Koperasi, Kapitalisme, dan Resistensi*

Oleh:
In’amul Mushoffa
(Deputi Direktur Intrans Institute & Pegiat FNKSDA Malang Raya)

Banyak orang memiliki kesan bahwa koperasi tak ubahnya seperti bentuk usaha bisnis lainnya: sama-sama profit oriented. Koperasi bahkan dipahami layaknya lembaga rente yang tak kalah eksploitatif dari pada bank. Padahal pada awalnya, koperasi merupakan gerakan rakyat untuk melawan kapitalisme. “Co” berarti bersama dan “operasi” berarti bekerja = bekerja bersama/gotong rotong.

Dalam artikel berjudul Jalan Lain Demokratisasi, penulis telah menguraikan posisi penting koperasi untuk meminimalisir hegemoni rezim demokrasi kapitalis dan oligarki di Indonesia hari ini. Tulisan singkat ini menelusuri bagaimana sejarah gerakan koperasi; apa penyebab melencengnya koperasi dari maksud awal kemunculannya; dan kenapa koperasi masih penting untuk diperjuangkan?

Dari Rahim Sosialisme Utopis

Konteks kemunculan gerakan koperasi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kapitalisme pada abad 18 di Eropa pasca revolusi industri[1]. Kapitalisme secara umum bisa dipahami sebagai sistem ekonomi yang bersendikan pada penguasaan alat produksi berupa tanah, mesin, modal, dan tenaga kerja pada segelintir kaum borjuis/pemilik modal. Kapitalisme ini dilatari oleh filsafat liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan individu, termasuk dalam ekonomi. Meski pada awalnya merupakan perlawanan terhadap ekonomi feodal yang disokong oleh sistem pemerintahan monarki, kapitalisme dalam perkembangannya juga menjadi sistem ekonomi yang menindas.

Dalam situasi revolusi industri—dimana mesin-mesin untuk memproduksi barang-barang secara massal mulai ditemukan dan digunakan—mereka yang mapan secara finansial kemudian membeli mesin-mesin produksi itu untuk mendirikan perusahaan. Sejarah kemudian disibukkan dengan segelintir orang kaya baru yang mendirikan pabrik dan mempekerjakan buruh secara massal. Untuk memaksimalkan produksinya, para pemilik modal membeli tanah-tanah tuan tanah feodal, petani, dan atau petani-penggarap, baik untuk mendapatkan lahan untuk produksi barang baku dan pendirian industri maupun untuk mendapatkan tenaga kerja, baik dengan cara paksa maupun tidak. Proses ini, oleh Karl Marx disebut sebagai primitive accumulation[2] atau akumulasi primer—terjemahan yang tepat menurut Intan Suwandi. Proses “proletarianisasi” dan “depeasanisasi” lalu tak bisa dihindari: para petani yang memiliki tanah garapan dan alat-alat kerja sendiri harus menjual tenaganya untuk menjadi buruh kepada pemilik modal.

Dalam banyak hal, para pemilik modal bahkan tak segan-segan memanfaatkan jasa penguasa untuk merampas tanah-tanah rakyat. Di zaman itu, para pemodal besar sudah mengintervensi negara, baik secara langsung maupun tidak. Sehingga, kebijakan negara bisa didesain sedemikian rupa untuk memuluskan kepentingan mereka[3].

Karena mesranya hubungan kapitalis dengan penguasa politik, aturan-aturan yang memuluskan kepentingan akumulasi modal lantas dibuat. Seperti, aturan pemadatan jam kerja buruh, aturan tentang upah murah, dan aturan tentang sertifikasi tanah. Di zaman itu, banyak buruh yang dipekerjakan selama 20 jam per hari dengan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak juga anak di bawah umur yang dipekerjakan di pabrik. Para pemodal melakukan semua itu demi menekan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kaum proletariat ini tidak memiliki pilihan lain karena sudah tidak memiliki alat produksi.

Kondisi yang menyengsarakan kaum buruh itu melahirkan kesenjangan ekonomi yang akut. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Yang kaya semakin sedikit dan yang miskin semakin banyak. Inilah yang mendorong perlawanan dari kaum buruh (proletar). Mereka berdemonstrasi, mogok, merusak mesin dan pabrik, sampai membentuk serikat dan partai buruh untuk tujuan-tujuan revolusioner. Ide koperasi, yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini, muncul dari situasi itu.

Gagasan koperasi dimunculkan oleh seorang tokoh sosialisme utopis[4] bernama Robert Owen. Ia adalah seorang yang berpengalaman menjadi manajer perusahaan. Karena prihatin dengan kondisi buruh di Inggris saat itu, di perusahaan yang ia menej, Owen menginiasi perbaikan kondisi kerja buruh, menurunkan jam kerja, dan menolak mempekerjakan anak di bawah usia 10 tahun. Upaya ini berdampak positif karena para buruh lebih bersemangat ketika bekerja. Owen lantas membentuk komunitas-komunitas yang berusaha menopang kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara mandiri, bahkan pemerintahan lokal sendiri. Meski upaya ini dalam perkembangannya tidak berhasil lantaran kurangnya modal dan kesadaran para anggotanya, komunitas-komunitas seperti yang didirikan Owen muncul di beberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat. Salah satu yang terkenal adalah Koperasi Rochdale. Koperasi Rochdale inilah yang menjadi inspirasi Mohammad Hatta[5] untuk menjadikan koperasi sebagai “Soko Guru Ekonomi” Indonesia.

 

Co-operative storeGambar: Koperasi Rochdale
Sumber: http://goodereader.com

 

Di Bawah Sosialisme Indonesia

Di Indonesia, gerakan koperasi sesungguhnya sudah muncul di masa penjajahan kolonial Hinda-Belanda. Sebagaimana jamak dipahami, penjajahan yang dilakukan oleh Belanda bukan hanya penjajahan politik, tetapi juga penjajahan ekonomi. Belanda saat itu menjalankan sistem kapitalisme perkebunan yang memanfaatkan kesuburan tanah Indonesia untuk memasok produksi perkebunan di negerinya dan negara-negara maju di Eropa. Kemunculan koperasi rakyat di tanah Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dengan petaka sistem kapitalisme yang dibawa pemerintah kolonial ini.

Kapitalisme perkebunan Belanda tersebut memiliki basis yang sama dengan kapitalisme di Eropa, yakni pemisahan pekerja dari alat produksinya. Nenek moyang kita yang di darat dan bertani dipaksa menyerahkan tanahnya kepada pemerintahan Hindia Belanda[6] dengan pemberlakukan domein verklaring dalam Agrarische Wet tahun 1870. Dalam peraturan ini, tanah-tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan dianggap terlantar dan berhak diambil alih oleh pemerintah kolonial.

Dari sinilah, muncul gerakan koperasi sebagai upaya melindungi petani pribumi. Koperasi dibangun agar pasar hasil perkebunan dan pertanian tidak dikuasai industri milik golongan Eropa, golongan Timur Asing dan Timur Jauh, sehingga golongan bumiputera menjadi lebih sejahtera. Koperasi yang pertama kali muncul, Bank Pertolongan Tabungan, didirikan oleh seorang yang gelisah karena menjamurnya lintah darat yang mengeksploitasi penderitaan rakyat. Namun, koperasi ini tak mendapatkan restu dari pemerintahan kolonial sehingga hanya sanggup berdiri hanya dalam sekian tahun saja. Meski begitu, gerakan koperasi juga dibangun oleh Boedi Oetomo[7], Serikat Islam, Muhammadiyah.

Kondisi ketertindasan politik dan ekonomi membuat para pendiri bangsa sepakat bahwa kelak kemerdekaan yang ingin dicapai bukan hanya kemerdekaan politik dari penjajah, tetapi juga kemerdekaan ekonomi dari sistem ekonomi yang menindas: kapitalisme dan feodalisme.Dalam bahasa lain, kemerdekaan Indonesia tidak hanya ingin mewujudkan “demokrasi politik”, tetapi juga “demokrasi ekonomi”. Itu sebabnya, para pendiri bangsa lalu membangun perekonomian yang bercorak sosialistik: sosialisme Indonesia.

Koperasi sendiri masuk dalam konsep demokrasi ekonomi sehingga menjadi perdebatan hangat di kalangan tokoh bangsa. Dengan titik tekan tujuan yang bervariasi, mulai dari Tjokroamnito, Soekarno, Hatta, Adit[8], dll., mereka sama-sama mendorong lahirnya koperasi. Demokrasi ekonomi inilah yang kelak diletakkan fondasi kontstitusionalnya dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945.

Mohammad Hatta yang menyusun Pasal 33 UUD 1945 berkali-kali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perekonomian yang diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat (1) adalah koperasi. Dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, disebutkan bahwa demokrasi ekonomi berarti ekonomi dijalankan sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Produksi dikerjakan oleh semua untuk kepentingan semua. Kemakmuran semua orang lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-orang seorang. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah “koperasi”.

Dalam koperasi, maka kepemilikan dan pengelolaan menjadi otoritas seluruh anggota. Proses produksi juga dikerjakan bersama-sama dan keuntungan yang diperoleh dialirkan dengan prinsip gotong royong kepada anggota koperasi. Inilah yang membedakan antara koperasi dengan korporasi.

Dalam korporasi, otoritas dan kepemilikan ada dalam kuasa pemilik modal (kapitalis-borjuis). Meski proses produksi dikerjakan bersama-sama oleh buruh, namun keuntungan terbesar mengalir ke pemilik modal. Proses produksi dalam korporasi kapitalis inilah yang menjadi penyumbang terbesar kesenjangan ekonomi, krisis sosial dan ekologis dalam sekitar tiga abad terakhir ini.

Neoliberalisme Mencengkram Koperasi

Hingga kini, Indonesia merupakan negara yang belum sanggup memerdekaan diri dari penindasan ekonomi kapitalisme dan politik imperialisme global. Sejak Orde Baru berkuasa, aturan-aturan ekonomi dibuat mengikuti kerangka kebijakan lembaga-lembaga internasional: IMF, Bank Dunia, dan Perusahaan-perusahaan Multinasional. Koperasi tidak lagi diprioritaskan layaknya pada masa Orde Lama. Pasca reformasi, dasar konstitusional untuk memajukan ekonomi kerakyatan dipasung melalui Amandemen Pasal 33 UUD 1945. Kemudahan investasi asing dipermudah dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dan, melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025[9], wilayah Indonesia dikapling-kapling berdasar apa yang dinamakan sebagai “potensi strategis” untuk kepentingan investasi skala besar.

Dampaknya, sekitar 75 % mayoritas sumber daya alam jatuh dalam kuasa kapitalisme global dan industrialisasi didominasi modal atau investasi asing. Praktik pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, eksploitasi pertambangan, dan industri membuat semakin banyak petani yang kehilangan tanahnya. Di saat yang sama, masih banyak buruh yang tak kunjung sejahtera. Ancaman PHK selalu mengintai ketika buruh mengorganisir diri untuk menyuarakan aspirasi. Di sektor pertanian, para petani terus menjadi bulan-bulanan perampasan tanah. Bagi yang belum terampas tanahnya, kebijakan pemerintah yang membuka kran impro besar-besaran telah membunuh petani perlahan-lahan. Ini belum soal menyangkut penindasan yang dilakukan tengkulak dan kartel pertanian terhadap petani.

Orientasi pertumbuhan ekonomi dalam kebijakan negara yang berporos pada penanaman modal mengalihkan perhatian publik dari koperasi. Orang mulai sinis mendengar kata koperasi karena hakikat koperasi sangat jarang digali. Pada saat yang sama, negara juga pelan-pelan menggeser hakikat koperasi. Ini terlihat dalam beberapa kali revisi UU Perkoperasian, dimana posisi modal lebih diutamakan dari pada manusia[10]. Penulis curiga, ini dilakukan demi membuka peluang agar modal besar memiliki kesempatan untuk memasuki arena yang pada awalnya diperuntukkan demi meraih kesejahteraan bersama. Hukum pasti kapitalisme adalah kontinuitas ekspansi sehingga terus menerus menciptakan arena dan ruang eksploitasi baru.

Proyeksi Ke Depan

Karena itu, tanpa mengesampingkan PR-PR politik seperti reforma agraria, reclaiming the state, dll bagi gerakan petani dan buruh (Baca juga: Quo Vadis Politik Indonesia Pasca Reformasi), membangun koperasi tak kalah penting. Koperasi dapat membuka jalan bagi produksi skala kecil membangun pasarnya sendiri, tidak terhegemoni oleh tengkulak. Rantai distribusi yang terlalu panjang bisa diputus. Para petani, buruh, dan kaum miskin kota dapat menggabungkan diri dalam memenuhi kebutuhan. Bagi gerakan rakyat, koperasi memberikan harapan untuk membangun semangat kemandirian.

Namun perlu dicatat dua hal: Pertama, untuk berhasil, koperasi harus lahir dari kesadaran seluruh anggotanya terhadap proses pemiskinan yang terus menerus terjadi sehingga muncul kemauan kuat untuk bekerja secara gotong royong mengangkat nasib bersama. Di berbagai tempat, banyak koperasi buyar karena tidak berhasil memenuhi prasyarat ini. Koperasi yang dipaksakan lahir dari “luar”, apalagi tergantung pada bantuan pemerintah, siap-siap berumur pendek seperti KUD.

Kedua, ketika sudah berdiri, koperasi harus dijalankan dengan manajemen, partisipasi dan corak produksi yang benar-benar kooperatif (menguntungkan bersama). Tanpa itu, koperasi bisa terdisorientasi menjadi korporasi kapitalis. Oleh karena itu, proses secara terus menerus untuk mengaktualiasikan prinsip anti kapitalisme dalam koperasi—seperti yang dilakukan Koperasi Kalimetro sebagai bagian dari gerakan sosial hari ini—sudah selayaknya terus diupayakan.***

 

*) Bahan pengantar sejarah koperasi yang diselenggarakan Sekolah Rakyat Koperasi Kalimetro (26/08). Dimuat di sini untuk tujuan pedagogis.

 

Footnote

[1] Karena muncul beriringan, orang sering menyamakan antara kapitalisme dengan industri. Anthony Giddens membedakan antara keduanya. Dari uraiannya, Giddens mengartikan kapitalisme sebagai proses akumulasi melalui pemisahan buruh dengan alat produksinya. Sementara industrialisasi adalah proses produksi dengan menggunakan alat-alat modern: mesin, teknologi, dll. Lihat: Anthony Giddens, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. terj. (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2004).

[2] Karl Marx. Capital. Buku 1 terj. (Jakarta: Hasta Mitra-Ultimus, 2004)

[3] Proses ini dimungkinkan karena demokrasi yang mulai tumbuh dan berkembang di kala itu, dimulai dari revolusi Perancis, sesungguhnya merupakan inisiasi kalangan borjuis.

[4] Sosialisme utopis adalah gerakan sosialisme yang tidak memperhatikan perkembangan-perkembangan historis. Pemikiran sosialisme utopis muncul sebelum Karl Marx. Lihat uraian lebih detail mengenai Robet Owen dan tokoh sosialis utopis lainnya dalam G.V. G.V. Plekhanov, “Utopian Socialism of the Nineteenth Century,” Selected Works, (Edisi Lima-Jilid, Jilid III, 1957, hal. 567-613 alih bahasa: Ira Iramanto, Sosialisme Utopian Abad XIX. Ebook. Edi Cahyono’s experiencE.

[5] Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (Jakarta: Kompas, 2015)

[6] Proses ini oleh Lenin dan Rosa Luxemburg dicontohkan sebagai wajah konkret dari akumulasi primer. David Harvey kemudian mengembangkan akumulasi primer menjadi accumation by despossesion.

[7] Boedi Oetomo mendirikan koperasi asuransi bernama Bumi Putera yang sanggup eksis hingga kini. Tahun 1988, koperasi Bumi Putera sudah memiliki gedung 20 lantai di Jakarta. Mubiyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia Cet III (Jakarta: LP3ES, 1994)

[8] Aidit mengandaikan koperasi sebagai jalan untuk merebut alat produksi dari tangan kapitalis. Lihat pidato Aidit pada tahun 1963, Peranan Koperasi Dewasa ini.

[9] Lihat kritik-kritik terhadap MP3EI ini dalam Noer Fauzi Rachman, Dian Yanuardi (Ed.) Master Plan Percepatan Krisis Sosial dan Ekologis (Yogjakarta: Tanah Air Beta kerjasama dengan Sayogjo Institute, 2014)

[10] Revrisond Baswir, Bahaya Neoliberalisme (Yogjakarta Pustaka Pelajar, 2009)

 

_________________

Sumber gambar utama: https://www.churchmilitant.com/news/article/capitalism-the-bane-of-christendom

 

 

One thought on “Koperasi, Kapitalisme, dan Resistensi*

  1. Artikel yang sangat menarik. Saya mau tanyak min, sejauh mana sosialisme dapat menggerakkan manusia (indonesia) untuk bekerja? Sejauh ini kapitalisme jelas dapat memaksa orang untuk bergerak/bekerja.

Tinggalkan Balasan ke Bhaskoro Batalkan balasan