Bebaskan Aktivis Papua & Hentikan Pembungkaman Ruang Demokrasi!

Pertimbangan

“Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM,” begitu bunyi kalimat pertama bagian pertimbangan kenapa Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR – Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Namun, kebebasan sipil dan politik di Indonesia kemungkinan besar akan terus memburuk. Hal itu diakibatkan karena:

Pertama, maraknya penggunaan sangkaan makar untuk menangkap dan menahan aktivis politik Papua maupun aktivis pembela HAM di Papua oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hingga hari ini, tercatat ada 22 aktivis politik Papua yang ditahan dengan pasal “makar” (pasal 106 dan 110 KUHP). Umumnya, mereka ditahan karena mengorganisir dan/atau terlibat aksi-aksi demonstrasi yang memprotes ujaran dan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya—kejadian yang dalang dan pelakunya tidak diusut secara serius oleh kepolisian Indonesia—pertengahan Agustus lalu.

Kedua, maraknya berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk menekan protes rakyat untuk melawan berbagai undang-undang yang menindas rakyat. Kawan-kawan kami dikejar, dipukul, dikeroyok, ditendang, dan diinjak-injak dengan sepatu lars. Lima kawan kami meninggal sebagai syahid. Ratusan yang lain ditangkap dan diproses hukum tak sesuai prosedur. Hingga kini, kematian kawan-kawan yang gugur belum diusut tuntas. Padahal, kawan-kawan mengekspresikan aspirasi politiknya secara damai. Tidak hanya itu, masyarakat sipil non demonsran serta wartawan juga menjadi korban dari represi dan intimidasi dalam aksi-aksi itu.

Saat berbagai undang-undang yang menindas rakyat untuk kepentingan konglomerat dan kebijakan lain yang tidak pro rakyat serta tidak sesuai prinsip demokrasi, HAM, dan Pembukaan UUD 1945 dibuat, upaya pembungkaman mimbar demokrasi juga dilakukan pemerintah dengan mengintruksikan kementerian pendidikan dan kebudayaan serta kementetrian riset dan pendidikan tinggi untuk sebisa mungkin membuat mahasiswa dan pelajar tidak berdemontrasi.

Pendapat

Kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, dan berserikat dijamin oleh pasal 18, 19, dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi pemerintah dalam UU No. 15 tahun 2005. Bahkan, pasal 19 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

Negara, dalam hal ini Kepolisian, telah bertindak di luar batas-batas hak asasi manusia. Penangkapan, penahanan yang dilakukan pihak Kepolisian bertentangan dengan Perkap Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa pasal 21 (2) huruf a: “Kepolisian wajib menghormati hak asasi manusia dari setiap orang yang melakukan unjuk rasa”. Dalam Pasal 17 KUHAP juga disebukan bahwa “Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup”. Kebebasan pers juga dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No 40 Tahun.

Kami berpendapat bahwa pemberangusan terhadap ruang-ruang demokrasi disebabkan karena Negara hingga kini masih tunduk di bawah kendali oligarki. Oligarki, dalam hal ini, adalah sistem pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Mereka mendirikan partai politik, mengendalikan proses politik elektoral, mengendalikan parlemen dan pos-pos penting pemerintahan.

Untuk itu, melalui aksi ini kami mendesakkan tuntutan dan seruan di bawah ini.

Tuntutan Pokok

  1. Bebaskan tanpa syarat 22 aktivis Papua yang menjadi tahanan politik, termasuk Surya Anta Ginting;
  2. Bebaskan tanpa syarat mahasiswa dan pelajar yang ditahan;
  3. Usut tuntas dan adili serta hentikan segala bentuk intimidasi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa dan warga sipil Papua;
  4. Hentikan kriminalisasi dan pembungkaman aktivis HAM yang mengadvokasi berbagai pelanggaran HAM di Papua;
  5. Buka akses pers lokal dan internasional serta hentikan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis di Papua;
  6. Hentikan upaya dan tindakan pembungkaman ruang demokrasi melalui institusi pendidikan;
  7. Usut tuntas dan adili aparat yang melakukan tindakan represif terhadap aktivis di berbagai daerah;
  8. Jalankan demiliterisasi di Papua.

Tuntutan Umum

  1. Segera terbitkan Perppu pencabutan UU KPK, UU SD-AIR, UU Perubahan Pembetukan Perundang-undangan, dan UU Sistem Budidaya Pertanian; Cabut RKUHP dan RUU Permasyarakatan; Segera sahkan RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat; Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan.

Seruan

Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen gerakan rakyat di berbagai daerah di Indonesia untuk terus merapatkan barisan, sekaligus meneruskan perjuangan kawan-kawan yang telah gugur, hanya karena memperjuangkan hak-hak rakyat. Sudah saatnya mahasiswa, pelajar, buruh, petani, bersatu padu mengakurasi perlawanan pada oligarki yang telah membajak demokrasi dengan membangun politik alternatif. Selama demokrasi dan hak asasi dipasung, tidak alasan untuk mundur. Aksi-aksi berkelanjutan perlu terus dilakukan, sekaligus untuk mengingatkan sesama rakyat bahwa Negara sedang dicengkeram oligarki. Bara api perlawanan dijaga, sampai revolusi, sampai hancur oligarki!

 

Solidaritas Rakyat Malang Untuk Demokrasi
(SOLIDER)

Malang, 21 Oktober 2019

Tinggalkan Balasan