Demokrasi Lokal dan Kontestasi Oligark: Meneropong Pilkada Kota Batu 2017

Oleh: Haris Samsuddin[1]

Demokrasi dan Kuasa Oligark

Ada apa dengan demokrasi? Pertanyaan yang sekian lama mengusik para pesolek demokrasi. Di mana-mana orang sering memperbincangkan ikhwal demokrasi. Tak jarang mendengar pembicaraan seputar: ”kepemimpinannya kurang demokratis”, ”coba kalau ia sedikit bersikap demokratis”, ”demokrasi adalah soal maju dan mundurnya sebuah bangsa”, ”demokrasi yang kita anut ialah demokrasi yang menghendaki adanya kedaulatan rakyat dan keadilan sosial”, ”demokrasi adalah lawan dari tirani”, ”kita perlu memprioritaskan demokrasi ekonomi dari demokrasi politik” dan sebagainya. Pendeknya, semua pernyataan di atas ada yang mempersoalkannya secara serius, hingga mereka yang sekadar ikut-ikutan meramaikan wacana demokrasi.

Terlepas dari sudut pandang mana yang menjadi rujukan, inti dari demokrasi ialah sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan ”rakyat” sebagai pemegang kedaulatan. Demokrasi tanpa kedaulatan rakyat adalah nonsense. Di dalam negara demokratis, rakyat adalah tuan itu sendiri. Dalam rangka melaksanakan seluruh mandat politiknya, rakyat “menyewa” para pembantunya (wakil rakyat) menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dianggap kredibel dan berintegritas agar melaksanakan seluruh tugas dan tanggungjawab sebagaimana yang dikehendaki rakyat.

Apabila belakangan ini terlihat (seolah) ada yang melenceng dari pertanggungjawaban mandat publik oleh para wakil rakyat yang dikontrak secara berkala, maka penyerahan mandat tersebut perlu dipertimbangkan ulang. Hal ini penting, mengingat konsekuensi yang ditimbulkan akibat ketidakbecusan kinerja para wakil rakyat terbukti sangat merugikan para pemegang daulat (rakyat). Oleh karena itu, upaya menggugat penyelewengan kekuasaan (abuse of power) elit kekuasaan merupakan salah satu agenda politik rakyat yang perlu digalakkan secara masif.

Krisis legitimasi yang menyandera para penguasa (the rulling class) baik di tingkat pusat maupun di daerah merupakan suatu sinyal bagi di-segera-kannya agenda konsolidasi rakyat meminta pertanggungjawaban penguasa. Seiring dengan menguatnya kesadaran publik di tengah tumpukan problem sosial yang makin akut dan kronis, menjadi momen yang tepat untuk menyuarakan pentingnya gerakan tarik mandat tersebut. Riak-riak frustrasi sosial yang kian hari terus membesar ini perlu disambut penuh siap dan percaya diri, bahwa ini adalah momen penting di mana rakyat kembali menunjukkan kedigdayaannya setelah sekian lama berada di bawah bayang-bayang semu demokrasi oligarki.

Demokrasi oligark merupakan istilah yang digunakan oleh Yuki Fukuoka (2013)[2] yang merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era reformasi. Kebanyakan masyarakat terjebak pada euphoria reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto.[3] Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto kembali mengkonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkan.

Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru kembali dikuasai oleh para oligark telah berulang kali dinyatakan oleh Vedi R Hadiz dengan sangat jelas dan tegas bahwa ”keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama”.[4] Upaya pembacaan yang dilakukan oleh Hadiz di atas bisa saja berbeda menurut masing-masing penafsir. Namun, satu hal pasti, bahwa kenyataan rezim politik hari ini benar-benar ada di bawah kuasa para oligark sulit dinafikan. Oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang menghubungkan kepentingan para konglomerat kaya raya selalu lihai dalam beradaptasi dengan sistem apapun, baik otoritarianisme maupun demokrasi.

Coba amati, kebanyakan para penguasa (power elite) yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik rata-rata adalah petarung lama. Tidak ada yang baru sama sekali. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki. Para oligark di atas termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan Soeharto melalui relasi patron-client. Hubungan kekuasaan lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orde Baru, belakangan setelah runtuhnya ”Soeharto”, orang-orang yang dibesarkan dari dosa sejarah dan tetesan darah yang ditumpahkan sang penjarah dan pembunuh berwajah santun itu, tampil sebagai pejuang demokrasi berkedok populis. Inilah wajah anomali demokrasi pasca otoritarianisme Soeharto. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, yang juga notabene adalah milik mereka (baca: oligark).

Dominasi oligarki dalam ranah politik Indonesia terjadi karena kenaifan asumsi reformasi institusional neoliberal yang percaya akan primasi pengelolaan institusi rasional. Kenaifan ini mengabaikan keberadaan relasi ekonomi politik oligarki yang menyejarah. Kemampuan oligarki untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan disorganisasi atas kekuatan oposisi masyarakat sipil, membuat proses reformasi institusional neoliberal tidak memiliki basis sosial dan politik yang kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan oligarki dapat mempertahankan dominasi politiknya, yang dengannya merepresi kemungkinan bagi munculnya agensi politik non-oligarki.[5]

Harus disadari bahwa reformasi politik yang beriringan dengan reformasi ekonomi pasca Orde Baru tidak sama sekali menghancurkan relasi oligarki ini. Kenyataan bahwa lemahnya kekuatan civil society belakangan ini dalam membendung gurita oligarki semakin membuktikan tesis Richard Robison dan Vedi R Hadiz bahwa penguasaan atas politik negara sekaligus disertai disorganisasi kekuatan oposisional yang tercakup dalam elemen masyarakat sipil menjadi dasar historis bagi dominasi oligarki terhadap kekuatan politik non-oligarki. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa perseteruan politik di era reformasi kembali meneguhkan posisi elit lama.[6]

Jeffrey Winters, salah seorang penggagas tesis oligarki terkemuka lewat bukunya Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa pembacaan terhadap dinamika kekuasaan politik harus didasarkan pada konsentrasi sumber daya kekuasaan yang dimiliki setiap oligark. Tulisnya, “oligark didefinisikan oleh tipe dan ukuran sumber daya kekuasaan yang dikendalikannya”.[7] Winters membagi sumber daya kekuasaan mencakup hak politik formal, jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar pemerintahan), kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material (material power). Khusus untuk sumber daya kekuasaan yang terakhir (kekuasaan material) merupakan basis kekuasaan oligark.

Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan (sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya).[8] Oligark berbeda dengan kaum elit pada umumnya yang cenderung menggunakan kekuasaan non-material. Oligark lebih cenderung menggunakan basis sumber daya material dalam melangsungkan manuver politiknya. Dalam konteks demokrasi, kaum oligark memanfaatkan situasi ketimpangan sumber daya material sebagai peluang memenangkan konstestasi politik (pemilu/pemilukada). Mahalnya biaya politik ditambah mentradisinya politik transaksional belakangan ini semakin mempermudah para oligark dalam menggeser rival politiknya yang tidak memiliki basis material yang memadai.

Timpangnya distribusi kekayaan sumber daya material cenderung membawa dampak terhadap ketidaksetaraan politik. Winters memandang kekuasaan oligarki itu sendiri sebagai politik pertahanan kekayaan lewat berbagai saluran politik yang ada. Para oligark menurutnya mampu berdiri sendiri dan tetap berkuasa, apapun sistem politik yang dianut. Kenyataan tersebut di Indonesia dapat dibuktikan secara empirik, di mana kaum oligark mampu beradaptasi baik dalam sistem otoritarianisme Soeharto maupun fase transisi demokrasi pada era reformasi saat ini. Kemampuan adaptif inilah yang membuat para oligark sulit dilenyapkan. Mandegnya agenda demokratisasi, selain karena lemahnya konsolidasi kekuatan civil society, semakin membuktikan bahwa cengkeraman oligark terus bertahan. Untuk membendung hal itu, diperlukan people power yang melibatkan seluruh elemen lapisan sosial, terutama basis akar rumput yang selama ini termarjinalkan secara politik maupun ekonomi.

Hemat penulis, tesis oligarki Winters yang melihat kondisi ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem antar-warga senantiasa mengarah pada ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem menemukan relevansinya di Indonesia saat ini. Hal ini terbukti di mana momentum pemilu/pemilukada tereduksi semata-mata sebagai ajang pertarungan kepentingan para oligark, bukan urusan menyeleksi wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas secara fair dan demokratis. Dalam demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa yang mereka kehendaki, melainkan telah dipilihkan oleh segelintir elit kekuasaan yang memegang peran dominatif di dalam institusi demokrasi.

Bagaimana dikatakan pilihan rakyat, jika calon pemimpin/penguasa baik di pusat maupun di daerah, melewati suatu saringan politik di internal partai (kecuali calon independen) yang sarat dengan kalkulasi kapital tanpa melalui usulan publik (rakyat) dianggap pilihan rakyat? Nalar sehat macam apa yang melihat fakta politik demikian sebagai logika publik yang mengafirmasi diri dalam bentuk pilihan rasional? Bukankah itu yang selama ini kita sebut kegilaan di atas kegilaan? Alias ketidakwarasan yang cenderung diafirmasi secara terus-menerus tanpa refleksi.

Oleh teoretisi yang menggunakan analisis berbeda (non-oligarki) barangkali melihat sudut pandang yang ditawarkan teoretisi oligarki seperti Richard Robison, Vedi R Hadiz dan Jeffrey Winters adalah teoritisi yang dirundung pesimistik. Hal itu wajar, disebabkan fokus analisis yang dibangun oleh para penggagas teori oligarki lebih banyak mencurahkan pada hukum besi oligarki yang cenderung adaptif terhadap sistem apapun. Kemampuan adaptasi inilah yang membuat oligarki sulit dihancurkan. Akan tetapi, menuduh para pemrakarsa tesis oligarki sebagai ilmuwan yang penuh pesimistik (sehingga tidak menawarkan kerangka solutif) tidak sepenuhnya benar. Baik Robison, Winters juga Hadiz, percaya bahwa kekuasaan oligarki hanya bisa diputus melalui revolusi. Mengapa revolusi? Iya, bukan karena tidak ada solusi lain yang lebih menjanjikan. Anggap saja melalui gerakan civil society yang lebih mengandalkan saluran-saluran politik demokratis, atau juga melalui gerakan mobilisasi massa yang lebih ekstrem dari gerakan masyarakat sipil, tetapi karena harus melibatkan massa akar rumput yang jumlahnya lebih besar, ataupun gerakan-gerakan sosial lainnya. Akan tetapi, sekali lagi, hal itu sudah dipikirkan oleh para penggagas teori oligarki, hanya saja bagi mereka keberhasilan yang akan dicapai melalui gerakan non-revolusi peluangnya sangat kecil, sekali lagi sangat kecil.

 

Pilkada Kota Batu: “Oleh” dan “Untuk Siapa”?

Melihat kenyataan adanya dominasi kaum oligark dalam berbagai kontestasi politik tanah air membuat kita terus bertanya: seberapa besar “iman” kita dalam membangun demokrasi ke depan. Adakah kemungkinan bagi rakyat untuk menggeser posisi dominasi kelompok elit penjilat, serakah dan lalim dari arena kekuasaan. PR besar ini perlu didudukkan ulang dan dikaji secara serius, jika tidak menginginkan bangsa dan tanah air ini menjadi surga bagi yang berpunya dan neraka bagi yang melarat.

Kegelisahan berbalut kekhawatiran di atas tentu ada sangkut pautnya dengan pentingnya menyoal Pilkada kota Batu akan datang. Pertanyaan Pilkada Batu adalah ”oleh” dan ”untuk” kepentingan siapa akan menjadi fokus utama tulisan ini. Apabila merujuk pada UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka dalam pasal 1, ayat (1) disebutkan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Perhatikan dalam ayat di atas terdapat kalimat ”pelaksanaan kedaulatan rakyat”. Jika kalimat tersebut diberi penafsiran lebih luas, maka yang dimaksud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam konteks Pilkada kota Batu 15 Februari nanti, ialah suatu manifestasi dari kedaulatan rakyat Kota Batu dalam membuat kontrak politik dengan para wakil mereka. Lantas, benarkah masyarakat Batu saat ini sepenuhnya berdaulat di hadapan para wakil-wakil yang telah ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilihan sebagai calon walikota dan wakil walikota di hari pencoblosan nanti? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak bisa hanya dengan mengandalkan spekulasi tanpa bukti empirik.

Sekarang ambil contoh, para kandidat yang diusung oleh (koalisi) partai politik, rata-rata harus memperoleh restu (stempel basah) dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik. Artinya, semua mekanisme pendelegasian para kandidat melewati suatu instrumen di internal partai yang sangat rumit dan penuh transaksi. Maka tidak heran, berbagai intrik politik yang berlangsung di internal partai mensyaratkan adanya kalkulasi dan transaksi kapital yang rumit dan berbiaya tinggi. Akibat dari semua itu, sudah pasti, siapa yang menguasai kapital mampu memenangkan tawar-menawar politik di internal partai, demi bisa menyingkirkan para pesaingnya. Fakta tersebut sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Konsekuensi yang ditimbulkan (pun) tidak kalah mengerikan, di mana, figur yang dimunculkan terkadang ”kering” gagasan untuk menawarkan suatu visi perubahan. Melihat kenyataan itu muncul pertanyaan: masih percayakah, bahwa masyarakat Batu akan benar-benar memilih wakilnya? Ataukah justru sebaliknya, mereka sama sekali tak berdaya di hadapan para oligark, sehingga harus menerima pilihan yang telah dipilihkan, bahkan jauh sebelum pemilihan (yang konon demokratis) itu dilaksanakan?

Mahalnya mahar politik ditambah demokrasi kita yang berbiaya tinggi berimplikasi pada tertutupnya kesempatan bagi figur-figur yang berkualitas dan berintegritas. Sebabnya, proses politik yang berlangsung cenderung menguntungkan para politisi-pemodal. Mereka termasuk para oligark yang mengail keuntungan lewat sarana-sarana politik yang dibiakkan oleh institusi demokrasi. Karenanya pula, kesetaraan politik tidak lantas membawa dampak pada kesetaraan kesempatan. Barangkali di sinilah relevansi pemikiran Winters dihubungkan: bahwa ketidaksetaraan ekonomi berdampak pada ketidaksetraan politik. Lalu, apa artinya demokrasi politik jika pada kenyataannya terdapat ketimpangan distribusi sumber daya material[9] yang sangat tajam di Indonesia saat ini?

Coba disimak hasil Rapat Pleno Terbuka Pengumuman Hasil Penetapan Pasangan Calon Pilwali Kota Batu 2017 yang berlangsung di KPU Kota Batu 24 Oktober 2016 lalu, yang memunculkan beberapa nama sebagai Pasangan Calon Walikota (Cawali) dan Calon Wakil Walikota (Cawawali) dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Batu Tahun 2017. Nama-nama tersebut di antaranya: Dewanti Rumpoko (Cawali) dan H. Punjul Santoso, SH, MM (Cawawali); Abdul Majid, S. PSI (Cawali) dan DRS.HA. Kasmuri Idris (Cawawali); H. Hairuddin, DRS (Cawali) dan Hendra Angga Sonatha (Cawawali), dan; Rudi (Cawali) dan Sujono (Cawawali). Adapun penetapan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Batu Nomor 36/Kpts/KPU-Kota-014.329951/X/2016 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Batu Tahun 2017 yang dibacakan oleh PLT Sekretaris KPU Kota Batu, Badrut Tamam W SH., MH.[10]

Jika kita mengajukan pertanyaan sedikit nyeleneh, apakah benar nama-nama yang diusung oleh koalisi partai di atas (selain paslon independen), memiliki kapasitas sebagai wakil rakyat Kota Batu (seandainya terpilih) ke depan? Masihkah masyarakat Batu mengira nama-nama yang tertera di dalam SK KPU di atas adalah calon pemimpin yang murni mengabdikan diri bagi kesejahteraan warga Batu? Atau, jangan-jangan mereka adalah para oligark yang dimotivasi oleh politik pertahanan dan pelipatgandaan kekayaan–seandainya nanti–mengendalikan otoritas lembaga publik? Untuk membuktikan para paslon di atas adalah warga dengan jumlah kekayaan (material) yang sedikit atau berlipat ganda, tengoklah data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berikut.

Berdasarkan laporan kekayaan yang diperoleh melalui laman resmi KPK[11] dan media massa yang dilaporkan ke KPK, masing-masing paslon memiliki jumlah kekayaan sebagai berikut. Posisi tertinggi diduduki paslon Dewanti Rumpoko Rp 21.174.893.666 dan USS181.437, sedangkan wakilnya Punjul Santoso Rp 2.504.882.733, Hairuddin mencapai Rp 45.374.030.131, Angga Rp 4.432.660.000, Cawali Rudi sebesar Rp 2.039.734.792 dan wakilnya Sujono Rp 2.256.191.858. Selanjutnya Abdul Majid Rp 585.069.633 (data tahun 2012) dan Kasmuri Idris Rp 513.579.423.[12]

Dari data di atas, nyatalah bahwa para pasangan calon (paslon) bukanlah kategori masyarakat berpendapatan rendah, alias orang-orang dengan jumlah aset dan kekayaan melimpah (oligark?) Data di atas semakin membuktikan bahwa demokrasi lokal yang kini berjalan masih ditunggangi oleh segelintir oligark. Jika ada yang bertanya, bukankah mereka (yang juga) sebagai warga negara, berhak untuk dipilih (dicalonkan sebagai penguasa) dan memilih (sebagai konstituen/voter)? Jika orang yang hanya belajar konsep demokrasi sebatas ala kadarnya (tidak sampai pada substansi demokrasi), tentu akan menjawab boleh-boleh saja. Padahal, konsepsi demokrasi yang kita maksudkan ialah demokrasi yang tidak hanya mencakup dimensi elektoral, prosedural, teknikal, atau strukturalnya saja, melainkan masuk ke dalam makna subtansial dan filosofisnya. Maklum, kebanyakan politisi kita hanya bermodalkan kapital, bukan pengetahuan yang mendalam mengenai esensi politik dan demokrasi yang sejati.

Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat Kota Batu saat ini dalam mengawal helatan akbar demokrasi? Sudahkah mereka mempersiapkan diri untuk membuat kontrak politik dengan para calon wakil mereka yang telah diusung? Apabila merujuk pada data yang dihimpun oleh tim peneliti Intrans Institute, maka ada kemungkinan besar nasib Kota Batu ke depan tidak akan mengalami perubahan berarti. Dari hasil wawancara, menunjukkan sebagian besar masyarakat Batu tidak memiliki basis pengetahuan seputar isu pilkada. Bahkan, dari 100 informan yang diwawancarai, 70% di antaranya termasuk tidak memiliki basis pertimbangan yang kuat, ketika ditanyai soal, apa yang menjadi pertimbangan untuk memilih para kandidat nanti. Kebanyakan informan menjawab, ikut yang terkenal saja, atau ada yang menyatakan ikut suara hati dan ada yang sebatas ikut-ikutan karena takut dimarahi Ketua RT/RW dan sungkan sama tetangga.

Hal serupa dapat dilihat hasil survey yang dilakukan oleh lembaga survey Citra Komunikasi Lingkaran Survey Indonesia (LSI) 17-23 Januari 2017. Dari 440 responden, sebanyak 38,8% tidak memberikan jawaban ketika ditanyai soal nomor urut paslon. Selain itu, terkait elektabilitas di antara keempat paslon masih menempatkan paslon Dewanti Rumpoko-Punjul Santoso di posisi teratas dengan meraih angka 47,5%, disusul Rudi-Sujono 15,9%, Gus Din-Angga 11,7%, dan terakhir Majid-Kasmuri 12,3%.[13]

Muncul pertanyaan, apa yang mendasari mereka sehingga cenderung memilih Dewanti Rumpoko-Punjul Santoso. Sementara, mereka sendiri kebanyakan mengenal Dewanti hanya lewat tatap muka yang berlangsung sesaat, atau yang lainnya mengenal Dewanti karena kebetulan beliau istrinya Edi Rumpoko yang saat ini menjabat sebagai Walikota Batu selama dua periode. Ketika dihubungkan dengan visi-misi, tawaran program, isu politik yang digulirkan, dan latar belakang Dewanti, mereka banyak yang tidak tahu sama sekali. Lalu, apa yang membuat mereka yakin, bahwa Dewanti-Punjul mampu menciptakan perubahan ke depan untuk Batu yang lebih maju dan sejahtera?

Rendahnya pengetahuan seputar pengalaman, kualitas dan latar belakang paslon, kemungkinan besar berpengaruh terhadap sikap politik masyarakat dalam menggunakan hak suaranya. Hal ini tentu berdampak serius bagi kualitas demokrasi itu sendiri ke depan. Padahal, kualitas demokrasi lokal adalah barometer untuk mengukur kualitas demokrasi nasional. Jika potret wajah demokrasi lokal kita seperti ini, maka mimpi besar membangun demokrasi Indonesai hanya tinggal imaji tanpa isi. Alih-alih memimpikan cita-cita kedaulatan rakyat melalui tegaknya aktualisasi prinsip-prinsip demokrasi (depening democracy) menuju kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, justru kenyataannya demokrasi malah menguntungkan segelintir oligarki yang terus memperkaya diri lewat penguasaan seluruh sumber daya material melalui instrumen dan kanal demokrasi. Inilah mitos lama yang terus diulang-ulang, meski pendongengnya terus bergantian seiring berganti musim.

Memang harus diakui, bahwa problem yang kini menghinggapi masyarakat tidak bisa dibaca secara ahistoris. Dalam artian, semua permasalahan ada relasi kesejarahannya. Melemahnya daya analisis masyarakat terhadap figur-figur politik karbitan, instan dan pragmatis disebabkan tingkat partisipasi politik masyarakat yang rendah. Faktornya bisa karena pendidikan, ekonomi, dan juga kesadaran masyarakat. Anggapan demikian, bukan karena terdorong oleh suatu hasrat simplifikatif. Akan tetapi, menurunnya gairah politik masyarakat belakangan ini paling tidak dapat dihubungkan pada faktor-faktor tersebut sebagai penyebabnya. Di sisi tertentu, kondisi apatis dan apolitis masyarakat memiliki sejarah yang cukup panjang di republik ini, terutama jika hal itu dikaitkan dengan sejarah rezim Orde Baru. Selain karena skenario (sengaja membuat masyarakat apatis terhadap politik), juga karena merebaknya skandal korupsi mulai dari pusat hingga daerah yang menyeret beberapa tokoh politik terkemuka–sebagai pemicu utama menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Belum lagi, janji-janji politik yang sering diumbar para politisi yang nihil realisasi, semakin membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap politik itu sendiri. Hal ini secara tidak langsung berdampak terhadap partisipasi masyarakat dalam Pemilu.

Telah dikemukakan (pula) bahwa demokrasi di Indonesia kini sedang dibajak oleh oligarki. Oligarki telah membajak demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dengan penguasaan atas sumber daya publik, oligarki memiliki sumber daya kapital dalam jumlah besar yang bisa dikonversi untuk memenangi Pemilu. Dengan sumber daya besar, mereka mampu menentukan arah dan kecenderungan politik juga berbagai kebijakan publik sehingga tidak merugikan kepentingan mereka. Sistem politik demokratis justru memberi peluang bagi para oligarki untuk semakin dalam menancapkan pengaruh politik baik di tingkat nasional maupun lokal.[14]

Kuatnya relasi oligarki berdampak pada tersumbatnya kran demokrasi di Kota Batu. Dampak dari aliansi kepentingan para oligark dalam menjarah dan menguasai sumber daya di Kota Batu dapat dilihat dari banyaknya pembangunan wisata yang tidak mengantongi izin namun dibiarkan terus beroperasi. Hal lain yang tak kalah sadis ialah, soal pengemplang pajak di Kota Batu yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar soal penindakannya. Malang Corruption Watch (MCW) merilis total piutang daerah Kota Batu TA 2016 sebesar Rp. 62.882.326.065,68 yang terdiri dari piutang pajak 53,1 M, retribusi 555, 096 juta , DBH 4,718 M, dan lain-lain sebesar 4,499 M.[15] Pertanyaannya: inikah yang dimaksud sebagai prestasi yang dicapai kota Batu selama ini?

Harus diakui bahwa sistem politik demokratis selama ini belum mampu membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal ini disebabkan di dalam sistem demokrasi oligarki, semua kebijakan politik, sosial dan ekonomi dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan para oligark. Lantas, bagaimana dengan Kota Batu yang kini sedang menanti pesta akbar demokrasi pada 15 Februari 2017 nanti? Apakah momen tersebut benar-benar menjadi momen penentu untuk Batu ke depan yang lebih baik? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh masyarakat Kota Batu, mengingat masa depan Kota Batu bergantung pada pilihan bijak mereka di dalam memilih siapa pemimpinnya di masa datang. Itupun kalau kandidat yang diusung benar-benar murni dari rakyat, bukan karena dipilihkan melalui saringan partai yang sarat manipulatif. Sehingga, kembali lagi kita pertanyakan, Pilkada Batu sebenarnya oleh dan demi kepentingan siapa?

 

 

[1] Penulis adalah peneliti di Intrans Institute.

[2] Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto”, Political Studies Review II, no. I, 2013: 52-64.

[3] Terkait pembiakan para kapitalis domestik yang kemudian tumbuh bersama dengan koalisi kepentingan ekonomi politik di era Orde Baru dapat dilihat melalui karya Richard Robison, Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, ditejemahkan oleh Harsutejo dari judul asli Indonesia: The Rise of Capital, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2102). Lingkar konglomerat domestik yang dibesarkan dari hasil persenggamaan kekuasaan otoriter Soeharto inilah yang di kemudian hari setelah runtuhnya Soeharto mengambil alih kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal dan membentuk lingkaran kekuasaan oligarkis.

[4] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi dan Dahris Setiawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), 149-150.

[5] Muhammad Ridha, “Oligarki dan Agensi Politik Indonesia di Era Neoliberal: Evaluasi Kritis Tesis Oligarki Robison-Hadiz”, Jurnal Indoprogress, no. 6, vol. II, 2016, 9.

[6] Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: Routledge Curzon, 2004).

[7] Jeffrey Winters, Oligarki. Diterjemahkan oleh Zia Anshor, (Jakarta: PT Gramedia, 2011), 17.

[8] Jefrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Majalah Prisma, no. 1, vol. 33, 2014, 14.

[9] Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dirilis di harian Kompas (2016), terdapat 0.2% penduduk Indonesia yang menguasai lahan dan perkebunan sebanyak 56%. Selain itu, data sensus pertanian tahun 2013, rata-rata 0.89 hektar dikuasai oleh 26.14 juta rumah tangga tani. Bahkan, 14.25 juta keluarga hanya memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar. Fakta ketimpangan ini bertemali dengan kondisi kesenjangan dan ketimpangan sosial di Indonesia (Muhammad Ridha, “Oligarki dan Agensi Politik Indonesia di Era Neoliberal”, Jurnal Indoprogress, No. 6, Vol. II, 2016), 20.

[10] http://kpu-kotabatu.go.id/berita-425-rapat-pleno-terbuka-pengumuman-hasil-penetapan-pasangan-calon-dalam-pilwali-tahun-2017.html

[11] https://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn/

[12] http://malangvoice.com/ini-dia-kekayaan-empat-paslon-peserta-pilwali-batu/

[13] http://www.netralitas.com/nusantara/read/17265/pilkada-kota-batu-lsi-tempatkan-dewanti-punjul-teratas

[14] J. Danang Widoyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik, (Malang: Intrans Publishing, 2013), 8.

[15] Data tersebut disampaikan pada acara Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang berlangsung di KPU Kota Batu, 12 Januari 2017.

One thought on “Demokrasi Lokal dan Kontestasi Oligark: Meneropong Pilkada Kota Batu 2017

Tinggalkan Balasan