Charles Markus Sinaga
(a.k.a. Dede Mulyanto)
Sambungan dari Bagian I
Catatan 2: Soal Teori Nilai Kerja
Bapa yang terhormat,
Dari cara Bapa mengajukan pertanyaan kritis sepertinya Bapa begitu memahami pemikiran Marx, terlebih tentang teori-teori ekonominya. Tetapi, ada satu hal remeh yang bikin Bapa tampak hanya seolah-olah paham, yaitu pertanyaan-pertanyaan kritis Bapa terhadap teori nilai kerja. Langsung saja saya kutip pernyataan Bapa:
“Serangkaian pertimbangan kritis menyatakan bahwa nilai (selalu: nilai tukar) komoditi tidak hanya ditentukan oleh pekerjaan yang masuk ke dalam penciptaannya. Nilai pakai misalnya, jadi guna barangnya, atau apakah barang itu diminati atau tidak, ikut menentukan nilainya… Hal ini tampak dengan paling tajam dalam nilai produk seni di mana kaitan dengan waktu pembuatannya tidak relevan sama sekali” (hlm. 193).
Ada beberapa hal yang menarik dari pernyataan Bapa di atas. Pertama, Bapa tidak memahami pembedaan Marx atas barang bernilai yang berupa komoditi dan barang bernilai bukan-komoditi atau pseudo-komoditi. Komoditi terkait dengan produksi industrial. Produksi industrial artinya produksi yang bisa membuat suatu jenis komoditi secara berkelanjutan dan seragam (dan massal). Sistem produksi industrial menghasilkan sesuatu yang terbarukan. Sementara pseudo-komoditi atau komoditi-palsu ialah sesuatu yang tidak dihasilkan sistem produksi industrial tetapi diperlakukan seperti komoditi di kebudayaan kapitalis. Perhatian paparan tentang nilai di sepanjang Das Kapital terutama pada komoditi, barang hasil produksi industrial, bukan pada pseudo-komoditi. Tetapi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, perlu dijelaskan lebih lanjut tentang perbedaan komoditi dan komoditi-palsu dalam kaitannya dengan kebernilaian suatu barang.
Bapa yang cerdas, lukisan Monalisa yang masyhur itu tentu saja tergolong barang berharga. Banyak orang-orang kaya yang rela mengeluarkan uang jutaan dolar untuk lukisan tersebut. Itupun kalau Museum Paris mau melelangnya. Seperti komoditi, lukisan Monalisa juga curahan kerja manusia yang bernama Leonardo da Vinci. Tetapi ia bukanlah komoditi. Mengapa, Bapa? Karena reproduksi terhadapnya tidaklah mungkin. Mengapa tidak mungkin? Karena kebernilaian lukisan Monalisa terkait erat dengan Leonardo da Vinci, seorang seniman besar yang hidup beberapa abad yang lalu. ‘Leonardo da Vinci’, ‘seniman besar’, dan ‘beberapa abad yang lalu’ tidak bisa direproduksi; ketiganya tidak bisa diperbarukan. Tiruan lukisannya, yang bisa dibuat oleh pengrajin lukisan (seperti yang ada di industri-industri kerajinan lukisan tiruan di Bandung, Jakarta atau Jogja) baik dibuat secara pesanan maupun dibuat massal untuk dijual ke hotel-hotel sebagai hiasan dinding sehingga bisa reproduktif adalah komoditi. Tetapi, karena nilai lukisan Monalisa yang asli tidak bisa dilepaskan dari Leonardo, sementara Leonardo beserta konteks historisnya sendiri tidak bisa diperbarukan, maka lukisan Monalisa tidak bisa direproduksi lewat sistem industrial dan dengan demikian ia bukan komoditi. Ia, seperti halnya semua barang antik atau langka, sekadar barang berharga; hanya komoditi-palsu yang diberhalakan mengandung nilai dalam dirinya sendiri.
Hal sama juga berlaku pada apa yang Bapa sebut, “gunung yang penuh dengan emas” (hlm. 193). Tanah atau gunung emas jelas sesuatu yang berharga apabila manusia jaman sekarang bisa memanfaatkannya. Apabila ada insinyur geologi mineral ITB mendeteksi keberadaan sesuatu yang berharga, emas misalnya, maka bidang tanah itu dan sekitarnya bisa dipastikan menjadi berharga juga. Namun, sebelum satelit pengindra sumber daya mineral bisa mengendus keberadaan material berharga, atau tidak ada satu pihak pun di dalam pasar kapitalis yang berkepentingan memanfaatkannya, bidang-bidang tanah tersebut tidak akan berharga selain sebagai sarana subsistensi kaum tani atau wilayah berburu-meramunya suku-suku pedalaman. Tanah atau gunung emas itu bukan komoditi. Ia tidak diproduksi oleh kegiatan industrial dan tidak bisa diperbaharui pula. Tetapi, karena tanah sebagai ruang dan sarana produksi penting dalam sistem produksi kapitalistik, pasar kapitalis menjadikan tanah pseudo-komoditi atau, dalam peristilahan Karl Polanyi, “fictitious commodity” seperti halnya dengan tenaga-kerja dan uang (Polanyi 2001: 71). Tanah adalah nama lain dari alam ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia dan tidak bisa diperbaharui.
Jadi, kritik terhadap teori nilai-kerja Marx dengan contoh “gunung emas” atau “lukisan” itu salah sasaran, Bapa. Di dalam Das Kapital, penjelasan tentang teori nilai-kerja didahului penjelasan tentang arti komoditi di dalam perekonomian kapitalis. Dari runutan penjelasan demikian, Marx ingin mengatakan bahwa yang sedang dibicarakan ialah nilai komoditi, nilai barang yang diproduksi dan direproduksi di dalam sistem industrial kapitalis, dan sama sekali bukan tentang nilai ‘gunung emas’ atau lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci.
Bapa yang mendapatkan rekor MURI sebagai rohaniwan pertama yang menulis tentang Marxisme, meski ‘gunung emas’ bukan komoditi, tetapi emas batangan, kalung emas, koin emas, benang-benang emas yang dijahitkan di jubah Paus atau cincin yang dikenakan beliau, atau jam emas buatan Rolex, adalah komoditi. Emas batangan merupakan hasil curahan kerja manusia atas alam. Nilai yang terkandung di dalam emas batangan tidak berasal dari gunung emas yang mengandungnya atau dari orang yang menghendakinya. Nilai emas itu berasal dari curahan waktu kerja rata-rata yang diperlukan secara sosial untuk menghasilkannya. Mengapa 1 ons benang emas bernilai lebih tinggi ketimbang sekilo kesemek? Karena curahan tenaga-kerja untuk menghasilkan 1 ons emas jauh lebih banyak ketimbang yang menghasilkan sekilo kesemek. Apabila Bapa penasaran, datang saja ke tambang-tambang emas rakyat. Satu kelompok penambang yang diongkosi oleh juragan setempat biasanya berjumlah antara 8 sampai 12 orang. Untuk mendapatkan bebatuan yang diperkirakan mengandung bijih emas, penambang harus menggali ke dalam perut gunung karena emas tidak menggatung di pohon emas seperti buah kesemek. Sekelompok penambang setidaknya bekerja 10 jam sehari, bahkan lebih, selama beberapa hari untuk bisa mengumpulkan bebatuan tersebut. Setelah memproses kumpulan bebatuan yang diperoleh selama beberapa hari lagi, kelompok penambang mungkin bisa beruntung mendapatkan beberapa gram emas saja dalam dua minggu! Di penambangan emas kapitalis modern, seperti PT Freeport di Papua, dengan produktivitas kerja yang sudah begitu tinggi: peralatan canggih, alat-alat pengeruk dan kendaraan pengangkut sebesar ruko, bahan dan teknik kimia yang lebih efisien, dan pekerja-pekerja lapangan, kimiawan, ahli geologi, serta manajer berpendidikan tinggi yang tidak sedikit di antaranya lulusan perguruan tinggi luar negeri bergengsi, perusahaan bisa mengesktraksi 16-20 kg emas dari setiap 1 ton batuan. Sebegitu banyak curahan kerja, baik dalam rupa tenaga-kerja langsung pekerja penambang maupun kerja yang tersembunyi di dalam peralatan, yang harus dikerahkan untuk menghasilkan secuil emas. Itulah mengapa emas bernilai jauh lebih tinggi dari kerupuk asin di pasar.
Lalu Bapa juga dengan gagah berani mengajukan alternatif cerdas atas teori nilai. Bapa mengatakan: “… guna barangnya, atau apakah barang itu diminati atau tidak, ikut menentukan nilainya” (Magnis-Suseno 1999: 193). Menurut ‘catatan kritis’ ini, barang yang amat diminati dengan sendirinya lebih bernilai daripada barang yang kurang diminati. Selain oleh Bapa, ‘catatan kritis’ sejenis ini biasanya dilontarkan oleh sekelompok sarjana yang dijuluki Marx sebagai ekonom-ekonom vulgar. Apabila benar kegunaan merupakan penentu akhir nilai komoditi, mengapa nilai beras jauh lebih rendah daripada lukisan surealis, padahal beras berguna bagi ratusan juta penduduk Pulau Jawa dalam segala situasi, sementara itu lukisan surealis hanya berguna untuk mereka yang sudah punya cadangan pangan untuk tujuh turunan?
Selain itu, di dalam ‘catatan kritis’ di atas teronggok anggapan bahwa kaitan antara barang dengan ‘minat’ atau kegunaan sudah melekat di dalam benak semua manusia sejak Tuhan menciptakan Adam (alaihi salam). Minat atau kegunaan terhadap pasta gigi, sabun muka, atau kondisioner sudah melekat di dalam kodrat manusia dan pasar hanya menyambungkannya saja. Nyatanya, para arkeolog, antropolog, atau sosiolog, melaporkan bahwa kegunaan atau minat pada sesuatu barang merupakan bentukan sosial dan historis sifatnya. Petani Jawa tradisional yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua lewat jalur program transmigrasi tentu menganggap sagu dan ulat sagu sebagai sesuatu yang tidak layak diminati dan tidak berkegunaan karena dalam kerangka budaya mereka keduanya bukanlah makanan. Begitu pula daging anjing di mata sekeluarga Muslim atau orang Amerika beragama Kristen Episcopal. Meski berbeda alasan, bagi Muslim atau orang Amerika itu, daging anjing bukanlah makanan, apalagi makanan lezat seperti yang umumnya dikatakan orang Korea atau Batak Kristen, sehingga tidak akan menganggapnya berguna, apalagi bernilai.
Di dalam masyarakat kontemporer, setelah kapitalisme bergerak ke sistem pengorganisasian sirkulasi kapital yang biasa dikenal sebagai Fordisme dengan produksi massalnya, kebutuhan akan konsumsi massal mendorong tumbuhnya industri periklanan. Tujuan mulia periklanan ialah merekayasa ‘kegunaan’ barang atau ‘minat’ konsumen terhadap sesuatu. Jadi, boleh dibilang cukup ganjil sebuah ‘catatan kritis’ yang menyatakan bahwa nilai komoditi ditentukan oleh kegunaan atau minat seseorang terhadapnya. Akan ada bermiliar paduan kemungkinan dari berbagai faktor subjektif-psikologis yang menentukan minat atau kegunaan suatu barang bagi seorang individu saja. ‘Penghitungannya’ akan menghanguskan prosesor komputer Anda. ‘Teori kegunaan/minat atas nilai’ ini jauh lebih tidak bisa diukur.
Teori kegunaan atau minat atas nilai komoditi juga tidak bisa menjawab soal cenderung susutnya nilai komoditi seiring dengan perkembangan kekuatan produktif. Mengapa harga laptop terus turun dari waktu ke waktu? Apakah ketika laptop sudah menjadi ‘kebutuhan’ sehari-hari bagi sebagian orang, termasuk bagi siswa-siswa sekolah menengah dari kalangan elit, minat orang terhadap laptop turun? Bagaimana mungkin nilai laptop turun sementara semakin banyak orang yang menginginkannya? Apakah ketika belum banyak dikenal orang laptop itu mahal karena banyak diminati sementara ketika banyak orang yang sudah kenal dan menggunakannya laptop tidak lagi diminati? Sungguh sebuah penalaran yang ganjil, setidaknya apabila dialamatkan kepada seorang guru besar filsafat dan “rohaniwan pertama yang menulis tentang Marxisme.”
Teori nilai-kerja, dibanding dengan teori kegunaan, lebih bisa menjelaskan mengapa ada kecenderungan turunnya nilai komoditi seiring dengan peningkatan kekuatan produktif (teknologi) yang menyusutkan waktu kerja rata-rata dalam membuatnya. Susutnya nilai komoditi laptop dari waktu ke waktu, misalnya, terjadi karena komposisi organik kapital, yaitu proporsi kapital-konstan terhadap proporsi kapital-variabel di sektor produksi barang-barang komputer makin tinggi sehingga produktivitas kerja di sektor produksi tersebut menjadi tinggi pula yang ujung-ujungnya menurunkan ongkos produksi per komoditinya.
Seringkali ketidaktahuan ditambah tugas suci dari Tuhan untuk menghancurkan marxisme tampil dalam bentuk pertanyaan konyol.
Bersambung ke Bagian III
Daftar Pustaka
Ferrell, O.C., Geofrey Hirt, dan Linda Ferrell (2008) Business: A Changing World, Boston, dll.: McGraw-Hill Irwin.
Geisst, Charles R. (2004) Wall Street: A History from Its Beginnings to the Fall of Enron, Oxford: Oxford University Press.
Marx, Karl (1990) Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, London: Penguin Books.
Marx, Karl (1990a) Results of Immediate Process of Production, Appendix dalam Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, hlm. 941-1084, London: Penguin Books.
Polanyi, Karl (2001) The Great Transformation: the Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.
Smith, Adam (1990) The Wealth of Nations, Book I-III, London: Penguin Press.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di mayodacosta.wordpress.com pada 26 Juli 2010. Diterbitkan kembali di sini atas seizin penulis untuk tujuan pendidikan.
Gambar: medium.com
Jangankan memahami das kapital, memahami tulisan ini, bagi saya saja masih rumit. “Gak nutut utekku”