Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis (Bagian III)

Charles Markus Sinaga

(a.k.a. Dede Mulyanto)

 

Sambungan dari Bagian II

Catatan 3: Soal Upah dan Teori Pemiskinan Kelas Pekerja

Bapa yang terhormat,

Di dalam Bab Delapan dan Sembilan, Bapa, seperti juga Karl Popper, Joseph Schumpeter, Ludwig von Mises, atau Vilfredo Pareto—untuk contoh-contoh sarjana terkenal yang mengaku kritis terhadap Marx—percaya bahwa Marx menteorikan pemiskinan absolut kelas pekerja. Seperti bapa jelaskan dengan sederhana, teori ekonomi ini menyatakan bahwa semakin lama, kelas pekerja akan semakin miskin dalam arti semakin sedikit barang yang bisa dibeli dengan upah riil yang didapatnya. Upah nominal makin lama akan makin rendah sehingga kelas pekerja akan tersuruk ke dalam kemiskinan absolut.

Seperti juga sarjana-sarjana terkenal tersebut, Bapa yakin betul Marx mengaitkan pemiskinan absolut ini dengan revolusi kelas pekerja. Sederhananya, karena semakin lama kelas pekerja semakin miskin hingga makin lama akan makin sengsara hidupnya, kelas pekerja akan memilih: mati atau revolusi. Bapa kemudian membandingkan “teori Marx ini” dengan kenyataan. Upah riil pekerja tidaklah bertambah rendah. Malah ada perbaikan keadaan. “Kaum buruh tidak menjadi semakin melarat, melainkan selama lebih dari seratus tahun terus mengalami perbaikan keadaan” (h. 204). Itulah sebabnya, kata Bapa, “tak satu negara kapitalis pun yang mengalami revolusi buruh” (h. 175).

Saya bukan Marxis, Bapa. Selain tidak tahu seberapa benar tuduhan bahwa Marx berteori seperti itu, saya juga tidak terlalu ambil pusing benar-tidaknya teori revolusi tersebut andai benar Marx mengajukannya. Yang jelas di buku Bapa saya temukan keganjilan. Bapa, misalnya, menulis: “Sampai sekarang masih dipertentangkan apakah Marx meramalkan pertambahan kemelaratan yang absolut atau yang relatif saja […] yang jelas bahwa menurut The German Ideology dan Manifesto Komunis, revolusi tak terelakkan karena proletariat harus sedemikian melarat sehingga harus memilih antara mati atau berevolusi. Kemelaratan itu adalah kemelaratan absolut (h. 200). Di sini Bapa yakin betul kalau Marx mengajukan teori pemiskinan absolut dengan berlandas pada pembacaan atas Ideologi Jerman (1846) dan Manifesto Komunis (1848). Namun, kemudian Bapa bilang: “Tetapi kurang jelas apakah konsepsi itu juga masih dipertahankan oleh Marx dalam Das Kapital.

Menurut saya yang mengidap kelemahan daya berpikir filosofis, pernyataan ini agak ajaib. Bukankah Bapa memberi tahu pembaca bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital” (h. 266, catatan akhir 1). Tapi mengapa Bapa mendasarkan pengetahuan Bapa tentang teori pemiskinan Marx, yang terkait erat atau boleh dikata menyatu dengan teorinya tentang upah dan nilai tenaga-kerja serta akumulasi kapital, kepada Ideologi Jerman dan Manifesto Komunis, dan bukannya kepada “tiga jilid Das Kapital”?

Seandainya betul Bapa membaca “ketiga jilid Das Kapital,” akan ditemukan bahwa Marx tidak mengungkit-ungkit lagi teori dari masa gejolak kawula mudanya tentang pemiskinan terus-menerus kelas pekerja secara absolut seperti yang Bapa tuduhkan. Di dalam Bab XXV jilid pertama Das Kapital yang diberi judul “Hukum Umum Akumulasi Kapital,” Marx menjelaskan bahwa nilai tenaga-kerja yang setara dengan nilai sarana hidup kelas pekerja akan susut seiring dengan peningkatan produktivitas kerja rata-rata. Dorongan untuk akumulasi kapital membikin kapitalis-kapitalis individual berlomba-lomba menanamkan kembali (sebagian) nilai-lebih yang didapat menjadi kapital. Untuk meningkatkan produktivitas (tentu Bapa sudah paham maksud dengan produktif di dalam perekonomian kapitalis, kan?), kapitalis menanam kapital ke permesinan dan teknologi produksi. Peningkatan kekuatan produktif permesinan (kapital-konstan), pada satu sisi, akan menyusutkan waktu-kerja perlu yang diperlukan pekerja untuk mengembalikan nilai yang telah dibayarkan kapitalis kepada mereka; dan pada sisi lain berarti menyusutkan nilai komoditi yang dihasilkan. Selain itu, susutnya waktu-kerja perlu berarti memanjangnya rentangan waktu-kerja lebih. Dengan demikian kerja menjadi lebih produktif dalam arti lebih banyak menghasilkan nilai-lebih tanpa harus memanjangkan durasi waktu kerja secara umum. Nilai-lebih yang diperoleh kapitalis dari pemendekan waktu-kerja perlu ini disebut “nilai-lebih relatif.”

Apa kaitannya eksploitasi relatif ini dengan upah pekerja? Susutnya waktu kerja-perlu yang menyusutkan nilai akhir komoditi berarti makin murahnya harga komoditi, termasuk harga komoditi yang merupakan sarana hidup kelas pekerja. Karena nilai tenaga-kerja merupakan nilai sarana hidup yang diperlukan secara sosial untuk ‘menghasilkannya’, dengan murahnya harga-harga kebutuhan pokok yang disebabkan peningkatan produktivitas, maka upah pekerja juga secara relatif lebih murah.

Sebagai filsuf yang berpengetahuan luas, tentu Bapa tahu perseteruan tuan-tuan tanah Inggris dengan para industrialis pada awal abad ke-19. Para tuan tanah yang lahan pertanian mereka menghasilkan jagung menekan parlemen untuk melarang impor jagung. Impor berarti mereka harus bersaing dengan produsen jagung yang bisa menjual jagung lebih murah. Di sini, industrialis menghendaki turunnya harga jagung sehingga mendesak parlemen mengijinkan impor jagung. Mereka ingin jagung-jagung lebih murah. Mengapa? Karena jagung merupakan bahan pangan pokok kelas pekerja. Dengan murahnya jagung, berarti murah juga upah buruh. Rendahnya nilai sarana hidup kelas pekerja berarti rendah pula nilai tenaga-kerjanya. Kapitalis industrial memenangkan perseteruan tersebut. Salah satu pendukung teoritiknya ialah teori keuntungan komparatif dari David Ricardo yang hingga sekarang masih dipergunakan kaum industrialis untuk mendukung impor bahan pangan.

Di dalam pemahaman Bapa, “kaum kapitalis, karena tekanan persaingan, mesti terus-menerus menekan upah” (h. 175). Artinya, upah riil buruh makin lama makin susut dan kemelaratan bertambah secara absolut. Tidak ada perbaikan kondisi kelas pekerja karena dalam pemahaman Bapa “agar dapat bertahan dalam persaingan, si kapitalis harus membuat produksinya menjadi lebih murah, dan karena itu ia mencoba untuk terus-menerus menekan upah kaum buruh” (h. 199-200). Dari pemahaman Bapa seperti ini terbayang bahwa kapitalis akan berupaya menurunkan upah sehingga buruh semakin sedikit saja bisa membeli barang kebutuhan hidup dengan upahnya (premis pertama). Karena ternyata upah riil tidak senantiasa turun dan keadaan kelas buruh mengalami perbaikan (premis kedua), maka teori Marx salah (kesimpulan). Kira-kira begitulah silogisme yang coba Bapa bangun untuk meyakinkan pembaca akan kenaifan Marx.

Karena Bapa sesumbar bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital,” maka saya pun baca kembali Das Kapital, terutama jilid pertamanya. Anehnya, teori yang Bapa kemukakan tidak saya temukan di sana. Saya ulang beberapa kali pembacaan saya, terutama untuk Bab XXII dan XXV. Takutnya saya salah paham. Maklumlah, saya kan bukan ahli Marx. Tapi tetap saja, Bapa. Di sana justru saya temukan penjelasan bahwa upah riil bisa saja meningkat dari waktu ke waktu terkait dengan taraf akumulasi kapital. Untuk lapisan kelas pekerja yang disebut Marx sebagai “aristokrasi pekerja” (Marx 1990: 822) seperti para insinyur atau teknisi ahli yang strategis untuk memproduksi, menjalankan, dan mengoperasikan permesinan dan teknologi baru, upah riil jelas lebih tinggi ketimbang upah riil rata-rata nasional. Di dalam Bab XXII (Marx 1990: 702-705), misalnya, Marx menjelaskan bahwa upah riil meningkat seiring dengan akumulasi kapital. Di wilayah-wilayah yang perkembangan kapitalismenya maju, upah riil akan lebih tinggi daripada upah riil di wilayah yang lebih terbelakang. Dijelaskan juga bahwa seiring dengan waktu upah riil cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya taraf industrialisasi suatu wilayah.

Di samping itu, Bapa, untuk bisa kompetitif, mengotak-atik ongkos produksi atau dalam ekonomi Marxis disebut “harga produksi”, hanya salah satu jalan saja buat kapitalis. Apabila benar Bapa membaca “tiga jilid Das Kapital,” dengan mudah Bapa bisa menemukan penjelasan Marx bahwa upaya kapitalis meningkatkan perolehan nilai-lebih tidak selalu dengan menekan upah buruh atau memperpanjang durasi waktu kerja. Bahkan sepanjang sejarah yang bisa Marx tangkap, justru pemendekan waktu kerja perlu, yaitu dengan meningkatkan kekuatan produktif permesinanlah yang disasar. Pemendekan waktu kerja-perlu bisa 1) memperpanjang rentang waktu kerja-lebih (rentang penciptaan nilai-lebih) sehingga 2) meningkatkan produktivitas kerja yang 3) berdampak pada penurunan nilai komoditi yang dihasilkan dan dengan demikian secara tidak langsung 4) menyusutkan ongkos produksi per potong. Susutnya nilai komoditi yang disebabkan peningkatan produktivitas kerja 5) menurunkan nilai tenaga-kerja karena nilai sarana hidup turut turun.

Turunnya nilai tenaga-kerja belum tentu diikuti oleh turunnya upah riil. Bisa saja besaran upah riil meningkat. Artinya, banyak barang kebutuhan yang bisa dibeli pekerja dengan upahnya karena harga komoditi sarana hidup turun seiring akumulasi kapital. Pada masa kejayaan “negara kesejahteraan” (yang pengagungannya oleh Bapa akan saya bahas kemudian), sebagian sarana hidup kelas pekerja dibayar oleh negara sehingga upah riil pekerja secara relatif tinggi. Para pekerja tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Negara mensubsidi sektor-sektor konsumsi kelas pekerja ini supaya pekerja bisa mengkonsumsi komoditi lebih banyak. Di Indonesia, selain berbagai subsidi, kebijakan penetapan harga gabah merupakan salah satu sarana pemerintah mengurangi pengeluaran kelas pekerja industrial sehingga upah riil secara relatif tinggi dan mereka bisa membeli lebih banyak barang selain bahan pangan dengan upahnya (meski dengan mengorbankan kaum tani kecil).

Sepanjang seksi 5 Bab XXV, Marx juga menjelaskan dengan contoh-contoh kasus tentang naik-turunnya upah riil sepanjang siklus bisnis (Marx 1990: 802-870). Dari penjelasan tentang naik-turunya upah riil, Marx ingin menegaskan bahwa harga tenaga-kerja, bukan nilainya, diatur terutama oleh pergerakan komposisi cadangan pekerja industrial di dalam kelas pekerja. Upah riil akan cenderung meningkat saat boom ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga-kerja yang tinggi dan akan cenderung turun saat depresi ketika tingkat pengangguran tinggi. Mengapa dibilang ‘cenderung’? Tidak seperti tuduhan Bapa, Marx tidak pernah bilang pergerakan upah riil itu berlaku secara otomatis seperti terbit dan tenggelamnya matahari. Perjuangan kelas aktual yang mencakup aksi-aksi serikat buruh merupakan sarana yang melaluinya kelas pekerja bisa mengambil manfaat atas keadaan demi kepentingan mereka. Perjuangan kelas aktual itu seperti Nabi Yoshua yang bisa menghentikan matahari. Saat kondisi ‘pasar tenaga-kerja’ mendorong permintaan-efektif akan tenaga kerja meningkat, serikat buruh bisa membantu pekerja menawar tinggi harga tenaga-kerjanya dalam kontrak-kontrak industrial. Sementara itu, pada saat permintaan-efektif dari kapitalis susut seiring dengan melayunya kegiatan ekonomi akibat depresi, aksi-aksi bagaimanapun sulit bisa menaikan harga tenaga-kerja (upah nominal). Jadi, Bapa tidak perlu mengutip-ngutip nama besar Jürgen Habermas untuk menyatakan bahwa “upah buruh sudah lama tidak ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, melainkan secara politis.” Maksudnya, tinggi rendahnya upah di negara-negara industri maju merupakan hasil tawar-menawar antara serikat para majikan dan serikat kerja di level nasional” (196). Kalau sekadar ingin menyatakan bahwa perjuangan kedua-dua kelas secara politik menentukan upah nominal, jauh sebelum Jürgen Habermas ingusan Marx sudah bilang begitu, Bapa.

Mengapa Bapa dan para sarjana terkenal itu menegaskan dengan gagah berani bahwa Marx meramalkan upah riil buruh akan semakin turun seiring dengan akumulasi kapital? Pertama, karena di dalam karya mudanya Marx memang seolah-olah menyatakan demikian. Misalnya, di dalam Manifesto Komunis yang ditulis sebagai ‘manifesto’ yang fungsinya sebagai penyemangat gerakan kelas pekerja Jerman dalam Revolusi 1848. Setahun setelah itu, 1849, pandangan tentang pemiskinan absolut kelas pekerja tidak dianutnya lagi.

Kedua, karena Bapa dan para sarjana terkenal itu menyamakan begitu saja nilai tenaga-kerja dengan upah. Apabila Bapa benar-benar melakukan apa yang Bapa katakan (“Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”), tentu Bapa akan dengan mudah menemukan penjelasan Marx tentang perbedaan antara nilai tenaga-kerja dan upah. Landasan analisis Marx terhadap akumulasi kapital beserta berbagai pengaruhnya terhadap pergerakan upah nominal secara koheren terkait dengan teori nilai kerjanya. Sejak halaman pertama Bab XVII, Marx membedakan antara nilai tenaga-kerja, harga tenaga-kerja, dan upah atau bentuk uang dari harga tenaga-kerja. Bisa terjadi penurunan nilai tenaga-kerja karena perkembangan kekuatan produktif di dalam industri penghasil sarana hidup menurunkan nilai sarana hidup sehingga ongkos untuk memulihkan kembali tenaga kerja juga susut. Pada saat yang sama upah bisa naik karena inflasi.

Terlepas dari benar-tidaknya teori akumulasi kapital atas upah yang Marx ajukan, mestinya sebelum Bapa menyatakan bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital,” baca dahulu dengan cermat “tiga jilid Das Kapital” itu sebelum menghakimi Marx dengan teori yang tidak dianutnya. Lari ke Ideologi Jerman atau Manifesto Komunis tidak memecahkan masalah yang hendak Bapa selesaikan, yaitu mencerdakan kehidupan bangsa dengan membuka kembali pemikiran Marx ke ruang-ruang diskusi kritis. Saya sependapat sepenuhnya dengan Bapa bahwa kita tidak bisa memilah Marx menjadi “Marx ekonomis” dan “Marx humanis” karena “Marx mempelajari ilmu ekonomi tetap dengan tujuan mencari syarat-syarat pembebasan manusia dari penghisapan dan keterasingannya. Justru agar emansipasi manusia dapat diusahakan secara realistis, Marx mempelajari hukum-hukum yang menentukan perkembangan perekonomian kapitalis” (h. 179). Semangat Marx untuk mengkritik kapitalisme dan keprihatinan kepada golongan rakyat pekerja tidak pernah berubah bahkan saat Marx masih seorang pemuda liberal radikal yang menulis kritik-kritik terhadap pemerintahan dan elit-elit perekonomian Jerman saat itu. Tetapi Bapa, pengetahuan dan kemampuan analisis ekonomi-politik Marx saat menulis Ideologi Jerman (1846) atau Manifesto Komunis (1848), tidaklah sama dengan saat dia mulai menulis Grundrisse (1857-1858) dan kemudian Das Kapital (1860-an). Teori-teori masa muda heroiknya tentang akumulasi kapital, upah, dan perjuangan kelas tidak bisa disetarakan dengan teori yang dilahirkan dari suatu proses pembelajaran panjang (15 tahunan) terhadap sistem perekonomian kapitalis. Marx itu manusia biasa, Bapa. Meski semangatnya mungkin tetap sama, tetapi pengetahuan dan kemampuan analisis yang dilandasi pengetahuannya akan sesuatu hal tidaklah sama, tapi berubah seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman hidup.

Seorang kawan yang berburuk sangka pernah menyatakan: mungkin karena Bapa tidak menemukan pendukung “teori pemiskinan absolut kelas pekerja” di dalam Das Kapital, maka larilah Bapa ke karya-karya muda Marx lalu mengulang tesis yang diajukan salah seorang senior Bapa di ordo tentang kesinambungan antara Marx muda dan Marx tua dengan penempatan yang keliru. Saya tidak berpandangan demikian. Bapa seorang padri, paham filsafat moral, dan, tentu saja ajarannya Immanuel Kant.

Saya bukan seorang Marxis, Bapa. Tidak ada kepentingan untuk membela teori-teori Marx. Apalagi, seperti Bapa tekankan di awal buku Bapa, ajaran Marxisme sudah banyak yang tidak relevan dengan keadaan sekarang. Saya tidak begitu prihatin soal kebenaran-kebenaran teori Marx atau bantahan orang terhadapnya. Saya cuma pembaca awam yang prihatin kepada sesama pembaca buku. Saya hanya ingin jangan sampai pembaca mendapat pengetahuan tentang Marx dan “catatan-catatan kritis” yang keliru padahal sudah mengeluarkan uang sebesar dua atau tiga kali upah buruh garmen sehari di Bandung untuk membeli buku Bapa.

Menurut pandangan saya yang bukan filsuf, lebih bijak kiranya seksi b, sub-bab 2 Bab Sembilan tidak diberi judul “Pemelaratan yang Terus Bertambah”, tetapi diganti dengan “Teori Pemelaratan yang Terus Bertambah menurut The German Ideology dan Communist Manifesto dan Teori Pemelaratan yang Belum Tentu Bertambah di dalam Grundrisse, A Contribution to the Critique of Political Economy, dan Das Kapital.” Atau, karena di dalam seksi c tersebut Bapa hanya mengungkap teori pemelaratan absolut menurut Ideologi Jerman dan Manifesto Komunis, dan sama sekali tidak mengungkap teori dalam Das Kapital, judulnya bisa “Teori Pemelaratan menurut Marx dalam Karya Awalnya” lalu ditambahkan uraian di seksi baru yang mengulas pemikiran ekonomi Marx tentang subjek yang sama tapi diambil dari karya-karya ekonomi yang matangnya dengan judul “Teori Pemelaratan menurut Marx dalam Karya Matangnya.” Jika Bapa melakukan saran saya, mudah-mudahan ajaran moralnya Immanuel Kant tidak sekadar teori yang Bapa ajarkan kepada mahasiswa supaya bisa menjawab soal-soal ujian dalam matakuliah Filsafat Moral, tetapi dijalankan sebagai bagian dari hidup keseharian Bapa yang suci itu. Bapa tidak bisa melempar tanggung jawab dengan mengatakan “Tetapi kurang jelas apakah konsepsi itu juga masih dipertahankan oleh Marx dalam Das Kapital” (200). Dengan mengatakan “tapi kurang jelas…,” tanpa disadari Bapa sudah menipu pembaca. Bukankah Bapa bilang “seluruh bab ini didasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”?

Masalah besarnya bukan pilihan judul yang tendensius, tetapi bahwa kebanyakan pembaca buku di Indonesia mudah sekali percaya karena mereka memberhalakan titel profesor dan rangkaian daftar pustaka berbahasa asing. Seolah-olah apabila penulisnya profesor, terkenal pula sebagai ahli pikir mumpuni, dan di daftar pustaka tercantum judul-judul buku berbahasa asing, seolah-olah si penulis buku sudah pasti membaca, memahami seluruhnya, dan pasti ulasannya “objektif dan kritis.”

Lalu di pikiran saya yang lemah daya filosofisnya itu muncul tanya: sebetulnya Bapa baca tidak sih “tiga jilid Das Kapital” itu? Apakah catatan akhir 1 untuk Bab Sembilan itu cuma gertak sambel saja supaya pembeli buku terkagum-kagum dan kemudian yakin betul buku Bapa ditulis secara “objektif dan kritis”?

 

Bersambung ke Bagian IV

 

Daftar Pustaka

Ferrell, O.C., Geofrey Hirt, dan Linda Ferrell (2008) Business: A Changing World, Boston, dll.: McGraw-Hill Irwin.

Geisst, Charles R. (2004) Wall Street: A History from Its Beginnings to the Fall of Enron, Oxford: Oxford University Press.

Marx, Karl (1990) Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, London: Penguin Books.

Marx, Karl (1990a) Results of Immediate Process of Production, Appendix dalam Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, hlm. 941-1084, London: Penguin Books.

Polanyi, Karl (2001) The Great Transformation: the Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.

Smith, Adam (1990) The Wealth of Nations, Book I-III, London: Penguin Press.


Tulisan ini sebelumnya dimuat di mayodacosta.wordpress.com pada 26 Juli 2010. Diterbitkan kembali di sini atas seizin penulis untuk tujuan pendidikan.


Gambar: indopolitika.com

Tinggalkan Balasan