Oleh: Novrianus Bunga
(Peneliti Intrans Institute)
Bermula sejak abad ke-17, kapitalisme kian hari memperlihatkan fase kedigdayaannya yang sulit terbantahkan. Ia seakan tak pernah menunjukkan tanda-tandanya menuju kematian. Hal ini sekaligus seolah menegasikan berbagai prognosis beberapa ilmuwan bahwa lambat laun kapitalisme bakal mengubur dirinya sendiri. Seperti sosok Karl Marx dan Frederich Engels yang optimis bahwa kapitalisme–dikarenakan kontradiksi internalnya–akan menuju kehancuran.
Akan tetapi, meski begitu canggih analisis kedua pemikir besar tersebut, nyaris tak ada bukti empiris yang mampu membuktikan keruntuhan kapitalisme. Memang, terjadi beberapa kali krisis dalam ekonomi kapitalisme yang berlangsung pada tahun 1930, 1997 dan terakhir pada tahun 2008. Akan tetapi, krisis tersebut tidak sekaligus membawanya pada kehancuran total. Melihat kenyataan itu, beberapa kalangan Marxis ada yang masih konsisten mempertahankan analisis ortodoksi-Marxian dan ada yang menempuh jalur revisionisme. Kelompok kedua inilah yang belakangan mengembangkan sebuah analisis yang lebih kontekstual, sambil tetap berpijak pada premis umum Marxisme.
Beberapa pemikir intelektual Marxis yang masih gigih menganalisis perkembangan kapitalisme mutakhir di antaranya, Karl Koch, Edward Benstein, George Lukacs, Gramsci, Louis Althusser, Doug Lorimer, Ernest Mandel, proponen pemikir Mazhab Frankfurt, hingga belakangan diteruskan oleh Henry Levebre dan David Harvey. Mereka mengajukan analisis yang amat kaya dalam pengembangan Marxisme. Dari mereka, kita memperoleh beragam analisis dan pengetahuan seputar kritik kapitalisme yang sangat luar biasa. Terakhir, salah satu tokoh yang tak bisa dinafikan kontribusinya terhadap pengembangan ide Marxisme dewasa ini ialah Joseph A. Schumpeter. Salah satu karyanya yang kini menjadikan rujukan bagi kalangan intelektual Marxis kontemporer adalah Capitalism, Socialism and Democracy yang terbit pada tahun 1942.
Nama Schumpeter tidak hanya terkenal di kalangan intelektual Marxis, tapi juga di kalangan intelektual dari berbagai latar keilmuwan. Kepiawaiannya dalam menerjemahkan gagasan Marx, terutama dalam konteks sosiologi, ekonomi dan politik, menempatkannya pada posisi yang amat disegani. Berikut akan diulas beberapa pokok pemikiran Schumpeter yang tertuang dalam karya Capitalism, Socialism and Democracy.
Dapatkah Kapitalisme Bertahan?
Schumpeter mengawali karya Capitalism, Socialism and Democracy dengan sebuah pertanyaan yang mengelitik: dapatkah kapitalisme bertahan? Hampir semua isi dalam karya tersebut hendak menjawab pertanyaan dimaksud. Meski berpendapat bahwa kapitalisme tidak akan dapat bertahan, bagi Schumpeter, pertanyaan ”dapatkah kapitalisme bertahan?” sebetulnya kurang menarik. Baginya, yang terpenting dari setiap upaya prognosis sosial adalah bukan jawaban “ya” dan “tidak” yang meringkas fakta-fakta dan argumentasi yang menuntunnya, melainkan menyodorkan fakta-fakta yang mendukung argumentasi itu sendiri.
Di masa Schumpeter, analisis terhadap kapitalisme lebih sebagai suatu ramalan. Maka menurutnya, analisis terhadap kapitalisme harus ilmiah yang reliable. Kecermatan ilmiah dalam memberikan prognosis, tentu harus mendasarkan analisis pada kondisi-kondisi aktual dan objektif serta terukur secara akurat. Meski analisis ilmiah berpeluang memiliki keterbatasan, bagaimanapun juga kesulitan-kesulitan ini seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan. Untuk menjawab tema besar di atas, akan kita mulai dengan destruksi kreatif Schumpeter.
Proses Destruksi Kreatif
Poin penting dalam pemahaman tentang kapitalisme adalah proses evolusioner dari sistem kapitalisme itu sendiri. Marx pernah berbicara panjang lebar bahwa kapitalisme adalah sifat dari suatu bentuk atau metode perubahan ekonomi yang tidak bisa diam (statis). Karakter evolusioner dari proses kapitalis ini tidak hanya tergantung pada fakta bahwa kehidupan ekonomi berjalan pada lingkungan sosial dan alam yang berubah. Karakter evolusioner kapitalisme tidak tergantung pada peningkatan populasi dan modal yang kuasi-otomatis. Barang-barang konsumen baru, metode baru produksi, tata transportasi baru, pasar baru, bentuk-bentuk baru dari organisasi industri, semuanya diciptakan oleh perusahaan kapitalis. Artinya, kapitalisme tidak henti-hentinya merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan struktur yang lama, dan tak henti-hentinya membuat struktur yang baru. Inilah yang disebut sebagai proses destruksi kreatif.
Sumber : http://www.adoration.com/2014/creative-destruction/
Proses destruksi kreatif adalah fakta penting kapitalisme. Akan tetapi sayangnya, hal ini sering tidak disadari. Secara mainstream, masalah ekonomi hari ini seringkali diselesaikan dengan cara bagaimana agar struktur yang ada sekarang (baca: kapitalisme) berjalan. Seperti yang dilakukan teknokrat ekonomi dan ilmu-ilmu ekonomi di perguruan tinggi hari ini. Sehingga, penyelidikan suatu problem ekonomi menjadi pekerjaan yang tak berarti. Pengamatan yang signifikan terhadap perkembangan kapitalisme hanya bisa dimulai manakala, terdapat pengakuan akan kondisi evolusi kapitalisme dalam kerangka destruksi kreatif sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Pertumbuhan Ekonomi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Schumpeter ini pertama kali dikemukakan dalam bukunya yang berbahasa Jerman (1911) dan bahasa Inggris (1934) yang berjudul The Theory of Economic Development serta Business Cycles pada tahun 1939. Dalam buku itu, Schumpeter meyakini bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun demikian, ia meramalkan bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami kemandegan (stagnasi). Faktor utama di balik proses perkembangan ekonomi menurut Schumpeter adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah para inovator atau entrepreneur (wiraswasta). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Inilah yang pada akhirnya berujung pada peningkatan output masyarakat.
Dalam kaitan ini, Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi, walaupun keduanya merupakan sumber peningkatan output masyarakat. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “teknologi” produksi. Misalnya,pertumbuhan stok modal tanpa perubahan teknologi produksi yang lama. Sedangkan pembangunan ekonomi didorong oleh inovasi yang dilakukan oleh para wiraswasta. Inovasi ini berarti perbaikan ”teknologi” dalam arti luar, misalnya penemuan produk baru, pembukaan pasar baru dan sebagainya. Inovasi tersebut menyangkut perbaikan sistem ekonomi yang bersumber dari kreativitas para wiraswastanya.
Pembangunan ekonomi berawal pada suatu lingkungan sosial, politik, dan teknologi yang menunjang kreativitas para wiraswastanya. Sehingga muncul ide-ide baru para perintis dalam kehidupan ekonomi. Akan tetapi, tidak semua perintis tersebut berhasil dalam melakukan inovasi. Seiring dengan kompetisi bebas yang diharuskan adanya dalam kapitalisme, maka pada akhirnya hanya sedikit para inovator yang berhasil memenangi persaingan. Inilah yang pada akhirnya berujung pada monopoli. Posisi monopoli ini akan menghasilkan keuntungan di atas keuntungan normal yang diterima para pengusaha yang tidak berhasil berinovasi. Keuntungan monopolistis ini merupakan imbalan bagi para inovator dan sekaligus juga merupakan rangsangan bagi para calon inovator. Hasrat untuk berinovasi didorong oleh adanya harapan memperoleh keuntungan monopolistis tersebut.
Menurut Schumpeter, hanya mereka yang berani mencoba dan melaksanakan ide-ide baru disebut entrepreneur. Sedangkan, pengusaha yang hanya mengelola secara rutin perusahaannya bukan entrepreneur melainkan hanyalah seorang manajer. Kunci dalam proses inovasi adalah terdapatnya lingkungan yang menunjang inovasi tersebut. Menurut Schumpeter, sistem kapitalis dan pasar bebas yang didukung oleh lembaga-lembaga sosial politik yang sesuai merupakan lingkungan yang paling subur bagi timbulnya inovator dan inovasi. Hanya dalam sistem inilah menurutnya semangat berinovasi paling tinggi.
Runtuhnya Kapitalisme dan Peran Intelektual
Untuk memahami ramalan Schumpeter mengenai kehancuran kapitalisme, penulis akan uraikan secara sederhana lewat tulisannya: Dinding-dinding yang Runtuh (bab XII).
Schumpeter meyakini bahwa, kapitalisme yang pada dasarnya adalah sebuah proses evolusi, lambat laun akan menemukan jalan kebuntuannya. Dimana sebuah keadaan yang kurang lebih stasioner akan terjadi, di saat kapitalis yang begitu tergantung pada keuntungan bisnisnya, perlahan waktu berangsur akan hilang. Inilah saat-saat krisis yang dihadapinya. Seperti yang sudah terlihat jelas bahwa kerja kapitalisme untuk mereformasi dan merevolusi pola produksi melalui eksploitasi terhadap suatu penemuan baru, atau sebuah peluang teknologi baru yang belum teruji menghasilkan sebuah komoditas baru, atau memproduksi produk lama dengan cara baru, dengan melakukan reorganisasi sebuah industri bagian dari pada tujuan untuk melipatgandakan keuntungannya.
Sumber : http://www.ludo.land/la-participation-consciente.html
Sistem kompetitif, menjadi alat yang ampuh bagi industri besar, untuk menghancurkan industri kecil. Dalam kehidupan kapitalis, ketidakpuasan dalam meraup keuntungan akan menimbulkan persaingan yang begitu ketat dalam arena bisnis. Maka monopoli memainkan peran yang strategis, dalam hal ini tanpa mereka sadari, pola yang sama juga merongrong kehidupan mereka sendiri, dan secara tak terhindarkan menyerang pijakan ekonomi kapitalis itu sendiri. Schumpeter meyakini bahwa dalam kurun waktu perkembangan kapitalisme, para kapitalis kecil memainkan peran sebagai pelopor perubahan teknis. Mereka memiliki peran itu dalam makna ganda. Mereka memulai metode-metode produksi baru, dalam cabang-cabang industri yang telah sangat mapan. Mereka adalah instrumen dalam penciptaan cabang-cabang produksi baru yang belum dieksploitasi oleh kapitalis besar.
Hal itu terjadi dikarenakan sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling cocok bagi timbulnya pengusaha baru, lewat pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Dengam demikian, menurut Schumpeter bagi negara-negara sedang berkembang yang berusaha mengejar kemajuan ekonomi (pertumbuhan output), maka sistem kapitalisme tersebut diterapkan. Menurut Schumpeter, bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalis akan runtuh karena adanya transformasi gradual di dalam sistem tersebut menuju ke arah sistem yang lebih sosialistis. Ciri dari sistem kapitalis itu sendiri akan berubah justru karena kesuksesannya dalam mencapai kemajuan ekonomi dan kemakmuran. Dengan demikian, akan terjadi proses perubahan kelembagaan dan perubahan pandangan masyarakat yang semakin jauh dari sistem kapitalis asli.
Akan tetapi, di luar dari ramalan Schumpeter bahwa kesuksesan kapitalisme akan menuju pada kehancurannya, menurut Schumpeter ada faktor eksternal yang turut menghancurkan sistem kapitalisme tersebut, yakni hadirnya kaum intelektual. Schumpeter masih mengharapkan hadirnya kelompok-kelompok intelektual yang melakukan dan mengatur kebencian terhadap kapitalisme, merawat sikap keperpihakannya, dan turut menyuarakan hak-hak kaum tertindas. Adalah ciri khasnya, untuk memimpin massa rakyat dalam upaya menghancurkan sistem kapitalisme atas dasar gerakan kolektif. Bagi Schumpeter, massa rakyat tidak pernah mengembangkan ide-ide dan inisiatifnya sendiri untuk melawan dan juga tidak memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan serta mengubahnya menjadi tindakan konsisten. Oleh karenanya, sebuah keharusan bagi kaum intelektual untuk menawarkan dirinya sebagai pemimpin massa rakyat yang selama ini terus hidup di bawah kungkungan kelas borjuasi. Karena melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat, untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Karena itu diperlukan kelompok intelektual revolusioner yang mengerjakannya, untuk menuju pada surga yakni, sosialisme.
Peran intelektual juga diurai lebih lanjut oleh Gramsci, salah satu filsuf dari Italia. Antonio Gramsci memposisikan intelektual dalam pengertian Schumpeterian. Antonio gramsci melihat amat penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum marjinal (buruh, kaum miskin kota). Demikian juga partai politik, tidak semata bertugas menyuntik ke dalam diri kelas kaum marjinal suatu kesadaran yang benar, melainkan juga harus membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah dibangun dan mereka miliki. Semua ini terkait dengan upaya kaum marjinal untuk menancapkan hegemoni kultural dan ideologis sebelum memulai perebutan kekuasaan politik.
Dalam pandangan Gramsci, perubahan sosial bukan semata-mata upaya menyangkut masalah kekuatan ekonomi dan fisik, juga melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi. Ini sebagai suatu upaya masyarakat bawah untuk membebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan untuk membangun nilai budaya sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa supremasi intelektual merupakan prakondisi tercapainya kekuasaan politik.
Schumpeter memakai istilah ”intelektual” dalam arti luas yang secara praktis ekuivalen dengan ”inteligensia” atau semua kelas terdidik. Pada umumnya setiap kelas utama memproduksi lapisan intelektualnya sendiri yang bertugas mempertahankan kesenambungan kelas masyarakatnya dan menyatukan mereka berdasarkan solidaritas tertentu. Bagi Schumpeter, intelektual tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga mengekspresikan perasaan dan pengalaman nyata yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat. Intelektual bagi Schumpeter adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan massa rakyat, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.
Singkatnya, Schumpeter menyerukan sanjungan dan sikap tunduk yang seringkali dipertontonkan oleh kaum intelektual harus ditanggalkan serta mengambil sikap dan tindakan perlawanan untuk memeranginya. Kewajiban bagi kaum intelektual untuk mewakili umat manusia yang menderita, dan selama kaum intelektual tidak memainkan perannya dalam turut memperjuangkan kepentingan kaum massa rakyat, maka penghisapan selamanya akan abadi, dan kaum intelektual tidak lebih dari penonton bola yang turut menyaksikannya.
Dapatkah Sosialisme Bekerja dalam Demokrasi?
Perdebatan seputar demokrasi biasanya selalu dikaitkan dengan permasalahan sosialisme dan kapitalisme. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam sistem ekonomi sosialis.
Berkaitan dengan hal ini, buku yang sangat termasyhur dari seorang pemikir Jerman yang lama di Amerika, Joseph Schumpeter, akan sangat relevan untuk kita singgung. Schumpeter membahas kecenderungan perkembangan sistem ekonomi dari sistem kapitalis kepada sosialisme, dan membahas keterkaitan antara demokrasi dengan masing-masing sistem tersebut. Schumpeter yang sangat mengagumi kapitalisme dan tidak terlalu suka terhadap sosialisme, pada kesimpulan dalam bukunya berpendapat bahwa ternyata pada akhirnya, kapitalisme dalam waktu jangka panjang, tidak bisa lagi dipertahankan. Keruntuhan kapitalisme ini, menurutnya, bukan saja disebabkan karena adanya faktor luar-dalam hal ini kaum intelektual sebagaimana yang sudah di bahas di atas-melainkan akan runtuh oleh sebab-sebab internal. Ia berpendapat bahwa disukai atau tidak, pada masa yang akan datang, sosialisme tak bisa lagi dielakkan. Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah dalam sistem sosialisme masih dimungkinkan adanya demokrasi? Di sinilah kemudian dia berpendapat bahwa demokrasi secara menyeluruh bisa berjalan bersama-sama dengan sistem sosialis. Ia mempertegas pendapat bahwa demokrasi bukan saja bisa diterapkan dalam sosialisme, bahkan demokrasi yang sejati meliputi aspek ekonomi dan politik hanya dapat diwujudkan dalam sosialisme yang menghendaki aspek kesetaraan.
Sumber : https://imgflip.com/i/1ldq4o
Dari pemaparan di atas, baik sosialisme maupun kapitalisme, menurut Schumpeter, masing-masing menginginkan demokrasi. Keduanya mempunyai kepentingan dengan nilai-nilai demokrasi. Meskipun demikian, keduanya mempunyai penekanan yang berbeda. Kapitalisme liberal menekankan aspek liberty (kebebasan) dari demokrasi. Sementara sosialisme menekankan aspek lain, yakni equality (kesetaraan). Keduanya sebenarnya adalah dua nilai ideal yang memang dibutuhkan dalam demokrasi. Akan tetapi terkadang kedua nilai ini bertentangan. Ketika kesetaraan dan persamaan ingin dikejar, maka kebebasan harus dibatasi. Sebaliknya, ketika kebebasan menjadi prioritas, persamaan menjadi dirugikan.
Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang berprinsip bahwa produksi dan distribusi barang-barang diserahkan pada mekanisme pasar dengan berlandaskan pada prinsip hak milik pribadi dan kebebasan melakukan pertukaran antara individu-individu yang bebas secara legal. Karena penekanannya pada aspek kedaulatan individu inilah, kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari liberalisme. Kapitalisme adalah bentuk dari liberalisme dalam dunia ekonomi. Liberalisme sendiri adalah buah dari proses yang sangat panjang pada tradisi Barat. Liberalisme menekankan aspek kebebasan dan otonomi individu setiap manusia, dan dalam budaya seperti inilah sistem ekonomi kapitalis tumbuh.
Demokrasi sekarang ini, ibarat sebuah gelombang besar yang melanda dunia. Negara-negara yang dulunya otoriter, lambat laun pun akan menuju sistem yang demokratis. Gelombang itu bisa dirasakan di hampir seluruh bagian dunia: Asia Timur, Amerika Latin, Eropa Timur dan Afrika. Kita juga tidak luput dari gelombang dahsyat tersebut. Walaupun dalam proses demokratisasi terkadang dijumpai ketidakjelasan dalam mem-praksiskan nilai-nilai dari demokrasi.
Samuel P. Huntington memotret realitas ini dengan sangat mengesankan. Huntington menggunakan kata demokrasi dalam pengertian Schumpeterian. Yakni sebuah teori demokrasi yang lebih menekankan pada aspek prosedur dari terciptanya sebuah pemerintahan. Schumpeter mengungkapkan rumusan demokrasi sebagai: the democratic method is the institutional arrangement for arriving at political decision in which individuals acquaire the power to decide by means of competitive struggle for the people vote (demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat).
Uraiannya tentang demokrasi, dalam bukunya tersebut, didahului dengan pemaparan tentang teori-teori demokrasi yang ada saat itu. Ia menyebutnya ”doktrin-doktrin klasik tentang demokrasi”. Menurutnya, dalam doktrin klasik tentang demokrasi, penekanannya terutama diberikan pada apa yang disebutnya sebagai “common good” dan “the will of people”. Setelah ia memaparkan keduanya dengan kritik di sana sini, ia kemudian membuat satu ”teori yang lain” tentang demokrasi. Dalam konsep demokrasi prosedural yang kita pakai, sebuah negara dikatakan demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Juga, dalam sistem itu para calon dibiarkan bebas bersaing untuk memperoleh suara serta semua penduduk diberikan hak yang sama untuk menyalurkan suaranya. Dalam hal ini demokrasi mempunyai dua dimensi, yakni kontestasi dan partisipasi. Singkatnya, Schumpeter menegaskan bahwa demokrasi hanya bisa hidup dalam sosialisme atas dasar kesetaraan bukan dalam kapitalisme dalam semangat kebebasan.
*Pertama kali dipresentasikan dalam diskusi rutinan “Ngopi : Ngobrol Pintar” tiap Rabu di Wisma Kalimetro, “Anatomi Kapitalisme Klasik, Pandangan Schumpeter” (29 Maret 2017). Dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.
____________________________________
Daftar Pustaka
Josep Alois Schumpeter, 1942. Capitalism, socialism, dan democracy.
Sumber gambar utama : https://www.commondreams.org/views/2015/08/24/evidence-keeps-pouring-capitalism-just-isnt-working