. Anggaran terbesar berikutnya adalah untuk pengembangan sains dan teknologi (16%). Sedangkan untuk level SMP dan SMA di Jepang, dua tahun yang lalu telah diperkenalkan program Super Science, berupa peningkatan nilai materi sains, dan penambahan perlengkapan eksperimen di sekolah. Sebagian besar dana disalurkan untuk penelitian sains di universitas.

Perolehan nobel tiga professor Jepang di bidang Fisika (salah seorangnya adalah warga negara AS kelahiran Jepang) dan seorang di bidang Kimia (warga negara AS kelahiran Jepang) tahun ini, semestinya semakin memacu pemerintah untuk mengucurkan dana di bidang ini. Anggaran selanjutnya adalah untuk membantu sekolah/universitas swasta, sebesar 8.6% dari total anggaran. Dari dana ini, sponsor terbesar diberikan kepada universitas swasta. Sekolah-sekolah swasta di Jepang banyak mendapat bantuan dana dari MEXT dan juga pemerintah daerah setempat, tergantung kepada tingkat keperluan.

Anggaran terbesar selanjutnya adalah untuk life long learning education dan olahraga, termasuk di dalamnya anggaran untuk mahasiswa asing. Tahun ini beasiswa yang dikeluarkan oleh MEXT untuk mahasiswa asing sebesar 175,000 yen (29.925 juta) per kepala, meskipun rencananya akan diturunkan menjadi 160,000 yen (27.360 juta) per Oktober tahun ini.

 

Potret Kebijakan Anggaran di Indonesia

Sangat berbeda dengan distribusi anggaran pendidikan di Jepang, di Indonesia–dengan diterbitkannya UU NO 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional–pada bagian keempat tentang pengalokasian dana pendidikan, pasal 49 poin 1, disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya Pendidikan Kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian merujuk pada Perda Kota Malang No. 3 Tahun 2014 Tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan pasal 46: Anggaran Belanja untuk melaksanakan fungsi pendidikan pada sektor pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), setiap Tahun Anggaran sekurang-kurangnya dialokasikan 10% dari total APBD-nya, di luar gaji pegawai.

Dalam artian bahwa distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di sektor Pendidikan harus berlandaskan pada Perda Pendidikan Kota Malang NO 3 Tahun 2014 dari total APBD Kota Malang. Apabila memotret anggaran pendidikan Kota Malang tahun 2016 tidak sampai 10% dari total APBD Kota Malang. Ini bisa dilihat dalam dokumen APBD Kota Malang, khususnya di sektor Pendidikan di belanja langsung yang hanya mencapai 174.992.109.930,03 M (billion yen) dari total APBD Kota Malang yang mencapai 1.845,360,068,749 T (billion yen). Bahkan, pada Tahun 2017 anggaran pendidikan turun menjadi Rp. 124 Miliar (billion yen), padahal pada tahun 2016 Pemerintah Kota mengalokasikan dana sekitar Rp. 154 Miliar (billion yen).

Berangkat dari persoalan anggaran di atas dapat dinilai bahwa Pemerintah Kota Malang belum mencerminkan keadilan distribusi anggaran di sektor pendidikan dan sangat kontradiktif dengan amanat UU RI NO 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab 3, tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, pasal 4 (1) di mana disebutkan “Pendidikan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Lantas masihkah slogan kota pendidikan masih bersenyawa dalam realitas kota malang saat ini, khususnya di sektor pendidikan? Ataukah karena begitu banyak kampus yang bertebaran di mana-mana (sebagian besar milik swasta) dianggap kota Pendidikan? Tentu anggapan terhadap kota Malang sebagai kota pendidikan perlu direnungkan lagi.

Kenyataan di atas turut memperkuat asumsi bahwa Pemerintah Kota Malang sama sekali tidak menaruh perhatian serius pada sektor pendidikan. Di tengah melorotnya alokasi dana pendidikan dan masifnya pengembangan situs hiburan di Kota Malang, akan lebih tepat kalau Kota Malang disebut sebagai kota sentra hiburan. Hal ini disebabkan dalam realitasnya justru yang berkembang pesat adalah tempat-tempat hiburan. Kondisi demikian turut melahirkan situasi paradoks, antara Malang sebagai kota pendidikan dan sebagai kota hiburan. Merebaknya budaya hedonisme, materialisme, dan konsumtivisme di kalangan pelajar dan mahasiwa adalah bagian dari pergeseran watak dan tradisi kebudayaan di Kota Malang. Pergeseran budaya tersebut harus dibaca sebagai sebuah rangkaian perubahan yang berakar kuat dari hilangnya komitmen dari pemerintah terhadap dunia pendidikan itu sendiri.

Hadirnya berbagai pusat kegiatan belajar masyarakat dan forum-forum belajar masyarakat di kampung-kampung dan komunitas adalah respons terhadap kondisi pendidikan di Kota Malang yang semakin kehilangan esensinya. Dari fakta tersebut, muncul sebuah pertanyaan, masih pantaskah menyebut Kota Malang sebagai sebagai kota pendidikan?

Di Jepang, pendidikan benar-benar diperhatikan bahkan menjadi salah satu indikator dalam kemajuan negaranya. Hal tersebut dapat disaksikan melalui distribusi anggaran pendidikan yang mencapai 31,6 %. Dari fakta tersebut, wajar apabila Jepang memiliki peringkat tinggi dalam dunia pendidikan dan teknologi internasional. Kontras dengan itu, Indonesia malah berada pada posisi yang jauh tertinggal baik dari ilmu pengetahuan maupun teknologi.

Padahal, di tinjau dari jumlah penduduk, Indonesia merupakan bangsa yang besar, menempati rangking ke lima dunia setelah Cina, Amerika, India dan Rusia. Namun, dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), Indonesia masih berada pada rangking 108 dari 177 negara (laporan pembangunan manusia, 2006). Di kawasan ASEAN, rangking ini berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Laporan yang sama untuk tahun 2007, hanya menempatkan Indonesia setingkat lebih maju, rangking 107 dari 177 negara.

Berangkat dari persoalan demikian, semestinya membuka khazanah berpikir bangsa Indonesia bahwa sektor pendidikan harus menjadi hal yang prioritas untuk diperhatikan, terutama untuk Kota Malang.

Di sini, perlu ditekankan bahwa pendidikan adalah pilar bangunan dan kekuatan sebuah bangsa. Ibarat bangunan, pendidikan adalah fondasi bangunan itu sendiri, jika fondasinya kuat, maka bangunan itu pasti kuat. Sebaliknya, jika fondasinya lemah, maka bangunan itu akan mudah hancur. Kesadaran bahwa pendidikan adalah fondasi kekuatan sebuah negara dan bangsa bisa kita lihat contohnya pada Jepang. Diceritakan, ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki baru saja dibom atom oleh Sekutu, Kaisar Hirohito bertanya kepada para petinggi Negeri Sakura itu.

“Masih ada berapa guru yang hidup? Tolong kumpulkan mereka semua. Saya akan memberikan mandat kepada mereka untuk membangun kembali kebesaran Jepang. Di tangan para gurulah negeri ini diletakkan!”, kata kaisar.

Apa yang dikatakan Kaisar Hirohito benar. Para guru di Jepang dengan penuh dedikasi kemudian memberikan pelajaran berbagai ilmu yang berguna kepada generasi muda Jepang. Serius, sungguh-sungguh, tanpa kenal lelah, dan rela berkorban. Hasilnya pun dalam tempo kurang dari 15 tahun, Jepang bangkit kembali. Amerika memberi pinjaman untuk membangun kembali Jepang yang hancur dan harus lunas dalam tempo 15 tahun. Ternyata, dalam tempo 10 tahun, Jepang sudah melunasinya. Jepang bangkit kembali. Setelah itu, Jepang menjadi negara kreditor sampai sekarang. Tentu, hal demikian perlu diteladani oleh bangsa Indonesia jika ingin maju seperti Jepang. Meniru Jepang bukan berarti “menjiplak” mentah-mentah apa yang dimiliki Jepang, melainkan belajar dari kesuksesan Jepang untuk membangun bangsa ini sebagai bangsa yang besar, maju dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 

 

Tinggalkan Balasan