Freeport dan Kolonialisme Indonesia di Papua

Hardy Basabelolon

Pemerhati isu Papua. Mahasiswa Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

Sebagai pengantar, akan saya tuliskan mengenai sejarah atau napak tilas dari keberadaan PT. Freeport di Papua.[1] Pada 1623, Kapten Johan Carstensz, seorang pelaut Eropa pernah berlayar ke Papua dan ‘menemukan salju untuk pertama kalinya’ di daerah pegunungan, tepatnya di tengah daratan Papua. Hasil temuan itu kemudian diberi nama Puncak Carstensz Pyramide. Ratusan tahun setelah itu tepatnya pada Tahun 1936, dalam rangka pembuktian atas temuan Carstensz tersebut, Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel melakukan ekspedisi ke Puncak Carstensz Pyramid. Dalam eskpedisi tersebut, mereka juga menemukan gunung tembaga lalu menulisnya ke dalam sebuah laporan yang pada akhirnya menarik minat banyak pihak. Worbes Wilson, seorang geolog dari perusahaan tambang Amerika yang bernama Freeport menanggapi laporan Dozy tersebut. Wilson melakukan ekspedisi ke Papua pada 1959-1960 (setelah perang dunia kedua berakhir). Setibanya di sana, ia terpukau melihat tumpukan ‘harta karun’ bijih besi, tembaga, perak serta emas di atas puncak dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu.

Dari hasil analisis atas sejumlah batu dari Ertsberg yang dibawa Wilson ke Amerika setelah ekspedisi tersebut, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung tersebut bakal membawa keuntungan yang besar dan modal awal akan kembali dalam tiga tahun setelah proses tambang dilakukan.[2] Akan tetapi, mimpi indah Freeport tersebut menemui jalan buntu ketika Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menyatakan sikap kerasnya menolak para kapitalis Barat karena baginya, mereka adalah agen-agen ‘penjajahan gaya baru’.

Greg Poulgrain dalam bukunya “Bayang-bayang Intervensi: Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno” (2017) menyatakan bahwa informasi tentang penemuan gunung emas di Papua tersebut juga menjadi bidikan operasi Allen Dulles[3] yang saat itu berada pada posisi yang menguntungkan karena dilantik sebagai Directur of Central Intelligence Agency (CIA) oleh Presisden Amerika Serikat, John F. Kennedy. Dulles yang saat itu mengetahui rencana kerja sama antara Kennededy dan Soekarno dalam hal program ‘pemberdayaan’ dan ‘pengentasan kemiskinan’ bagi rakyat Irian Barat (baca: Papua) setelah terintegrasi ke dalam wilayah Republik Indonesia, segera merancang siasat untuk menggagalkan rencana tersebut. Ia hanya ingin agar Soekarno dan Kennedy tidak menjadi penghalang dalam rencana dan usahanya meraup kekayaan alam Papua, khususnya gunung emas yang menjadi target operasinya. Pada 22 November 1963, Kennedy tewas terbunuh (ditembak) saat melakukan kunjungan ke Dallas. Di saat yang sama, sebagai seorang yang cukup piawai di bidang intelijen, Dulles juga merancang strategi untuk menggulingkan Soekarno dari kursi presiden Indonesia.

Bagi Dulles, Soekarno adalah seorang nasionalis yang tidak mau tunduk pada imperialisme dan neokolonialisme; dan hal tersebut akan menggagalkan upayanya mencaplok kekayaan alam Papua. Karena itu, Soekarno harus disingkirkan. Melalui strategi yang dirancangnya, ia berhasil membuat tampuk pemerintahan Soekarno menjadi tidak stabil. Berbagai pergolakan politik dan ekonomi pun mulai menggerogoti Indonesia. Dalam hal ini, konspirasi Gestok dan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) 1966 menjadi titik awal pengambilalihan kekuasaan Soekarno oleh Soeharto, sehingga menjadi presiden Indonesia kedua pada 12 Maret 1967.

Di masa pemerintahannya, Soeharto—sebagai sebuah rezim baru hasil aliansi antara militer dan teknokrat yang pro-Barat—berkomitmen melakukan reformasi ekonomi sesuai kehendak Barat sehingga sangat terbuka pada investasi modal asing. Pada 10 Januari 1967, Soeharto meneken Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU-PMA) dan menandatangani kontrak karya dengan Freeport pada 7 April 1967. Pada mulanya, Freeport hanya memiliki konsesi wilayah tambang seluas 10 ribu hektare. Akan tetapi, rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga mencapai 2,5 juta hektare pada 1989 lewat kontrak baru. Belakangan ini baru diketahui bahwa perluasan wilayah tambang tersebut dilatarbelakangi oleh temuan Freeport tentang adanya cadangan emas yang tak jauh dari puncak Ertsberg. Kontrak karya pertama yang seharusnya selesai pada 1997 telanjur digantikan dengan kontrak karya kedua yang bakal terus berjalan sampai 2021. Kerena merasa dirugikan oleh hasil kontrak karya tersebut, maka Pemerintahan Jokowi pada 2018 mengubah status kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), di mana divestasi saham Freeport dimiliki Indonesia sebanyak 51%.[4]

Sejarah ‘Penaklukan’ Terhadap Papua

Jika ditinjau dari sejarah ‘penaklukan’ terhadap Papua, Agus Alua (2006) mencatat bahwa situasi ketidakadilan di wilayah paling timur Indonesia itu telah ada sejak zaman kolonial Belanda (1875-1944). Melalui sejumlah negosiasi politik dengan Kerajaan Tidore yang pada saat itu memiliki kekuasaan atas sebagian Tanah Papua, Belanda akhirnya berhasil menguasai Papua secara penuh berkat bantuan tentara sekutu Amerika Serikat. Hal yang paling mencolok dari masa kolonial tersebut adalah kegiatan pendidikan formal maupun informal di bidang kemanusiaan dan keagamaan, yang dilakukan oleh para misionaris (zending di wilayah utara, dan misi di wilayah selatan). Atas nama proyek pemberadaban, pemerintah kolonial melakukan ekspedisi ke daerah-daerah pedalaman dengan tujuan untuk ‘memanusiakan’ bangsa Papua. Para kolonial menempatkan bangsa Papua sebagai ‘kelas ketiga’ dalam strata sosial dan politik. Untuk merealisasikan proyek ‘pemberadaban’ itu, mereka mendatangkan orang-orang non-Papua untuk dipekerjakan sebagai tenaga bantu dalam hal pendidikan dan penyebaran agama (zending dan misi). Kelompok non-Papua ini dikategorikan sebagai kelompok ‘kelas kedua’ yang dianggap kemampuannya lebih tinggi tingkatnya daripada ‘kelas ketiga’. Sedangkan para kolonial sendiri menyebut dirinya sebagai kelompok ‘kelas pertama’ yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya. Diferensiasi kelas model kolonial inilah yang menjadi dasar bagi mereka untuk mengendalikan bangsa Papua dalam hal apapun. Akibatnya, bangsa Papua menjadi orang-orang terjajah yang teralienasi di atas tanahnya sendiri.[5]

Tak hanya sampai di situ. Pengalaman ketertindasan dan penganiayaan terhadap bangsa Papua yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih terus berlanjut sampai saat ini. Pada tahun 1960, ada harapan besar bagi rakyat Papua untuk memperoleh kemerdekaan ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan janjinya untuk memberikan hak merdeka bagi bangsa Papua. 1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah bangsa Papua. Atas izin kolonial Belanda, Komite Nasional Papua (KNP) mendeklarasikan ‘kemerdekaan’ Papua Barat di Hollandia (baca: Jayapura). Bendera Bintang Kejora dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda sambil menyanyikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” bersamaan dengan lagu kebangsaan Belanda.[6] Akan tetapi, upaya tersebut dipatahkan oleh pemerintah Indonesia yang juga berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat (baca: Papua Barat) ke dalam Republik Indonesia atas nama pembebasan bangsa Papua dari kolonialisme Belanda.

Sebagai solusinya, Indonesia menyeret Belanda ke dalam penandatanganan Perjanjian New York 1962 karena Presiden Soekarno menganggap keberadaaan negara “Papua Barat” semata-mata hanyalah negara boneka buatan Belanda. Hasilnya, pada 1 Mei 1963, di bawah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Irian Barat untuk sementara diserahkan kepada pemerintah Indonesia sambil menunggu dilaksanakannya referendum melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969, dimana rakyat Irian Barat akan memilih untuk bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara yang berdaulat. Akan tetapi, harapan bangsa Papua untuk menjadi negara berdaulat tak kunjung nyata. Meskipun hasil PEPERA telah menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari negara Indonesia, gelombang protes rakyat Papua terus dikumandangkan. Bagi rakyat Papua, proses PEPERA yang seharusnya one man one vote mengandung ketidakadilan dan cacat hukum karena para pemilih hanya diambil dari masing-masing perwakilan wilayah oleh rezim militer Orde Baru yang dengan berbagai cara telah mengintervensi agar memilih bergabung ke Indonesia. Pengambilalihan administratif Indonesia atas Papua menjadi titik pijak perlawanan bersenjata antara bangsa Papua (OPM) terhadap pemerintah Indonesia (aparat keamanan) sampai dengan saat ini. Dalam hal ini, militerisasi menjadi kunci pemberangusan bangsa Papua yang berujung pada eskalasi konflik di Papua.

Faktor lain yang meningkatkan kebencian dan pertikaian setelah 1969 adalah percepatan imigrasi. Investasi berbagai perusahaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi Khusus, hanya menjadikan bangsa dan tanah Papua sebagai objek jarahan. Rakyat Papua kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah bersaing di hadapan para migran sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi hanya menjadi objek pembangunan yang multak perlu untuk ‘diberdayakan dan ditertibkan’.

Papua di Mata Kolonial dan Kolonialisme di Mata Papua

Dengan melihat fakta sejarah dari masa ke masa, segala bentuk kolonialisme telah meninggalkan kubangan luka bagi bangsa Papua. Di zaman kolonial Belanda, bangsa Papua selalu ditempatkan sebagai orang-orang kelas ketiga. Bercermin pada gagasan orientalisme Edward Said, kolonial Belanda merupakan para orientalis dari negara Barat yang selalu menganggap orang Timur (baca: Papua) sebagai ‘bangsa yang lain’ yang irasional, primitif, inferior, dan percaya pada takhayul. Hal tersebut berbanding terbalik dengan bangsa Eropa yang menganggap dirinya lebih rasional, maju, dan menjadi tolak ukur ‘bangsa beradab’. Dengan demikian, atas nama proyek pemberadaban umat manusia–di balik orientasi eksploitasi sumber daya alam dan manusia–kolonial Belanda yang datang ke Papua berusaha menata kehidupan masyarakat Papua berdasarkan perspektif budaya Barat.

Sebagai contoh, selama masa penjajahan yang beriringan dengan misi penyebaran agama, masyarakat dipaksa untuk tunduk pada norma dan dogma gereja ketika ada praktik dan konsep kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran gereja. Di samping itu, dengan menganggap diri sebagai bangsa yang memiliki ilmu pengetahun dan otoritas ilmiah, para orientalis melakukan penelitian lalu menulis dan mempublikasikannya ke tengah publik dengan tujuan agar dunia Barat dapat memahami dunia Timur. Mereka juga mencitrakan berbagai bentuk aturan untuk mendisiplinkan masyarakat lokal dalam hal pekerjaan, pendidikan, maupun kehidupan religius. Tujuannya adalah agar orang Papua dapat diselamatkan dari kekolotan, maju dalam pola hidup, rasional dalam cara berpikir serta beradab dalam hal kemanusiaannya. Akibatnya, orang Papua merasa tercabut dari akar budayanya dan merasa identitas lokalnya berada dalam posisi terancam punah.

Dalam kaitannya dengan kehadiran PT. Freeport di Papua, praktik kolonialisasi dapat dibaca melalui usaha-usaha picik seperti negosiasi bernuansa penipuan, yang dilakukan pihak Freeport ketika berhadapan dengan masyarakat lokal (Suku Amungme) dengan memanfaatkan kekuatan otoritas pemerintah Indonesia maupun pemerintah daerah. Alua mengisahkan bahwa ketika mengetahui bahwa wilayah adatnya akan digarap sebagai lahan tambang, masyarakat Suku Amungme melakukan pemalakan dengan cara menanam patok atau batas dari kayu-kayu yang dibentuk seperti salib sebagai bentuk penolakan terhadap hadirnya pertambangan di atas tanah warisan leluhurnya. Melihat kenyataan itu, pihak Freeport tidak kehabisan akal. Para elit lokal maupun nasional dipakai sebagai tameng untuk melawan sekaligus ‘melumpuhkan’ orang-orang suku Amungme. Dalam hal ini, militerisme rezim Soeharto memainkan peranan besar dalam ‘menaklukkan’ perlawanan tersebut. Selain itu, berdasarkan anggapan bahwa bangsa Papua adalah orang-orang primitif dan suka akan hal-hal baru di luar budayanya, maka berbagai iming-iming berupa jabatan atau pekerjaan yang ‘lebih layak’, barang (sandang, pangan papan) dan uang pun dipakai sebagai alat ‘penjinak’. Hasilnya, suku Amungme ‘kalah’ dan dengan terpaksa menyerahkan ‘rahim ibu bumi’nya untuk dijarah dan dieksploitasi oleh kolonial baru: PT. Freeport.

Pada titik inilah, tumbuh kolonialisme baru (neokolonialisme) berwatak kapitalis dalam skala global. Sekali lagi, atas nama ‘perbaikan’ kehidupan ke arah yang ‘lebih baik’, masyarakat diperalat sebagai budak sekaligus penyokong kapitalisme dan neokolonialisme. Mereka diberikan jabatan di perusahaan atau menjadi buruh ‘bergaji besar’. Keluarganya dibangunkan rumah tembok dan diberi dana bantuan berupa beasiswa pendidikan ke luar negeri. Pembangunan berbagai jenis infrastruktur pun direalisasikan, seperi jalan raya beraspal, bandara udara berskala internasional, pelabuhan laut, gedung gereja dan sekolah yang megah, pertokoan dan supermarket, serta berbagai simbol modernitas lainnya. Rekaman fakta ini dibaca orang Papua sebagai usaha merebut simpati publik, sekaligus sebagai bukti bahwa masyarakat lokal diperhatikan. Hemat saya, meskipun masyarakat lokal dilibatkan dalam proses produksi dan konsumsi, toh pada akhirnya praktik neokolonialisme dan kapitalisme terselubung jenis ini selalu membawa keuntungan yang terus mengalir ke pusat imperial (Amerika sebagai empire). Dalam hal ini, kehidupan masyarakat pribumi selalu ada di bawah pengaruh neokolonialisme dan kapitalisme, di mana para elit lokal (pemerintah Indonesia dan PEMDA Papua) dipakai sebagai pengelolanya. Meminjam istilah “deep colonialism”-nya Lorenzo Veranici, apa yang telah dan sedang dilakukan oleh Freeport yang berafiliasi dengan elit lokal turut menegakkan penundukan masyarakat adat dan berimbas pada meningkatnya praktik neokolonialisme yang terus menindas dan memarginalkan bangsa Papua; suatu bentuk praktik politik terselubung (Young, 2016).

Kolonial Belanda yang telah angkat kaki dari bumi Cenderawasih sejak 1944 sama sekali tidak menjamin kemerdekaan bangsa Papua. Berbagai klaim tentang sejarah pengintegrasian wilayah Papua Barat (Baca Papua) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih saja diperdebatkan. Bagi mereka, dengan melihat napak tilas Freeport di Papua sebagai sebuah neokolonial, Pendudukan Indonesia dan Belanda adalahkolonialisme yang telah meninggalkan kubangan luka yang sama bagi bangsa Papua. Kolonial Belanda yang pernah menjajikan penyerahan kedaulatan penuh kepada bangsa Papua pada 1970 tak pernah dipenuhi sampai detik ini. Hal ini berimbas pada kolonialisme. Dalam imajinasi komunal tentang masa lalunya: andai saja pada 1970 itu kolonial Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Papua, maka Papua telah menjadi bangsa yang merdeka tanpa kolonialisme Freeport dan Indonesia. Selain menaruh kebencian dan amarah terhadap kolonial Belanda karena janji usang itu, mereka juga menaruh kebencian, bahkan lebih membenci kolonialisme Freeport dan Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia dianggap menjadi penyebab utama penderitaan dan marginalisasi bangsa Papua di atas tanahnya sendiri. Bagi mereka, PEPERA adalah hasil politisasi atas kepentinngan ekonomi kapital global untuk melegitimasi proses aneksasi wilayah Papua ke dalam NKRI agar Freeport mendapatkan akses yang mudah dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Papua.

Masih pada tataran berakhirnya masa kolonial, berbagai kebijakan dan program pembangunan yang diterapkan pemerintah Indonesia di wilayah Papua sampai saat ini, dan mungkin nanti, masih terobsesi dengan pola kolonialisme yang orientalis. Dengan membenamkan stereotip fiksional tentang bangsa Papua yang ‘belum maju’, ‘tertinggal’, ‘memiliki sumber daya manusia yang rendah’, ‘miskin’, dan ‘ketinggalam zaman’. Dengan anggapan itu, pemerintah Indonesia dengan getolnya beusaha ‘memberadabkan’ Papua lewat program dan proyek pemerataan pendidikan, kesehatan, dan infrastuktur, serta pengembangan pariwisata maupun perluasan areal pertanian, peternakan dan perkebunan; termasuk penetapan wilayah Papua sebagai daerah otonomi khusus. Semuanya dilakukan dalam rangka ‘menyejahterakan’ masyarakat Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI, yang masih ‘tertinggal’, sekaligus sebagai ‘obat penyembuh’ luka masa lalu.

Dekolonisasi dan Harapan ‘Kemerdekaan’ Bangsa Papua

Para pemikir pascakolonial menyatakan bahwa dampak kolonialisme tidak bisa dihilangkan. Sebab, kolonialisme meniadakan berbagai produk budaya hasil kolonialisasi sehingga merehabilitasi kebudayaan asli adalah menjadi mustahil. Satu hal yang masih mungkin untuk dilakukan adalah menciptakan sesuatu yang baru, yang memiliki nuansa resistensi. Dalam hal ini, resistensi tidak dipahami dalam arti menghidupkan kembali identitas kultural yang ‘asli’ lalu dipertentangkan atau diperhadapkan dengan segala hal yang berbau Barat, tetapi dengan cara-cara kreatif sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atas situasi ketidakadilan yang menimpa kehidupan orang-orang terjajah

Sebagai contoh, di Papua, meskipun pemerintah maupun pihak perusahaan telah menyediakan rumah bantuan bagi rakyat Papua, mereka lebih memilih untuk tinggal di hutan, menjaga hasil kebunnya, sambil berburu atau memancing. Rumah bantuan tersebut malah dijual ke para perantau (transmigran Papua) atau dibiarkan tak terawat sehingga penuh dengan rayap dan sarang laba-laba. Bahkan ada yang memilih tidur di pondok kecil (honai) yang dibangun di samping rumah bantuannya. Selain itu, ketika kita melintasi daerah perkotaan, mama-mama Papua sering berjualan (pinang, tas rajutan-noken[7], gelang, kalung dari pernak-pernik yang diperolah dari alam) di depan pertokoan, mal, supermarket, perkantoran, dan bahkan di atas trotoar jalan dengan beralaskan karung. Ada juga yang memilih untuk berjualan di luar gedung pasar yang telah disiapkan pemerintah, sehingga para pedagang non-pribumi lah yang menempati gedung tersebut. Dengan beralaskan karung dan beratapkan langit, mama-mama Papua tetap setia menjajakan hasil kebunnya setiap hari. Fenomena ini tidak dilihat sebagai bentuk ‘ketundukan’ atau ‘kalah bersaing’nya mereka di tengah berbagai kontestasi kehidupan, tetapi bentuk perlawanan sehari-hari yang kadang dilihat dari kacamata orientalis sebagai ‘yang lain’. Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang berdaya yang tidak mutlak tunduk pada pola pemberdayaan dan humanisasi versi penguasa maupun kapitalis. Dari mereka, kita belajar tentang kemanusiaan yang ekologis, yakni kehidupan yang berasal dari alam, oleh alam, dan untuk alam.

Tak hanya itu. generasi muda Papua saat ini sedang gencar menulis berbagai artikel maupun karya sastra berupa puisi, cerpen, dan novel yang tergabung dalam Komunitas Satra Papua (KoSapa), serta musik kontemporer; termasuk film dokumenter yang bernaung di bawah komunitas Papuan Voices. Jika dilihat dari tradisi dan budaya mereka, semua aktivitas tersebut bukan merupakan warisan leluhurnya. Mereka justru menggunakan sarana-sarana tersebut sebagai media perlawanan terhadap segala bentuk neokolonialisme yang tampak kian hegemonik. Melalui karya-karyanya yang dipublikasikan, mereka berupaya menyuarakan segala hal yang menjadi kegelisahan dan harapan hidup rakyat Papua. Inilah bentuk-bentuk resistensi kaum muda Papua di sepanjang jalan menuntut keadilan bagi bangsanya agar di suatu hari nanti tidak ada lagi penindasan, penipuan, genosida, dan berbagai stigma maupun stereotip fiktif di atas tanah warisan leluhurnya: West Papua, ‘surga kecil yang jatuh ke bumi’.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip beberapa penggalan bait puisi “Monolog Bumi Terjajah” karya Alex Giyai:

“Persada semakin miris di pangkuan barbarisme dunia
Dalam oligarki tirani bengis yang berwatak jahanam
Bumi keriting meringkih perih di genggaman keparat
Digilas para badut-badut korporat seraut bertopeng
Berjabat erat, jiwa-jiwa benalu lokal paling serakah
(…)

Bumi keriting merintih dengan tanah yang cucur
Dalam ratapan terhujam rapuh diam-diam terkuras
Pantaskah perut bumi Cenderawasih harus terjajah?
Oh tidak, sadar bergerak bebaskan rakyat dan tanah air
Sebelum bintang-bintang kian jatuh di liang kemusnahan”

 

Pustaka

Alua, Agus. 2006. Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis. Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur.

Bandel, Katrin. “Kajian Pascakolonial” (manuskrip).

Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (edisi terjemahan). Yogyakarta: Qalam.

Leith, Denise. 2003. The Politics of Power: Freeport in Soehartos’s Indonesia. University of Haway Press.

Poulgrain, Greg. 2017. Bayang-Bayang Intervensi, Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno (edisi terjemahan). Yogyakarta:Galang Press.

Said, W. Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

Tim Ekspedisi Kompas. 2008. Ekspedisi Tanah Papua-Laporan Jurnalistik Kompas: Terasing di Pulau Sendiri. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Young, Robert. 2016. “Postcolonial Remains” dalam Pramod K. Nayar (ed), Postcolonial Studies: An Anthology. Oxford: Wiley Blackwell.

https://tirto.id/freeport-di-papua-ialah-warisan-daripada-soeharto-cjrC

https://www.academia.edu/35499322/Analisis_Berdirinya_PT_Freeport_Indonesia_melalui_Perspektif_Poskolonialisme_Edward_Said

http://www.sastrapapua.com/2019/06/monolog-bumi-terjarah.html:

Catatan Kaki

[1] Uraian singkat ini dibuat berdasarkan hasil pembacaan penulis atas buku “Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas” (2008) dan “The Politics of Power: Freeport in Soehartos’s Indonesia” (2003)

[2] Lihat laporan perjalanan Worbes Wilson yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989).

[3] Allen Dulles adalah adik kandung Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Foster Dulles. Dikisahnkan bahwa keluarga Dulles memiliki hubungan yang erat dengan pengusaha raksasa minyak Amerika Serikat, Rockefeller. Dulles, yang juga berprofesi sebagai pengacara, sering membantu perusahaan minyak Belanda dan Amerika ketika menghadapi masalah yang berhubungan dengan investasi di wilayah Indonesia. Dari situlah Dulles mulai berkeinginan menguasai sumber daya alam di Papua, termasuk gunung emas di Erstberg.

[4] Lihat https://tirto.id/freeport-di-papua-ialah-warisan-daripada-soeharto-cjrC

[5] Di samping upaya perluasan daerah jajahan, para kolonial juga melakukan proyek penelitian di bidang antropologi maupun ekologi. Dalam rentang waktu tersebut, tercatat ada 140 lebih ekspedisi dari beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat ke Tanah Papua.

[6] Pada 1 Desember 1961, teks proklamasi kemerdekaan ‘negara’ Papua Barat tidak dibacakan karena sesuai janji kolonial Belanda, teks tersebut akan dibacakan pada saat kemerdekaan definitif di akhir tahun 1970 atau awal 1971 ketika pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan sepenuhnya. Pada saat itu, sebuah konstitusi yang terdiri dari 129 pasal juga disusun dan diumumkan secara resmi bersamaan dengan dibentuknya 12 partai politik (Alua, 2006). Sampai dengan saat ini, semua persiapan itu hanya menjadi mimpi yang tak kunjung menyata. Bagi bangsa Papua, ‘perginya’ kolonial Belanda masih menyisakan janji usang yang akan terus ditagih sampai mereka benar-benar memperoleh kedaulatan sepenuhnya sebagai bangsa yang merdeka.

[7] Noken atau tas rajutan adalah karya seni yang terbuat dari benang hasil pintalan dari kulit kayu genemo. Saat ini, ada banyak jenis noken yang tidak lagi dirajut dari benang aslinya, tetapi menggunakan benang-benang berwarna, hasil produksi pabrik benang yang banyak dijual di toko maupun pasar. Ada juga dibuat dengan tulisan ‘Papua’ atau ‘West Papua’. Fenomena ini tidak berarti bahwa masyarakat lokal tunduk pada hegemoni kolonial, tetapi sebagai bentuk perlawanan dan ungkapan kerinduan untuk menjadi bangsa ‘Papua Barat’ yang ‘merdeka’ dari berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi serta penindasan.

 

Gambar utama: suarakolaitaga.blogspot.com

3 thoughts on “Freeport dan Kolonialisme Indonesia di Papua

  1. Terima kasih atas tulisannya, menambah wawasan dan referensi kami mengenai apa yang terjadi di Papua, sehingga bisa memberi penjelasan lebih baik pada teman-teman dan adik-adik kami yang bertanya kenapa di sana banyak hal yang terjadi.

Tinggalkan Balasan