Bagaimana Aswaja Diperkenalkan Sebagai Manhaj Perlawanan?

AS Rosyid

Direktur eksekutif di The Reading Group for the Social Transformation (RGST) Malang dan pendiri Akademi Gajah di Kota Mataram.

 

Bakda lebaran saya menerima buku “Menuju Aswaja Materialis: Aswaja, Sains-Marxisme dan Post-Moderatisme Islam” karya Moh. Roychan Fajar. Buku ini dipengantari oleh Muhammad al-Fayyadl dan diterbitkan di Penerbit Transisi dan Inteligensia Media di awal tahun 2021. Saya membacanya selama beberapa hari karena harus diselingi mudik.

Buku ini apik dan tidak biasa. Mengkonfigurasikan ideologi kiri dan Islam memanglah upaya lama, tapi penulis mencobanya dengan Aswaja (yang di Indonesia direpresentasikan oleh kaum Nahdhiyyin). Bagi saya, ini menarik. Tapi saya juga sedikit gelisah. Setelah menjelajahi teorisasi yang disajikan penulis, saya menemukan pertanyaan dari Muhammad al-Fayyadl di muka buku ini cukup relevan. Pentingkah meng-kiri-kan Aswaja? Perlukah me-materialis-kan pemeluk Aswaja? Batin saya dihampiri pertanyaan-pertanyaan yang sama.

 

Konteks dan Tawaran

Buku ini berangkat dari konteks penting, yakni kritik penulis terhadap Aswaja sebagai rezim pengetahuan yang mandul di hadapan “problem-problem material-kerakyatan”. Problem material kerakyatan yang dimaksud dalam buku ini adalah masalah politik-ekonomi-ekologi yang secara ril dan secara sengit dihadapi masyarakat akar rumput, yakni kebijakan negara yang hanya berpihak pada kapitalis dan industri ekstraktif-eksploitatif. Akibat dari kebijakan kontra rakyat itu adalah terampasnya ruang hidup rakyat atas nama pembangunan dan kian parahnya ketimpangan kelas. Pendek kata, rakyat adalah mustadh’afin, kaum yang secara struktural dilemahkan oleh negara dan korporasi. Dalam pada itu, ternyata perangkat pengetahuan Aswaja telah terlampau usang untuk merespon problem-problem material tersebut. Teologi Aswaja dan tasawufnya menyarankan manusia untuk menerima segala bencana struktural sebagai sesuatu yang terberi, takdir yang harus dipasrahkan; fikih Aswaja menjebak manusia dalam ritus peribadatan semata, dan bila pun ada dimensi mu’amalah, ia hanya menjangkau problem berbasis-individu, bukan problem berbasis-kelas.

Kritik terhadap Aswaja bukannya nihil. Ulama dan cendekiawan muda NU pernah mencoba menggagas Aswaja yang lebih progresif. Puncak dari kritik itu adalah lahirnya Post-Tradisionalisme, yang kemudian disebut Moderatisme, yakni Aswaja yang mengusung wajah toleran, lentur dan ramah kemajemukan. Ke-Aswaja-an semacam ini sangat cocok untuk konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia. Namun Moderatisme lantas berkembang menjadi wacana elitis yang mengaburkan masalah suprastruktur yang sesungguhnya yang dihadapi masyarakat akar rumput, yakni problem-problem material. Bahkan Moderatisme menjadi proyek yang dimanfaatkan oleh Negara untuk mengolah isu radikalisme-terorisme. Padahal, mode intoleransi dan kekerasan sesungguhnya berakar dari ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi. Moderatisme ibarat balsem yang hanya meredakan pegal sejenak, namun tidak menyembuhkan nyeri otot.

Penulis lantas menawarkan konsep yang melampaui Moderatisme, yakni “Aswaja Materialis” (Post-Moderatisme). Aswaja Materialis adalah Aswaja yang telah dielaborasi dengan sains marxisme, yakni Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Materialisme bukanlah penghambaan pada materi, sebagaimana didengungkan orang awam. Materialisme adalah filsafat yang melihat hakikat dunia sebagai materi belaka. Konsekuensinya, apapun yang manusia tidak ketahui, jawabannya harus ditemukan hanya dan hanya di dunia material (dunia fisik). Bagi orang Islam, materialisme mungkin akan dilihat sebagai ancaman karena ia memberi kesan bahwa dunia non-materi (kegaiban: jin, malaikat, Tuhan) harus ditolak. Namun di sisi lain materialisme menuntun manusia untuk mencari sebab-sebab material dari suatu fenomena alih-alih menyalahkan kegaiban. Banjir, misalnya, harus dicari sebab-sebabnya ke praktek material manusia (misalnya: salah kebijakan tata ruang kota, kebiasaan membuang sampah sembarangan, dll) alih-alih menyebutnya takdir Tuhan. Materialisme mengajari manusia bersikap yang lebih produktif dan bertanggungjawab.

 

Teorisasi Aswaja Materialis

Penulis, dalam buku ini, mampu menjelaskan dengan baik mengapa sains marxisme dan Aswaja bersifat komplementer. Namun, resensi singkat ini tidak akan mengulasnya. Saya ingin menyuguhkan teorisasi penulis dalam memperbarui Aswaja menjadi Aswaja Materialis, yang menjadi inti tawaran penulis. Menurutnya, Aswaja Materialis bertumpu pada transformasi teologi, fikih dan tasawuf. Hasilnya adalah: (1) Teologi Materialis, (2) Fikih Proletar, dan (3) Tasawuf Revolusioner.

Teologi Materialis. Teologi Materialis adalah materialisme transendental. Penulis mengadopsi pandangan para marxisme kontemporer yang mengoreksi materialisme lama (Slavoj Zizek, misalnya) yang menolak premis dasar materialisme lama tentang kemutlakan materi sebagai hakikat segala sesuatu. Dunia materi tidaklah utuh; perkembangan fisika kuantum membuka ruang-ruang misterius di balik materi, yakni energi tak tampak. Materialisme transendental adalah materialisme yang mengakui ketidakutuhan materi dan menyadari perlunya refleksi transenden atas materi. Dengan demikian, tuhan (dari agama dan kepercayaan apapun) hadir/bersemayam di dalam materi. Dengan pandangan ini, tuhan menjadi sesuatu yang sangat dekat, sangat “di sini”: ia ada di hutan, di padi, di air, di tanah, di udara. Tuhan bukan sosok yang bertengger jauh “di sana”: di langit, di kerajaan khayali yang megah.

Sebagaimana materialisme transendental, Teologi Materialis Aswaja mengajak umat Islam merefleksikan keberadaan Tuhan di dunia materi. Teologi Materialis mengevaluasi teologi Asy’ari dan Maturidi (tumpuan teologi Aswaja) yang menjebak manusia dalam logika fatalistik (bahwa Tuhan adalah sebab segala sesuatu) dan menjauhkan manusia dari sebab-sebab material (sebab teologi Aswaja membayangkan Tuhan jauh “di sana”. Teologi Materialis melihat dunia material dan tuhan sebagai satu kesatuan dialektis. Untuk mengabdi pada Tuhan, kaum Aswaja harus mengabdi dulu pada dunia material. Untuk menghayati keberadaan Tuhan, kaum Aswaja harus memulainya dulu dari dunia material. Sebab, dunia material-lah yang lebih dulu tampak manusia, bukan dunia transendental.

Menariknya, penulis meyakini bahwa langkah tersebut (mengubah teologi Aswaja menjadi teologi materialis) sebagai keharusan karena tidak ada cara lain lagi. Ia lantas menyarankan de-transendentalisasi teologi, sesuatu yang menurut saya kontradiktif dengan saran sebelumnya. Bagi saya, teologi transendental sudah cukup; perangkat teologi konvensional sudah lengkap dan yang tinggal hanyalah memperluas konteks etis, tidak perlu mengalami de-transendentalisasi. Lagipula, agak riskan menyebut teologi Asy’ari dan Maturidi mandul menghadapi problem material. Selain karena konteks destruktivikasi di abad pertengahan yang berbeda jauh dengan abad ke-20 atau ke-21, kita harus benar-benar teliti dalam studi literatur untuk membuktikan kemandulan tersebut.

Fikih Proletar. Penulis mengkritik fikih Aswaja yang masih sangat normatif-tekstual dan terikat pada konteks abad pertengahan sehingga dinilai tidak berdaya memecahkan problem material kerakyatan. Kenyataan bahwa kapitalisme telah mengubah mode produksi dan konsumsi manusia yang didasarkan pada lingkaran setan industrialisasi (destruction to fulfill enjoyment, enjoyment required destruction) sebagai sebab bagi sekian persoalan ekonomi dan ekologi tidak terjangkau oleh fikih Aswaja. Akibatnya, produksi fatwa dan hukum Islam hanya jalan di tempat. Ekonomi Syari’ah pun bagi penulis tidak dapat diandalkan karena ia justru menjadi justifikasi bagi prinsip utama kapitalisme.

Karena itulah penulis memperkenalkan Fikih Proletar sebagai fiqh al-iqtishadiy al-shiyasi (fikih ekonomi politik), sebuah fikih yang secara khusus merespon problem material kerakyatan. Fikih Proletar mendudukkan diri di atas materialitas alih-alih normativitas, yang artinya, fikih pertama-tama harus berangkat dari telaah kritis atas kenyataan material, bukan berangkat dari telaah tekstual. Untuk keperluan ini, penulis menggunakan argumentasi maqasid al-shari’ah, suatu jalan baru fikih yang berbasis maksud-teks ketimbang bunyi-teks. Penulis juga mengadopsi konsep taklifiyah (dimensi halal haram yang telah baku) dan wadh’iyyah (dimensi syarat prasyarat dan sarana prasarana yang menunjang berhasilnya ditegakkan halal haram). Keharaman kapitalisme memang tidak disebut dalam dimensi taklifiyah, namun ia bisa diharamkan dalam dimensi wadh’iyyah, mengingat kapitalisme menghancurkan kedaulatan sosial, ekonomi dan ekosistem. Bila kedaulatan itu hancur, hukum-hukum taklifiyah juga akan musnah.

Sayangnya, teorisasi Fikih Proletar tidak dielaborasi semendalam Teologi Materialis. Penulis bisa menempuh jalan “penafsiran ulang” atas dharuriyyat al-khamsah (pemeliharaan atas agama, jiwa, akal sehat, keturunan dan harta) dengan tone materialisme, atau setidaknya memetakan ulang cakupan-cakupan Fikih Proletar secara lebih jauh agar pembaca mengerti kiranya isi dari bab-bab fikih baru ini.

 

Kesimpulan

Teorisasi Tasawuf Revolusioner akan saya sisakan untuk pembaca nikmati sendiri ketika membaca buku ini. Nuansanya akan cukup sama dengan ulasan penulis terkait Teologi Materialis dan Fikih Proletar, sebab konteks yang dibangun (dan disebutkan berulang-kali) itu sama, yakni kemandulan Aswaja-Konvensional di hadapan problem material kerakyatan. Dengan jalan alternatif yang masih mungkin dipikirkan dan diusahakan, saya tidak yakin gagasan me-materialis-kan Aswaja itu perlu. Bila fokus penulis adalah penyadaran, sebaiknya ia harus bersabar dan tidak terburu-buru menawarkan transformasi ideologis. Alih-alih menciptakan pencerahan, gagasan Aswaja Materialis justru akan menghadirkan resistensi.

Tapi keinginan penulis untuk membuat lompatan sangat bisa dimaklumi. Penulis buku ini adalah warga NU Sumenep yang dibesarkan dengan kultur santri Nahdhiyyin dan wacana ke-Aswaja-an yang sangat kental sejak kecil. Namun ia juga besar dengan tradisi pergerakan akar rumput yang kuat. Kritik insider punya kekuatan yang khas. Saya menduga, dalam perjalanan penulis membersamai warga dalam menghadapi problem-problem material kerakyatan, penulis menemukan para elit NU enggan turut serta (bahkan sangat mungkin menjadi bagian dari penindasan itu sendiri). Sekali dua, saya mendapati diksi yang tidak bersungguh-sungguh menyembunyikan kejengkelan penulis pada Aswaja-konvensional, pada kemandulannya dalam memproduksi wacana pro kepentingan kaum akar rumput di hadapan industrialisasi.

Kejengkelan itu juga terasa setiap kali penulis mengkritik Aswaja-Moderatisme. Saya kira kejengkelan itu wajar. Saya bukan meremehkan fenomena mengerasnya kehidupan beragama dan runtuhnya toleransi. Namun saya percaya perdamaian harus dibangun dari kestabilan ekonomi dan kedaulatan energi (tanah, air, udara). Kaum miskin yang membegal pengguna jalan, teroris yang membom gereja, hingga kelas menengah atas yang sangat cerewet pada privilisnya, hanya fenomena superstruktur dari persoalan ekonomi yang merupakan struktur. Kaum akar rumput nihil kedaulatan, kelas menengah ke atas nihil kepuasan. Bagi saya, membangun perdamaian harus diawali dari mengatasi problem-problem material kerakyatan. Tapi sejauh yang saya perhatikan, mau tidak mau saya harus bersepakat pada penulis bahwa Moderatisme malah muncul sebagai wacana populer dan menjadi bagian dari citra kemapanan khas masyarakat pro kapitalis. Ia dibahas dalam ruang-ruang elitis yang mewah dan konsumeristik. Ia digemari oleh para intelektual dengan langgam pemikiran liberal-individualistik. Seringkali ia malah kehilangan konteks aktual dan berakhir sebagai wacana tanpa praksis. Padahal perdamaian menuntut pergulatan sengit antara dua identitas untuk saling memahami satu sama lain.

Penulis menjadikan Post-Moderatisme Islam atau Aswaja Materialis sebagai flatform emansipasi politik sekaligus khittah baru gerakan kaum Nahdhiyyin. Ia dimaksudkan sebagai upaya melampaui narasi-narasi lama yang berkembang di dalam Aswaja yang tidak memberi daya apapun bagi rakyat kecil untuk mempertahankan kedaulatan politik, ekonomi dan sumber-sumber energi. Mudah-mudahan, upaya serupa akan muncul juga di kalangan lain. []

One thought on “Bagaimana Aswaja Diperkenalkan Sebagai Manhaj Perlawanan?

Tinggalkan Balasan