Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis (Bagian I)

Charles Markus Sinaga

(a.k.a. Dede Mulyanto)

 

Kepada Yth.

Bapa Magnis

Bapa yang terhormat,

Salah satu buku yang pertama saya baca tentang Marx adalah buku Bapa berjudul “Pemikiran Karl Marx” (1999). Alasan membaca buku tersebut tentu karena Bapa dikenal sebagai seorang ahli pemikiran Marx yang mumpuni. Bapa sudah menulis disertasi tentang Marx, tidak sedikit membimbing skripsi soal pemikiran Marx, dan menulis banyak artikel atau makalah presentasi seminar tentang pemikiran Marx dan Marxisme. Saya pribadi kagum terhadap kemampuan Bapa menyederhanakan pemikiran-pemikiran Marx sekagum saya kepada Karl Kautsky yang telah membuat ringkasan populer sehingga pemikiran Marx bisa dicerna oleh pikiran orang kebanyakan semacam saya ini.

Selain itu, buku yang pertama terbit tahun 1999 itu sudah dicetak berulang kali. Artinya banyak orang yang mempercayai kehandalan buku tersebut. Setahu saya, sampai 2001 sudah lima kali mengalami cetak ulang. Andai sekali cetak 2000 eksemplar, berarti buku itu sudah dibaca setidaknya oleh 10.000 orang. Ditambah mereka yang pinjam, karena tidak punya cukup uang untuk membeli, lalu memfoto kopinya sehingga bisa mendapat pengetahuan berharga itu dengan sedikit uang saja. Belum lagi berapa ratus ribu mahasiswa jurusan filsafat, ilmu politik, sosiologi, atau yang lainnya yang tidak membaca tetapi mendengarkan paparan dosen yang menggunakan buku Bapa sebagai bahan ajar utama.

Namun demikian Bapa, waktu saya membaca beberapa karya Marx sendiri, saya menemukan beberapa kekeliruan di dalam buku Bapa. Ada beberapa pernyataan atau kesimpulan yang diambil kurang selaras dengan apa yang saya baca di dalam karya Marx sendiri. Mulanya saya pikir kekeliruan itu karena karena saya tidak membaca Marx dalam bahasa aslinya Jerman, seperti yang Bapa lakukan, tetapi dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Kepikiran juga keganjilan itu karena saya tidak belajar filsafat akademik sebelumnya. Padahal Marx itu seorang filsuf Hegelian—konon Hegelianisme termasuk filsafat rumit yang pernah ada di muka bumi. Saya bolak-balik bacaan, lalu saya diskusikan dengan beberapa kawan sampai merasa betul-betul paham. Akhirnya, dengan takut-takut pada bayangan Bapa yang tampak raksasa bagi saya, ditetapkanlah bahwa memang ada beberapa pernyataan atau kesimpulan Bapa yang keliru soal Marx.

Karena sudah begitu banyak orang yang membaca buku “Pemikiran Karl Marx” yang saya nilai mengandung beberapa kekeliruan kecil, bukankah ada baiknya diterangkan pula apa saja kekeliruan itu sebagai perbandingan, lalu kita serahkan pilihan terakhir kepada pembaca, apakah tetap mengikuti pandangan Bapa atau tidak? Bukankah begitu ajaran moralnya Immanuel Kant, Bapa?

Bapa yang terhormat, karena perhatian saya cuma pada pemikiran ekonomi Marx (lagi pula saya mengidap kelemahan daya pikir dalam mempelajari filsafat), izinkan saya memberi catatan-catatan hanya untuk Bab Delapan, Bab Sembilan, serta Bab Dua Belas dari buku Bapa tersebut.

Catatan 1: Soal Pengertian Kerja Produktif

Kekeliruan pertama ialah pengertian “kerja produktif” menurut Marx. Menurut Bapa, yang dimaksud Marx dengan kerja produktif ialah “kerja tangan langsung” sehingga “menurut Marx, seluruh bidang yang disebut “pelayanan” (service) tidak menghasilkan nilai” (h. 194). Di halaman yang sama Bapa memberi contoh apa saja pekerjaan yang dimaksudnya pelayanan itu: manajer, organisator, pembersih WC, pembersih lantai, satpam, karyawan kantin, bagian penelitian ilmiah, dan bagian advertising. Pertanyaannya: benarkah Marx mengartikan “kerja produktif” sebagai “kerja tangan langsung”? Lalu, benarkah dalam pengertian Marx pekerjaan manajer, pembersih WC, sampai bagian advertising tidak produktif?

Pada catatan akhir untuk Bab Sembilan, Bapa menyatakan: “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital” (h. 266, fn.1). Setelah saya tengok ke daftar pustaka, memang tercantum di sana tiga jilid Das Kapital. Tapi Bapa, justru di sini keganjilannya. Andaikan Bapa betul-betul membaca ketiga jilid Das Kapital, atau setidaknya dua halaman pertama saja dari jilid pertama Das Kapital Bab XVI, maka Bapa akan menemukan kalimat seperti ini: “Pekerja yang produktif ialah dia yang menghasilkan nilai-lebih bagi kapitalis, atau dengan kata lain bersumbangsih terhadap valorisasi-diri kapital” (Marx 1990: 644). Pada halaman yang sama Marx memberi contoh “kepala sekolah.” Kepala sekolah termasuk melakukan kerja produktif apabila pekerjaannya seperti mengorganisir dan memanajeri lembaga pendidikan serta mendidik anak-anak itu memperkaya pemilik sekolah. Lalu Marx menegaskan bahwa tak peduli pekerjaan itu dilakukan di “pabrik pengajaran” dengan kerja-kerja “pelayanan” atau di “pabrik saos” dengan kerja “tangan langsung,” yang jelas kerja menjadi produktif apabila ia menyumbang pada valorisasi-diri kapital (sebagai ahli pemikiran Marx, tentu Bapa paham betul arti konsep ini, jadi tidak perlu saya jelaskan di sini).

Karena Bapa menegaskan bahwa seluruh Bab Sembilan berdasarkan pada tiga jilid Das Kapital, mulanya saya pikir tidak mungkin Bapa, seorang ahli filsafat dari sebuah perguruan tinggi filsafat ternama di Indonesia, begitu sembrono bikin kesimpulan. Tapi jelas pengetahuan Bapa soal pengertian kerja produktif menurut Marx tidak berasal dari Marx sendiri. Setidaknya tidak dari halaman kedua bab XVI Das Kapital jilid pertama. Saya sempat terpikir, jangan-jangan Bapa salah baca atas ulasan Marx pada seksi 6 Bab XV yang pada halaman akhir menyatakan:

“Akhirnya, peningkatan luar biasa di dalam produktivitas industri skala besar yang diiringi baik oleh lebih intensif maupun lebih ekstensifnya penghisapan tenaga-kerja di semua lingkup produksi, memungkinkan semakin besarnya bagian dari kelas pekerja yang dipekerjakan secara tidak-produktif. Dengan demikian mungkinlah mencipta kembali budak-budak domestik kuno dalam lingkup yang terus-menerus meluas, di bawah nama kelas pelayan yang mencakup pelayan laki-laki, pelayan perempuan, pesuruh, dsb.” (Marx 1990: 574).

Sepanjang seksi 6 Bab XV ini, Marx menjelaskan bahwa perkembangan atau masuknya teknologi produksi lebih baru dengan kekuatan produktif yang meningkat ketimbang teknologi sebelumnya, pada satu sisi akan mengurangi kebutuhan akan tenaga-kerja. Kapital yang sebelumnya ditanamkan untuk membayar upah dipotong dan dimasukkan ke dalam kapital-konstan serta konsumsi konsumtif kelas kapitalis. Pekerja-pekerja yang tersingkir dari proses produksi tidak kemudian bergentayangan di jalanan begitu saja. Dengan teknologi baru, kebutuhan akan jenis pekerjaan baru, dan dengan demikian akan tenaga-kerja jenis baru, juga muncul. Beberapa dasawarsa lalu, sebelum teknologi komunikasi seperti sekarang, di sektor telekomunikasi banyak pekerja bertugas sebagai operator penyambung manual yang kerjaannya menyambung-nyambungkan satu nomor ke nomor lain. Ketika teknologi komunikasi memasukkan juga teknik dan mesin yang bisa menyambungkan secara otomatis, para pekerja penyambung manual tersingkir. Tetapi kebutuhan akan operator komputer yang membuat otomatisasi penyambungan line telepon juga muncul. Begitu juga kebutuhan akan ahli program komputer yang membuat serta mengoperasikan program komputer yang membuat kerja mesin penyambung itu berjalan. Pekerja-pekerja jenis baru ini memerlukan waktu pendidikan keahlian yang lebih lama ketimbang operator penyabung manual di masa sebelumnya. Karena itu pula kebutuhan akan layanan pendidikan dengan pekerja-pekerjanya yang khusus juga muncul. Di samping itu, produktivitas kerja yang naik karena teknologi baru menghasilkan sejumlah besar kekayaan. Berbagai kebutuhan baru muncul dan tentunya sarana pemenuh kebutuhan itu harus diproduksi yang, tentu saja, memerlukan pekerja lain yang memproduksinya. Selain peningkatan kemakmuran golongan penghisap, ketersingkiran pekerja-pekerja tidak terampil dari proses produksi yang membutuhkan pekerja terampil inilah yang memungkinkan semakin banyak bagian dari kelas pekerja yang dipekerjakan oleh borjuasi untuk kerja-kerja tidak produktif

Seorang CEO korporasi media, misalnya, mempekerjakan baby sitter, sopir pribadi, tukang kebun, pembantu rumah tangga, perawat untuk ibunya yang renta, dan satpam pribadi di rumahnya. Golongan kelas pekerja ini dipekerjakan secara tidak produktif. Mengapa? Karena kerja-kerja yang mereka curahkan tidak produktif bagi si CEO. Mengapa? Karena kerja-kerja yang mereka lakukan bukanlah komoditi yang dimasukkan ke dalam sirkulasi kapital. Upah mereka tidak berasal dari nilai-lebih yang dikapitalisasi sebagai kapital-variabel, tetapi dari revenue kelas kapitalis (sebagai ahli pemikiran Marx, tentu Bapa paham bedanya kapital dan revenue). Si CEO, sebagai pribadi, mengkonsumsi sendiri kerja-kerja yang dicurahkan golongan pelayan ini. Konsumsinya tersebut bukan dalam kedudukannya sebagai representasi kapital yang mengkonsumsi nilai-tukar, tetapi sebagai pribadi yang mengkonsumsi nilai-guna.

Lain ceritanya jikalau baby sitter, sopir pribadi, tukang kebun, pembantu, perawat, atau satpam yang bekerja di rumah si CEO itu sebetulnya bekerja untuk suatu agen penyalur atau perusahaan yang khusus menyediakan outsourcing jasa-jasa kerumahtanggaan. Bagi direktur perusahaan outsourcing jasa-jasa kerumahtanggan, kerja-kerja yang dilakukan baby sitter, sopir, atau lainnya itu adalah kerja produktif karena menghasilkan nilai-lebih baginya ketika si baby sitter ‘disewa’ jasanya di keluarga si CEO. Tetapi, bagi si CEO sendiri yang mengkonsumsi langsung pekerjaan mereka sebagai nilai-guna, kerja-kerja mereka bukanlah kerja produktif. Konsumsi si CEO atas pekerjaan para pelayan itu sama halnya dengan konsumsi hiburan di konser jazz atau senampan seafood segar.

Jadi, apabila saya berprasangka baik Bapa membaca juga konteks ulasan seksi 6 Bab XV jilid pertama Das Kapital ini, tentunya Bapa paham apa arti “kerja produktif” menurut Marx. Namun, saat menengok kembali halaman 194 bukunya Bapa, saya jadi ragu Bapa betul-betul membacanya. Lalu di pikiran saya muncul pertanyaan: dari mana asalnya pemahaman Bapa tentang pengertian kerja produktif menurut Marx yang aneh itu? Ah, mungkin Bapa pernah membaca karyanya Adam Smith yang masyur itu, The Wealth of Nations, atau setidaknya pernah dengan sepintas saat Bapa melintasi ruang kelas yang di dalamnya rekan junior Bapa sedang mengajarkan karya Adam Smith tersebut dan khilaf menyantelkannya kepada Marx.

Jika tidak seluruhnya, mungkin Bab III Buku II pernah Bapa baca (Smith 1999: 429-449). Di situ Sir Adam Smith menerangkan perbedaan kerja produktif dan kerja tidak-produktif. Dia sebut-sebut soal kerjanya “menial servant” atau pelayan tidak terampil sebagai kerja tidak-produktif karena tidak menghasilkan nilai-lebih bagi majikan yang mempekerjakannya. Kerja-kerja mereka dikonsumsi sebagai nilai-guna, dan bukannya nilai-tukar. Selain itu, di dalam konteks waktu itu, ketika Revolusi Industri belum menampakkan daya pengubahnya terhadap jalannya perekonomian kapitalis selanjutnya dan sistem pabrik belum berkembang, organisasi produksi masih dalam rupa apa yang disebut Marx sebagai “kooperasi sederhana” (Marx 1990: 439-454). Di dalam corak “kooperasi sederhana,” seorang kapitalis masihlah seorang koordinator pekerja yang mengumpulkan beberapa pekerja terampil untuk bekerja di dalam satu bengkel kerja. Seperti di dalam industri feodal, belum ada pembagian pekerjaan di dalam satu unit produksi. Tiap-tiap pekerja menghasilkan segelondong utuh komoditi. Di bengkel pelana, misalnya, tiap-tiap pekerja mengerjakan seluruh bagian pelana dan merakitnya hingga menjadi sebuah pelana utuh. Artinya, seorang pekerja adalah haruslah ahli atau pekerja terampil. Dalam konteks ini “menial servant” jelas tidak termasuk pekerja produktif karena yang menghasilkan nilai-lebih buat kapitalis ialah pekerja-pekerja terampil.

Lain ceritanya ketika Revolusi Industri mulai menunjukkan kekuatannya beberapa dasawarsa setelah Sir Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nations (1776). Revolusi Industri memunculkan pengorganisasian tenaga-kerja yang disebut Marx sebagai sistem pabrik modern. Di dalam sistem pabrik modern tidak ada lagi tenaga-kerja yang menghasilkan komoditi utuh. Pembagian pekerjaan merumpil sehingga seorang pekerja hanya bisa ‘bekerja’ sebagai bagian dari tim besar. Sekelompok pekerja mengerjakan suatu bagian; sekelompok lainnya mengerjakan bagian lain. Di dalam kelompok, seorang atau beberapa pekerja mengerjakan sub-bagian tertentu dan seorang atau beberapa pekerja lainnya mengerjakan sub-bagian lainnya; dan begitu seterusnya. Di bawah kapitalisme, dengan sistem pabrik modern sebagai kunci pergerakannya, kerja harus dilihat bukan sebagai kerja manual, tetapi sebagai kombiniertes Arbeitsvermögen atau Gesamtarbeitsvermörgen (maaf Bapa apabila saya salah ketik, maklum kemampuan berbahasa Jerman saya amat sangat terbatas sekali). Di dalam sistem pabrik modern,

“Sebagian bekerja lebih baik dengan tangan-tangan mereka, sebagian lainnya dengan kepala-kepala mereka, sebagian sebagai manajer, insinyur, ahli teknologi, dsb., yang lain sebagai pengawas, yang ketiga sebagai pekerja manual atau bahkan pekerja kasar” (Marx 1990a: 1040).

Dalam konteks pembagian pekerjaan yang kian rumit di dalam sistem pabrik, produktif dan tidak-produktifnya kerja ditentukan, seperti yang sudah dikatakan Marx di atas, oleh kedudukannya di dalam sirkulasi kapital.

Kutipan di atas, yang saya ambil dari Resultate, juga menegaskan bahwa contoh yang Bapa ajukan untuk “kerja-kerja pelayanan” seperti manajer, organisator, pembersih WC, pembersih lantai, satpam, karyawan kantin, bagian penelitian ilmiah, dan bagian advertising, tidaklah tepat jika niat Bapa ialah menghakimi kenaifan Marx. Ingat Bapa, Yesus pernah bilang bahwa dia yang suka menghakimi, akan dihakimi (Matius 7: 1).

Waktu saya menengok kembali daftar pustaka “Pemikiran Karl Marx”, terus-terang saya gentar karena di sana terdaftar karya-karya Marx dalam bahasa Jermannya dari mulai naskah disertasi Hefte zur epikureischen… hingga tiga jilid Theorien über den Mehrwert. Tetapi, syukurlah di sana tidak tercantum naskah yang menurut saya lumayan penting dalam kaitannya dengan pengertian kerja produktif, yaitu Resultate des unmittelbaren Produktionsprozesses atau dikenal sebagai Resultate saja sejak 1930-an. Naskah ini ditulis sekitar 1863-1866 dan direncanakan menjadi Bagian Ketujuh dari jilid pertama Das Kapital. Kedudukannya terhadap Das Kapital ialah sebagai ringkasan jilid pertama dan jembatan ke jilid kedua.

Baiklah Bapa, karena pengertian kerja produktif menurut Marx sudah diterangkan di atas, saya tidak akan mengulas lebih lanjut isi sub-bab dalam Resultate yang berjudul “Kerja Produktif dan Tidak Produktif” dan hanya akan mengutip langsung dari naskah tersebut satu contoh yang Marx berikan dengan gamblang supaya Bapa bisa insaf dan menyadari betapa pernyataan Bapa yang gagah berani tentang apa yang dimaksud Marx dengan kerja produktif itu sebetulnya keliru. Marx memberi contoh:

“Misalnya, Milton, penulis Paradise Lost, bukanlah pekerja produktif. Di sisi lain, seorang penulis yang bekerja untuk penerbitnya di dalam gaya pabrik ialah pekerja produktif. Milton menghasilkan Paradise Lost seperti halnya ulat sutra menghasilkan sutra, sebagai kegiatan dari kodratnya sendiri. Dia kemudian menjual produknya seharga £5 dan jadilah ia seorang pedagang. Tetapi proletariat terdidik dari Leipzig yang menghasilkan buku-buku, seperti kompendia tentang ekonomi politik, atas perintah penerbitnya lebih condong sebagai seorang pekerja produktif karena produksinya diambil alih oleh kapital dan hanya berlangsung dalam rangka untuk meningkatkannya. Seorang penyanyi yang bernyanyi semerdu burung bukanlah pekerja produktif. Jika dia jual nyanyiannya untuk uang, maka dia menjadi pekerja-upahan atau pedagang. Tatapi jika penyanyi yang sama terikat kepada seorang wirausahawan yang membikin nyanyiannya menghasilkan uang, maka dia menjadi pekerja produktif karena dia menghasilkan kapital secara langsung. Seorang kepala sekolah yang bekerja demi upah di sebuah lembaga bersama-sama yang lain, mencurahkan kerjanya sendiri untuk meningkatkan uang wirausahawan yang memiliki lembaga perdagangan-pengetahuan [tersebut], adalah pekerja produktif” (Marx 1990a: 1044).

Jadi, kerja yang dicurahkan seorang dosen di sebuah lembaga pendidikan tinggi bisnis yang dimiliki seorang pebisnis dan dijalankan untuk memperoleh laba adalah kerja produktif, sementara kerjanya Bapa Magnis-Suseno di sebuah lembaga pendidikan yang dikelola sebuah yayasan keagamaan nir-laba demi kemajuan agama dalam menyebarkan Kabar Baik, juga demi bangsa dan negara kita tercinta, bukanlah kerja produktif.

Sebagai tambahan saja Bapa, dalam pemikiran ekonomi Marx, pengertian service tidak diperlawankan dengan “kerja tangan langsung.” Service adalah kerja sebagai nilai-guna yang dikonsumsi seperti halnya Bapa membeli bensin untuk Vespa yang Bapa pakai sehari-hari, bukan sebagai nilai-tukar yang dioperasikan di dalam sirkulasi kapital demi nilai-lebih (Marx 1990a: 1042). Di dalam Grundrisse (salah satu buku paling membosankan yang pernah saya baca, Bapa) Marx mencontohkan suatu jenis kerja service yang justru di dalam pemahaman Bapa tergolong “kerja tangan langsung.” Marx mencontohkan kerjanya penebang kayu yang menebang pohon, memotong-motongnya menjadi kayu bakar dan kemudian digunakan si kapitalis untuk memanaskan tungku penghangat di rumahnya. Kerjanya si penebang kayu ini kemudian dibayar dengan sejumlah tertentu uang oleh si kapitalis, tetapi bukan dari kapital, tetapi dari revenue-nya (Marx 1973: 272). Rumus umum konsumsi revenue yang menjadikan suatu curahan kerja itu tidak produktif bagi kapitalis ialah C-M-C yang orientasinya adalah nilai-guna. Sementara itu rumus umum konsumsi kapital yang membuat suatu pekerjaan termasuk produktif adalah M-C-M yang orientasinya ialah nilai-tukar yang menghasilkan nilai-lebih.

Seperti kerja atau aktivitas lain, kerja-kerja yang tergolong service tentu saja bernilai ketika memenuhi kebutuhan tertentu manusia. Di dalam kapitalisme dan khususnya bagi kapitalis, agar menjadi produktif tidak cukup suatu kerja itu berguna. Kerja itu juga haruslah menjadi bagian dari proses penciptaan nilai-lebih.

Jadi, pertanyaan kritis Bapa seperti: “Menurut Marx, seluruh bidang yang disebut “pelayanan” (service) tidak menghasilkan nilai. Apakah itu benar?” tampaknya lebih terdengar seperti pertanyaan orang awam yang tidak tahu apa yang sedang dibicarakan daripada pertanyaan seorang ahli pemikiran Marx yang kritis. Pertanyaan seperti ini mirip dengan pertanyaan: “Masak sih ada orang Minang yang pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia?” dari seseorang yang tidak tahu bahwa Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan perdana menteri pertamanya adalah Sutan Syahrir.

Kapitalis, sebagai representasi kapital dan bukan sebagai representasi kepala keluarga yang sakinah mawahdah, mengkonsumsi tenaga-kerja bukan terutama karena nilai-gunanya (kemampuan menjahit, menyusun pembukuan, merancang desain produk, mengangkut barang, menjaga keamanan pabrik, membuat reportase jurnalistik, merancang program komputer, memotret model, tersenyum manis ke pelanggan, mengoperasikan mesin bubut, dsb.). Nilai-guna tenaga-kerja hanya dikonsumsi sepanjang ia bisa ditawar secara efektif, dalam arti kapitalis sudi membayar sejumlah tertentu uang untuk mempekerjakannya di dalam proses produksi, yang tujuannya, tiada lain, menghasilkan nilai-lebih yang akan menjadi laba bagi kapitalis.

Pengertian kerja produktif dan tidak produktif seperti yang dimengerti Marx, bukanlah ciptaan Marx, Bapa. Marx hanya mengamati bahwa di bawah kapitalisme kerja-kerjanya kelas pekerja terpilah menjadi kerja produktif dan kerja tidak-produktif dalam kaitannya dengan sirkulasi kapital dan valorisasinya. Kerja tidak produktif tidak menghasilkan nilai, entah itu tergolong “kerja tangan langsung” atau “kerja pelayanan.” Misalnya, seorang pengusaha mempekerjakan seorang tukang pijat untuk memijati badannya yang pegal-pegal, dan dia membayar Rp. 50.000, untuk sejam. Kerja tukang pijat yang dikonsumsi pengusaha itu tidak tidak produktif bagi si pengusaha karena tidak menghasilkan nilai buat si pengusaha selain nilai-guna pijatannya yang bikin dia lebih seger. Beda dengan, misalnya, apabila pengusaha itu mengumpulkan 10 tukang pijat untuk dipekerjakan di panti pijatnya. Kerja-kerja tukang pijat ini ‘dijual’ kepada pelanggan Rp. 50.000,- sejamnya sehingga si pengusaha bisa mendapatkan laba bersih bulanan, misalnya Rp. 500.000,-. Kerja tukang-tukang pijat itu produktif bagi si pengusaha, sekarang.

Dan jangan lupa Bapa, sekali lagi, Marx mengartikan kerja produktif sebagai kerja yang menghasilkan ‘nilai-lebih’ itu juga dalam konteks mengulas suatu perekonomian (kapitalis), bukan dalam konteks telaah estetika atau filsafat moral. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang Bapa lontarkan bikin saya bingung sebab Bapa tidak menerangkan yang dimaksud Bapa dengan “menghasilkan nilai” itu apa. Bapa juga menggunakan istilah “menciptakan nilai produk.” Perlu diingat Bapa, nilai produk akhir dari suatu proses produksi, menurut Marx, mengandung tiga nilai, yaitu nilai kapital-konstan, nilai kapital-variabel, dan nilai-lebih. Misalkan total nilai akhir produk adalah 7000. Di dalamnya bisa mengandung 3000 nilai kapital-konstan, 2000 nilai-kapital variabel, dan 2000 nilai-lebih sebagai laba. Nilai relatif atau harga produk tersebut di pasaran tidak bisa jauh-jauh dari total nilai yang membangunnya (7000). Marx sama sekali tidak pernah bilang bahwa nilai akhir produk hanya sumbangsih dari tenaga-kerja. Yang Marx bilang ialah bahwa nilai-lebih; nilai tambahan yang melampaui nilai yang sudah dikeluarkan kapitalis untuk membeli sarana produksi (kapital-konstan) dan membayar pekerja (kapital-variabel), bersumber dari kerja-lebih yang dicurahkan pekerja setelah pekerja menghasilkan nilai yang setara dengan nilai kapital-variabel yang telah dikeluarkan kapitalis untuk mempekerjakan pekerja.

Terlepas dari benar-tidaknya teori nilai-lebih Marx, yang jelas pengertian kerja-produktif menurut Marx keliru Bapa pahami. Menurut saya kekeliruan ini konyol karena dengan landasan pemahaman yang keliru, pertanyaan-pertanyaan kritis yang Bapa bangun di atas landasan itu terdengar mirip interogasi hansip kampung. Tidakkah Padre Iñigo mengajarkan berbagai teknik meditasi ketenangan batin, Bapa?

 

Bersambung ke Bagian II

 

Daftar Pustaka

Ferrell, O.C., Geofrey Hirt, dan Linda Ferrell (2008) Business: A Changing World, Boston, dll.: McGraw-Hill Irwin.

Geisst, Charles R. (2004) Wall Street: A History from Its Beginnings to the Fall of Enron, Oxford: Oxford University Press.

Marx, Karl (1990) Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, London: Penguin Books.

Marx, Karl (1990a) Results of Immediate Process of Production, Appendix dalam Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, hlm. 941-1084, London: Penguin Books.

Polanyi, Karl (2001) The Great Transformation: the Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.

Smith, Adam (1990) The Wealth of Nations, Book I-III, London: Penguin Press.


Tulisan ini sebelumnya dimuat di mayodacosta.wordpress.com pada 26 Juli 2010. Diterbitkan kembali di sini atas seizin penulis untuk tujuan pendidikan.


Gambar: medium.com

Tinggalkan Balasan