Flabiano Alaman
Penulis lepas dan pemerhati sosial-budaya
Pada awal tahun, objek kesadaran kita juga disuguhkan dengan berita banjir di Jakarta yang merugikan kelas atas sampai kelas bawah. Tentu yang paling dirugikan adalah kaum miskin kota. Selain berita soal banjir, kesadaran publik juga dibanjiri berita-berita dengan bingkai optimisme nasional. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, pemindahan ibu kota ke Kalimantan, turisme VIP untuk Labuan Bajo, dan rencana penyelenggaran PON oleh Gurbernur Papua Lukas Enembe yang digadang akan menghabiskan dana sebesar 10-15 triliun.
Sementara itu, media arus utama milik para pengusaha yang juga politisi absen menjadikan berita-berita mengenai penurunan kualitas demokrasi sebagai ‘headline’. Khususnya yang bersangkutan dengan kebebasan sipil, berbagai kerusakan ekologis sebagai akibat kegiatan produksi yang mengedepankan sirkulasi kapital berkelanjutan, isu-isu agraria tambang-tambang batu bara yang sangat menyengsarakan, reklamasi Teluk Benoa Bali, isu HAM di Papua, kontroversi BOP Labuan Bajo, penolakan sebagian masyarakat terhadap kaum LGBT dan sebagainya.
Seluruh berita harus dibingkai, disensor sedemikian rupa dan diarahkan demi melindungi lalu lintas kapital. Sehingga, apabila ada media alternatif yang mengusik lalu lintas kapital ini, maka ia akan dihajar oleh undang-undang sebagai penjaga lalu lintas kapital tersebut. Misalnya tahun lalu, seorang jurnalis senior Dandhy Laksono yang bersuara terkait isu kemanusiaan di Papua dipidanakan melalui pasal karet dalam undang-undang ITE. Dandhy dituduh menyebarkan ujaran kebencian melalui komentarnya di media sosial. Padahal, liputannya bersama Watchdog juga menyuguhkan data-data jurnalistik akurat mengenai kasus-kasus agraria di beberapa daerah di Indonesia dalam video Sexy Killer di Youtube yang sudah ditonton oleh sekitar 20 juta orang yang sesuai dengan fungsi pers, yakni ‘fungsi kontrol’ diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Di titik ini, kesadaran publik tidak berjalan dengan sendirinya, namun dikondisiakan sedemikian rupa melalui media-media cetak, TV maupun media sosial.
Kesadaran Subjek yang ‘Didigitalkan’
Setiap hari jutaan orang memutuskan untuk mengizinkan telepon pintar mereka sedikit banyak mengontrol hidup dan kesadaran mereka. Pada tahun 2019 perusahaan media We are Social yang bekerja sama dengan Hoot Suite menyebut ada 150 juta pengguna media sosial di Indonesia. Dari 150 juta ini, jumlah yang paling banyak adalah Generasi Milenial dan Generasi Z yang merupakan setengah lebih dari jumlah penduduk Indonesia. Sisanya adalah Generasi X kelahiran 60- 80an. Global Web Index menyebutkan konsumen digital kini menghabiskan 6 jam 45 menit online dan 3 jam 18 menit dihabiskan lewat smartphone. Oleh karena itu, kesadaran kita selalu dibanjiri oleh beragam informasi. Menanggapi disrupsi zaman, media-media besar pun tidak luput untuk mendigitalkan diri mereka masing-masing.
Melihat kenyataan di atas, kesadaran individu dan publik terhadap objeknya yakni realitas di sekelilingnya, tidak bergerak secara alami sebagaimana yang diimani oleh kelompok-kelompok berpandangan liberal dan konservatif. Subjek tidak benar-benar bebas, sekalipun ia percaya bahwa ia bebas sepenuhnya. Tahun 70-80an, Erich Fromm menuduh masyarakat modern sebagai masyarakat yang sepenuhya telah menjadi mesin, ‘a completely mechanized society’ yang mendewakan produksi material dan komsumsi maksimal di bawah pimpinan komputer. Penulis mengkontekstualisasikan tuduhan Fromm untuk hari-hari ini menjadi ‘a completely digitilized society’, yakni masyarakat yang sepenuhnya terdigitalkan.
Kesadaran dan Kapitalisme Pengawasan
Marx berbicara soal kesadaran palsu, ‘false conciousness’. Apa yang tampak pada realitas adalah sebuah ilusi yang menipu dan memanipulasi. Kata Marx, ‘sie wissen das nicht, aber sie tun es’. Mereka tidak mengetahui, tetapi mereka tetap melakukannya. Sementara Zizek mengatakan ‘mereka mengetahui tetapi mereka tetap saja melakukan’. Bagi penulis dalam mengamati konteks masyarakat Indonesia adalah ‘mereka masih tidak mengetahui namun tetap melakukannya’.
Ideologi masih bekerja dengan cara yang demikian karena patahan peristiwa sejarah. Ketika para intelektual beraliran kiri dan Sukarnois dibabat habis. Terdapat banyak mahasiswa-mahasiswa yang studi di luar negeri di era Soekarno yang tidak dapat pulang ke Indonesia. Hal ini berdampak pada perkembangan kesadaran publik dan subjek di masa kini, sekaligus berdampak pada peringkat membaca publik yang berurutan 60 dunia.
Di era yang oleh Budiman Sudjatmiko sering dengungkan sebagai Revolusi 4.0, justru sedang terjadi suatu upaya pengaburan kebenaran oleh rezim yang sedang berkuasa melalui media-media. Hal ini menyulitkan subjek untuk sadar akan objek kebenaran. Subjek sedang menghadapi suatu kuasa baru yang dilahirkan dari rahim kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) yang oleh Shoshana Zuboff disebut ‘instrumentarianisme’. Kuasa instrumentarian mengetahui dan membentuk kesadaran dan pada akhirnya membentuk perilaku manusia melalui sistem komputasi algoritma melalui telepon pintar, komputer, maupun laptop.
Apabila dilihat semenjak penemuan teknologi pasca-revolusi industri sampai ke revolusi digital, teknologi sudah membawa DNA nya. Max Weber menyebutnya orientasi ekonomi. Maka dari itu, teknologi digital pun dalam era kapitalisme pengawasan tidak bergerak bebas dengan sendirinya seperti yang diimani oleh sejarahwan liberal Yuval Noah Hararri. Dalam bukunya Homo Deus, ia memprediksi kesadaran yang terdata dan membentuk suatu agama dataisme di masa depan. Penulis mencurigai ramalan Hararri tersebut dan sepakat dengan apa yang diucapkan Zuboff bahwa ‘teknologi apapun bentuknya adalah ekspresi kepentingan’ dan di jaman modern ini tentu diartikan sebagai kepentingan kapital beserta ekspansinya.
Perhatikan saja para motivator di media sosial seperti Youtube dan Instagram. Misalnya, di Amerika ada Gary Vayrechuk atau Jay Shetty dan di Indonesia ada Deddy Corbuzier dan Agnes Monica. Mereka muncul bagaikan pahlawan kepagian bukan kesiangan, karena semua hal dari bisnis seperti motivasi diri, bahkan politik pun tidak lepas dari topik mereka. Namun penulis tetap menggugat mereka. Pernahkah Deddy membahas isu-isu HAM Papua, kerusakan ekologis tambang-tambang batu bara, atau tolak reklamasi di Bali? Agnes Monica yang sangat ‘Kadarshianistis’ bisa berfoto dengan orang-orang Papua dalam instagramnya demi ‘likes’, tapi pernahkah ia membahas persoalan HAM oleh militer Indonesia di Papua? Atau pernahkah Gary dan Jay di Amerika membahas isu bunuh bunuh diri dunia yang oleh data WHO mencapai 800.000 orang tiap tahun yang berarti setiap 40 detik ada satu orang bunuh diri? Pernahkah mereka membahas soal masalah depresi para remaja sebagai dampak dari standar-standar keren atau cantik di media sosial seperti Instagram?
Pribadi-pribadi di atas, secara sadar maupun tidak, menurut penulis tidak lain adalah agen-agen perpetual yang melanggengkan sistem kapitalisme pengawasan. Mereka tidak berpartisipasi dalam menggunakan pengaruh mereka terhadap kesadaran subjek maupun publik dalam upaya emansipasi menuju humanisme yang radikal.
Lalu, Bagaimana?
Penulis sadar bahwa agenda emansipasi menuju kesadaran radikal humanis mensyaratkan kerja intelektual dan pemahaman secara komprehensif tentang operasi kapital beserta budaya kapitalisme melalui teknologi digital seperti Google, Facebook, Youtube dan sebagainya. Dalam pemilihan menteri pendidikan saja, pemerintah memilih seorang pengusaha muda liberal kaya. Ini sebuah kekeliruan dalam kabinet. Menteri pendidikan yang baru tidak punya agenda dalam rangka membebaskan kesadaran publik dari belenggu ‘kesadaran yang ditawan’, karena dia sendiri adalah bagian dari kapitalisme pengawasan itu sendiri.
Walaupun begitu, penulis tidak menjadi pesimis. Demo di berbagai belahan dunia tahun lalu, seperti di Hongkong, Chile, Lebanon, Kolombia, Bolivia, Brazil, dan di Indonesia sendiri adalah bukti adanya potensi emansipasi melalui teknologi digital.
Awal-awal tahun baru ini harus diawali lagi dengan merencanakan lebih matang akan agenda-agenda progresif dengan menggunakan media sosial, telepon pintar dan laptop dalam emansipasi subjek yang humanis di tengah bahaya digitalisasi jiwa-jiwa. Kaum progresif harus meneruskan hegemoni perlawanan yang tak jemu di tengah disrupsi zaman yang tidak pasti ini dengan semangat humanisme radikal bukan humanisme liberal. Oleh karena itu, kritik tidak boleh hanya sampai sebatas kritik ekonomi, tetapi juga terhadap budaya yang memanipulasi kesadaran yang tengah berlangsung.
Daftar Pustaka
Zuboff Shoshana, The Age Of Surveillance Capitalism. United States of America, Public affairs, Hachette book group, 2019
Storr Will, Selfie, How the West Became Self- obsessed. British, Picador, 2018
Harari Noah Yuval, Homo Deus. London, Pinguin Random House UK. 2017
Fromm Erich, The Revolution of Hope–Toward Humanized Technology. Harper. 1968
Setiawan. R, Zizek, Subjek dan Sastra. Yogyakarta, Penerbit Jalan Baru. 2018
https://websindo.com/indonesia-digital-2019-media-sosial/
https://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/suicideprevent/en/
Gambar: https: presencing.org