Fahmi Saiyfuddin
Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau
PEMBANGUNAN atau Developmentalism sebagai suatu paradigma dan teori perubahan sosial dewasa ini mengalami kegagalan penerapan di berbagai negara Dunia Ketiga. Walaupun konon yang justru dicemaskan dari gagasan pembangunanisme bukanlah kegagalannya, melainkan justru keberhasilannya. Karena keberhasilan pembangunanisme akan mengantarkan dunia pada perspektif tunggal, yang secara budaya dianggap menghancurkan peradaban dunia.
Kata “pembangunan” sejak lama telah menjadi diskursus yang dominan di Indonesia, hal ini erat kaitannya dengan munculnya pemerintahan Orde Baru. Selain menjadi semboyan mereka, kata “pembangunan” juga menjadi nama bagi pemerintah Orde Baru, serta sebutan bagi Presiden Soeharto sebagai ‘Bapak Pembangunan’. Orde Baru selalu dikaitkan dengan kata pembangunan, meskipun kata tersebut sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa Orde Lama.
Paradigma Pembangunan Kabinet Kerja
Istilah pembangunan atau developmentalism telah menyebar dan menjadi visi, teori, nama instansi, dan proses yang diyakini oleh hampir seluruh masyarakat negara sebagai suatu perubahan sosial yang berkelanjutan.
Namun apakah gagasan teori pembangunan akan sejalan dengan pemerataan ekonomi pada masyarakat? Apakah ia dapat menjadi solusi kongkret dalam menguntai kekusutan dinamika struktur sosial yang timpang, dan sebagai jalan transformasi sosial guna merealisasikan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indenesia?
Lain halnya dengan Orde Baru, sejak awal terbentuknya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan gencarnya melakukan ‘hegemony’ di tengah masyarakat dengan slogan “Kerja, Kerja, Kerja”. Sekilas hal tersebut memotivasi masyarakat supaya tidak malas, dan jika ingin berhasil atau sukses maka bekerjalah dengan giat dan tekun. Namun hal demikian merupakan seperangkat teknik untuk mempermulus akumulasi kapital dengan melanggengkan proses penghisapan.
Karena produksi akumulasi kapital memelurkan tenaga kerja guna dieksploitasi, maka hemegony yang disuarakan ialah “kerja, kerja, kerja”. Gramsci (1891-1937) seorang pemikir kebudayaan yang radikal, pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideology, yang disebutnya sebagai proses “hegemony”. Karena kata pembangunan di negeri ini identik dengan otoriter Orde Baru yang secara jelas menimbulkan kekacauan di berbagai sektor, maka ekspansi kapital dewasa ini bertumpu pada movitasi hegemony berupa kata “kerja, kerja, kerja” yang menjadi nama kabinet, serta slogan yang selalu diutarakan.
Dalam modus produksi kapitalis, pekerja tidak menjual keseluruhan hidupnya seperti seorang budak. Apa yang dibeli oleh kapitalis, menurut Karl Marx, adalah ‘kapasitas kerja’-nya (arbeitsvermorgen) atau ‘tenaga kerja’nya (arbeitskraft). Yang dijual oleh pekerja adalah kemampuannya untuk bekerja selama jangka waktu tertentu. Di sini, Marx menunjukkan letak kunci permasalahannya; adanya diskrepansi antara nilai-pakai tenaga kerja dengan nilainya.[1] Ketidaksesuaian inilah yang diamini oleh kaum borjuasi guna ekspansi akumulasi kapital, yang berimplikasi dengan kabinet Jokowi dengan slogan “kerja, kerja, kerja”.
Slogan ‘kerja’ tersebutlah yang menghasilkan sebuah ‘pembangunan’ di sektor infrastruktur berupa Jalan tol sepanjang 423, 17 KM[2] pada awal periode pertama kabinet kerja. Dilansir Okefinance (27/09/2019), Jokowi bakal membangun 2.084 KM Jalan tol selama periode kedua. Hal itu diperkuat dengan ungkapan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuldjono dalam seminar bertema ‘Masa Depan Jalan Tol Indonesia’ di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI).
Belum lagi, maraknya konflik penggusuran tanah yang merupakan obyek pembangunan jalan tol menimbulkan sebuah problematika yang berdampak pada pemisahan alat produksi berupa tanah menjadi untuk ‘segelintir’ golongan elit (enclosure). Serta dampak kerusakan dan penghancuran alam yang merupakan implikasi dari ekspansi kapital sejak relovusi industri, dan maraknya industri ekstraktif pada bombandir investasi dewasa ini.
Pertanyaannya, apakah Infrastruktur berupa jalan tol dalam berbagai wilayah tersebut menghasilkan pemerataan ekonomi? Nyatanya, pembangunan jalan tol merupakan langkah awal ekspansi kapital berupa ‘akses’ untuk menyalurkan komoditas. Sedangkan masyarakat hanya menjadi penonton atau pembeli layanan jalan tol, maupun konsisten menjadi kelas pekerja yang dihisap tenaganya guna akumulasi kapital.
Pemerataan Ketimpangan Ekonomi
Seperti diulas Nindias Nur Khalika di Tirto.id (26/2/2018), Indonesia sedang berada dalam lingkaran setan ketimpangan. Penelitian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) soal persepsi ketimpangan menunjukkan bahwa indeks ketimpangan sosial tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun 2016. Pada 2017, indeks kesenjangan sosial adalah 5,6 yang berarti setiap warga menilai ada lima sampai enam ranah yang timpang di Indonesia. Dari 2.250 orang, sebanyak 84 persen responden beranggapan ada ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Dibandingkan wilayah lain, ketimpangan yang tinggi terjadi di Indonesia bagian timur.
World Bank lewat laporan bertajuk Indonesia’s Rising Divide menyebutkan bahwa yang mendorong terjadinya ketimpangan di Indonesia yang berpotensi memengaruhi generasi yang akan datang ada empat hal.[3] Masalah pertama adalah ketimpangan kesempatan yang memperkecil peluang sukses anak-anak dari keluarga miskin. Dengan terbatasnya sumber daya, berpotensi mengalami stunting atau kekurangan gizi. Di Indonesia, sebanyak 37 persen bayi lahir dan tumbuh sampai umur dua tahun dalam keadaan kekurangan gizi. Hal ini berdampak pada pertumbuhan organ vital seperti otak sehingga perkembangan kemampuan kognitif menjadi lambat. Belum lagi akibatnya dalam pendidikan, anak-anak dari keluarga miskin tidak mengenyam pendidikan sampai level tinggi. Umumnya mereka bersekolah dari bangku SD sampai SMP. Kualitas pendidikan yang diperoleh pun berbeda-beda, tergantung wilayah. Salah satu contohnya, Bank Dunia menyatakan anak kelas 3 SD di Jawa sanggup membaca 26 huruf lebih cepat tiap menit daripada anak-anak yang tinggal di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga miskin tak mampu mengakses hal-hal yang memungkinkannya dapat mempunyai kecakapan (skill) dan lagi-lagi hanya menjadi komoditas tenaga kerja upah murah dalam pasar tenaga kerja.
Persoalan kedua adalah ketimpangan upah dalam dunia kerja. Pasar tenaga kerja kini dipenuhi oleh tenaga kerja, baik terampil atau tidak. Mereka yang punya kecakapan tinggi akan digaji besar sekali. Sebaliknya, yang kurang cakap dan belum punya kesempatan untuk mengembangkan diri akan terjebak dalam pekerjaan informal, bergaji kecil, dan kurang produktif. Persoalan ketiga adalah pemusatan kekayaan yang tinggi. Sebanyak 10 persen orang kaya memiliki 77 persen seluruh kekayaan negara. Pundi-pundi uang yang didapat dari aset finansial dan fisik mengalir hanya ke kantong para orang kaya sehingga penghasilan yang didapat lebih besar. Korupsi menjadi salah satu alasan di balik munculnya fenomena pemusatan harta kekayaan ini. Persoalan keempat adalah guncangan, misalnya PHK dan bencana alam. Apabila hal itu terjadi, orang kaya tidak akan kesulitan mengatasi masalah. Sebaliknya, rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan miskin, akan rentan ambruk jika terjadi guncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, dan bencana alam. Masyarakat miskin juga tak punya asuransi untuk penunjang kehidupannya. Di Indonesia, ada 11,3 persen atau 28 juta orang miskin. Selain itu, ada pula 26,9 persen atau 68 juta orang rentan miskin yang bisa jatuh miskin karena shock tersebut.
Meski Bank Dunia adalah lembaga yang dibentuk dari pelembagaan sistem kapitalisme global dan analisisnya mengenai ketimpangan tidak pernah menempatkan ketimpangan alat produksi sebagai akar masalahnya–sebagaimana perspektif sosialis, data ini secara jelas menampakkan ilusi pemerataan ekonomi dalam konsep gagasan teori pembangunan pada kurun waktu kabinet kerja a la Jokowi, yang tidak lain merupakan bentuk pelanggengan ekspansi kapital Pembangunanisme a la Orba, MP3EI a la SBY, serta kabinet kerja Jokowi yang pro-pasar (Neo-Liberalism).
Absurditas Pembangunan
Rayuan teori pembangunan faktanya berbanding lurus dengan perusakan serta penghancuran alam, menghasilkan konstruksi sosial yang timpang, serta pemusatan kekayaan untuk segelintir elit (oligarki).
Gagalnya paham developmentalism ternyata belum serta merta melahirkan alternatif pandangan yang baru mengenai transformasi sosial yang berkeadilan. Kegagalan teori pembangunan menemukan sasaran lain yang mudah untuk disalahkan, yakni pemerintahan Negara Dunia Ketiga yang korup, kolutif, dan nepotisme. Lagi dan lagi, masyarakat dikelabuhi dengan penjinakan global melalui proyek-proyek demokratisasi model neoliberalisme, good governance, dan penguatan civil society (masyarakat sipil) perspektif neoliberalisme.
Kesadaran krtitis (critical conscicousness) adalah kunci untuk tidak terjebak dalam bualan hegemoni pembangunanisme. Sebagaimana Freire (1921-1997) mengungkapkan, pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya yang bagaimana kaitannya tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam struktur yang ada.[4]
Analisis paradigma teori perubahan sosial akan menampakkan kesadaran naif pemerintah terhadap teori pembangunan. Karena bukan struktur yang lebih dipersoalkan oleh Freire, melainkan manusianya. Oleh karena itu ia akan bersifat transformatif. Juga sebagai metodologi pemberdayaan masyarakat untuk keluar dari counter hegemony slogan “kerja, kerja, kerja” yang merupakan bentuk penghisapan dalam kemasan populis.
Sebagai tindak lanjut setelah kesadaran kritis, Mansour Fakih (2009) mengemukakan, yang diperlukan bagi rakyat adalah membangun gerakan civil society tandingan, yakni suatu gerakan masyarakat untuk melakukan penentangan terhadap hegemoni pembangunanisme. Dengan menempatkan masyarakat sipil dalam konteks relasi antar kelas dalam masyarakat, sebagai ‘modal sosial’ terlepas dari mobilisasi ‘budaya politik’ arus dominan yang sedang berkuasa.
Penutup
Paradigma pembangunan yang absurd, semestinya bertransisi menuju pembangunan berperspektif sosialis, sebagai impliksi dari sila kelima Pancasila. Bukan pembangunan sektoral untuk segelintir elitis, dan menambah kemiskinan dengan pemerataan ketimpangan ekonomi hasil dari gagasan teori pembangunan guna ekspansi akumulasi kapital.
Supaya generasi yang akan datang tidak tertipu, dan hanya berselfie ria dengan pohon tipuan dari bahan plastik, rindang sejuk pepohonan hanya dalam gambar berlapis semen, serta hewan banteng yang hanya menjadi logo partai, juga indahnya flora fauna dalam laut hanya dalam film kartun. Hidup dalam imajinasi dampak perusakan lingkungan dan perusakan teori pembangunan ekspansi kapital yang kini berbalut populistik, dengan slogan “Kerja, kerja, kerja”.
Maka sudah saatnya, kita putus dan lawan hegemoni “Absurditas Pembangunan dan Ilusi Pemerataan Ekonomi”, sebagai upaya mendasar menuntaskan kekusutan dinamika struktur sosial dibawah kungkungan kapitalis, kemudian secara bersama-sama membangun politik alternatif sebagai jalan menuju “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
[1] http://www.prp-indonesia.org/2012/teori-nilai-kerja-karl-marx#martin1footnote17a
[2]https://m.detik.com/finance/infrastruktur/d-4265379/4-tahun-jokowi-jk-panjang-jalan-tol-bertambah-42317-km
[3] https://tirto.id/lingkaran-setan-ketimpangan-sosial-di-indonesia-cFhB
[4] https://www.esensiana.com/paradigma-reformasi-peta-paradigma-freire/
Gambar: https://archive.org/details/CapitalismAndTheExploitationOfWomen