Penindasan Berlapis dan Gerakan Perempuan*

Oleh :

Muntaha Mansur

(Pegiat Komunitas Kalimetro, Santri FNKSDA Malang, Asred Terakota.Id)

Dunia kita hari ini, khususnya Negara-Bangsa yang bernama Indonesia, sedang mementaskan lakon yang hanya menonjolkan pembangunan, pertumbuhan dan kemajuan. Ibaratnya, seluruh rakyat digiring masuk dalam sebuah gedung pementasan yang telah ditata sesuai dengan epos yang tengah mereka pentaskan. Lampu-lampu dimatikan, suara-suara dikedapkan, tembok-tembok dihias, hanya cahaya dan suara dari panggung pementasanlah yang boleh ditangkap dan diresap oleh mata dan telinga.

Epos yang pada dasarnya barbar, keji, menindas, dan melukai hakikat kemanusian, seolah tampak indah, menjanjikan kebahagiaan, menawarkan kesenangan, mengkhotbahkan kedamaian, dan menjajakan kemudahan-kemudahan. Narasi yang mereka pentaskan pun merembes pada kesadaran dan akhirnya menempel kuat pada kesadaran setiap manusia. Penyeragaman cara berfikir yang manipulatif, hegemonik, dan dogmatik ini pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang mempraktikkan naskah lakon kehidupan yang mereka diktekan. Kalaupun ada yang mencoba membantah, mendebat, atau menolak, maka ia dituduh mengganggu stabilitas jalannya cerita.

Epos itu bernama kapitalisme-neoliberal. Kapitalisme merupakan corak atau cara produksi yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan tenaga kerja.[1] Sedangkan neoliberalisme sendiri merupakan sistem ekonomi politik mutakhir yang menopang kapitalisme. Mansour Fakih menyebut neoliberalisme sebagai bentuk kebijakan ekonomi-politik yang berjalan dengan mekanisme pasar, deregulasi, industrialisasi, mencabut rintangan perdagangan, dan mengurangi subsidi bagi rakyat.[2] Mereka tidak mau tahu, di balik epos kapitalisme-neoliberal yang mereka lakoni, ternganga lubang besar yang menelan kemanusian, menghancurkan ruang hidup, menimbulkan bencana, memeras keringat, menetesakan air mata, juga darah. Kehidupan umat manusia dikorbankan demi ekspansi kapital dan ketercapaian takaran-takaran pertumbuhan ekonomi. Laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi korban sistem ekonomi-politik yang tidak adil ini, karena keduanya merupakan bagian dari umat manusia.

Sejarah telah merekam, bahwa gugatan, kritik, dan perlawanan telah banyak dilakukan untuk merespon ketidakadilan, dan di antara gelombang-gelombang perlawanan itu terdapat satu gerakan yang mempertanyakan ketidakadilan yang muncul akibat pembedaan perlakuan antar jenis kelamin (seks). Pembedaan perlakuan yang spesifik, meruang, dan mewaktu inilah yang disebut dengan gender. Perbedaan gender (gender differences) erat kaitannya dengan ketidakadilan gender (gender inequalities).[3] Untuk merespon persoalan-persoalan yang menimpa kaum perempuan, Saskia Wirenga menerangkan bahwa proses mendekonstruksi topik, membentuk arti, menjungkirkan representasi gender dan menciptakan representasi gender baru, keperempuanan, identitas, dan kolektif diri, dilakukan oleh feminisme.[4] Gerakan ini tidak tunggal, perbedaan cara pandang antara satu dengan yang lain mengimplikasikan model gerakan dengan imaji kemenangan yang berbeda-beda pula.

Sekitar satu tahun yang lalu, penulis terlibat mendampingi kasus buruh di salah satu pabrik tembakau di Kota Malang. Kasus itu berawal dari tuntutan-tuntutan buruh untuk mendapatkan hak-hak normatif mereka. Sayangnya, mogok buruh yang legal itu disikapi dengan pemutusan hubungan kerja terhadap 77 orang yang dianggap mengganggu proses produksi. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang berusia di atas kepala tiga, bahkan ada yang sudah mengabdi 25 tahun di perusahaan tersebut.

demo-buruh8PoSj

Credits to: malangtimes.com

Salah seorang perempuan yang vokal, berani, dan loyal dalam perjuangan itu, dikriminalisasi oleh perusahaan. Ia bersama salah satu buruh laki-laki, didakwa menggelapkan dana sosial perusahaan yang diberikan kepada Serikat Pekerja di perusahaan tersebut. Kebetulan mereka berdua pengurus intinya. Dari kasus itulah, penulis melihat betapa kejamnya kapitalisme yang berjabat tangan dengan hukum kita. Buruh perempuan yang masih memiliki dua anak kecil itu dipaksa untuk menghuni penjara. Hak belum diberikan. Malah ia yang dijebloskan dalam kurungan. Terpisah dari suami, kedua anaknya, dan kawan seperjuangan. Ia menjadi pesakitan akibat kebenaran yang diperjuangkan.[5]

Pernah juga, penulis menjumpai sekelompok ibu-ibu yang bekerja di ratusan hektar lahan pembibitan tomat dari salah satu perusahaan multinasional yang memonopoli keanekaragaman hayati, di kaki Gunung Kelud. Perusahaan yang berada di kaki Gunung Kelud tersebut hanya mengalihkan kapital mereka di Negara kita untuk melipatgandakan keuntungan mereka. Lahan luas disewa dengan harga murah, tenaga kerja juga dibayar dengan sangat murah. Perempuan-perempuan desa, terpaksa bekerja dari pagi pukul tujuh sampai pukul tiga sore dengan gaji yang murah. Waktu yang mereka gunakan untuk bekerja, sama dengan laki-laki namun gaji yang mereka peroleh jauh di bawah laki-laki. Saat itu, mereka hanya dibayar 52.000 rupiah. Jasa perempuan dimanfaatkan dalam proses pembibitan karena dianggap lebih sabar, telaten dan teliti dalam kerja semacam itu.

Sengaja dua cerita singkat itu saya munculkan untuk melengkapi banyaknya data yang menunjukkan ketertindasan serta ketidakadilan yang menimpa perempuan. Kekerasan, upah murah, bekerja jauh dari keluarga di luar negeri, disikriminasi pendidikan, dieksklusi dari ruang hidupnya, dan sebagainya. Sebelum membayangkan satu gerakan perempuan yang objektif dalam merespon ketidakdilan, penting kiranya mengajukan beberapa pertanyaan dasar. Pertama, apa yang terjadi pada perempuan dewasa ini? Atau lebih rincinya, ketidakadilan macam apa yang diderita perempuan hari ini? Dengan begitu, masih relevankah mengutuk patriarki sebagai musuh utama ketertindasan perempuan, atau ada musuh lain yang tidak kalah pentingnya untuk dilawan? Kedua, apa yang ingin dibebaskan atau diperjuangkan oleh gerakan perempuan? Hal ini berimplikasi pada imaji capaian dari gerakan itu sendiri. Misalnya, kesetaraan gender, kebebasan berekspresi atas tubuh, penghormatan terhadap kodrat atau kondisi alamiah perempuan, mencipta dominasi perempuan atas laki-laki, keadilan ekologi maupun keruntuhan kapitalisme.

Mendudukkan Ketertindasan Perempuan

Manusia diciptakan berlainan. Ada perempuan dan ada laki-laki. Keduanya tentu berbeda jika dipandang dari sisi biologis yang mudah dikenali dari perbedaan fisiologis. Sehingga, perbedaan secara fisologis berdasarkan determinisme biologis laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang alamiah dan tidak perlu dipersamakan dan diperuncing. Pada perkembangannya, ruang, waktu, dan budaya membedakan laki-laki dan perempuan secara khas. Setiap daerah berbeda satu dengan yang lain. Setiap wilayah berlainan satu dengan yang lain. Ivan Illich dalam bukunya Matinya Gender, mendefinisikan pembedaan yang khas itu sebagai gender. Yaitu pembedaan universal dalam budaya-budaya kedaerahan, terikat tempat dan waktu.[6]

Pembedaan ini tidak bersifat menindas atau saling mengeksploitasi. Melainkan dalam hubungan yang harmoni, interdependen dan komplementer (saling melengkapi, red). Siapa melakukan apa, di mana, menggunakan alat apa, dan kapan. Dan siapa yang tidak boleh melakukan apa, di mana, menggunakan alat apa, dan kapan. Hubungan kedua gender yang berbeda direkati oleh kebudayaan atau perdaban yang adi luhung. Sayangnya, sebagaimana dikatakan Ivan Illich, penghormatan dan harmoni gender-gender telah hancur.

Kehancuran, kekalahan gender, adalah tanda peralihan modus produksi pra-kapitalisme, baik yang digerakkan oleh tuan tanah, maupun pemilik modal. Pengayoman gender kedaerahan pada akhirnya dilawankan dengan rezim seksual ekonomis. Seksisme ekonomis menempatkan perempuan berada di bawah laki-laki, soal upah dan posisi strategis misalnya. Penghancuran ini dilakukan demi capaian-capaian ideal dari kapitalisme yang tidak mungkin diraih tanpa adanya pembedaan yang tegas atas dua jenis kelamin ini. Dalam salah satu tulisannya, Ruth Indiah Rahayu, “Di mana Situs Penindasan Perempuan Dalam Kapitalisme? Eksplorasi Marxisme dalam Reproduksi Tenaga Kerja,” menyebut bahwa kapitalisme bekerja dengan meneguhkan struktur patriarkhal untuk mempertahankan tenaga kerja murah dan gratis dengan membagi kelas pekerja berdasarkan jenis kelamin.

Erich Fromm yang mengikuti penemuan Bachofen atas Hak Ibu, dalam bukunya Cinta, Seksualitas dan Matriarki, juga mengatakan bahwa kapitalisme itu menganut prinsip-prinsip patriarkhal dan sengaja melanggengkan hierarki patriarkhal[7]. Cinta, kedamaian, kesetaraan, dan perlindungan, menjadi hilang. Yang menonjol adalah persaingan untuk saling menguasai, menundukkan, dan mengungguli. Begitu pun menurut Vandhana Shiva dalam Ecofeminism: Perspektif Gerakan Lingkungan dan Perempuan, hasil merajalelanya prinsip maskulinitas adalah kekerasan terhadap kaum miskin dan perempuan, penghancuran alam serta lingkungan, serta penghancuran terhadap sistem pengetahuan lainnya yang dianggap non-rasional. Dalam alam kebahagiaan semu yang dibangun di atas medan perlombaan, sirkuit penindasan, arena persaingan, perempuan yang menjadi korban utamanya. Situasi ini membuat perempuan mengalami diskriminasi yang berlapis.

Terdapat tiga arena diskriminasi terhadap perempuan yang disebut Illich. Pertama, Ekonomi terpantau. Diskriminasi ini beroperasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan berupah yang terkena pajak, terlaporkan, dan tercatat secara resmi. Perempuan masuk ke dalam mekanisme pasar tenaga kerja murah. Dimana upah mereka berada di bawah laki-laki, serta upah yang ia dapatkan tidak sebanding dengan nilai lebih yang ia hasilkan. Pada dasarnya, dalam konteks ini, laki-laki maupun perempuan dalam posisi yang sama. Tereksploitasi. Hanya saja perempuan di pasar tenaga kerja juga diposisikan layaknya komoditas. Sisi sensual keperempuanannya menjadi daya tawar tersendiri dalam pasar tenaga kerja. Tubuh perempuan dikondisikan sedekimian rupa agar memiliki nilai ekonomis. Berpenampilan menarik, kulit putih, belum menikah, sensual, dan pengondisian citraan lainnya.

Masuknya perempuan dalam perburuhan, turut menguntungkan sistem kapitalisme. Tanpa sadar, perempuan masuk ruang persaingan tenaga kerja yang menyuburkan proses penciptaan buruh cadangan, atau proletariat bebas[8]. Kaum kapitalis semakin memiliki nilai tawar yang kuat di hadapan buruh (karena banyaknya buruh cadangan, pencari kerja) sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh. Apalagi dalam struktur patriarkhi yang menindas, bisa jadi perempuan memanggul beban ganda. Satu sisi ia dituntut merampungkan kerja domestiknya, dan di sisi lain ia ditekan untuk produktif dalam dunia kerja. Itu pun masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan.

Kedua, ekonomi yang tak terpantau. Arena ini mengandaikan jenis kegiatan ekonomis yang pemerintah dan para ekonomnya tidak dapat atau tidak mau melaporkannya. Bisa karena sulit mendata, atau mengukurnya. Ada yang menyebut sektor ini sebagai sektor informal, sektor D, sektor keempat, ekonomi-rumah tangga, pasar non-moneter, ekonomi barter, dsb. Kaum Marxis menyebut arena ini sebagai “reproduksi sosial.” Kerja mereproduksi tenaga kerja agar lebih bernilai di hadapan pasar tenaga kerja. Membuatkan susu, memijat buruh laki-laki yang capek, memasak, dan sebagainya. Atau sebuah bentuk kerja domestik yang diperuntukkan bagi orang lain, buruh cuci, pembantu rumah tangga, merawat bayi, menjaga lansia, dsb.

Kerja domestik keluarga kaya, kemudian menjadi arena kerja perempuan ekonomi rendah. Perempuan yang terpinggirkan secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya, hampir tidak punya pilihan lain. Kondisi keluarga yang pas-pasan, kemampuan dan pendidikan formal yang terbatas, akses politik yang mustahil, modal sosial yang tidak ada, membawa mereka pada opsi-opsi kerja yang sulit. Terpisah dari keluarga untuk melakoni peran sebagai pembantu rumah tangga keluarga berpunya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kondisi semacam ini sering berujung pada konflik keluarga, kenakalan anak, dan tidak jarang berujung pada perceraian. Karena bagaimanapun, keharmonisan keluarga tidak hanya dapat diselesaikan dengan uang. Akan tetapi, kehadiran fisik, komunikasi intens juga penting. Ironisnya, dalam kondisi semacam itu perempuan yang dipersalahkan. Anak menjadi nakal karena ditinggal kerja jauh oleh ibunya, misalnya.

Ada juga pilihan yang lebih sulit bagi perempuan. Dalam ekonomi tak terpantau yang mensyaratkan persaingan dan laki-laki lebih banyak punya pilihan, perempuan masuk ke dalam lubang gelap dunia kerja. Mereka terpaksa menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK), “pemandu” karaoke, simpanan kaum kaya, bintang porno, penadah dan sebagainya.

Ketiga, kerja bayangan. Kerja bayangan dilakukan oleh konsumen komoditas, lebih khusus lagi oleh rumah tangga yang mengonsumsi komoditas. Semua kerja yang dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh nilai guna atau pertambahan nilai dari suatu komoditas dinamakan kerja bayangan. Kerja bayangan ini secara umum menjadi beban perempuan setelah lelaki telah keluar rumah untuk bekerja di kantor maupun pabrik. Pada posisi ini perempuan dituntut lihai dalam mengelola upah yang diterima laki-laki untuk digunakan dalam reproduksi sosial keluarga.

Setiap langkah perempuan, misalnya membeli telur, gas, naik motor untuk pulang, menyalakan kompor, dan memasak memiliki sisi ekonomis. Karena yang ia olah dan ia gunakan adalah komoditas, telur, gas, motor, dan kompor. Berbeda dengan corak masyarakat subsistensi, dimana telur ada di kandang belakang rumah, memasak menggunakan kayu bakar pekarangan, serta kebutuhan lain yang tercukupi oleh reproduksi sosial keluarga. Transformasi dalam pemenuhan kebutuhan keluraga ini memperlihatkan transisi dari ekonomi-ekonomi prakapitalis menjadi ketergantungan terhadap komoditas kebutuhan sehari-hari yang tumbuh di bawah arahan kapitalisme.

Perubahan tata ruang yang merusak dan merampas ruang hidup dan lingkungan pada dasarnya juga terdapat penindasan terhadap perempuan. Lahan subur yang menunjang subsistensi suatu keluarga menjadi rusak dan tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga. Perempuan yang setiap harinya bekerja (dalam artian bukan buruh) di lahannya menjadi tereksklusi. Mereka kemudiam terhempas menjadi tenaga kerja cadangan. Keluarga dengan lahan terbatas akhirnya bekerja memburuh kepada petani kaya atau beralih profesi menjadi buruh pabrik. Di pedesaan, gampang sekali ditemui keluarga petani gurem yang istrinya bekerja di kota besar maupun di luar negeri. Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa perempuan-perempuan kendeng turun dalam gerakan menolak tambang. Ruang kerja mereka, sawah serta ladang yang subur, diancam oleh pembangunan. Kaitan perempuan dengan agraria bisa didiskusikan lebih jauh dalam tulisan yang berbeda.

Lalu, bagaimana dengan gerakan perempuan?

Melihat fakta ketertindasan perempuan yang berlapis dan menyejarah seperti itu, maka, kembali pada pertanyaan di awal. Apa yang ingin dibebaskan atau diperjuangkan oleh gerakan perempuan? Kemenangan ideal seperti apakah yang diimajikan oleh gerakan perempuan? Bisakah gerakan perempuan menjadi bagian dalam gerakan melawan ketidakdilan secara luas, tanpa menjadi varian gerakan yang berdiri sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu akan memiliki beragam jawaban. Bergantung pada cara pandang, analisis, metode yang ada dalam gerakan perempuan.

Upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan semacam itulah yang melahirkan berbagai macam teori feminisme atau gerakan emansipasi perempuan. Mansour Fakih mengutip Rosemarie Tong (Feminist Thought, 1989), yang membagi ragam gerakan feminisme ke dalam berbagai aliran: feminisme liberal (berparadigma fungsional, kritik terhadap teori politik liberal, tidak mempersoalkan diskriminasi patriarkhi, tidak melihat struktur dan sistem, dsb), feminisme radikal (reaksi atas kultur sex-ism, kritik patriarkhi, penindasan perempuan bersifat subjective, paham mereka personal is politic, dsb), feminisme marxis (penindasan perempuan akibat penindasan kelas dalam hubungan produksi atau kapitalisme, menolak biologi sebagai dasar pembedaan gender, kritik struktural, menolak tanggungjawab domestik, dsb) dan feminisme sosialis (sintesa analisis marxis dengan feminis radikal, menolak eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender, kritik pada patriarkhi sekaligus pada kapitalisme, menolak keistimewaan berdasar jenis kelamin, perubahan dalam perbedaan jenis kelamin, dsb), eco-feminism (kritik paradigm paternalistik, kritik cara pandang maskulin dan patriarkhi, kritik kapitalisme-patriarkhal, menjaga keseimbangan alam, menolak eksploitasi lingkungan, dsb) dan masih banyak lagi. Sedang secara sederhana, Mansour Fakih membagi gerakan perempuan dalam dua aliran. Aliran status quo atau fungsionalisme dengan aliran konflik.

Ivan Illich sendiri, dimana ia telah mengkategori tiga arena diskriminasi ekonomi, tidak secara gamblang memberikan arahan strategi terhadap gerakan perempuan. Ia menuliskan, “saya tak punya strategi apapun untuk ditawarkan. Saya tak ingin berspekulasi mengenai kemungkinan penyembuhan.” Namun, ia memberi acuan bahwa perang melawan seksisme bertindih dengan upaya-upaya untuk mereduksi kerusakan lingkungan, usaha menantang monopoli radikal barang dan jasa terhadap kebutuhan-kebutuhan. Derita laki-laki maupun perempuan di bawah sistem kapitalisme merupakan derita umat manusia. Illich mengatakan, “Kerja berupah membawa jenis rasa sakit baru yang memunahkan laki-laki dan perempuan. Semua pekerja upahan menyandang penyakit menular yang sama: kehilangan arah, kesepian, dan ketergantungan.”

Lantas, bagaimana dengan gerakan perempuan di Indonesia? Apakah mereka menjadi elemen gerakan yang hanya berbicara keperempuanan dan berhadapan dengan struktur patriarkhi? Ataukah, mereka telah menjadi satu dengan elemen gerakan yang lain, baik dari buruh, petani, mahasiswa, maupun rakyat kecil (precariat-proletariat)? Puaskah gerakan perempuan di Indonesia dengan capaian keterwakilan 30% perempuan (affirmative actions) dalam sistem pemilu kita dan banyaknya perempuan yang menduduki jabatan strategis, pernah menjadi Presiden (Megawati), menjadi menteri (Puan Maharani, Susi Pudjiastuti, Rini Sumarno, dsb), DPR dan direktur BUMN? Jika belum, lantas apa yang menjadi kondisi ideal yang dimimpikan gerakan perempuan di Indonesia? Bagi saya pribadi, pertanyaan-pertanyaan ini harus terjawab demi solidaritas gerakan yang semakin kuat diantara rakyat yang menginginkan Indonesia dan tata dunia yang lebih baik.

————————————————————————–

*Pertama kali dipresentasikan dalam diskusi “Gender dan Seksualitas” seri ke-dua yang diselenggarakan oleh kerjasama antara Gubuk Justice/Gubuk Tulis dengan Kursus Gender dan Seksualitas di Kota Malang, Senin 7 Agustus 2017. Dimuat di sini untuk tujuan pendidikan

[1] Anthony Brewe, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, (terjemahan, Yogyakarta: Narasi, 2016)

[2] Baca pengantar Mansour Fakih, dalam buku Vandhana Shiva, Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi, (terjemahan, Yogyakarta: Insist Press, 2003)

[3] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal.3)

[4] Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, (Yogyakarta: Galang Press, 2010, hal. 62)

[5] Kasus ini bisa diikuti melalui ; http://malangvoice.com/dua-rekannya-ditahan-buruh-pt-tobacco-gelar-aksi-solidaritas/, http://www.klikapa.com/read/442/eks-buruh-pt-tobacco-indonesia-kunjungi-lapas-lowokwaru, http://malangvoice.com/dua-mantan-buruh-pt-indonesian-tobacco-diputus-tiga-bulan-penjara/, http://mediamalang.com/saiful-dikriminalisasi-mantan-buruh-tobacco-geruduk-kantor-polisi/, dsb.

[6] Iavn Illich, Matinya Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 45)

[7] Eric Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki, (terjemahan, Yogyakarta: Jalasutra, 2011)

[8] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013, hal.88)

 

Sumber gambar utama: Bezlogo.com

Tinggalkan Balasan