Santri dan Oligarki

Fahmi Saiyfuddin

Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau

 

Santri secara historis telah menunjukan aktualisasi dalam perjuangan kemerdekaan serta menjaga tanah air. Waktu itu, santri dan kyai bersama rakyat bersatu-padu untuk membebaskan negeri ini dari belenggu kolonialisme yang berlangsung hingga tiga setengah abad. Hal ini adalah bagian dari ‘amr ma’ruf wa nahi ‘anil munkar (menegakkan kebaikan, dan mencegah keburukan) guna terciptanya balad al-amiin (negeri yang aman). Memoar inilah yang dalam beberapa tahun terakhir diperingati sebagai hari santri.

Namun, ada spirit yang hilang dalam peringatan Hari Santri lalu. Hari Santri seolah tanpa makna, karena ia dipisahkan dari persoalan-persoalan kerakyatan dan realitas politik yang terjadi. Padahal, Pasca pemilu dan terbentuknya kabinet baru, marak kita dengar istilah ‘oligarki’. Ia dianggap sebagai sumber masalah kerakyatan dalam beberapa dekade terakhir yang berujung pada terma #ReformasiDikorupsi.

Untuk turut berperan dalam terlaksananya demokrasi, santri perlu menelisik lebih dalam mengenai apa itu oligarki.

Oligarki dan Dampaknya

Oligarki ialah sebuah sistem politik, dimana terdapatnya ‘segelintir’ orang yang berkuasa dalam menentukan sebuah kebijakan politik, namun kebijakan tersebut menghasilkan struktur ekonomi yang timpang, yakni dominasi segelintir kecil orang menguasai sebagian besar kekayaan bangsa. Lebih mudahnya, terdapat 1% orang kaya yang menguasai hampir 50% kekayaan negara.

Menurut Aristoteles (367-347 SM), oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendikiawan dengan kepentingan kelompoknya. Plato menempatkan sistem oligarki sebagai sistem ideal, karena berpusat pada orang-orang filsuf. Namun, saat ini, oligarki telah digunakan para ilmuan politik untuk menunjukkan tatanan politik yang peyoratif. Robison dan Hadiz (2013), misalkan, mendefinisikan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya.

Robison dan Hadiz menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran karena ia justru dibajak oleh para elitnya sendiri, yang mereka namai juga sebagai elite predator.

Karena oligarki menghasilkan terjadinya penumpukan kekayaan oleh segelintir elit beserta mekanisme perangkat untuk melanggengkannya. Maka, muncullah berbagai kebijakan politik seperti, RUKUHP yang mengancam kebebasan pers, RUU Pertanahan yang menghidupkan kembali prinsip “Domain Verklaring” (Negara memiliki tanah) seperti jaman kolonial Belanda, RUU Minerba yang makin mengancam terhadap rakyat dan lingkungan di seluruh tanah air, RUU ketenagakerjaan yang merampas hak-hak buruh, pelemahan KPK, militerisme di Papua, serta pelanggaran HAM yang tak kunjung tuntas.

Hal tersebut menyulut reaksi kalangan mahasiswa, buruh, bahkan pelajar yang melakukan perlawanan dengan tema #ReformasiDikorupsi. Namun, hal tersebut direspon dengan represi aparat kepolisian. 5 nyawa demonstran tewas, tanpa satupun perhatian dari Presiden, Parlemen, maupun elit politik yang didominasi oleh partai-partai oligarki. Tentu ini menambah jumlah kasus pelanggaran HAM di Negara yang masih dicengkeram oligarki ini.

Sebelum dilangsungkanya Pemilu 2019, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis informasi tentang pebisnis tambang yang berdiri dalam lingkaran masing-masing Capres-Cawapres. Ada banyak nama yang muncul, baik dipihak Jokowi-Ma’ruf, ada orang seperti Luhut Binsar Panjaitan, Fachrur Razi, Suaidi Marasabessy, Surya Paloh, Wahyu Sakti Trenggono, Oesman Sapta Oedang, Harry Tanosoedibjo, Jusuf Kalla, dan beberapa lainnya. Sedangkan di lingkaran pasangan Prabowo-Sandi, keduanya juga adalah aktor yang masing-masingnya memiliki tambang. Selain Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sudirman Said, Hashim Djojohadikusumo, dan Zulkifli Hasan.

Kemudian, film dokumenter karya Watchdoc Documentary, yang berjudul “Sexy Kilers” juga mengungkap bagaimana relasi nama-nama penguasa politik dan bisnis terlibat dalam relasi kepentingan di sektor bisnis tambang batu bara. Oleh Jeffrey Winters (2011), aktor-aktor yang memiliki kepentingan demikian disebut dengan Oligark.

Faktanya pada 23 Oktober 2019, kita bisa melihat sebagian nama-nama itu muncul untuk mengisi kursi jabatan kekuasaan. Bahkan yang awalnya beradu argumentasi, malah bersatu dengan bahasa yang halus: ‘rekonsiliasi’ atau perdamaian. “Tidak ada musuh abadi dalam politik”, suatu saat mereka bisa bersatu, jika kepentingan dan keuntungan mempertemukan mereka.

Oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi. Berdasarkan data World Bank pada 2015, indeks gini Indonesia pada tahun 2000-an semakin memburuk dibandingkan tahun 1990-an. Gini ratio Indonesia ada di kisaran 39,0. Pada 90-an ada di angka 30,0. Secara sederhana, indeks gini adalah indeks ketimpangan ekonomi. Semakin tinggi ketimpangan di suatu negara, semakin tinggi indeks gininya.

Pada tahun 2017, Oxfam mengungkapkan bahwa 1% warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49%) kekayaan nasional. Survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama, di mana ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Menurut survei itu, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 % kekayaan nasional.

Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, terdapat pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang dibaliknya terdapat sebuah perkampungan kumuh tak layak huni. Ditambah lagi fenomena kekuasan yang dikuasai oleh segelintir elit negeri ini. Maka tidak menutup kemungkinan angka statistik ketimpangan sosial-ekonomi akan meningkat.

Al-Qur’an Mengutuk Oligarki

Al-Qur’an sering mengisyaratkan larangan pemusatan harta pada segelintir orang. “Bermegah-megahan telah melalaikanmu”, jelas disinggung dalam salat satu ayat dalam QS Al-Humazah 1-4:

“celakah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya; dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkanya; sekali-kali tidak, sesungguhnya ia benar-benar dilemparkan ke dalam neraka Huthomah”

Ayat ini turun untuk mencela Kafir Quraisy yang enggan menerima Islam yang mewajibkan keadilan sosial-ekonomi, melarang penumpukan harta oleh segelintir orang, salah satunya dengan mewajibkan zakat bagi mereka yang memiliki harta lebih.

Perintah untuk melawan oligarki juga dapat kita lihat dari historisitas ketika ajaran Islam diturunkan. Saat itu, Mekkah sejak akhir abad kelima berkembang menjadi pusat pedagangan yang penting. “Mekkah menjadi makmur karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia utara ke Arabia Selatan. Mekkah juga menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan pedangan dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.”(Engineer, 1980:41). Dengan demikian, Makah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan Internasional yang besar.

Karena Mekkah kala itu merupakan sirkuit ekonomi Internasional, maka terjadi diskriminasi serta intimidasi bagi warga lokal (suku badui) yang notabene egaliter. Mereka diekspolitasi sebagai tenaga budak guna penumpukan harta. Inilah bentuk ketimpangan serta penghisapan oleh para borjuasi mekkah. Maka, turunlah firman Allah (An-Nisa: 75) sebagai seruan pembelaan terhadap kaum mustadl’afin, kaum yang ditindas.

Al-qur’an mengutuk oligarki. Nabi mengaktualisasikannya dengan berjihad melawan kaum oligark Quraisy, dan membangun gerakan masa kaum tertindas (kaum Mustadl’afiin) demi mentransformasikan tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Asghar Ali Enginner (1987) menyebutkan, fakta bahwa Islam lebih dari sekedar agama formal belaka. Melainkan risalah agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi atau terjadinya penumpukan kekuasaan dan harta bagi segelintir orang yang berimplikasi pada ketimpangan sosial di antara umat.

Nabi serta kholifah berikutnya juga gencar menekankan pembayaran zakat bagi mereka yang memiliki harta berlebih, untuk meminimalisir ketimpangan. Begitupun hukum khafarat (denda sebab pelanggaran) yang mengharuskan pembebasan budak, memberi makan orang miskin, lalu berpuasa. Hal ini merupakan sebuah representasi untuk menciptaan sebuah sistem yang berkeadilan.

Sikap Santri terhadap Oligarki

Nabi Muhammad dari awal mendapat risalah sampai akhir hayatnya selalu membela mereka yang lemah serta dilemahkan (kaum Mustadl’afiin), bukan golongan penguasa politik dan ekonomi yang menindas (mustakbirin). Di titik ini, santri perlu menentukan posisi, pada siapa santri berpihak?!

Santri yang mengemban dakwah Mulia Sang Nabi perlu memahami, serta mempersiapkan diri, baik tenaga dan fikiran untuk memperjuangkan tatanan yang berkeadilan. Ini sebagai implementasi dari syair kebanggan para santri karya Kyai Wahab Hasbullah “yaa ahlal wathon, hubbu al-wathon min al-iman” (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman).

Santri progresif ialah santri tekun mengaji sekaligus membangun kesadaran politis untuk merealisasikan ajaran keadilan. Ini sekaligus sebagai representasi dari perwujudan pelaksanaan dari ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘Alamiin. Bukan terjebak dalam ‘politik identitas’ yang kontra-revolusioner, serta hanya dijadikan komoditas suara pasar politik elektoral—yang menyimpan kepentingan eksploitatf—dengan mendompleng suara santri.

Keadilan adalah fondasi dari perdamaian dan persatuan, sebagaimana guru bangsa al-maghfurllah Gus Dur pernah katakan “kedamaian tanpa keadilan adalah ilusi”. Jadi, sudah saatnya santri melawan oligarki.


Foto: Hutomo Mandala Putra (Tommy), salah satu putra Soeharto, Bapak Oligarki Indonesia, mendapatkan gelar gus dari kyai pendukung Partai Berkarya.

Sumber: duta.co

 


Baca Juga:

Para Nabi Itu adalah Kita

Oligarki, Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita

Tinggalkan Balasan