Alfredo Saad-Filho
Ekonom Marxis. Professor of Political Economy and International Development at King’s College London. Menulis buku The Value of Marx (2001); Marx’s Capital bersama Ben Fine (2003); Value and Crisis (2019)
Tiba-tiba, kita melihat dunia yang berubah. Jalan-jalan kosong, toko-toko tutup, langit cerah tak seperti biasanya, dan meledaknya jumlah korban jiwa. Ini semua belum pernah terjadi di depan mata kita.
Di mana-mana, berita ekonomi mengkhawatirkan. Pandemi COVID-19 memicu kontraksi ekonomi paling dalam dan tajam sepanjang sejarah kapitalisme.[1] Mengutip Manifesto Komunis, semua yang padat telah mencair ke udara: ‘globalisasi’ menjadi terbalik; rantai pasokan yang panjang, yang sebelumnya merupakan satu-satunya cara ‘rasional’ untuk mengatur produksi, telah runtuh dan perbatasan (antar negara) yang sangat ketat telah mencair; perdagangan telah menurun secara drastis, dan perjalanan internasional menjadi sangat dibatasi. Dalam hitungan hari, puluhan juta pekerja menjadi pengangguran, dan jutaan bisnis kehilangan karyawan, pelanggan, pemasok, dan lini kredit (credit lines) mereka.[2] Beberapa negara memperkirakan kontraksi PDB akan diukur dalam dua digit, dan sebuah antrian panjang dari sektor-sektor terdampak mendorong pemerintah melakukan bailout. Di Inggris saja, bank, kereta api, maskapai penerbangan, bandara, sektor pariwisata, badan amal, sektor hiburan, dan universitas berada di ambang kebangkrutan. Belum lagi para pekerja yang terlantar serta para wirausaha (secara nominal), yang kehilangan segalanya karena guncangan ekonomi yang bahkan belum terasa sepenuhnya.[3]
Keynesianisme Tanggung
Implikasi politiknya dari semua ini tidak pasti. Secara ideologis, wacana neoliberal tentang dorongan ‘penghematan fiskal’ dan pembatasan kebijakan publik telah lenyap. Prinsip pemikiran ekonomi mahzab Austria serta kalangan neoliberal dari berbagai corak mundur secara cepat ke dalam Keynesianisme yang tanggung, seperti yang biasa mereka lakukan ketika ekonomi merosot. Pada saat-saat dibutuhkan, mereka yang paling awal mengambil suntikan Departemen Keuangan lah yang akan mendapat untung besar, dan campur tangan negara sebatas pada apa yang belum dilakukan. Sektor swasta beserta medianya meminta pemerintah mengucurkan dana, dan para pengkhotbah raksasa ‘pasar bebas’ bergegas muncul di layar TV memohon pembelanjaan tak terbatas untuk sektor publik demi menyelamatkan inisiatif swasta. Tentu saja mereka akan kembali normal ketika keadaan mulai pulih dan ingatan terhadap situasi tersebut telah memudar. Pada saat itu, negara akan kembali mengalami ‘ situasi sulit , dan layanan publik akan dirampingkan lagi. Sementara itu, neoliberalisme tiba-tiba kehilangan ideolognya, sedangkan kemarahan kelompok marjinal seperti kelompok anti-vaksin, kaum bumi datar dan fanatis agama yang menyangkal pandemi telah mereda, namun disertai dengan risiko besar yang mereka tanggung sendiri,[4] mereka menjajakan penyembuhan mukjizat berdasarkan solusi yang belum terbukti, atau hanya bisa berdoa dan berpuasa bersama Presiden Brasil Jair Bolsonaro.[5] Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari mereka.
Yang mengejutkan, epidemi itu sendiri tak terduga. Selama beberapa dekade, ahli strategi sipil dan militer telah mempertimbangkan berbagai skenario, terutama sejak pengalaman terjadinya HIV pada 1980-an, SARS pada 2003 dan, baru-baru ini, Ebola, dan penyakit ‘baru’ lainnya.[6] Ancaman munculnya virus jenis flu dari pasar hewan di Cina Selatan sudah dikenal luas.[7] Oleh karena itu, krisis kesehatan dan ekonomi masyarakat tidak disebabkan oleh kegagalan perencanaan, tetapi mencerminkan keputusan politik, terbongkarnya ketidakmampuan negara, kegagalan dari pelaksanaan kebijakan, dan terlalu diremehkannya ancaman yang tentu menghancurkan reputasi sehingga mereka yang bertanggung jawab harus digulung, sebagai bagian dari perhitungan sistemik.[8] Selama beberapa minggu awal tahun 2020 ini, Cina memberi waktu bagi dunia untuk bersiap menghadapi epidemi, dan menawarkan contoh bagaimana menghadapinya. Pemerintah-pemerintah Asia Timur lainnya segera menjalankan (atau kurang lebih mengganggu) alternatif kebijakan, terutama Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam, dan mereka sangat sukses. Sementara itu, pemerintah negara-negara kaya di Barat gagal. Mereka kali ini dihadapkan dengan masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan memberi sanksi, memblokade atau menjatuhkan bom, sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mengherankan, pemerintah Inggris dan AS mengalami nasib yang begitu buruk, sementara Uni Eropa lagi-lagi dikecewakan saat begitu membutuhkan pertolongan.[9]
Meskipun ledakan ekonomi –yang terpusat di negara-negara Barat maju –yang belum pernah terjadi begitu besar dan pasti memiliki konsekuensi jangka panjang bagi perjalanan kapitalisme, ini tidak berarti COVID-19 memukul ekonomi global yang kaya. Pada awal 2020, dunia sudah terjebak ‘stagnasi besar’ akibat Krisis Keuangan Global (Global Financial Crisis/GFC) 2007; bahkan ekonomi raksasa Barat dengan kinerja terbaik, yaitu AS, tampak melambat. Maksudnya bukan untuk memperkecil besarnya bencana, karena ekonomi mana pun akan kewalahan; Namun, karena COVID-19 melanda negara-negara yang rapuh, wabah dengan cepat mengungkapkan kerentanan mereka.
Pandemi yang melanda setelah empat dekade neoliberalisme telah menguras kapasitas negara demi ‘efisiensi superior’ pasar, mendorong deindustrialisasi melalui ‘globalisasi’ produksi, dan membangun struktur keuangan yang rapuh yang hanya dijamin oleh negara, semuanya atas nama profitabilitas jangka pendek. Disintegrasi ekonomi global membuat ekonomi neoliberal yang paling tanpa kompromi, terutama Inggris dan Amerika Serikat, terekspos karena tidak mampu memproduksi masker wajah dan peralatan perlindungan pribadi yang memadai untuk tenaga kesehatan mereka, belum lagi ventilator untuk menjaga populasi yang dirawat di rumah sakit tetap hidup. Pada saat yang sama, penyediaan layanan telah diubah melampaui yang umum dilakukan, di mana pekerjaan online menjadi standar pada daerah-daerah yang tak terhitung jumlahnya hanya dalam hitungan hari, dibanding dalam hitungan tahun yang biasanya dibutuhkan untuk transisi semacam ini, sementara pemujaan neoliberal atas konsumsi dilebur ke dalam tindakan saling berebut secara tidak terhormat demi hand sanitizer, pasta dan sarden, serta perkelahian demi mendapatkan kertas toilet.
Neoliberalisme dengan cepat terbukti telah membuat lubang, sistem kesehatan yang terfragmentasi serta diprivatisasi sebagian di beberapa negara, sembari menciptakan kelas pekerja dengan kondisi tak tentu dan melarat yang sangat rentan mengalami gangguan pendapatan, khawatir terhadap kesehatan karena tidak memiliki tabungan, kondisi perumahan yang buruk, gizi yang tidak memadai, dan pola kerja yang tidak sesuai dengan hidup sehat.[10] Sementara itu, kehancuran kaum sosial-demokratik kiri telah membuat kelas pekerja secara politis tidak terlindungi. Proses-proses ini mencapai puncaknya dalam kegaduhan tak wajar atas output Cina (yang dipimpin oleh negara), di mana AS semakin berperilaku layaknya tukang bully gila, mencuri masker dan ventilator yang tidak bisa mereka produksi atau beli, dan sebagai tambahan, menghina negara-negara yang lebih lemah.[11]
Perbuatan manusia melanggar batas alam mungkin telah menciptakan masalah sejak awal,[12] namun tidak diragukan lagi bahwa penghancuran terhadap kolektivitas di bawah neoliberalisme memperburuk dampak pandemi tersebut. Secara emosional, neoliberalisme telah mendevaluasi kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga waktu yang berharga terbuang sia-sia di beberapa negara – terutama negara dengan administrasi neoliberal sayap kanan yang lebih tanpa kompromi: Amerika Serikat, Inggris dan Brasil – dengan upaya pemerintah untuk memaksakan strategi ‘kekebalan komunitas’ (herd immunity) yang tentu akan membunuh mereka yang tua, lemah, dan memiliki kesehatan rapuh (yang mungkin bagi mereka dapat mengurangi ‘beban’ anggaran fiskal),[13] dibanding memaksa menerapkan lockdown yang, meskipun terbukti mengurangi hilangnya nyawa, akan merugikan profit (shock, horor!) dan menunjukkan bahwa negara dapat memainkan peran konstruktif dalam kehidupan sosial. Tekanan massa dan bukti keberhasilan di Tiongkok dan di tempat lain, pada akhirnya, memaksa pemberlakuan lockdown bahkan pada pemerintah yang paling enggan untuk memberlakukannya, meskipun kadang hanya diberlakukan secara parsial dan ragu-ragu, dan selalu berisiko dirusak oleh pesan-pesan simpang siur dan implementasi yang tak kompeten. Di negara-negara ini, tes juga cenderung terbatas dan staf layanan kesehatan sering dibiarkan mengatasi beban kerja yang semerawut tanpa perlindungan memadai. Pendekatan terhadap pandemi dengan cara seperti ini akan menyebabkan ribuan kematian yang tak seharusnya terjadi dan tanpa tujuan.[14]
Di Inggris, administrasi berantakan yang dipimpin oleh Boris Johnson, yang selalu tak bisa diandalkan, menghadapi dua situasi buruk: di satu sisi, meningkatnya estimasi kematian dan, di sisi lain, estimasi terus memburuknya potensi penurunan PDB. Ditekan sejak dini oleh Partai Konservatif dan oleh beberapa pendukung bisnis paling vokal dari Brexit,[15] pemerintah Inggris terus menggunakan ‘ahli medis’ sebagai pembenar atas perlindungan laba serta gagasan ‘negara kecil’ atas nama sains. Namun, saat dihadapkan dengan opini publik yang semakin marah, pemerintah pun secara dramatis berbalik pada pertengahan Maret namun sudah terlalu terlambat. Karena pilihan awal pemerintah ialah menunda untuk bertindak, kurangnya kesiapsiagaan serta ketidakmampuan yang mengherankan, tentu akan membuat Inggris berakhir pada dua situasi yang sama buruknya: kematian yang tak terhitung jumlahnya (benar-benar tak terhitung, karena adanya upaya yang disengaja untuk tidak melaporkan korban jiwa),[16] dan kerugian ekonomi dalam jumlah ratusan miliar pound.[17]
Implikasi sosial dari pandemi ini muncul dengan cepat, misalnya, melalui perbedaan kemampuan dari tiap kelompok sosial untuk melindungi diri mereka sendiri. Singkatnya, golongan super-kaya pindah ke kapal pesiar pribadi, golongan kaya melarikan diri ke rumah kedua, golongan kelas menengah berjuang untuk bekerja dari rumah sambil ditemani anak-anak mereka yang hiperaktif, dan golongan miskin, yang rata-rata kesehatannya sudah lebih buruk dibanding yang memiliki privileged, kehilangan penghasilan sepenuhnya atau malah harus mempertaruhkan hidup setiap hari untuk melakukan ‘perkerjaan esensial’ yang mendapat banyak pujian tetapi (tidak perlu dikatakan lagi) dengan bayaran rendah, yaitu sebagai pengemudi bus, petugas kesehatan, perawat, portir, penjaga toko, kuli bangunan, petugas sanitasi, petugas pengiriman, dan sebagainya; Sementara itu, anggota keluarga mereka tetap terperangkap dalam tempat tinggal yang sempit. Tidak mengherankan jika orang miskin dan ras minoritas (BAME) secara dramatis terepresentasi secara berlebihan pada statistik kematian.[18]
Menanggapi goncangan itu, banyak pemerintah menghapus kebijakan ekonomi yang diterapkan setelah Krisis Finansial Global (GFC), tetapi segera terbukti tidak cukup: keruntuhan ekonomi ini jauh lebih komprehensif, krisis akan jauh lebih besar, dan dana talangan akan jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya.[19] Belum pernah terjadi sebelumnya, Bank Sentral memberikan pembiayaan langsung kepada perusahaan besar: mereka menyerahkan ‘helicopter money’ (uang kertas yang dicetak dalam jumlah besar) kepada kapitalis terpilih (yang dalam beberapa kasus, segera ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen).[20] Untuk menyamarkan pertunjukan seronok para miliarder, kebanyakan adalah para eksil pajak (orang-orang kaya yang pindah ke daerah yang berpajak rendah), meminta diberikan subsidi dari anggaran negara yang mereka hindari sebelumnya, beberapa pemerintah telah berjanji menyokong pendapatan para pekerja, tetapi biasanya melalui majikan mereka ketimbang secara langsung. Di AS, pemerintah federal akan mengirimkan cek sekali-saja (one-off) yang sangat kecil (yang ditandatangani D. Trump sendiri) ke semua rumah tangga dalam rangka menyamarkan sumbangan mengejutkan yang ditawarkan kepada kapital, dimulai dengan bantuan senilai US $ 2 triliun yang belum pernah terjadi dan tentu akan meningkat, karena kebijakan lockdown terus mengurangi profit serta mengganggu pemilihan presiden dalam waktu dekat.
Jika implikasi ekonomi dari pandemi dipastikan menjadi bencana besar, implikasi politiknya tak dapat diantisipasi secara tepat. Di Inggris, pandemi itu membuka kedok Partai Konservatif (dan, lebih jauh lagi, pemerintah Koalisi beserta pendahulunya, Partai Buruh Inggris dibawah pimpinan Tony Blair dan Gordon Brown atau dikenal sebagai periode New Labour, yang bernasib buruk), karena telah menyerang ketahanan sosial dan secara sistematis menjatuhkan Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS).[21] Bahkan ketika uang dihabiskan pada layanan kesehatan, seperti halnya selama periode New Labour, tujuannya ternyata adalah untuk mengacau dan mengiris Layanan Kesehatan Nasional, memperkenalkan kompetisi terlepas dari biaya, merusak layanan dan memprivatisasi apapun yang bisa dijual, untuk meningkatkan ketergantungan sistem kesehatan pada motif profit.
Berkat pandemi, khotbah Konservatif tentang keharusan ‘penghematan fiskal’ dilenyapkan oleh kapasitas nyata negara untuk menghasilkan uang dari ketiadaan dan memberikan keselamatan kepada sektor-sektor tertentu, selama mereka dianggap ‘penting’ (yang karenanya, tidak berlaku bagi perumahan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya). Pada saat yang sama, ideologi individualisme terbukti sebagai suatu penipuan karena, walaupun mungkin ada individu yang dapat menghindari virus, tidak ada solusi individu terhadap bencana: satu orang saja tidak akan dapat selamat dari epidemi atau dirawat ketika mereka jatuh sakit, dan siapa lagi jika bukan negara yang akan menahan kehancuran ekonomi, mengamankan arus pendapatan ketika ekonomi bangkit, memberlakukan lockdown, dan memberi sumber daya bagi layanan kesehatan? Sebagaimana diketahui kaum kiri, dan Perdana Menteri Inggris juga dipaksa mengakuinya, bagaimanapun ada yang namanya masyarakat.[22] Dan inhumanitas imperatif laba kapitalisme terbuka kedoknya melalui penolakan massa terhadap kebijakan ‘herd immunity’ yang lebih disukai kapitalisme tapi berakibat penghancuran terhadap kalangan non-pekerja.
Tugas Kaum Kiri
Kita sekarang bisa fokus pada apa yang bisa ditekan kaum kiri. Pertama adalah memetik pelajaran. Krisis kesehatan dan keruntuhan ekonomi di Barat, dibandingkan dengan respons yang jauh lebih efisien di Timur, telah menunjukkan bahwa administrasi yang secara radikal neoliberal tidak dapat melakukan fungsi-fungsi tata kelola yang paling mendasar untuk melindungi kehidupan dan mengamankan mata pencaharian. Pandemi ini juga cenderung menjadi penanda dalam transfer hegemoni dari Barat ke Timur. Jelas terlihat dan tak bisa dilupakan bahwa negara-negara terpusat dan cakap (baik itu yang lebih atau kurang demokratis – pengalaman menunjukkan bahwa rezim politik kecil hubungannya dengan kompetensi kebijakan) serta memiliki basis manufaktur canggih dan penting bagi kehidupan masyarakat, ketika situasi sulit datang, justru menutup perbatasan dan persahabatan lenyap.
Kedua adalah keharusan untuk mengamankan hidup itu sendiri. Negara harus mengamankan pekerjaan, pendapatan, dan layanan dasar, termasuk perluasan sistem kesehatan secara cepat. Ini bukan hanya karena alasan kebijakan ekonomi, tetapi merupakan bagian dari kebijakan kesehatan yang efisien: jaminan pekerjaan dan pendapatan memungkinkan lebih banyak orang tinggal di rumah, meringankan beban sistem kesehatan, mempercepat berakhirnya pandemi, dan mempercepat pemulihan.[23] Untuk itu, sistem perbankan harus dinasionalisasi untuk mengamankan aliran kredit dan mencegah spekulasi, dan Bank Sentral harus memastikan bahwa ada cukup likuiditas untuk menjaga perekonomian tetap berdikari. Layanan utama harus diambilalih negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar terpenuhi dan, jika otoritas pusat dapat memberikan puluhan miliar kepada maskapai, kereta api dan rantai supermarket, masyarakat berharap memilikinya.[24]
Ketiga adalah mengkonsolidasikan penemuan kembali kolektivitas dan kemampuan bersosialisasi spesies manusia yang tak dapat direduksi hanya muncul ketika krisis. Kaum Kiri harus menekankan bahwa ekonomi adalah sistem kolektif (‘kita lah ekonomi itu!’), bahwa kita terikat bersama sebagai manusia, dan bahwa layanan publik sangat penting. Ini bisa membuka jalan bagi alternatif progresif untuk neoliberalisme (yang sekarang jelas-jelas merupakan bentuk zombie).
Keempat adalah alokasi biaya. Beban ekonomi dari krisis ini akan jauh lebih tinggi daripada saat Krisis Finansial Global dan tidak seharusnya layanan publik menanggung beban ini. Satu-satunya jalan keluar adalah melalui perpajakan progresif, nasionalisasi, default seperlunya, dan strategi pertumbuhan ‘hijau’ yang baru (a new ‘green’ growth).
Kelima, khususnya di Inggris, adalah apa yang seharusnya menjadi posisi Partai Buruh dan, secara lebih luas, juga partai dan organisasi progresif di tempat lain: apakah bersatu dengan pemerintah dalam masa krisis ini (dan ‘memberi penawar’ kepada Partai pasca-Corbyn dan memudahkan jalannya kembali ke pemerintahan),[25] atau mengkritik pemerintah Konservatif sambil menerima risiko terlihat tidak patriotik? Inti masalahnya adalah bahwa Konservatif memilih kebijakan yang salah dan menerapkannya secara tidak kompeten, dan puluhan ribu jiwa meninggal akibat konsekuensi langsungnya (administrasi yang dilimpahkan di Skotlandia dan Wales telah berjalan lebih baik, namun ini saja tidak cukup). Sangat penting bagi kredibilitas Partai Buruh untuk tidak dinodai kebijakan macam itu dan turut tanggung jawab atas kematian yang dapat dihindari itu. Ini akan membingungkan sebagian besar populasi, yang menyadari bahwa pemerintah salah, dan ingin melihat konsekuensi dari kesalahan itu. Sebaliknya, fokus kaum kiri seharusnya adalah membangun solidaritas di lapangan, menuntut pertanggungjawaban pemerintah, tanpa henti mengkritik faksi politik Tories (anggota partai Konservatif) karena kebijakan kriminal mereka dan implementasinya yang tidak kompeten, dan memperluas batas-batas yang memungkinkan secara politis, menantang neoliberalisme sebagai kultus mematikan sambil mendukung jaring pengaman yang dipimpin oleh negara dan membangun kembali kapasitas negara setelah penghancuran neoliberalisme. Ada yang mengatakan bahwa, jika Partai Buruh selama masa Perang Dunia II berkoalisi dengan Partai Konservatif, mengapa sekarang tidak? Memang benar, waktu itu ada pemerintahan nasional: tetapi koalisi itu dilakukan dalam kabinet perang Winston Churchill, bukan dengan administrasi pengkhianat Neville Chamberlain, yang sudah sepatutnya tak didukung oleh Partai Buruh.
Saya sangat optimis bahwa kapitalisme tidak dapat mencuci noda ini. Sekarang saatnya membayangkan masyarakat macam apa yang dapat melayani mayoritas dan menghindari pengulangan dampak-dampak memalukan yang kita alami. Alih-alih kejahatan dan inefisiensi neoliberalisme, kita membutuhkan perpajakan progresif, perluasan layanan publik dengan kapasitas cadangan yang tersedia untuk keadaan darurat, dan masyarakat yang didasarkan pada solidaritas, nilai-nilai kemanusiaan, dan pemuliaan terhadap alam. Ini mudah dikatakan, dan tak diragukan lagi kebenarannya, tetapi kaum kiri telah defensif di mana-mana, kadang bahkan sampai berdekade-dekade, dan pandemi ini dapat mengarah pada tanggapan otoriter, rasis, dan reaksioner.
Singkatnya, pandemi COVID-19 telah terjadi secara kebetulan tetapi bukannya tidak terduga. Konsekuensinya jauh lebih memalukan: mereka kriminal, dan kaum kiri harus mengatakan ini dengan keras dan jelas. Kapitalisme neoliberal telah terekspose inhumanitas dan kriminalitasnya, dan COVID-19 menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan kesehatan tanpa solidaritas, kapasitas negara dan kebijakan terhadap industri. Ini adalah pertarungan nekat. Kita harus melewati krisis ini menuju masyarakat yang lebih baik. Kaum Kiri lebih dibutuhkan dari sebelumnya, dan harus bangkit menghadapi tantangan.***
Catatan kaki
[1] N. Roubini, “Coronavirus pandemic has delivered the fastest, deepest economic shock in history”, The Guardian. https://www.theguardian.com/business/2020/mar/25/coronavirus-pandemic-has-delivered-the-fastest-deepest-economic-shock-in-history
[2] Untuk ulasan tentang bagaimana pandemi melacak sirkuit global kapital, lihat K. Moody “How ‘Just in Time’ Capitalism Spread COVID-19”, https://spectrejournal.com/how-just-in-time-capitalism-spread-covid-19/
[3] Untuk ikhtisar, lihat A. Tooze, “Shockwave”, https://www.lrb.co.uk/the-paper/v42/n08/adam-tooze/shockwave
[4] Untuk sampel, lihat “Israel Health Minister under Fire over Ultra-Orthodox COVID-19 Crisis”, https://www.france24.com/en/20200408-israel-health-minister-under-fire-over-ultra-orthodox-covid-19-crisis; “Coronavirus: Pastor Who Decried “Hysteria” Dies after Attending Mardi Gras”, https://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-52157824; “Bishop Who Said ‘God is Larger Than This Dreaded Virus’ Dies of Covid-19”, https://edition.cnn.com/2020/04/14/us/bishop-gerald-glenn-god-larger-coronavirus-dies/index.html, dan “Prefeito Bolsonarista, Para Quem a Cura da COVID-19 Viria de Igrejas, é Internado em Hospital de Luxo com a Doença”, https://www.brasil247.com/regionais/sudeste/prefeito-bolsonarista-para-quem-a-cura-da-covid-19-viria-de-igrejas-e-internado-em-hospital-de-luxo-com-a-doenca .
[5] T. Phillips dan D. Phillips, “Bolsonaro Dragging Brazil toward Coronavirus Calamity, Experts Fear”, https://www.theguardian.com/world/2020/apr/12/bolsonaro-dragging-brazil-towards-coronavirus-calamity-experts-fear
Aktor dan sutradara Argentina Ricardo Darín dengan singkat mengatakan, “sangat sulit untuk berjuang melawan pandemi kedunguan”, https://www.contioutra.com/ricardo-darin-em-entrevista-disse-e-muito-dificil-lutar-contra-a-pandemia-de-imbecis/
[6] Lihat, misalnya, T.J. Coles “Freedom from Fear: John Pilger Discusses Coronavirus Propaganda, Imperialism, and Human Rights”, https://www.counterpunch.org/2020/04/10/freedom-from-fear-john-pilger-discusses-coronavirus-propaganda-imperialism-and-human-rights/
[7] Lihat, misalnya, Ming Wang et al “Food Markets with Live Birds as Source of Avian Influenza”, Emerging Infectious Diseases 12 (11), 2006, hlm.1773-1775, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3372357/ Secara umum, “Cina adalah pusatnya … Di negara lain tidak ada konvergensi urbanisasi yang membingungkan, terintegrasi ke dalam rantai nilai global, serta adopsi atas norma-norma makanan yang baru” (C. Katz, “Detonador de la Crisis Potenciado por el Lucro”), https://vientosur.info/spip.php?article15727
[8] Untuk laporan terperinci, lihat S. Gray dan A. MacAskill, “Johnson Listened to His Scientists about Coronavirus – But They Were Slow to Sound the Alarm”, https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-britain-path-speci-idUSKBN21P1VF
[9] Untuk opsi Eurobond (Obligasi Euro) yang belum diadopsi, lihat G. Stahl “The Reconstruction of the Europeans Economy after the Corona Pandemic”, https://progressivepost.eu/spotlights/the-reconstruction-of-the-europeans-economy-after-the-corona-pandemic serta P. O. Gourinchas, “Flattening the Pandemic and Recession Curves”, https://econfip.org/policy-brief/flattening-the-pandemic-and-recession-curves/
[10] Lihat I. Solty, “The Bio-Economic Pandemic and the Western Working Class”, https://socialistproject.ca/2020/03/bioeconomic-pandemic-and-western-working-classes/
[11] Lihat, misalnya, B. Wright, “U.S. Accused of Stealing Ventilators from Barbados as Coronavirus Spreads in the Caribbean”, https://newsone.com/3924158/barbados-accuses-us-ventilators-seized/; V. Doğantekin, “U.S. ‘Steals’ Medical Supplies Amid Pandemic”, https://www.aa.com.tr/en/americas/us-steals-medical-supplies-amid-pandemic-expert/1800001 serta L. Jeffery, “German, French Officials Accuse U.S. of Diverting Supplies”, https://www.npr.org/2020/04/04/827321294/german-french-officials-accuse-us-of-diverting-supplies?t=1586817225869
[12] Lihat, misalnya, B. Zahoor, “Health: Why New Viruses Continue to Spread”, https://www.dawn.com/news/1546447 dan J. Vidal, “Human Impact on Wildlife to Blame for Spread of Viruses, Says Study”, https://www.theguardian.com/environment/2020/apr/08/human-impact-on-wildlife-to-blame-for-spread-of-viruses-says-study-aoe
[13] Lihat I. Frey, “’Herd Immunity’ is Epidemiological Neoliberalism”, https://thequarantimes.wordpress.com/2020/03/19/herd-immunity-is-epidemiological-neoliberalism/ Seperti juga pada, “Menurut laporan media, pada akhir pekan, (penasihat khusus Perdana Menteri Boris Johnson Dominic] Cummings awalnya menghentikan langkah pemerintah, dengan alasan bahwa datangnya wabah, ‘jika itu berarti beberapa pensiunan akan mati, maka sayang sekali’. Pendekatan semacam itu menjelaskan adanya penundaan selama berhari-hari”, Lihat juga D. Conn dan P. Lewis, “Documents Contradict UK Government Stance on Covid-19 ‘Herd Immunity’”, https://www.theguardian.com/world/2020/apr/12/documents-contradict-uk-government-stance-on-covid-19-herd-immunity Untuk skandal kasus serupa di AS, lihat E. Lipton et al “He Could Have Seen What Was Coming: Behind Trump’s Failure on the Virus”, https://www.nytimes.com/2020/04/11/us/politics/coronavirus-trump-response.html
[14] Contoh Bergamo, di Italia, sangat dramatis, karena memperlihatkan harga yang harus dibayar akibat melindungi laba dengan mengorbankan orang-orang; lihat A. Sidera, “Bérgamo, la Masacre que la Patronal No Quiso Evitar”, https://ctxt.es/es/20200401/Politica/31884/Alba-Sidera-Italia-coronavirus-lombardia-patronal-economia-muertes.htm
[15] Terkhusus untuk contoh yang sangat mengerikan, lihat F. Greig, “Wetherspoons Founders Tim Martin Has Told Staff Who Might Not Be Paid During Lockdown to ‘Go Work at Tesco’”, https://www.yorkshireeveningpost.co.uk/read-this/wetherspoons-founder-tim-martin-has-told-staff-who-might-not-be-paid-during-lockdown-go-work-tesco-2516460
[16] Singkatnya, total kematian di Inggris umumnya hanya mencakup kematian terkait COVID-19 yang dilaporkan di rumah sakit NHS; sehingga kematian di rumah atau di rumah perawatan tidak termasuk. Perbuatan tak berperasaan yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap orang-orang di panti jompo harus dikategorikan sebagai salah satu skandal paling buruk di Eropa pasca-perang. Lihat N.P. Walsh dan M. Krever, “The UK’s ’Coronavirus Dashboard’ May Be Under-Reporting Deaths Significantly”, https://edition.cnn.com/2020/04/07/uk/coronavirus-uk-deaths-intl-gbr/index.html dan C. Giles “Deaths from Coronavirus Far Higher in England than First Reported”, Financial Times. https://www.ft.com/content/c07e267b-7bca-418f-ad9e-8631a29854cb
[17] Lihat I. Sinclair dan R. Read, “’A National Scandal’: A Timeline of the UK Government’s Woeful Response to the Coronavirus Crisis”, https://bylinetimes.com/2020/04/11/a-national-scandal-a-timeline-of-the-uk-governments-woeful-response-to-the-coronavirus-crisis/
[18] Lihat, misalnya, I. X. Kendi, “What the Racial Data Show”, https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2020/04/coronavirus-exposing-our-racial-divides/609526/, N. Scheiber, N.D. Schwartz dan T. Hsu, “’White Collar Quarantine’ Over Virus Spotlights Class Divide”, The New York Times, https://www.nytimes.com/2020/03/27/business/economy/coronavirus-inequality.html, J. Valentino-DeVries, D. Lu dan G. Dance, “Location Data Says It All: Staying at Home During Coronavirus is a Luxury”, The New York Times, https://www.nytimes.com/interactive/2020/04/03/us/coronavirus-stay-home-rich-poor.html, dan S. Lerner, “Coronavirus Numbers Reflect New York City’s Deep Economic Divide”, https://theintercept.com/2020/04/09/nyc-coronavirus-deaths-race-economic-divide/
[19] Lihat, misalnya, J. Michell, “Coronavirus Reveals the Cost of Austerity”, https://tribunemag.co.uk/2020/04/coronavirus-reveals-the-cost-of-austerity, dan M. Sandbu, “Huge Fiscal Spending is Needed to Fight the Coronavirus Downturn”, Financial Times, https://www.ft.com/content/9963f71e-67b2-11ea-800d-da70cff6e4d3
[20] Z. Wood, “Tesco Defends £635m Dividend Payout after Coronavirus Tax Break”, https://www.theguardian.com/business/2020/apr/08/tesco-sales-up-30-per-cent-because-of-pre-lockdown-stockpiling-coronavirus
[21] Lihat C. Leys, “How Market Reforms Made the NHS Vulnerable to Pandemics”, https://socialistproject.ca/2020/03/how-market-reforms-made-the-nhs-vulnerable-to-pandemics; H. Siddique, “Despite PM’s Praise of Nurses, It’s Tory Policies that Made Them Suffer”, https://www.theguardian.com/society/2020/apr/13/despite-pms-praise-of-nurses-its-tory-policies-that-made-them-suffer, dan S. Wren-Lewis, “Who Still Thinks Austerity Was a Good Idea”, https://mainlymacro.blogspot.com/2020/04/who-still-thinks-austerity-was-good-idea.html. Untuk kasus di AS, lihat S.B. Glasser, “How Did the U.S. End Up with Nurses Wearing Garbage Bags?”, https://www.newyorker.com/news/letter-from-trumps-washington/the-coronavirus-and-how-the-united-states-ended-up-with-nurses-wearing-garbage-bags
[22] R. Saunders, “’There is Such a Thing as Society’: Has Boris Johnson Repudiated Thatcherism?”, https://www.newstatesman.com/politics/uk/2020/03/boris-johnson-thatcher-society-no-such-thing-policies
[23] Lihat, misalnya, G. Mankiw, “Thoughts on the Pandemic”, http://gregmankiw.blogspot.com/2020/03/thoughts-on-pandemic.html
[24] Untuk pendekatan serupa, lihat D. Henwood, “A Few Ambitious Points on Fighting the Crisis”, https://lbo-news.com/2020/03/20/a-few-ambitious-points-on-fighting-the-crisis/ dan S. Gindin, “The Coronavirus and the Crisis This Time”, https://socialistproject.ca/2020/04/coronavirus-and-the-crisis-this-time
[25] Lihat, misalnya, O. Salem, “The PM Should Offer a National Unity Government – And Labour Should Accept”, https://labourlist.org/2020/04/the-pm-should-offer-a-national-unity-government-and-labour-should-accept/
Gambar: ft.com
Artikel ini diterjemahkan Ahmad Gatra Nusantara dari socialistproject.ca/2020/04/ dan dipublikasi di sini untuk tujuan propaganda.