Banyak Ruang di Kepala, Sedikit Untuk Akal Sehat

Cerpen Oleh:

Alfian Putra Abdi[i]

Sudah cukup aku duduk selama empat stasiun terakhir. Ketika nanti kereta berhenti di Stasiun Lenteng Agung, aku akan bebaskan tempat ini menemukan “tuan”-nya sendiri. Di depanku berdiri bapak-bapak tambun, mas-mas pulang kerja, ABG tanggung, dan ibu tua renta. Aku tidak akan memilih seseorang dari mereka untuk mengisinya. Tapi kalau boleh berharap, semoga ibu renta itu yang menempatinya.

Bukan karena aku iba padanya. Aku hanya merasa dia lebih membutuhkan ketimbang yang lain. Sedari tadi ibu itu terus mengoleskan balsam pada sendi lututnya. Aromanya bertabrakan dengan wangi ketiak siapapun yang ada di sini. Pun aku jadi tiba-tiba teringat oleh Mama, beliau yang mengajarkanku ilmu mengasihi.

Masa kecilku habis di samping mama, dia terlalu sayang padaku. Mungkin karena aku bontot. Kecuali untuk urusan sekolah, sisanya mama memintaku diam di rumah. Sekedar untuk menemaninya menonton telenovela di televisi, menangis, membanting piring dan gelas di dapur, atau menjadi lawan bertarungnya. Keningku pernah bocor, ketika tamparannya mementalkanku ke pinggir meja makan. Pahaku memar sebulan karena gagal menghindari tendangan karatenya. Mama akan berhenti ketika aku menangis. Lalu kembali mencubiti dan menyuruhku diam.

“Cowok nggak boleh cengeng!” tekannya setiap kali melihatku menangis.

Satu waktu, aku mencoba untuk tidak menangis. Agar tidak dicubitinya lagi. Tapi Mama terus memukul kepala dan tubuhku. Rasanya sakit namun lama kelamaan aku sudah tak lagi merasakannya. Malah membuat Mama semakin menjadi dan membentakku berkali-kali.

“Kalau tidak bisa menahan sakit. Menangis saja,” ujarnya tanpa henti menghujaniku pukulan, “Keluarkan air matamu. Tidak ada yang salah dengan cowok menangis!”

Pada akhirnya keluarga besarku memisahkanku dan Mama. Paman mengambil hak asuhku, sementara Mama pindah ke Rumah Sakit Jiwa. Sejak itu aku mulai paham situasi dan kondisinya, seiring pula dengan bertambahnya usia. Mama mendapat perlakuan kasar Papa, sehingga aku menjadi pelampiasan emosinya. Mama mengajariku betapa berbahayanya seorang wanita tanpa kasih sayang pria.

Ibu tua itu akhirnya yang menempati tempatku, banyak penumpang baru yang masuk ke gerbong kami. Kondisinya semakin sumpek. Bertambah buruk di setiap stasiun selanjutnya. Hampir setiap hari seperti ini. Sampai tidak punya alasan lagi untuk mengeluh.

Dalam kondisi tanpa jarak, aku bisa mendengar nafas penumpang lain. Nafas letih seorang pejuang. Manusia sudah seperti buntelan kapas di kantong kresek. Kalau masih bisa ditekan, ya tekan saja. Menjadi padat. Aku selalu meletakan ranselku ke depan, selain berjaga-jaga dari tangan cepat copet, juga agar tubuhku tidak bersentuhan langsung dengan tubuh orang di depanku. Karena jika itu terjadi, membuatku risih sekali. Apalagi kalau sampai bagian vitalku menyentuh bokong seseorang. Malas membayangkannya.

Aku merasakan ada sesuatu yang menghimpit lengan kiriku. Tidak terlalu erat, seperti bukan benda keras yang menghimpitnya. Bukan pula benda tajam, lebih tumpul. Berbentuk bulat atau oval. Anehnya benda itu menimbulkan detak seperti jantung. Ternyata lengan ini berada di tengah payudara penumpang lain.

Di dalam kereta yang sesak dan saling dorong, apapun bisa terjadi memang. Toh ini di luar kontrolku. Kesalahanku mungkin telat mengantisipasi hal ini terjadi. Aku perlu satu gerakan untuk melepaskan lengan ini dari dua gundukan daging itu. Tentu bukan hal mudah. Perlu berhati-hati, jika tidak, wanita ini akan menganggap aku sedang melecehkannya.

Mataku menatap wanita itu dengan perasaan tak enak hati. Sambutannya membuatku bergidik. Matanya melotot begitu. Aku berharap kereta segera sampai di Stasiun Depok Baru lebih cepat, dan tidak pernah lagi dipertemukan dengannya. Selamanya.

***

Tidak seperti kebanyakan ayah temanku yang protektif pada anak perempuannya. Ayahku memberi ruang gerak yang cukup leluasa pada putrinya. Aku bebas memilih untuk bermain sepak bola bersama sepupu-sepupu cowok, memanjat pohon belimbing, tapi meski begitu aku senang mengoleksi boneka juga. Atau sekedar bermain masak-masakan bersama teman cewek. Meskipun lebih sering aktivitasku habis bersama lawan jenis.

Teman-teman cowokku sering main ke rumah, dan Ayah tidak pernah melarangku sama sekali. Dia hanya cuma memperingatkan kami untuk menjaga kebersihan rumahnya. Maklum kami tidak punya pembantu, sementara Ibuku sibuk, dia wanita karir.

Banyak teman cewekku yang iri dan menginginkan ayahnya seperti Ayahku. Tapi aku bilang pada mereka, jangan, bagaimanapun ayah sendiri lebih enak. Sebagaimanapun Ayahku dianggap baik oleh orang, tetap saja dia bukan ayah kandungku. Sehingga dia tak punya sense of belonging pada anak tirinya. Makanya aku tidak heran, jikalau sikapnya cuek dan dingin padaku. Kecuali pada malam-malam tertentu.

Ya, malam-malam di mana Ibu lembur kerja atau pergi keluar kota untuk urusan kantor. Ayah selalu memintaku untuk menemaninya tidur di kamar. Alasannya takut dan tak biasa tidur sendiri di ranjang yang besar. Aku tidur di sisi yang biasa Ibu tempati sambil dipeluk oleh Ayah. Katanya takut aku kedinginan karena Air Conditioner. Ketika berada di antara lelap dan sadar, aku merasakan sesuatu yang menggesek bokongku. Aku tau itu Ayah, siapa lagi memangnya. Kadang gesekannya begitu kencang dan selalu diakhiri dengan mengerang, serta tangannya yang mencengkeram pahaku.

Malam-malam selanjutnya, tingkahnya semakin menjadi. Tidak hanya menggesek bagian vitalnya ke bokongku, dia juga meremas bahu dan meraba payudaraku yang, tentu saja belum tumbuh montok saat itu. Aku tidak tahan lagi, ketika dia memintaku tidur dengan telanjang bulat dengan alasan itu baik untuk sirkulasi darah. Persetan. Aku tolak tidur sekamar bersamanya lagi. Tapi dia malah marah padaku dan nyaris menampar. Dia tidak sebodoh itu untuk memberikan tanda di wajahku.

Keesokan harinya dia membujukku secara terang-terangan untuk melayani nafsu birahinya. Aku mengiyakannya dan meminta izin untuk mandi dulu. Itu hanya akal-akalanku saja. Sebetulnya aku pergi ke rumah temanku dan meminjam telfon rumahnya untuk memberitahu Ibu tentang kelakukan bejat suaminya selama ini.

Akhirnya Ibu dan lelaki laknat itu cerai. Aku dan Ibu pindah kota, sementara lelaki itu menanda-tangani sebuah surat perjanjian yang dibuat atas saran pihak kepolisian, yang mana isinya: Jika saudara A kedapatan mendekati anak perempuan bernama C dari saudari B, meski untuk urusan yang mendesak sekalipun. Maka saudara A akan diganjar dengan hukum pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp. 5.000.000,-. Wajahnya nampak bodoh ketika mengguratkan tinta di atas materai. Dan aku tidak bisa menahan tawa karenanya.

Sikap cueknya ketika mengasuhku, telah membangkitkan sisi liar dalam diriku. Tanpa larangan, aku bebas mencoba apapun. Meningkatkan keberanianku, ketimbang teman cewek lainnya. Termasuk keberanian untuk mengadukannya pada Ibu dan menyeretnya pada pemegang kebijakan hukum.

Pengalaman semasa remaja itu, yang membuatku tidak memiliki alasan untuk mengeluhkan kondisi KRL Ekonomi yang sumpek ini. Di dalam gerbong semuanya nampak tenang. Namun akan menjadi beringas, ketika kereta mendekati stasiun yang menjadi tujuan kita. Satu-satunya cara untuk tidak kelewatan stasiunku, dengan ikut menjadi liar.

Jakarta mengajarkanku membagi porsi tenaga: 50% untuk pekerjaan, 40% pribadi, dan 10% untuk berjuang di dalam gerbong ini. Aku merangsek ke depan, melewati kumpulan pria, supaya lebih dekat dengan pintu.

Tubuhku tidak bisa maju lagi karena terhalang tubuh seorang pria. Tinggal tiga stasiun lagi untuk sampai di Stasiun Depok Baru. Bukan jarak yang jauh. Sialnya lagi lengan pria ini menempel di antara payudaraku. Aku pandangi mukanya yang enggan menoleh. Seperti memang disengaja.

Salah satu hal yang paling mudah membuatku marah adalah kondisi seperti ini. Banyak yang cabul di dalam kereta. Aku tau pria ini sadar tangannya berada dibagian yang vital. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku mencengkram tangannya dan melemparnya menjauhi payudaraku. Perhatian penumpang yang lain tercurah pada kami. Tapi aku tidak peduli, aku ingin memberikan pelajaran pada pria ini. Supaya dia mengerti bahwa wanita tidak bisa diperlakukan seenaknya.

“Ma-maaf mbak,” ujar pria itu, “saya nggak sengaja. Tadi kedorong-dorong dan fokusnya ke depan. Tidak lihat ke…”

“Mas!” potongku, tidak ada waktu untuk mendengar omong kosongnya, “ kalau mau kurang ajar! Sini biar saya ajarin sekalian!”

Aku berharap kereta segera sampai di Stasiun Depok Baru lebih cepat, dan tidak pernah lagi dipertemukan dengannya. Selamanya.[]

 

 

 

[i] Sulung tiga bersaudara yang menghabiskan waktunya sebagai buruh aksara di sebuah media lifestyle Ibu Kota. Mengelola perpustakaan jalanan Riung Senja setiap akhir pekan, sesekali pergi ke bioskop, sesekali menyimak konser musik. Menyukai tempe dan kretek, penikmat bir dan kopi amatir sekaligus paling buruk.

Memiliki cita-cita yang besar: hidup di hari tua hanya dengan bercengkerama bersama keluarga juga sahabat, mendengarkan musik, membaca, menulis, dan (yang terpenting) tanpa himpitan utang bank.

Sumber gambar utama: wksu.org

Tinggalkan Balasan