Oleh:
Ahmad Ubaidillah
(Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Jawa Timur)
Dalam simposium tentang pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Universitas Paramadina (18/3/2005), Dr. Bahtiar Effendy, sebagaimana dikutip Luthfi Assyaukanie dalam bukunya Islam Benar Versus Islam Salah, menyatakan bahwa Cak Nur lebih tepat disebut sebagai seorang kapitalis religius ketimbang sosialis religius. Bahtiar merasa kesulitan berbicara tentang sosialisme religius menurut Cak Nur, karena pemikiran-pemikiran Cak Nur dalam hal ekonomi cenderung pada kapitalis.
Pemahaman Bahtiar tentang ketiadaan pemikiran Cak Nur mengenai sosialisme dibenarkan Luthfi Assyaukanie. Menurutnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat dengan liberalisme-kapitalisme ketimbang sosialisme. Selanjutnya, Luthfi Assyaukanie juga mengutip buku Cak Nur berjudul Indonesia Kita, yang menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas tidak hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat. Tetapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi.
Cita-cita Politik Islam
Luthfi Assyaukanie juga mengatakan dalam bukunya tersebut, bahwa Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung ekonomi sosialis atau ekonomi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan ini harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas. Benarkah pandangan ekonomi Cak Nur begitu liberal-kapitalistik? Betulkah Cak Nur tidak menyinggung sama sekali sosialisme, bahkan sosialisme religius?
Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menggali pemikiran ekonomi Cak Nur melalui buku yang ditulisnya, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Dalam buku tersebut, Cak Nur sebenarnya bukan seorang kapitalis sebagaimana yang dipahami oleh Bahtiar Effendy dan diamini oleh Luthfi Assyaukanie. Cak Nur, menurut hemat saya, justru lebih dekat kepada sosialis-religius. Bahkan, Cak Nur mengatakan bahwa tidak dapat dihindari adanya keharusan bagi pelaksanaan sosialisme di Indonesia. Untuk mencari sumber-sumber motivasi dan dasar-dasar justifikasi yang ada dalam agama, dalam hal ini Islam. Lalu menjadikan kegiatan pelaksanaannya sebagai suatu investasi akhirat.
Dapatlah dikatakan bahwa sosialisme yang diusung oleh Cak Nur bersifat religius. Mengapa religius? Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius atau karena pengalaman traumatis tentang PKI. Tetapi, digunakannya predikat religius, kata Cak Nur, dapat dicari dasar pembenarannya yang lebih prinsipil dan mendasar. Karena, religius akan memberi dimensi yang lebih mendalam kepada cita-cita sosialisme.
Sosialisme tidak hanya menjadi komitmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan. Bahkan, Cak Nur memberikan semacam manifesto sosialisme religius yang digali dari prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, yang secara langsung berkaitan dengan jiwa dan semangat sosialisme sebagaimana berikut.
- Seluruh alam raya ini berserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhanlah pemilik mutlak segala yang ada.
- Benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan, yang dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanat).
- Penerima amanat harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan kemauan atau kehendak sang pemberi amanat (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah.
- Kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanat Allah itu (yaitu mengumpulkan kekayaan) haruslah didapatkan dengan cara yang bersih dan jujur (halal).
- Setiap tahun, harta yang halal itu harus dibersihkan dengan zakat.
- Penerima amanat harta tidak berhak menggunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya. Melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa, sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum (tidak kikir dan juga tidak boros, melainkan berada di antara keduanya).
- Orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta orang-orang kaya.
- Dalam keadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak mereka itu dari orang-orang kaya, jika pihak kedua ingkar.
- Kejahatan tertinggi terhadap kemanusiaan adalah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberi fungsi sosial.
- Cara memperoleh kekayaan yang paling jahat adalah riba atau eksploitasi kepada manusia lain.
- Manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum mensosialisasikan harta yang dicintainya.
Dalam hal sosialisme religius tersebut, Cak Nur menyadari segi-segi praktis pelaksanaan suatu gagasan atau ide sering kali tidak semudah memahami prinsip-prinsip gagasan tersebut. Karena, menurut intelektual kelas berat ini (sebagaimana dikatakan Buya Syafi’i Ma’arif), hal itu tidak saja menyangkut persoalan komitmen dan tekad. Namun juga terkait aspek ketelitian, keahlian, dan ketekunan. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Tidak ragu lagi untuk dikatakan, sosialisme religius adalah suatu keniscayaan dan sejarah bangsa Indonesia. Ia selalu terlibat dalam persoalan praktis kaum miskin dan kaum tertindas. Para eksponen sosialisme religius harus melibatkan diri dalam persoalan-persoalan praktis ekonomi yang dihadapi bangsa kita dengan berpedoman pada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Qur’an dan Sunnah.
Barangkali sudah saatnya ekonom-ekonom sosialis-religius mulai memikirkan strategi untuk melawan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan bangsa-bangsa asing di negara ini. Sudah waktunya segenap elemen bangsa ini menghentikan paham neoliberalisme ekonomi yang disusupkan oleh penjajah-penjajah masa kini. Sudah masanya kita tidak hanya memfokuskan diri pada pengembangan teori-teori, tetapi juga menciptakan gerakan pembebasan atas nama sosialisme religius.***
*Tulisan ini pertama kali terbit di laman Lampost.co, dimuat ulang di sini atas persetujuan Penulis untuk tujuan pendidikan.
*Sumber Gambar: lsisi.id