Oleh:
Rudi Hartono
(Mahasiswa MPI UIN Malang)
Konflik pembangunan di Kulon Progo merupakan konflik yang diciptakan oleh kapitalisme kontemporer. Dalam konflik tersebut, benang merah yang dapat kita ambil adalah ketidak-berpihakannya negara terhadap rakyat yang dipertontonkan secara gamblang oleh negara itu sendiri. Di sini sudah sangat jelas terlihat aliansi antara negara dengan kaum kapitalis sebagai pemain kunci di balik proyek pembangunan yang men-dehumanisasi. Dikatakan men-dehumanisasi karena pembangunan tersebut telah mengalienasi rakyat Kulon Progo dari tanah kelahiran mereka. Nilai historis –dari tanah moyang rakyat– inilah yang sering dilupakan oleh pemerintah dalam setiap proyek pembangunan yang mereka canangkan.
Namun anehnya, Presiden Jokowi justru mengeluarkan diktum yang paradoks[1]. Dengan menggunakan sabda leluhur –sebagai legitimasi terhadap proyek bandara di Kulon Progo– “Sesuk ning tlatah temon kene bakal ono wong dodolan cam cau ning awang-awang. Tlatah temon kene bakal dadi susuhe kinjeng wesi tlatah saka lor gunung lanang lan kidul gunung jeruk dadi kutho, glgah bakal dai bawono”[2].
Diktum tersebut memperlihatkan inkonsistensi presiden. Di satu sisi presiden membenarkan proyek tersebut dengan legitimasi historis teks sakral, tapi di sisi lain, proyek pembangunan justru mengabaikan nilai-nilai historis di suatu tempat yang dijadikan sebagai objek pembangunan. Hal ini yang disebut Bultman bahwa seorang ekseget tidak dapat memahami – dalam konteks ini presiden mengenai penafsiranya terhadap ‘Sabda Leluhur’- jika tidak memiliki pra-pemahaman tentang duduk persoalan teks tersebut[3].
Tafsiran presiden terhadap ‘Sabda Leluhur’ merupakan penafsiran yang terlalu positivistik. Karena di sini sang penafsir telah mengabaikan kondisi (realitas) riil rakyat Kulon Progo. Menurut Bultman, hal tersebut dipahami untuk menyingkap makna eksistensial. Dimana seorang ekseget harus masuk ke lapisan yang lebih dalam dengan menarik makna eksistensial keluar dari teks tersebut[4]. Namun persoalannya adalah penarikan makna yang dilakukan seorang ekseget masih bersifat subjektif. Oleh karena itu diktum presiden tidak dapat dibenarkan, karena keputusan yang diambil mengenai makna di balik ‘Sabda Leluhur’ merupakan keputusan yang tidak objektif.
Kembali pada substansi konflik Kulon Progo. Konflik tersebut merupakan cerminan dari wajah kapitalisme kontemporer. Dimana pemerintah memposisikan dirinya sebagai fasilitator yang berupaya untuk melancarkan proses akumulasi kapital guna mempermudah jalannya transaksi bisnis kaum kaptalis, baik itu level nasional maupun internasional. Inilah yang dikatakan oleh Manfred Steger sebagai “… modus operandi dalam pengelolaan ekonomi dan politik[5].
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pembangunan Badara New Yogyakarta Airport (NYIA) ini adalah PT Angkasa Pura I, PT Pembangunan Perumaham (PP), PT Surya Karya Setiabudi (SKS), Pemerintah Pusat –Berperan dalam membuat regulasi[6]– dan Pemeritah daerah Yogyakarta, Aparat Represif Negara (TNI, Polri, Satpol PP)[7], Kaum Intelektual Borjuis yang berkontribusi membuat analisis AMDAL (BPPT, LIPI, BMKG, Akademisi)[8]. Inilah aktor yang saat ini menjadi pihak yang hegemonik.
Kasus Kulon Progo dalam Prespektif Ruang
Berawal dari prediksi Marx tentang kehancuran kapitalisme yang disebabkan oleh kontradiksi internal hingga saat ini masih belum terbukti. Hal ini terlihat ketika kapitalisme mampu bertahan walaupun dihantam krisis besar, tapi kapitalisme mampu lolos dari kondisi tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Levebre bahwa, kapitalisme bisa bertahan hidup lewat penciptaan perluasan ruang (production of space)[9]. Dalam bukunya The Production of Space, Levebre mengalihkan fokus teori marxis dari alat-alat produksi ke produksi ruang[10]. Levebre merupakan orang pertama yang melihat ‘Ruang’ sebagai aspek yang sangat penting dalam kapitalisme. Satu hal yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh pemikir Marxis, Strukturalis dan bahkan Marx itu sendiri, yaitu peran ruang.
Dalam upaya untuk melakukan akumulasi, kapitalisme membutuhkan infrastruktur fisik dalam ruang agar menjaga keseimbangan dari pergerakan kapital. Infrastruktur fisik merupakan prasyarat dalam menjaga keberlangsungan jalannya komoditas, modal, jasa, dll. Kasus yang terjadi di Kulon Progo merupakan manifestasi dari hasrat Kapitralis dan Negara yang hendak ingin menjaga keseimbangan dan pergerakan kapital serta membangun hegemoni.
Arrigi memperkenalkan dua macam bentuk logika kekuasaan, yakni logika kekuasaan ‘teritorial’ dan logika kekuasaan ‘kapitalis’. Menurutnya, keduanya saling berbeda antara satu dengan yang lain dan salah satu di antaranya seringkali mendominasi, seperti yang dikataknya bahwa:
“Kapitalis yang menguasai kapital uang ingin meletakkan kapitalnya di manapun laba bisa didapat, dan umumnya berusaha untuk mengakumulasi lebih banyak lagi kapital. Sementara para politisi dan negarawan umumnya berusaha untuk mengejar harta keluaran-keluaran yang akan melanggengkan atau memperbesar kekuatan negara mereka sendiri vis-a-vis kekuatan negara-negara yang lain. Sang kapitalis mengejar keuntungan individual…….. sang negarawan mengejar keuntungan kolektif…… sang kapitalis beroperasi dalam ruang dan waktu, ….. sang politisi beroperasi dalam teritorial…..”[11].
Dari penjelasan tersebut dapat kita maknai bahwa ‘ruang’ merupakan suatu arena pertarungan produksi karena di sini ruang ditempatkan sebagai tempat produksi (locus of production). Seperti yang terjadi di Kulon Progo, sesungguhnya persoalan tersebut merupakan hasil pemaknaan terhadap ruang yang kemudian dikonsepsikan sesuai dengan kebutuhan kapitalis dan pemerintah. Di sini juga dapat kita lihat dominasi kaum kapitalis dan negara dalam praktek ruang yang telah melenyapkan ‘ruang repsentasional’ ke dalam ‘repsentasi ruang’. Persoalan ini digambarkan dengan sangat jelas oleh Levebre dalam konsep sentralnya yang dikenal dengan tripartite (tiga pihak).
Dalam konsep tripartite (tiga pihak), ‘praktek ruang’ mengacu pada hubungan produksi dan reproduksi yang pada akhirnya mendominasi praktek spasial dalam kaitannya dengan hubungan antara objek dan produksi. ‘Representasi ruang’ adanya pola ketergantungan hubungan produksi dan hubungan tertentu terhadap pemakaian suatu ruang. Dimana kaum elit –seperti para perencana dan arsitek– mengabstraksikan ruang yang mereka anggap benar sebagai ruang sosial yang ideal. ‘Ruang representasional’ merupakan ruang yang nyata yakni ruang yang sudah difungsikan oleh individu/sosial[12].
Dari konsep tersebut dengan jelas kita dapat melihat bahwa ‘ruang representasional’ dimana tempat tinggal masyarakat Kulon Progo, dilenyapkan ke dalam ‘representasi ruang’ yakni bandara Internasional. Dimana para perencana seperti arsitek, telah memberikan makna tertentu terhadap ruang Kulon Progo yang diabstraksikan dalam bentuk bandara. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ‘ruang’ bagi kapitalisme merupakan prasyarat berlangsungnya akumulasi dan eksploitasi. Konflik Kulon Progo merupakan bentuk dari penyesuaian terhadap perubahan teritorial dalam negara yang didominasi oleh kapitalisme[13].
Inilah yang disebut Harvey sebagai Akumulasi Lewat Penjarahan (Acumulation by Dispossession). Dimana pelepasan terhadap sejumlah aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam beberapa kasus dengan tanpa biaya)[14]. Komodifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran secara paksa dengan menggunakan aparatus represif negara sebagai eksekutornya secara sederhana dapat diilustrasikan dalam skema berikut:
Dari skema tersebut –jika mengikuti pemikiran Harvey dan Levebre– kita dapat melihat dengan jelas watak reproduksi ruang kapital yang tengah melakukan ekspansi dan akumulasi. Investor selaku pemilik kapital melakukan ekspansi kapital dan akumulasi lewat penjarahan dengan cara menanamkan kapitalnya ke dalam bentuk bandara –sebagai wujud riil dari kapital– guna menjaga keberlangsungan kapital dapat tumbuh subur. Regulasi merupakan legitimasi atas tindakan aparatus negara yang melakukan tindakan represif terhadap warga dan menjaga agar kapital dapat berjalan dengan aman dan nyaman.
Perampasan ruang-ruang hidup ini tidak terlepas dari tiga kekuatan besar dalam negara. Akumulasi kapital tidak akan terjadi jika tidak ada konsensus dari tiga kekuatan. Seperti yang dijelaskan oleh Milis (dikutip dari Wibowo, 2009) bahwa level tertinggi dalam kekuasaan adalah pengusaha, birokrat, dan militer. Level menengah para pemimpin lokal atau pembuat regulasi. Level terbawah adalah masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan.
Keterangan: 1 (Orang Kaya/Pengusaha); 2 (Badan Eksekutif pemerintahan); 3 (Pemimpin Militer); 4 (Para Pemimpin Kelompok kepentingan); 5 (Masyarakat Biasa yang tidak punya kepentingan)
Tiga kekuatan yang berada pada level pertama piramida merupakan aktor yang menjaga keberlangsungan kapitalisme dalam suatu negara. Ketiganya dikenal sebagai pihak yang melakukan monopoli terhadap kekuasaan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agar kaum kapitalis dapat melakukan akumulasi kapital, maka dibutuhkan persetujuan negara selaku pihak yang memiliki teritorial secarah sah. Di sini negara juga membutuhkan kaum kapitalis untuk memperbesar pengaruh dan hegemoni negara terhadap negara lain, dengan menggunakan kekuatan militer sebagai aktor yang menjaga stabilitas suatu negara agar proses akumulasi dapat berjalan dengan aman. Akan tetapi di sini tidak hanya militer yang menjadi penentu dalam menjaga keberlangsungan akumulasi kapital, melainkan negara juga harus menjamin adanya struktur institusi hukum, hak milik pribadi, kontrak dan keterjaminan mata uang sebagai payung untuk menjamin agar akumulasi berjalan dengan lancar[15], maka dalam hal ini negara dituntut untuk kuat. Tuntutan inilah yang hendak merangsang negara melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya yang mempertanyakan dan menolak. Negara justru senang jika rakyat bersikap menerima dan membenarkan apa yang negara lakukan.
Membangun Perlawanan
Praktek-praktek kapitalisme yang memanfaatkan peran ‘ruang’ telah dijelaskan dengan gamblang oleh dua teoritisasi ‘Ruang Neo-Marxis’ Hendri Lefebvre dan David Harvey. Kedua teoritisasi tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai orientasi keberpihakan negara saat ini kepada siapa. Jika memang keberpihakan itu ada pada rakyat, sudah tentu kita tidak akan menyaksikan penggusuran rumah warga, perampasan lahan pertanian dan eksploitasi terhadap Manusia dan Alam.
Negara saat ini tengah menunjukan watak kekuasaan yang begitu hegemonik terhadap warga negaranya. Oleh karena itu, saat ini kita perlu membangun perlawanan untuk meruntuhkan kekuasaan yang begitu hegemonik. Sekuat-kuatnya kaum kapitalis dan oligark, mereka akan tunduk pada negara yang dipegang oleh kekuatan rakyat secara riil. Akan tetapi jika negara dipegang oleh para birokrat yang bermental kerupuk, sudah jelas oligarki dan kapitalis tidak akan tunduk pada negara.
Maka saat ini yang perlu untuk dilakukan adalah dengan membangun perjuangan yang independen. Artinya perjuangan yang tidak berafiliasi dengan kelompok yang saat ini berada pada level pertama kekuasaan, yakni Oligarki/Pengusaha, Birokrat/Politisi, dan Militer/Polri. Ataupun dengan pihak kedua dari kelompok penguasa. Maka yang harus dilakukan oleh perjuangan rakyat adalah memutus hubungan dengan tiga kelompok hegemonik, baik itu secara struktural maupun kultural. Gerakan rakyat adalah perjuangan yang membawa kepentingan Rakyat. Dimana cita-cita besarnya adalah membangun tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kehidupan Rakyat.
Selama bangsa ini berada dalam cengkraman neoliberalisme, maka selama itu pulalah penindasan akan tetap tumbuh subur. Dengan kondisi bangsa yang ada saat ini, maka yang perlu untuk dilakukan adalah rakyat harus melakukan pemberontakan. Hanya dengan melakukan pemberontakan, rakyat dapat meruntuhkan kekuatan hegemoni kelompok penguasa. Max Lane menggambarkan kekuatan massa sebagai aktor yang membentuk dan mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada kata ‘pesimis’ untuk melakukan Pemberontakan dengan menjadikan massa sebagai kekuatan utama dalam agenda Revolusioner. Penanaman prinsip egaliterianisme perlu untuk ditanamkan dalam diri Rakyat, agar tidak ada yang memposisikan dirinya sebagai guru dan murid.
[1] Jika presiden menggunakan ‘sabda leluhur’ – dalam konteks Kulon Progo – sebagai legitimasi dari proyek pembangunan bandara Internasional. Maka harusnya presiden menghentikan proses eksploitasi yang dilakukan oleh swasta/negara di tempat-tempat yang memilki nilai-nilai historis. Salah satu contoh adalah suku Amungme yang hidup di wilayah eksploitatif PT Freeport. Dimana mereka menfigurkan tanah sebagai sosok Ibu yang memberikan mereka makan, memelihara, dan membesarkan anak-anak mereka hingga lanjut usia. Mereka sangat menghormati tanah leluhur mereka, tanah yang menjadi sumber kehidupan. Maka dalam konteks ini presiden harus bersikap fair, jika hendak menggunakan legitimasi nilai-nilai historis, maka sudah sepantasnya dan selayaknya PT Freeport juga dihentikan. Karena tindakan eksploitatif terhadap Alam sangat bertentangan dengan kepercayaan suku Amungme. Lihat penelitian Frans P Kaiar. Kearifan Lokal Suku Amungme Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Di Kabupaten Mimika Papua. Jurnal Ekosains. http://jurnal.pasca.uns.ac.id/index.php/ekosains/article/view/279. Akses pada 9 Desember 2017
[2] Apa yang kita lakukan sekarang ini, babat alas, memang keputusan yang harus segera dilakukan. Kalau kita lihat, bandara adi sucipto sudah crowded, mau tidak mau harus segera dimulai (pembangunan bandara baru). Dikutip dari: http://www.tribunnews.com/regional/2017/01/28/leluhur-ternyata-sudah-ramalkan-bakal-ada-bandara-di-kulonprogo-ini-sabdanya diakses pada 9 Desember 2017
[3] F. Budi Hardiman. Seni Memahami Hermenutik dari Schleiermacher sampai Derida. (Yogyakarta: Kanisius, 2015). Hlm 141
[4] Ibid, Hlm 143
[5] Budi Winarno. Melawan Gurita Neoliberalisme. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 1
[6] Di antaranya adalah UU No 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; Perpres No 58/2017 yang mengandung penambahan 55 proyek strategis nasional (PSN) baru; Perpres No 98/2017 tentang percepatan pembangunan & pengoprasian bandara udara Kabupaten Kulon Progo di Yogyakarta. Lihat: https://tirto.id/peran-jokowi-memuluskan-megaproyek-bandara-kulon-progo-cBe3. Akses pada 12 Desember 2017
[7] http://www.kpa.or.id/news/blog/siaran-pers-mengecam-keras-pembangunan-bandara-nyia-dan-kembalikan-hak-atas-tanah-warga-kulon-progo/. Akses pada 10 Desember 2017
[8] Pihak-pihak ini telah berkontribusi dalam memberikan analisis mereka mengenai Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek bandara udara NYIA. Kesimpulan dari Workshop yang dilkukan pihak tersebut adalah adanya berbagai opsi yang meliputi, kekuatan bandara yang tahan gempa, penerapan gumuk-gumuk pasir, penanaman cemara udang dan mangrove dan yang tidak kalah penting adalah, sosialisasi mitigasi bencana kepada para warga agar cepat tanggap bila menghadapi bencana. Lihat; http://industri.bisnis.com/read/20171013/98/698745/terkendala-amdal-dan-pembebasan-lahan-bandara-kulonprogo-tetap-dikebut-. Akses pada 10 Desember 2017
[9] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi Dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 97
[10] George Ritzer. Teori Sosiologi Dari Kelasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hlm 525
[11] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 32
[12] George Ritzer. Teori Sosiologi dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hlm 526
[13] Ibid, Hlm 534
[14] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 166
[15] Ibid, Hlm 100
———————
*Sumber gambar utama: metrotvnews.com