Oleh:
In’amul Mushoffa
BEBERAPA hari yang lalu (28/10), Bambang Widjojanto (BW) dalam sebuah diskusi bertajuk “Masa Depan Gerakan Anti Korupsi” menyatakan bahwa tantangan berat gerakan anti korupsi hari ini adalah oligarki. Jika oligarki yang terjadi pada masa Orde Baru adalah oligarki jinak, maka oligarki di era reformasi adalah oligarki liar.
Konsep oligarki jinak dan liar yang disebutkan BW sebetulnya bisa dilacak dalam teori Jeffery Winters (2011). Sayangnya, Bambang tidak sekaligus menyertakan implikasi teoretis dari teori oligarki Winters. Paling banter, BW menyerukan agar gerakan sosial anti korupsi lebih dimasifkan termasuk melalui penguatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, hal itu tidak menjawab: kenapa menjamurnya gerakan anti korupsi justru paradoks dengan menguatnya cengkeraman oligarki.
Bagi Winters—serta dua teoretisi oligarki terkemuka lainnya, Richard Robinson dan Vedi Hadiz, oligarki “hanya” bisa diruntuhkan dengan membongkar problem redistribusi untuk mengakhiri pola relasi kekuasaan dan kekayaan. Proses ini hanya bisa dicapai melalui revolusi. Kenapa? Karena oligarki muncul dari kesenjangan ekonomi. Semakin senjang ekonomi, maka semakin kuat oligarki. Selain itu, sumber daya material yang dimiliki oleh oligark dapat secara fleksibel digunakan untuk membajak sumber daya kekuasaan yang lain, mulai dari hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan koersi, dan kekuatan mobilisasi.
Situasi inilah yang juga dialami Indonesia. Demokrasi elektoral yang dielu-elukan sebagai keberhasilan reformasi sama sekali tak meruntuhkan oligarki. Glorifikasi reformasi 98’ meluputkan pandangan atas gerak-gerik banyak oligark yang tak lagi loyal kepada Soeharto di detik-detik akhir keruntuhannya. Padahal pasca itu, mereka mendirikan, membeli, dan atau menginfiltrasi partai politik untuk melakukan perburuan kekayaan melalui kekuasaan. Berbeda dengan sebelumnya dimana para oligark tunduk di bawah kendali satu panglima—Soeharto—para oligark di era reformasi bergerak tanpa satu penguasa dominan. Kompetisi antar oligark secara liar pun tak bisa dihindarkan sehingga berefek pada tumbuhnya demokrasi borjuis yang kompatibel dengan oligarki. Ada pemilu eksekutif dan legislatif, tapi semua calon dapat votable setelah diseleksi para oligark.
Maka, mengharapkan KPK dapat menghacurkan oligarki ibarat mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin terdapat lima nakhoda KPK yang radikal jika mereka semua diseleksi dalam kerangka kepentingan oligark di level legislasi? Lagi pula, semakin kuat ancaman terhadap oligarki, maka “upaya pertahanan kekayaan akan semakin kuat”. Para oligark akan menggunakan cara-cara baru demi pertahanan kekayaan. Inilah yang secara telanjang kita saksikan dalam upaya pemasungan kewenangan KPK melalui jalur legislasi dalam beberapa tahun ini. Karena itu, rekomendasi KPK, ICW, aktivis, dan tokoh anti korupsi seperti BW bahwa alokasi dana APBN Partai Politik (Rp. 1000 per suara) dapat mengurangi celah korupsi demi menambal ongkos politik begitu konyol.
Jika belajar kepada Hongkong, efektivitas politik pemberantasan korupsi tergantung pada peran penyelengara negara itu sendiri. Independent Commission Against Corruption/ICAC benar-benar memiliki taring karena—selain didukung oleh kekuatan kolonial—pemerintah dan DPR-nya mendukung pemberantasan korupsi secara konkret (Febari: 2015). Salah satunya melalui reformasi juris di pengadilan yang dianggap tidak berintegritas. Situasi ini tidak ada dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hilangnya Basis Material Penegakan Hukum
Jalan buntu pemberantasan korupsi tersebut ditambah dengan hilangnya “basis material” negara hukum (rechsstaat) atau penegakan hukum di Indonesia. Para pendiri negara dulu menyadari, bahwa hukum dalam kerangka rechstaat akan sulit ditegakkan jika basis materialnya tak terbangun terlebih dahulu (Azhari: 2013). Upaya pembangunan basis material itu dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk secara revolusioner memutus hubungan dengan imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme. Sebagai fondasi konstitusionalnya, basis material itu kemudian dituangkan dalam Pasal 38 (sekarang Pasal 33) ayat (1), (2), dan (3) yang mengandung visi sosialisme Indonesia, bukan kapitalisme yang melapangkan jalan bagi kemakmuran orang seorang.
Namun, tekanan dari luar (agresi militer Belanda I dan II, perjanjian KMB) serta pertentangan dalam negeri di akhir masa Orde Lama, membuat pembangunan basis material gagal terwujud. Ironisnya, pada masa Orde Baru, pembangunan lebih diorientasikan pada pertumbuhan sehingga memberi privileges bagi masuknya kembali modal asing melalui investasi skala besar. Situasi ini makin diperkeruh dengan upaya integrasi negara ini ke dalam kapitalisme global secara lebih masif sejak reformasi 98.
Kendurnya penegakan hukum bisa dipahami karena, secara material, struktur ekonomi yang ada memang menciptakan kesenjangan. Dalam teori oligarki Winters, kesenjangan ekonomi inilah yang memunculkan dan menguatkan oligarki. Semakin senjang ekonomi, maka semakin kuat cengkraman oligarki terhadap institusi demokrasi. Sebaliknya, semakin rendah kesenjangan, maka semakin kendur kekuatan oligarki. Paralelitas ini juga berlaku dalam penegakan hukum secara umum.
Di negara-negara yang kesenjangan ekonominya rendah seperti Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Kuba, perilaku koruptif jarang ditemui, apalagi oligarki. Belanda beberapa tahun lalu bahkan dikabarkan menutup banyak penjara karena ‘kekuarangan penjahat’. Berbading terbalik dengan Indonesia. Jumlah dan kuota penjaranya tak cukup menampung jumlah narapidana, baik karena benar-benar melakukan tindak kriminal maupun karena dikriminalisasi.
Korupsi dan Neoliberalisme
Lembaga-lembaga donor liberal mensponsori pembentukan UU Tipikor, UU Pencucian Uang, dan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Namun perlu diingat, dari sudut ideologi ekonomi politik yang belum mainstream dalam kajian hukum di Indonesia, hukum tidak pernah netral. Ia pasti berpihak meski secara normatif seolah-olah netral: demi keadilan, kesejahteraan, kepastian, dll. Di sini, “kepastian hukum” adalah cara kapitalisme global untuk memastikan agar ekspansi modal (investasi) tak menemukan hambatan korupsi (baca: pemerasan dari aparat birokrasi).
Dengan latar standar ganda yang diterapkan agen kapitalisme neolib itu, maka harus pula dipahami bahwa terberantasnya korupsi tak mengotomatisasi kemakmuran. Korupsi memang merupakan penyumbang kemiskinan dan kesenjangan, tapi bukan satu-satunya. Ada faktor yang lebih determinan menumbuhsuburkan korupsi, yakni kapitalisme-neoliberal.
Struktur ekopol kapitalisme-lah yang menentukan hubungan-hubungan sosial, politik, dan kebudayaan. Sehingga, bukan keterdesakan finansial yang mendorong aparatur negara untuk menilap uang rakyat (sebagaimana di salah satu fase jaman Orde Lama dulu yang pernah kekurangan anggaran), melainkan relasi ekopol yang di satu sisi mengandaikan konsumerisme dan individualisme sebagai gaya hidup massa dan di sisi lain melapangkan jalan bagi konsentrasi kekayaan yang berujung pada terbangunnya struktur politik oligarkis.
Penulis tidak mengatakan bahwa gerakan anti korupsi dan penegakan hukum atas kasus korupsi tidak penting. Tidak! Penegakan hukum atas kasus korupsi tetap harus terus diupayakan. Tanpa penegakan hukum, menjamurnya perampokan uang rakyat makin sulit terdeteksi jejaknya. Yang perlu dihindari adalah model gerakan anti korupsi yang tidak radikal dan “hanya” berfokus pada penegakan hukum. Sebagaimana diulas oleh Muhammad Ridha, formalisme hukum telah meminggirkan rakyat hanya sebagai penonton. Dan, inilah yang didesakkan oleh neoliberalisme dalam agenda pemberantasan korupsi.
Kita tentu tak menginginkan jika bertambahnya masalah di negeri ini ternyata hanya mereproduksi lowongan pekerjaan baru, penelitian-penelitian baru, dan buku-buku baru. Cukuplah kita insyafi tumbuh sumburnya NGO-NGO reformis dan tidak radikal di Indonesia. Maka, menjadi sesuatu yang mendesak bagi gerakan anti korupsi mengonsolidasi diri dengan kekuatan progresif yang ada untuk memahami masalah secara radikal; membentuk satu blok historis; membangun “agenda revolusioner”; dan membentuk kekuatan politiknya sendiri. Semua ini harus diorientasikan untuk meruntuhkan tatanan kapitalis dan oligarkis.***
Kepustakaan
Soekarno. 2015. Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Yogjakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.
Jeffrey A Winters.2011. Oligarki Terj. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Vedi R. Hadiz & Richard Robinson. Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia. Jurnal Prisma Volume 33 No. 1, 2014.
Rizky Febari. 2015. Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Aidul Fitriciada Azhari. Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 19 Oktober 2012
Muhammad Ridha, Problem Agenda Anti Korupsi Sekarang. 20 February 2015. https://indoprogress.com/2015/02/problem-agenda-anti-korupsi-sekarang/
*Tulisan ini dua tahun lalu diterbitkan Indoprogress (4/12/2017). Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.
Gambar: Potongan sampul Majalah Tempo Edisi 16-22 September 2019