Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan: Penegakan Keadilan yang Dilematis

Oleh:

Robiatul Adawiyah

(Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Malang)

Kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, diketahui bahwa sepanjang tahun 2014 tercatat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun berikutnya, angka ini mengalami kenaikan 9%. Adapun pada tahun 2016 lalu, terdapat 259.150 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan fisik menduduki posisi tertinggi 42%, disusul oleh kekerasan seksual 34%, 17% di lini psikis dan sisanya pada kekerasan ekonomi.

Fakta lainnya bahwa dari sekian banyak kasus yang tercatat tersebut, survei Lembaga Sintas Indonesia menyatakan 93% dari korban lebih memilih untuk tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwenang. Mereka yang melaporkan pun, separuh diantaranya lebih memilih jalur mediasi daripada jalur hukum. Tak heran jika kasus kekerasan terhadap perempuan sering dianalogikan dengan fenomena ‘gunung es’ yang semakin banyak terkuak ke permukaan, semakin banyak yang tertimbun di dasaran. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, Ibu Kota Jakarta menempati peringkat ke-9 kota paling tidak aman bagi perempuan di dunia! Dari sini dapat dibuktikan bahwa hukum di Indonesia kehilangan kewibawaannya di mata masyarakat. Lantas apa yang terjadi pada alat penegakan keadilan ini?

Ternyata, Hukum di Indonesia masih dinilai kurang memihak kepada korban. Bahkan, aparat hukum pun turut menyumbang ketidakpercayaan publik dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Para aparat tersebut cenderung bersifat represif. Buktinya, dari hasil penelitian penanganan perkara pidana perempuan yang dilakukan oleh MaPPI FHUI bersama LBH Apik Jakarta terhadap ratusan putusan pengadilan, dan juga berdasarkan hasil Forum Group Discussion, didapatkan adanya ketidakadilan dalam menangani kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Ketidakadilan tersebut baik berupa stereotip gender hingga perlakuan diskriminatif. Contohnya, korban seringkali diperiksa riwayat seksualnya (masih perawan atau tidak), pakaian apa yang dikenakan, gaya apa yang dilakukan pelaku, hingga proses pembuktian yang sulit dan akhirnya kasus tidak dapat diteruskan ke meja hijau serta tindakan lainnya yang semakin menyudutkan dan menekan korban.
Berbagai perlakuan tersebut terjadi baik pada proses penyidikan sampai kepada pertimbangan hukum para hakim yang berakhir pada keputusan yang tidak ramah korban (perempuan). Bahkan tahun lalu, salah seorang calon Hakim Agung, Daming Sunusi ketika dimintai pendapat oleh Komisi III DPR RI tentang hukuman mati bagi para pelaku pemerkosaan, memberikan jawaban yang jauh dari harapan. Daming berpendapat bahwa, pemerkosaan yang terjadi seringnya dikarenakan pelaku maupun korban sama-sama menikmati. Pendapat ini kemudian mewarnai Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 42/PIDT/2017/PT BJM yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Marabahan No. 20/Pid.B/2017/PN Mrh. Di dalam putusan tersebut, PT Banjarmasin membebaskan 7 pelaku pemerkosaan yang dilakukan 6 kali bergiliran terhadap korban berinisial S yang sebelumnya dihukum 7 tahun penjara.

l3-feminist-studies-abaout

Credits to: www.monash.edu

Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut cenderung menyudutkan korban. Hal ini disebabkan karena hampir keseluruhan pertimbangan tersebut hanya berfokus pada keadaan-keadaan dan sikap-sikap yang dilakukan oleh korban yang dianggap hakim tidak relevan bagi pembuktian. Terlebih lagi, bahwa tidak ada unsur kekerasan dan ancaman dalam kasus tersebut. Padahal, terdapat Surat keterangan dari pemeriksaan kejiwaan No. 441/11322IPF.2/RS.AS yang menunjukkan bahwa korban mengalami trauma dan depresi. Sungguh, hukum negeri ini masih jauh dari keadilan. Serangkaian peristiwa tersebut hanya segelintir dari sekian banyak kasus ketertindasan perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat bahwa perspektif gender yang dimiliki hakim diharapkan mampu untuk memberikan keadilan dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan justru berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Kondisi ini diperparah dengan KUHP yang hanya berfokus pada penindakan dan penjatuhan vonis pelaku yang cenderung rendah dan kurang memberikan efek jera. Belum lagi, UU juga belum mengakomodir hak-hak korban seperti pemulihan psikologis secara intensif.
Fakta-fakta inilah yang kemudian menggugah para aktivis kemanusiaan didahului oleh Komnas Perempuan untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dan perlindungan perempuan korban kekerasan. Salah satunya dengan menggalakkan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kegiatan ini dilaksanakan dari tanggal 25 November yang diperingati sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, dan berakhir pada tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut memiliki makna simbolik bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Kampanye tersebut bertujuan untuk menyadarkan segenap lapisan masyarakat bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan darurat kekerasan terhadap perempuan. Dan agar dapat bahu-membahu memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai manusia dan warga negara.

Akhirnya, usaha-usaha yang dilakukan berbuah manis. Pada bulan Agustus lalu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Di dalam pasal 5 Perma tersebut dijelaskan 4 larangan seorang Hakim dalam memeriksa perempuan berhadapan dengan hukum. Pertama, Hakim tidak boleh menunjukkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan mengintimidasi. Kedua, tidak membenarkan diskriminasi terhadap adat dan budaya maupun penafsiran ahli yang bias gender. Ketiga, tidak dibenarkan untuk mempertanyakan dan atau mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankannya. Keempat, Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender. Perma tersebut seolah memberi angin segar keadilan kepada masyarakat. Namun, penegakan keadilan perempuan ini rupanya membentur dinding lain yang lebih kokoh. Dalihnya, Indonesia adalah negara hukum, keadilan ini kemudian menemukan jalan buntu. Hingga detik ini, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Terhadap Perempuan tak kunjung disahkan. Keadaan ini membuat perempuan masih sangat rentan untuk dikriminalisasi dan diperlakukan diskriminatif di depan hukum. Meskipun perma sudah dibentuk, keadilan masih terus dituntut. Pasalnya, Perma di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, menempati posisi yang rendah. Sehingga dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada Perma agar para penegak hukum berbuat keadilan yang tidak bias gender secara imperatif. Sebab, Perma merupakan peraturan khusus yang termasuk dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.

Perma bersifat hukum acara yang tunduk kepada asas lex specialis dergogat legi generalis. Maka, dengan masuknya Perma ke dalam kategori peraturan yang termuat dalam pasal 8 ayat (1) tersebut, perma akan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Maka dari itulah, maka penting agar RUU PKS untuk segera disahkan dan diimplementasikan. Mengingat apa yang terkandung di dalam RUU tersebut poin-poin yang belum tercover oleh KUHP dan dapat semakin menegaskan Perma tersebut. Jika tidak, penegakan keadilan terhadap perempuan korban kekerasan akan terus terseok-seok dan mengalami problem dilematis karena tidak memiliki pegangan yang kuat untuk memaksa dan mengecam para aparat hukum atas segala tindakan diskriminatifnya.
Meskipun begitu, ini bukan akhir perjuangan kaum perempuan. Mari saling bahu membahu mengkampanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Lindungi kaum-kaum rentan! Mulailah dari dirimu sendiri dengan memahami bahwa tubuhmu adalah kepemilikanmu. Tak seorangpun berhak untuk mengekploitasinya, melecehkannya, menyakitinya bahkan menghinanya!

 

—————————————————————-

 

Referensi:
Undang-undang:
Perma No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004.

Yuliandi. Asas-asas Pembentukan Peraturan perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan. Raja Grafindo Persada, 2010.
Putusan No. 42/PIDT/2017/PT BJM.

Media Online:

Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2016


http://icjr.or.id/potret-suram-korban-perkosaan-dalam-putusan-nomor-42pid2017pt-bjm/.
http://amp.kompas.com/nasional/read/2013/01/14/22043991/Calon.Hakim.Agung.Korban.dan.Pelaku.Pemerkosaan.Saling.Menikmati
Komnas Perempuan, “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan” https://www.komnasperempuan.go.id/pages-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan.

 

*Sumber Gambar Utama: futureswithoutviolence.org

Tinggalkan Balasan