Land Grabbing dan Pembangunan Alternatif*

In’amul Mushoffa
(Deputi Direktur Intrans Institute & Santri FNKSDA Malang Raya)

 

“Karena tiada yang demikian jahat seperti uang
yang pernah berlaku di antara manusia
yang meratakan kota-kota dengan tanah,
yang mengusir orang-orang dari rumah mereka,
yang mengajar dan membalikkan hati mulia orang-orang saleh
hingga mereka melakukan hal-hal yang memalukan;
yang mengajarkan orang-orang melakukan kekejian-kekejian,
dan membuatnya melakukan setiap pekerjaan yang dikutuk Tuhan.”

Sophocles (dalam “Antigone”) [1]

1 Mei 2017, bertepatan dengan Hari Buruh, 20 petani dari Teluk Jambe-Karawang, melakukan protes di halaman Monas, Jakarta. Protes digelar lantaran tanah mereka dirampas oleh PT Pertiwi Lestari dengan terbitnya Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan pemerintah daerah setempat. Tak tanggung-tanggung, jika beberapa waktu sebelumnya—dengan latar belakang yang hampir sama dan di tempat yang sama—para petani Kendeng mengecor kaki mereka dengan semen, kali ini para petani Teluk Jambe melakukan aksi kubur diri.

Krisis Agraria

Peristiwa perampasan lahan (land grabbing) sebagaimana yang dialami Petani Teluk Jembe bukan pertama kali terjadi. Laporan akhir Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tahun 2016 menyebutkan bahwa di sepanjang tahun 2016 saja, sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah ini hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai jumlah 252 konflik agraria. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik.

Kenapa konflik agraria di atas semakin banyak? Kita dapat melihat di sektor-sektor mana saja yang menjadi basis konflik agraria. Masih dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa sektor dan luas wilayah konflik agraria yang terjadi adalah sektor perkebunan (601.680 hektar), kehutanan (450.215 hektar), properti (104.379 hektar), migas seluas (43.882 hektar), infrastruktur (35.824 hektar), pertambangan (27.393 hektar), pesisir (1.706 hektar), dan terakhir sektor pertanian (5 hektar). Artinya, secara umum keseluruhan konflik tersebut memang terjadi di sektor investasi, dimana masyarakat menjadi korban dari pada kebijakan negara yang memberikan hak-hak tertentu kepada korporasi, baik swasta maupun perusahaan negara.

2017-01-05-peluncuran-KNPA-dan-KPA-3Credits to : Binadesa.org

Karena semakin seringnya terjadi perampasan lahan ini, ada dua dampak yang begitu menonjol. Pertama, penguasaan lahan yang semakin timpang. Tahun 2007 saja, Salamuddin Daeng yang menjadi saksi ahli dalam persidangan uji materi pasal-pasal dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa 175,06 juta hektar dari seluruh luas daratan Indonesia yang totalnya adalah192,26 juta hektar sudah dikuasai investor[2]. Dengan kata lain, luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menghidupi lebih dari 60% masyarakat Indonesia, hanya tersisa 11,8 juta hektar.

Kedua, percepatan dan perluasan krisis ekologis. Sebagian besar izin penguasaan lahan (HGU, HGB, HP) yang diberikan kepada korporasi perkebunan, pertambangan (industri ekstraktif dan metalurgi), dan properti semakin memperparah kerusakan lingkungan. Sudah cukup terang bagaimana dampak alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertanian adalah merusak lingkungan. Sudah cukup terang pula bagaimana dampak industri ekstraktif terhadap kerusakaan ekologis. Sudah cukup terang pula bagaimana perilaku perusahaan-perusahaan tambang yang tidak bertanggung jawab baik selama maupun sesudah pertambangan dilakukan (datang, gali, dan pergi).

Pertanyaannya, apa akar dari rangkaian proses perampasan dan ketimpangan agraria serta kerusakan ekologis ini?

Uang & Komodifikasi Agraria

Dulu, Karl Marx mengajukan tesis bahwa uang yang pada awalnya merupakan alat untuk menukar satu komoditi dengan komoditi lain (C-M-C)[3] pada akhirnya fungsinya akan bergeser menjadi tujuan untuk apa sebuah komoditi itu dipertukarkan (M-C-M)[4]. Pergeseran fungsi uang ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi tradisional, dimana sebuah komoditi dipertukarkan dengan komoditi lain untuk memenuhi kebutuhan. Dalam sistem ekonomi modern, uang kemudian diciptakan sebagai penyeimbangan/equivalensi universal terhadap semua komoditas.

Di zaman Marx, uang masih dalam bentuk emas, yang seimbang antara nilai nominal (tukar) dengan nilai intrinsik (pakai)nya. Karena emas dianggap tidak efisien, uang kertas kemudian diciptakan sebagai pengganti dengan jaminan emas. Emas sebagai jaminan ini disimpan di pengrajin emas, yang perannya kemudian diambilalih oleh bank.

Sekarang, uang kertas dicetak oleh bank sentral tanpa jaminan apapun. Itulah sebabnya, seseorang yang memiliki banyak uang—yang sesungguhnya bukan merupakan komoditas rill—dapat membeli komoditas riil apapun[5]. Jadi, kita bisa membayangkan, bagaimana seandainya uang belum pernah ada, saat satu komoditas riil hanya bisa dipertukarkan dengan komoditas riil lainnya. Land-Grabbing dengan pola yang terjadi sekarang barangkali tidak akan pernah terjadi.

Marx juga menyatakan bahwa alat-alat produksi harus dimiliki secara kolektif. Tanah—selain mesin dan pabrik—adalah salah satu alat produksi sehingga harus dimiliki secara kolektif. Pengandaian kolektvisme tanah ini kemudian diingatkan kembali secara radikal oleh ekonom Marxis awal Abad 20, Karl Polanyi, melalui bukunya The Great Transformation (1944).

Bagi Polanyi, tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan goncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah sikap merendahkan hakekat masyarakat dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Dengan sendirinya akan melahirkan gejolak perlawanan.[6]

Situasi dunia hari ini jauh sebelumnya sudah diprediksi oleh Marx dan Polanyi. Sistem negara, hukum, dan ekonomi semua difungsikan untuk mendukung kepentingan pemilik alat produksi yang seringkali tak mengindahkan kelestarian ekologis. Di Indonesia, hal ini dimulai sejak pemerintahan kontra revolusioner Orde Baru mengambil alih kendali negara pada tahun 1965. Sejak itulah developmentalisme diterapkan, pembangunan ekonomi didesain untuk menyesuaikan Indonesia dengan laju sistem kapitalisme global.

Pasca reformasi, kebijakan yang mengintegrasikan Indonesia dalam kapitalisme global ini semakin masif. Sekitar 30 produk perundangan-undangan berkaitan dengan komodifikasi agraria, liberalisasi agraria, dan kriminalisasi di sektor agraria diterbitkan. Terbitnya perundang-undangan ini menjadi ancaman bagi banyak orang yang relasinya dengan alam tidak bisa dipisahkan.

***

Karena itu, merupakan agenda mendesak untuk menyingkirkan pola pembangunan yang hanya berorientasi pada kapital serta menafikan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Peradaban-peradaban terdahulu lenyap, hancur, dan runtuh lantaran eksistensinya tak mengindahkan relasi erat antara Tuhan, manusia, dan alam. Peradaban-peradaban zaman dahulu, bukannya tak pernah maju. Mereka sudah memiliki teknologi, membangun gedung-gedung dan istana-istana di darat dan di gunung-gunung yang dipahat. Lantaran hasrat untuk menguasai alam yang begitu besar inilah mereka lupa bahwa manusia merupakan penjaga (khilafah) alam—yang tanpanya mereka tak bisa hidup.

Dengan demikian, tidak ada langkah lain, selain melakukan setidaknya tiga hal. Pertama melanjutkan gerakan sosial reforma agraria. Urgensinya, cukuplah penulis mengutip pernyataan Bung Karno, “Revolusi Indonesia tanpa Land Reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”. Reforma agraria ini sejak zaman Soeharto hingga kini dikhianati melalui keluarnya berbagai perundang-undangan sektoral yang tak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok dalam UUPA.

Kedua, harus disemarakkan wacana pembangunan alternatif. Wacana yang digulirkan oleh kapitalisme global, seperti pembangunan berkelanjutan, merupakan kedok untuk memuluskan kepentingan korporasi global. Sejauh ini, cukup banyak pandangan mengenani solusi pembangunan alternatif ini.

Madzhab Pemikiran Krisis dan Solusi Ekologis

politik lingkungan

Sumber: Abdul Wahib Situmorang, Politik Lingkungan Hidup.[7]

Karena itu, pembangunan alternatif ini bisa menggunakan konsep ekososialisme dan/atau konsep lain yang berorientasi pada kolektivisme universal dan kelestrian ekologis. Di Indonesia, peluang ini terbuka lebar dengan basis masyarakat adat yang di Indonesia jumlahnya mencapai 80 juta. Kita tahu, masyarakat adat memiliki sistem kekayaan spritual-kosmologis yang unggul dalam memahami relasi manusia, tuhan, dan alam.

Ketiga, gerakan mahasisiswa harus menjadi gerakan sosial untuk keadilan dan kelestarian. Isu perampasan tanah, konflik agraria dan dampak buruk industri ekstraktif ke depan dapat dipastikan akan semakin meluas secara cepat. Hal ini terjadi seiring diterapkannya pembangunan model kapitalisme neoliberal ini sejak zaman SBY melalui MP3EI dan kini dilanjutkan di era Jokowi.***

 

*) Pertamakali dipresentasikan dalam Diksusi Madzhab Djaeng, Konflik Agraria: Dampak dari Pembangunan (11 Mei 2017). Dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.

 

________________

[1] Diambil dari Karl Marx, Capital, Buku 1: Proses Produksi Kapitalis. (Hasta Mitra, 2004), 113

[2] Keterangan Salamudin Daeng—Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)—dalam posisinya ketika menjadi saksi ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU No. 25 Tahun 2007. Lihat: Risalah Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Selasa, 25 Maret 2008

[3] Comodity (C) ditukar dengan menggunakan uang (M/money) untuk mendapatkan comodiry (C) lain.

[4] Uang/money (M) digunakan untuk memperdagangkan comodity (C) demi mendapatkan uang/money (M) lagi yang bertambah jumlahnya.

[5] Saat ini, kita bahkan hidup di zaman ketika uang digital digunakan. Kekayaan dapat bertambah hanya dengan bertambahnya angka di rekening digital.

[6] Noer Fauzi Rachman, Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan Agenda Studi Agraria. Jurnal Dignitas, Volume VII No. 2 Tahun 2011. Hal 22. Lihat juga, Karl Polanyi, Transformasi Besar: Asal Usul Politik dan Ekonomoi Zaman Sekarang (Yogjakarta: Insiste Press, 2003).

[7] Dr. Abdul Wahib Situmorang. Politik Lingkungan Hidup : Kuliah Perspektif Sosiologi Lingkungan Hidup. Pascasarjana Sosiologi Universitas Sriwijaya 13 Oktober 2012 (Diakses dari : http://sosiologi.fisip.unsri.ac.id/userfiles/file/POLITIK%20LINGKUNGAN%20HIDUP.pdf)

Karikatur utama diambil dari : http://afghanistantimes.af/land-grabbing-a-lucrative-black-business/

Tinggalkan Balasan