Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis (Bagian IV)

Charles Markus Sinaga

(a.k.a. Dede Mulyanto)

 

Sambungan dari Bagian III

Catatan 4: Soal Kepemilikan Korporasi atawa Joint-Stock Company

Bapa Yang Terhormat,

Bapa dididik sebagai rahib jauh sebelum saya dilahirkan. Setahu saya kejujuran merupakan sifat yang penting dan pasti diajarkan sejak Bapa di seminari. Apabila kita tidak tahu, sebaiknya kita jujur katakan tidak tahu. Begitu pula sifat rendah hati. Apabila kita belum pernah membaca suatu buku, tentu kita harus mengakui bahwa kita memang belum membacanya atau kalaupun pernah tetapi tidak tuntas, tentu kita juga harus mengakui terus-terang bahwa kita hanya membaca sebagian saja, tidak sampai tuntas. Sungguh tidak mulia apabila kita umbar bicara ke banyak orang kita ahli, banyak baca, tetapi nyatanya tidak.

Nah, terkait dengan dua sifat mulia seorang rahib di atas, ijinkanlah saya untuk komentari pernyataan Bapa yang berikut:

“Marx berfokus pada para pemilik. Tetapi dalam proses produksi kapitalistik sekarang, para pemilik hampir tidak memainkan peranan, mereka tidak menentukan penanaman modal, dan rente yang mereka tarik (dividen saham) tidak amat berpengaruh (andaikata tidak diberi dividen, upah buruh belum tentu akan mengalami banyak kenaikan)” (Magnis-Suseno 1999: 194).

Ada beberapa hal yang menarik dikomentari dari pernyataan Bapa ini. Pertama, soal “para pemilik hampir tidak memainkan peranan.” Yang Bapa maksud pemilik di sini tentu adalah kapitalis yang memiliki saham korporasi. Bapa yang rendah hati, tentu saja pernyataan ini benar buat mereka yang tidak begitu paham sistem korporasi. Para pemegang saham kecil-kecilan yang memiliki 100 atau 200 lembar saja tentu tidak punya kekuatan apapun untuk bisa mempengaruhi jalannya bisnis. Mereka tidak ada bedanya dengan para penabung di bank-bank konvensional yang mendapatkan bunga atas simpanannya 5-10 persen setahun. Memiliki saham 100-200 lembar tidak serta mereka menjadi kapitalis. Lain ceritanya buat para pemegang saham mayoritas atau controlling block (20-50 persen dari total saham yang diterbitkan). Karena di dalam sistem korporasi, suatu korporasi secara hukum dianggap sebagai individu dan dengan demikian satu korporasi bisa memiliki saham korporasi lain dengan kemampuan yang jauh di atas para pemegang saham kecil-kecilan, maka tidak sulit untuk menguasai mayoritas saham suatu perusahaan. Merekalah “para pemilik” sebenarnya dari korporasi.

Tentu saja Bapa, presiden tidak akan mengurusi pembuatan KTP seorang mantan tapol. Itu urusan ketua RT, kepala desa, camat, polisi, dan danramil setempat. Begitu pula para kapitalis tidak akan ngurus tetek bengek pengangkatan pegawai baru, disain produk, kontrak-kontrak penjualan-pembelian, penyusunan proposal pinjaman ke bank, penghitungan neraca usaha, acara rapat tahunan pemegang saham, dan sebagainya. Bahkan dalam bisnis langsung, seorang CEO dan para direktur hanya mengurus perencanaan jangka panjang. Segala urusan harian menjadi tanggung jawab para manajer senior dan first line manager. Para pemilik saham, entah itu pribadi perusahaan, atau bank, hanya memerhatikan bagian dividen yang menjadi haknya. Tetapi keliru apabila dikatakan bahwa “para pemilik” tidak punya peranan. Pemilik saham mayoritas atau segrup kapitalis yang menduduki posisi controlling block tidak segan-segan mengadakan rapat umum pemegang saham luar biasa untuk memecat CEO dan barisan manajer seniornya apabila dinilai lalai menjalankan tugasnya mencapai target. Selain itu, segala keputusan yang menyangkut langsung urusan laba bersih tahunan, tidak bisa CEO lenggang begitu saja memutuskan. Untuk urusan tetek-bengek kegiatan bisnis harian, memang CEO dan para manajernya yang berkuasa penuh. Tapi soal ekspansi jangka panjang itu urusannya “para pemilik” yang menguasai mayoritas saham perusahaan.

Kedua, soal “rente yang mereka tarik tidak amat berpengaruh.” Bapa yang jujur, tentu saja penyataan ini benar buat para pemegang 100-200 lembar saham dari 100 juta lembar saham yang diterbitkan suatu korporasi. Misalkan saja harga per lembar saham adalah Rp. 10.000,- dengan dividen per tahun, katakanlah 5%. Artinya, pemegang 100 lembar saham hanya akan mendapatkan rente 50 atau 100 ribu rupiah per tahun. Jumlah ini tidak lebih banyak dari bunga tahunan bank atas tabungan biasa. Memiliki saham 100-200 lembar tidak lantas pemiliknya menjadi “kapitalis”. Mereka tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan pendapatan 50 atau 100 ribu rupiah per tahun dari dividen. Tetapi bagaimana dengan pemegang saham mayoritas yang menguasai 30-40% dari total lembar saham yang diterbitkan?

Mungkin, ketika mengetik kata “para pemilik” yang terbayang di benak Bapa ialah seorang mahasiswa pascasarjana suatu sekolah tinggi filsafat yang kebetulan juga seorang “eksekutif muda” yang pernah bilang bahwa dia memiliki beberapa lembar saham suatu perusahaan. Tidakkah terpikir oleh Bapa bahwa yang membeli saham itu adalah, misalnya, J.P. Morgan & Company, sebuah holding company raksasa berkedudukan di Amerika. Tidak terpikir juga bahwa J.P. Morgan Company atau Wal-Mart Inc., lewat anak-anak perusahaannya yang banyak itu, tidak hanya membeli saham-saham dari satu atau dua perusahaan, tetapi dari ratusan perusahaan yang menerbitkan jutaan lembar saham. Tidak terpikir jugakah bahwa jumlah saham yang dikuasai J.P. Morgan Company sebanyak jutaan lembar di masing-masing perusahaan? Andaikata benar kata Bapa “rente yang mereka tarik tidak amat berpengaruh,” mungkin sudah sejak berdirinya beberapa abad yang lalu model kepemilikan korporasi lenyap dari panggung kapitalisme. Lagi pula Bapa, buat apa susah-susah J.P. Morgan & Company atau Wal-Mart Inc. memiliki kedudukan pemegang saham mayoritas di banyak perusahaan, termasuk yang di luar sektor tradisional mereka?

Pembentukan korporasi atau perusahaan saham gabungan merupakan salah satu cara kelas kapitalis memobilisasi pendapatan masyarakat dan mengubahnya menjadi kapital. Seperti sudah diulas di muka, keberadaan perusahaan saham gabungan menguntungkan para kapitalis secara umum, dan para magnate atau aristokrasi keuangan secara khusus. Dengan menjual saham ke publik, para kapitalis tidak perlu memiliki 100 persen kapital (aset dan modal) suatu perusahaan. Cukup dengan 20 atau 30 persen saja mereka bisa mengendalikan kapital perusahaan dengan efektif. Dalam konteks ini, para pemegang saham kecil-kecilan, seperti si mahasiswa pascasarjana sekolah tinggi filsafat itu, mensubsidi kapitalis sehingga bisa menguasai kapital besar dengan modal kecil.

Ketiga, soal “andaikata tidak diberi dividen, upah buruh belum tentu akan mengalami banyak kenaikan.” Terkait dengan penjelasan di atas, seandainya 100 persen saham perusahaan dikuasai para pekerja perusahaan tersebut, tentu akan amat sangat berpengaruh sekali terhadap pendapatan mereka. Misalnya saja total saham ada 100 juta lembar yang selembarnya adalah 10 ribu rupiah. Andaikata di situ ada 1000 pekerja sehingga masing-masing pekerja mendapat bagian 100.000 lembar saham senilai 1000 juta dengan dividen 5 persen, maka setahunnya seorang pekerja bisa mendapatkan tambahan 50 juta rupiah di luar gaji bulanan. Jumlah ini cukup untuk membiayai kuliah anak para pekerja itu di sekolah tinggi filsafat.

Terakhir, mohon maaf apabila saya mengatakan Bapa keliru apabila berpikiran bahwa dalam pemikirannya, Marx hanya berfokus pada “para pemilik” yang “memainkan peranan” seperti dalam model “koperasi sederhana” yang di dalamnya seorang kapitalis adalah majikan langsung dari para pekerjanya. Di dalam sistem koperasi sederhana dan manufaktur, “para pemilik” memang seperti yang Bapa katakan “memainkan peranan dalam menentukan penanaman modal.” Tetapi keliru jikalau Bapa berpikiran analisis Marx bertumpu pada kapitalis jenis ini saja. Analisis Marx terhadap sistem kapitalisme secara teoritik murni yang menggunakan “kapitalis individual” sebagai pelaku utama, tentu saja hanyalah cara analisis saja Bapa. Tetapi, Marx tidak berhenti sampai di rumusan abstrak “kapitalis individual vs pekerja individual.” Sepengetahuan saya yang bukan ahli Marx ini, semenjak Bab XIV hingga akhir jilid pertama Das Kapital, analisis Marx lebih historis.

Dalam kaitannya dengan organisasi kapital joint-stock company, sudah sejak Das Kapital jilid pertama, Marx mengantisipasi dominasi corak pengorganisasian kapital tersebut dalam perkembangan kapitalisme. Dalam penilaian Marx, perusahaan saham gabungan, bersama-sama dengan sistem hutang nasional (tentu saja dengan keberadaan Bank Sentral dalam perekonomian modern) merupakan basis dari kecenderungan “perjudian pasar saham dan bankokrasi modern” (Marx 1990: 919) yang membiakkan perekonomian spekulasi dan kekuasaan bankir melampaui industrialis terhadap perekonomian secara umum. Marx tidak keliru. Sekarang ini, kapital-uang lebih banyak bersirkulasi di dalam perdagangan mata uang, sekuritas, dan tetek-bengek future ketimbang di dalam sektor riil.

Memang benar petuah nenek saya, Bapa: jangan terlalu sering melamun di depan pintu. Mungkin Bapa terlalu sibuk membikin catatan-catatan kritis hingga tidak sempat membaca karya orang yang hendak dikritik.

Kembali ke soal kejujuran dan kerendahhatian, saya hanya ingin bertanya: apakah Bapa mau mengakui bahwa Bapa sebetulnya tidak baca Das Kapital? Jujur saja Bapa. Sudah 12.000 orang yang membeli buku Bapa mendapatkan keterangan palsu. Keterangan bahwa Marx begitu bodohnya sehingga tidak tahu cara kerja joint-stock company yang sejak masa hidupnya Sir Adam Smith saja sudah bikin masalah. Coba pinjam buku ke mahasiswa Bapa yang dulu kuliah sarjana di fakultas ekonomi. Pinjamlah buku sejarah korporasi atau Wall-Street, dan cari di indeks: South Sea Company. Lalu cari tahu kapan korporasi itu hidup dan akhirnya ditutup karena bikin masalah.

O iya Bapa, sebelum lupa, sudahkah Bapa baca juga Das Kapital jilid ketiga yang bab terakhirnya dirancang untuk mengulas bursa saham dan peranan joint-stock company di dalam kapitalisme? Saya curiga sih belum.

Catatan 5: Soal Monopoli

Salam Bapa,

Seperti catatan no. 4, catatan kali ini juga remeh-temeh belaka Bapa. Di dalam buku, Bapa menulis: “Monopoli dan kartel misalnya, justru tidak diizinkan berkembang bebas dalam negara-negara industri maju” (hlm. 204-205).

Konteks pernyataan ini ialah kritik Bapa yang bersahaja terhadap teori-teori marxis yang menurut Bapa dibuat untuk menutupi kenyataan bahwa ramalan Marx tentang keruntuhan kapitalisme ternyata tidak terbukti. Mengapa kapitalisme belum juga runtuh? Karena, menurut Lenin, kapitalisme berkembang ke arah monopoli dan imperialisme memperlambat keruntuhannya. Begitu kira-kira yang saya pahami dari tulisan Bapa.

Saya sih tidak begitu peduli soal benar-tidaknya teori-teori kaum marxis tentang keruntuhan kapitalisme itu. Saya cuma tertarik pada pernyataan Bapa di atas. Pertanyaannya: benarkah “monopoli dan kartel justru tidak diizinkan berkembang bebas dalam negara-negara industri maju”?

Tentu saja pernyataan Bapa ada benarnya karena ada produk hukum di “negara-negara industri maju” yang melarang bentuk-bentuk monopoli sebab sesuai dengan keyakinan borjuis kepada liberalisme, monopoli menghambat perkembangan ekonomi dan merugikan konsumen.

Secara normatif, peraturan seperti Sherman Anti-Trust Act yang terbit pada 1890 dan Clayton Acts yang terbit pada 1916, misalnya, memang melarang praktik-praktik monopoli. Tetapi dalam praktiknya, merger, pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain, dan terbentuknya monopoli industrial bisa dilakukan tanpa kesulitan berarti bahkan sejak kedua undang-undang tersebut diterbitkan, terutama, tentu saja, bagi korporasi-korporasi besar.

Salah satu bentuk monopoli yang paling solid adalah merger atau trust atau pakatan. Sejak akhir abad ke-19 hingga sekarang, proses penyatuan dua atau lebih perusahaan besar menjadi satu perusahaan yang lebih besar lagi terus terjadi dengan nilai kapital gabungan yang kian raksasa. Dari 1950 hingga 1959, rata-rata ada merger 540 korporasi per tahun. Dari 1960 hingga 1967, ada 1100 merger per tahun, dan pada tahun 1968 saja ada 2655 merger. Tentu saja, korporasi-korporasi yang merger di tahun-tahun itu dari berbagai ukuran. Ada yang besar, ada yang menengah, dan ada pula yang raksasa.

Semenjak 1990-an, korporasi-korporasi yang merger didominasi kontrak-kontrak merger dengan nilai kontrak yang raksasa. Pada tahun 1999, kontrak pembelian Mannesmann oleh Vodafone bernilai 183 milyar dolar dan Pfizer membeli Warner Lambert senilai 90 milyar dolar. Tahun sebelumnya Mobil Oil dibeli oleh Exxon senilai 77,2 milyar dolar dan kontrak pembelian British Petroleum terhadap Amoco bernilai 53 milyar dolar. Apabila Bapa tidak percaya data ini, silahkan tanya ke mahasiswa Bapa yang tahu perekonomian global atau coba sekali-kali Bapa menengok ke dunia nyata dengan melihat lewat:

http://en.wikipedia.org/wiki/Merger_and_acquisitions.

Dari tahun 2000 hingga 2008, ada 13 kontrak-kotrak merger dari 25 korporasi raksasa yang mempunyai nama terkenal di seluruh dunia. Di antaranya adalah merger antara Hewlett-Packard dan Compaq di bidang komputer, J.P. Morgan Chase dan Bank One di bidang perbankan, Walt Disney Company dan Pixar serta Paramount dan Dreamwork di bisnis hiburan, lalu ada juga antara Lucent dan Alcatel (Ferrell, Hirt, dan Ferrell 2008: 167).

Merger-merger antar perusahaan besar yang bergerak di lini produksi yang sama menjadikan panggung dunia usaha tampaknya hanya akan diisi oleh beberapa pemain raksasa saja. Di beberapa lini produksi, masa depan itu tampaknya sudah terlihat jelas. Misalnya, sebagian besar pangsa pasar produk farmasi dunia dikuasai hanya oleh tiga korporasi raksasa dunia, yaitu Sanofi-Aventis, Pfizer, dan GlaxoSmithKline. Selebihnya boleh dianggap dikuasai oleh figuran-figuran nasional di dalam drama akumulasi dan konsentrasi kapital sektor farmasi, Bapa.

Kalau Bapa terlalu sibuk untuk melihat dunia nyata yang nun jauh di Amerika, coba saja Bapa iseng-iseng tanya ke mahasiswa pascasarajana Bapa yang dulunya kuliah di fakultas ekonomi UI: siapa sih yang membeli Bank Ekonomi dengan ratusan cabangnya itu? Siapa sih yang membeli Bank Internasional Indonesia? Siapa sih yang membeli Bank Lippo dan Bank Bali? Atau, apabila enggan bertanya karena malu dianggap kuper, coba saja datang sendiri ke warung sebelah kampus lalu cari tahu: berapa korporasi sih yang memproduksi hampir semua produk sabun-sabunan di Indonesia? Ada berapa korporasi yang mengendalikan produksi dan pemasaran susu kemasan dari beraneka jenis itu di Indonesia? Korporasi apa saja sih yang memproduksi hampir semua produk minuman dalam kemasan? Cara menyelidikinya mudah, Bapa. Cukup bawa pulpen yang masih ada tintanya, lalu Bapa catat itu nama korporasi yang biasanya ada di bagian belakang kemasan produk. Mudah-mudahan saran saya berfaedah membuka wawasan Bapa yang sempit.

Bapa mau tahu jawabannya kenapa merger, pakatan, trust, kartel, atau apapun jenis pengorganisasian kapital monopoli masih saja terjadi? Seorang sejarawan Wall Street, Richard Geisst (dia bukan marxis atau neomarxis lho, Bapa) menjelaskan sebabnya:

“Dengan bersembunyi di balik payung holding company, banyak perusahaan bisa membeli saham sesamanya sehingga menyamarkan kepemilikan sebenarnya. Perusahaan bisa memiliki perusahaan lain di dalam bisnis yang sama tanpa meningkatkan kemungkinan tertangkap basah. Pengajuan ke muka hukum dengan Sherman Act akan sangat sulit karena butuh waktu lama untuk menentukan mana perusahaan yang memiliki perusahaan lainnya” (Geisst 2004: 127).

Lalu, Geisst mengambil kesimpulan:

“meski Sherman dan Clayton Act sudah dituliskan di buku-buku selama puluhan tahun, ada kesepakatan umum bahwa pengaruh mereka sangat terbatas. Meskipun J.P. Morgan and Company dihalangi geraknya oleh berbagai undang-undang perbankan dan sekuritas, ada perasaan yang tersebar luas bahwa ia masih amat sangat terkait dalam investasi-investasi perbankan” (Geisst 2004: 258).

Sejak 1970-an kebijakan anti-trust Amerika digugat lebih terus terang. Menurut ekonom-ekonom jenis baru dari Mazhab Chicago, yang mulai punya suara di Amerika setelah salah seorang tokohnya Milton Friedman mendapatkan Hadiah Nobel, kebijakan tersebut menghambat efisiensi yang menjadi sebab kemandekan ekonomi Amerika. Akhirnya, pada dasawarsa 1980-an, saat Presiden Reagan yang disokong oleh ekonom-ekonom Mazhab Chicago dan terkenal dengan program-program neoliberalnya berkuasa, akhirnya kebijakan-kebijakan anti-trust seperti Sherman Anti-Trust Act atau Clayton Act diminimalisasi pengaruhnya dengan definisi ulang atas berbagai peristilahan di dalamnya.

Dari membandingkan kenyataan seperti ini dengan pernyataan Bapa di atas, tampaknya Bapa betul-betul sangat berkualifikasi sebagai seorang filsuf dalam arti sebenarnya yang lebih sanggup melihat apa yang semestinya berlaku ketimbang menengok apa yang sebetulnya terjadi. Pernyataan Bapa sungguh “tidak sesuai dengan kecanggihan kenyataan yang sebenarnya”, dan akhirnya “menjauh dari kenyataan”.

Monopoli bukanlah mode, Bapa, tetapi konsekuensi logis dari akumulasi dan konsentrasi kapital serta perkembangan timpang perekonomian secara keseluruhan yang diakibatkannya. Konsekuensi logis yang diketemukan Marx waktu menyelidiki hakikat perekonomian kapitalis sekarang amat sangat dengan mudah sekali bisa dijumpai bukti empirisnya. Itupun kalau Bapa sudi turun dari menara gading bersepuh emas.

Sekadar Basa-basi

Bapa yang terhormat,

Sebetulnya ada banyak hal lain yang ingin sekali saya komentari. Misalnya soal pernyataan Bapa: “Kaum buruh tidak menjadi semakin melarat, melainkan selama lebih dari seratus tahun terus mengalami perbaikan keadaan” (hlm. 204). Dari mana Bapa dapat kesimpulan ini sementara tak lebih 100 kilometer dari kampus Bapa yang ruang kelasnya ber-AC dan rindang taman diskusinya itu masih banyak pabrik-pabrik sweatshop (cari definisinya di kamus). Belum lagi kaum pekerja di sektor yang disebut Marx “industri domestik” yang disubkontrak perusahaan subkontrak Indonesia yang disubkontraktor oleh perusahaan subkontraknya Nike atau GAP yang berkantor di Singapura yang banyak di pinggiran Bogor, Bandung, Bekasi yang menjalani hidup seperti leluhur mereka di masa Revolusi Inggris. Tidak seberuntung saudara mereka yang ada di dalam pabrik, para pekerja industri domestik yang tidak tercatat di Depnakertrans bekerja dengan upah 6000 rupiah (6 sen US$) per potong baju Nike yang dijual di Amerika seharga US$ 22,99, tanpa tunjangan apapun, dan si perusahaan yang mempekerjakan mereka langsung dengan sistem putting-out atau pesanan bisa meninggalkan mereka begitu saja tanpa salam perpisahan. Belum lagi keadaan kelas pekerja yang tidak lagi dipekerjakan: pensiun, dipecat, cacat kecelakaan kerja, atau sakit-sakitan. Tolonglah Bapa, kalau bikin pernyataan hendaknya dipikir dulu masak-masak. Sekali-kali turunlah dari menara gading emas.

Tapi setelah dipikir-pikir sepertinya saya akan melakukan sesuatu yang sia-sia apabila melanjutkan menulis soal kekeliruan Bapa soal pemikiran ekonomi Marx yang seringkali bikin saya tak habis pikir bisa terjadi pada seorang guru besar filsafat ahli Marx. Bapa dibesarkan dan dididik di bawah masanya Paus Pius XXII dan masuk ke Indonesia bersama Pater Beek, dan sekarang sudah renta pula, sudah siap ke Girisonta. Tampaknya saran mengaku dosa atas kesalahan dan pembodohan yang Bapa tebarkan lewat buku Bapa dan untuk belajar kembali Das Kapital sulit bisa dijalani. Tetapi, bahkan kotoran pun bisa jadi pupuk, saya haturkan terima kasih kepada Bapa telah menulis soal Marx. Saya akan lebih berterima kasih lagi apabila Bapa merevisinya.

 

Daftar Pustaka

Ferrell, O.C., Geofrey Hirt, dan Linda Ferrell (2008) Business: A Changing World, Boston, dll.: McGraw-Hill Irwin.

Geisst, Charles R. (2004) Wall Street: A History from Its Beginnings to the Fall of Enron, Oxford: Oxford University Press.

Marx, Karl (1990) Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, London: Penguin Books.

Marx, Karl (1990a) Results of Immediate Process of Production, Appendix dalam Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, hlm. 941-1084, London: Penguin Books.

Polanyi, Karl (2001) The Great Transformation: the Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.

Smith, Adam (1990) The Wealth of Nations, Book I-III, London: Penguin Press.


Tulisan ini sebelumnya dimuat di mayodacosta.wordpress.com pada 26 Juli 2010. Diterbitkan kembali di sini atas seizin penulis untuk tujuan pendidikan.


Gambar: indopolitika.com

3 thoughts on “Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis (Bagian IV)

Tinggalkan Balasan