Bersama Sosialisme, Perempuan Lebih Bahagia

Hatib Abdul Kadir

Dosen Antropologi Universitas Brawijaya. Menyelesaikan studi doktoral di California University, Santa Cruz

 

Di suatu hari, 1997, Jake gembira. Ia berhasil merekrut seorang perempuan untuk posisi strategis di perusahaan start up-nya. Dalam wawancaranya, perempuan ini berhasil mengalahkan dua finalis laki-laki yang juga sangat kualified. Namun setelah mendengarkan ocehan para feminis, Jake meyakinkan bosnya untuk merekrut perempuan ini. Di kemudian hari, ia memang terbukti cerdas, kompeten, dan pekerja keras. Perusahaan Jake berkembang pesat. Setelah mendapatkan promosi jabatan, perempuan ini mengumumkan dirinya hamil. Inilah awal lahirnya bencana.

Perusahaan start up Jake tidak mempunyai kebijakan cuti hamil (maternity leave). Dengan berat hati, perusahaan memberikan cuti hamil 12 minggu dengan gaji penuh.

Ketika perempuan ini kembali kerja pasca melahirkan, ia mengejar ketertinggalannya. Ia berusaha keras menampilkan performanya kembali. Namun pada saat yang sama, ia harus menyusui. Bayinya membuat ia harus terjaga terus di malam hari. Perempuan ini seringkali datang terlambat dengan mata merah. Ia memanggil pengasuh, namun biayanya lebih dari separoh gajinya, dan seringkali tak datang. Ia menaruh bayinya di tempat penitipan anak, namun dipulangkan karena kerap sakit.

Suaminya seringkali keluar kota untuk bisnis, dan mereka tidak mempunyai saudara di sekitar tempat mereka tinggal. Dalam hitungan enam bulan, Jake menyerah. Bosnya memutuskan memberhentikan perempuan ini, dan Jake berkata, “ke depan, aku tak akan pernah merekrut perempuan lagi!”

Cerita di atas adalah cuplikan buku ini. Jake sama sekali tidak salah, namun sistem perusahaan yang memang tidak memberikan dukungan untuk perempuan hamil dan melahirkan. Ghodsee, si penulis tidak hendak mengglorifikasikan era Sosialisme Eropa Timur, namun lebih menunjukkan ganasnya pasar bebas ketika perempuan diseret ke dalamnya.

Di Bawah Era Sosialisme

Secara statistik, Ghodsee menunjukkan Negara-negara Eropa Timur lebih berfokus pada program-program sosial dimana yang paling diuntungkan adalah kalangan perempuan. Bantuan sosial membuat perempuan tidak harus berjuang dalam kompetisi pasar bebas.

Selama era 1960-1980an, di Negara seperti Polandia, Hungaria, Cekoslowakia, Bulgaria, dan Jerman Timur, perempuan menikmati status mereka. Presentase perempuan yang mendaftar di sekolah teknik sangatlah tinggi. Jumlah saintis perempuan juga meningkat tajam, dari astronot hingga ilmuwan politik. Isu kesenjangan gender tidak terjadi.

Di beberapa negara sosialis, perempuan pensiun lima tahun lebih awal dibanding laki-laki. Memang benar bahwa gaji warganya kecil, namun perempuan mendapatkan semua jaminan sosial, dari pendidikan gratis untuk anak, subsidi transportasi publik, sembako (basic foodstuff) dan mendapatkan asuransi jika sakit, disabilitas karena kerja, hingga pensiun.

Di bawah sosialisme, perempuan tidak membutuhkan laki-laki kaya untuk jaminan sosial, karena Negara telah memberikan jaringan keamanan sosial (social safety net). Negara tidak membiarkan perempuan berjuang sendiri dalam kompetisi pasar bebas untuk mendapatkan jaminan-jaminan sosial seperti karyawan Jake diatas.

Tahun 1920, Uni Soviet adalah negara pertama di Eropa yang melegalisasi aborsi. Tepat di tahun yang sama, di Amerika Serikat, perempuan tidak mempunyai hak pilih (suffrage) dalam politik.

Cekoslowakia memperkenalkan hak cuti hamil pada tahun 1948, Finlandia pada tahun 1901. Di Bulgaria, perempuan wajib mendapatkan gaji selama cuti hamil 18 bulan sejak 1971. Sedangkan cuti hamil di Amerika Serikat baru disahkan pada tahun 1993. Itupun baru beberapa negara bagian.

Kehidupan Sex Setelah 1989

Ini adalah tahun dimana Sosialisme ambruk karena pemimpinnya yang korup dan otoriter. Namun di bawah pemerintahan sosialisme, hidup perempuan jauh lebih baik, sedangkan di bawah rejim pasar hidup laki-lakilah yang lebih baik.

Dalam prinsip kapitalisme, pasar sudi merekrut perempuan karena gaji mereka lebih rendah. Jika perempuan menuntut gaji lebih tinggi, maka mereka terancam diganti oleh laki-laki. Ini persis yang saya amati selama di Amerika. Jika ada restoran murah, pelayannya pasti perempuan. Sedangkan restoran mahal, pelayannya adalah laki-laki.

Di bawah era sosialisme, prostitusi tidak mempunyai legitimasi karena semua kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Mereka percaya bahwa seks dengan tanpa emosi mempunyai efek yang buruk terhadap perkembangan personal seseorang.

Dengan menggunakan teori seksual ekonomi (sexual economics theory), Ghodsee menunjukkan bahwa semenjak Negara-negara Eropa Timur membuka dirinya ke pasar bebas (kapitalisme), perempuan menjual tubuhnya karena mereka tidak lagi mendapatkan pendidikan dan kesehatan gratis. Cara meningkatkan harga tubuhnya adalah dengan mengurangi ‘kebebasan’ (baca: otonomi) seksual yang telah diraih di era sosialisme, dan hanya mau melakukan seks jika dibayar. Dengan demikian, di Negara kapitalis demokrat, laki-laki lebih arogan karena mereka dapat mengandalkan uang jika menginginkan seks dengan perempuan.

Perempuan di negara Sosialis lebih independen. Mereka dapat mengajukan cerai karena secara ekonomi tidak tergantung pada pasangannya.

Hal itu tidak terjadi pada negara kapitalis demokrat yang secara mengejutkan justru mendomestifikasikan perempuan. Efek dari upah yang lebih rendah dari laki-laki, perempuan tidak mampu menjangkau biaya penitipan anak, sehingga harus diurus sendiri di rumah. Banyak fasilitas publik yang diswastakan, cuti hamil, dan subsidi fasilitas penitipan anak dihapuskan. Perempuan yang terdomestikkan tidak berani mengajukan cerai karena secara ekonomi bergantung pada pasangannya.

Negara Eropa Timur yang bergeser menganut kapitalisme demokrasi menghadapi tingkat rata-rata kelahiran yang rendah. Lima tahun setelah Jerman Timur bergabung, rata-rata kelahiran turun hingga 60 persen. Demikian pula, Bulgaria adalah negara yang paling mengalami penurunan populasi tercepat di dunia hingga 2017.

Ghodsee dan bukunya. Sumber: Vice.com

Yang paling menarik, buku ini menunjukkan berbagai survei di akhir tahun 1980an dan 1990an, dan membandingkan pengalaman seks Jerman Timur (sosialis) dengan Jerman Barat (kapitalis demokrat). Perempuan di Jerman Timur lebih menikmati seks dan mempunyai rata-rata orgasme lebih tinggi dari Jerman Barat, hingga 74%. Tingkat keinginan menikah di Jerman Timur, baik laki-laki maupun perempuan, sangat tinggi. Sedangkan di Jerman Barat, lebih rendah. Laki-laki di Jerman Barat mengaku mencapai kepuasan seks hingga 75%, sedangkan perempuan hanya 52%. Sebaliknya, hanya 18% perempuan di Jerman timur yang mengaku tidak “happy” dengan kehidupan seksnya.

Perkenalan dengan pasar kapitalistik telah mengubah nilai manusia. Rusaknya sekuritas ekonomi berimplikasi pada kecemasan, hilangnya pekerjaan, dan tidak pastinya masa depan. Salah satu murid Ghodsee di University of California, Berkeley, mengatakan di usianya dua puluhan tahun, ia harus minum pil antidepresan untuk mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Obat ini untuk mengontrol kecemasannya, melumatkan libido, dan mengalihkan perempuan ritme ke workaholic.

Rusaknya kesehatan mental di negara seperti Amerika karena rentannya sistem ekonomi kapitalistik. Sebaliknya, perempuan di negara sosialis lebih bahagia karena pemenuhan program cuti orang tua, cuti pengasuhan anak, subsidi pendidikan dan kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Semua ini berimplikasi rendahnya ketergantungan perempuan pada laki-laki dan tingkat kepuasan seks perempuan di atas ranjang.

Terakhir, survei terhadap korban-korban komunisme (victims of communism memorial foundation) pada Oktober 2017, menunjukkan kalangan milenial ingin tinggal di negara sosialis 44%, kapitalis 42%, dan komunis 7%. Tingginya presentasi ini secara mengejutkan juga tampak pada pemilih milenial di Amerika yang menginginkan Bernie Sanders sebagai presiden Amerika Serikat.

Kedepan, generasi milenial yang menginginkan sosialisme, dimana negara berperan penuh dan kuat, akan semakin tinggi. Generasi milenial lelah dengan dunia pasar bebas dan demokrasi kapitalistik yang mereka warisi ternyata makin tidak adil terhadapnya.

 


Artikel ini sebelumnya tayang di blog pribadi penulis, econanthro.wordpress.com. Dimuat di sini dengan izin penulis untuk tujuan pendidikan.

Gambar utama: economist.com

3 thoughts on “Bersama Sosialisme, Perempuan Lebih Bahagia

  1. tulisan menraik dan bermanfaat, semoga pejuan kaum femenisme membaa dan memahami dengan baik untuk perjuangan kaum perempuan

Tinggalkan Balasan