Hanya dengan Bersama-sama Perempuan Proletar, Sosialisme Akan Berjaya (Bagian I)

Clara Zetkin

 

Investigasi yang dilakukan oleh Bachofen, Morgan dan yang lain tampaknya membuktikan bahwa penindasan sosial terhadap perempuan terjadi bersamaan dengan penciptaan kepemilikan pribadi (properti privat). Perbedaan di dalam keluarga antara suami sebagai pemilik dan istri sebagai bukan-pemilik menjadi basis bagi suatu ketergantungan ekonomi dan ilegalitas sosial perempuan. Menurut Engels, ilegalitas sosial ini merepresentasikan salah satu bentuk tertua dan pertama dari kekuasaan kelas. Dia menyatakan: “Di dalam keluarga, sang suami merupakan borjuasi dan sang istri merupakan proletariat.” Meskipun demikian, persoalan perempuan—dalam pemaknaannya saat ini—tidaklah eksis. Hanya moda produksi kapitalis yang mampu menciptakan transformasi sosial yang menimbulkan persoalan perempuan modern dengan menghancurkan sistem ekonomi keluarga lama. Sistem ini telah menyediakan penghidupan dan arti kehidupan bagi banyak perempuan selama periode pra-kapitalistik. Namun, kita tidak boleh membawa konsep-konsep (konsep kesia-siaan (futility) dan kepicikan (pettiness)) dalam aktivitas perempuan di era kita ke dalam dalam aktivitas ekonomi perempuan lama. Selama corak keluarga lama masih ada, perempuan akan menemukan kehidupan yang penuh arti melalui aktivitas produktif. Sehingga, dia tidak sadar akan ilegalitas sosialnya meskipun perkembangan potensi yang dimilikinya sebagai seorang individu sangat terbatas.

Periode Renaissance merupakan “storm and stress” (Sturm und Drang)[1] dari kebangkitan individualitas modern yang mampu berkembang sepenuhnya ke arah yang sangat beragam. Kami menjumpai individu-individu yang merupakan tokoh besar dalam kebaikan dan kejahatan, yang memandang rendah perintah-perintah agama dan moral serta menganggap hina surga dan neraka. Kami menemukan perempuan berada di pusat kehidupan sosial, seni, dan politik. Akan tetapi, tidak ada jejak dari gerakan perempuan pada masa itu karena sistem ekonomi keluarga lama mulai ambruk sebagai akibat dari pembagian kerja. Beribu-ribu perempuan tidak lagi menemukan mata pencaharian dan makna kehidupan bagi mereka di dalam keluarga. Tetapi, persoalan perempuan pada saat itu diselesaikan melalui biara, institusi amal dan perintah agama.

Mesin, model produksi modern, secara perlahan menggerogoti produksi domestik dan menimbulkan pertanyaan tidak hanya bagi ribuan tapi jutaan perempuan: “Di mana kita dapat memperoleh mata pencaharian sekarang? Di mana kita dapat menemukan kehidupan yang berarti, serta pekerjaan yang memberikan kepuasan batin?” Ada jutaan perempuan yang saat ini dipaksa menemukan mata pencaharian serta kehidupan yang berarti di dalam sistem masyarakat secara keseluruhan dan di luar sistem keluarga. Pada momen tersebut, mereka pun menyadari bahwa faktanya ilegalitas sosial mereka telah bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling mendasar. Dari sinilah persoalan perempuan modern muncul. Berikut ini beberapa statistik yang menunjukkan bagaimana kerja model produksi modern membuat persoalan perempuan menjadi semakin akut. Sepanjang tahun 1882, 5,5 juta dari total 23 juta perempuan di Jerman dipekerjakan sepenuhnya. Dengan kata lain, seperempat populasi perempuan tidak lagi memperoleh mata pencaharian di dalam sistem keluarga. Berdasarkan sensus tahun 1895, jumlah perempuan yang dipekerjakan di sektor agrikultur dalam arti luas meningkat lebih dari 8% sejak 1882, dalam arti sempit meningkat sebanyak 6%. Pada saat yang sama, jumlah laki-laki yang dipekerjakan pada sektor agrikultur menurun sebanyak 3%, menjadi 11%. Pada sektor industri dan pertambangan, jumlah pekerja perempuan yang dipekerjakan meningkat sebesar 35%, sementara laki-laki hanya 28%. Di sektor perdagangan retail, jumlah perempuan yang dipekerjakan meningkat lebih dari 94%, sementara laki-laki hanya 38%. Angka-angka ini mendesakkan urgensi untuk menuntaskan persoalan perempuan.

Namun, persoalan perempuan hanya tersaji di dalam masyarakat berkelas yang merupakan produk dari model produksi kapitalis. Oleh karena itu, kami tidak menemukan persoalan perempuan di dalam lingkungan petani yang memiliki sistem ekonomi yang natural (meskipun mereka sangat dibatasi dan dilemahkan). Tapi, kami menemukan persoalan perempuan di dalam masyarakat berkelas-kelas, yang merupakan anak dari model produksi modern. Terdapat persoalan perempuan untuk perempuan proletar, borjuis, inteligensia, dan “kaum sepuluh ribu teratas” (The Upper Ten Thousand).[2] Berdasarkan situasi kelas dari tiap-tiap strata ini, persoalan perempuan tersebut mengasumsikan bentuk yang berbeda.

Bagaimanakah persoalan perempuan dibentuk, terkait hubungannya dengan “kaum sepuluh ribu teratas”? Berkat kepemilikan mereka, para perempuan “sepuluh ribu teratas” dapat dengan bebas mengembangkan individualitasnya dan hidup sesukanya. Namun, dalam perannya sebagai seorang istri, mereka masih bergantung kepada suami. Posisi gender yang lebih lemah tetap terpelihara di dalam hukum keluarga: “Dan dia (suami) harus menjadi tuanmu”. Lalu, bagaimana bentuk keluarga “kaum sepuluh ribu teratas” membenarkan bahwa sah jika suami mendominasi istri? Bentuk keluarga semacam itu pada mulanya tidak mempunyai prasyarat-prasyarat moral. Bukan individu, tetapi uang yang menentukan ikatan perkawinan. Mottonya adalah: Apa yang kapital masuki, tidak boleh dimasuki moralitas sentimental. Sehingga, pada hubungan perkawinan ini, dua “prostitusi” telah diambil untuk satu keutamaan. Kehidupan keluarga, pada akhirnya, berkembang sedemikian rupa. Di saat seorang perempuan tidak lagi harus memenuhi “kewajibannya,” ia menyerahkan “kewajiban” sebagai seorang istri, ibu, serta ibu rumah tangga kepada pelayan yang diupah. Jika para perempuan dalam lingkaran ini benar-benar ingin mendapat tujuan hidup, mereka pertama-tama harus menuntut hak kontrol atas properti mereka secara bebas dan independen. Oleh karena itu, tuntutan ini merepresentasikan inti dari tuntutan-tuntutan yang disuarakan oleh gerakan perempuan dari kalangan “sepuluh ribu teratas.” Para perempuan ini, dalam perjuangannya untuk merealisasikan tuntutan, harus berhadap-hadapan dengan lingkungan maskulin di dalam kelas mereka. Perjuangan ini sama persis dengan perjuangan kelas borjuasi yang melawan semua estates (kelas-kelas sosial dan politik pada era monarki) yang memiliki hak istimewa; yaitu perjuangan untuk menghapuskan segala bentuk perbedaan sosial yang didasarkan kepada kepemilikan atas properti. Kenyataan bahwa tuntutan ini tidak berurusan dengan hak-hak individu dibuktikan oleh advokasi Tuan Stumm (Herr von Stumm)[3] di parlemen (Reichstag). Memangnya kapan Tuan Stumm akan mengadvokasi persoalan hak-hak seseorang? Keberadaan Tuan Stumm di Jerman menunjukkan lebih dari sekedar personalitas. Dialah kapital itu sendiri yang kemudian berubah menjadi darah dan daging. Jikalau ia tampil dalam penyamaran yang murahan sebagai pembela hak-hak perempuan, hal itu terjadi karena dia terpaksa harus mematuhi “Tabut Perjanjian” (Ark of the Covenant) kapitalisme. Inilah dia Tuan Stumm. Orang yang akan selalu siap memangkas hak-hak para pekerjanya jika mereka tidak mau mengikuti keinginan sang Tuan. Dan tentu saja, ia juga akan tersenyum puas, jika pemerintah—sebagai majikan—memangkas hak-hak para profesor dan inteligensia yang ikut campur dalam persoalan sosial politik. Tuan Stumm tidak mengusahakan apapun selain membuat aturan hak waris sesuai garis keturunan atas properti bergerak perempuan seandainya warisan jatuh ke perempuan, karena ada beberapa ayah yang telah mendapatkan properti tetapi kurang berhati-hati dalam menentukan anak-anaknya yang akan diwarisi, sehingga hanya menyisakan anak-anak perempuan sebagai pewaris. Kapitalisme bahkan menghargai kaum perempuan lebih rendah dan memperbolehkan untuk menyingkirkan kekayaannya. Itulah fase terakhir dari emansipasi kepemilikan pribadi.

Bagaimana persoalan perempuan muncul dalam lingkaran borjuasi kecil (petit-bourgoisie), kelas menengah, dan inteligensia borjuis? Dalam hal ini, bukan properti yang menghancurkan sistem keluarga, tetapi gejala-gejala yang mengiringi produksi kapitalis. Pada titik di mana produksi kapitalis telah mencapai kemenangannya, kelas menengah dan kapitalis kecil menuju kehancuran. Kehidupan inteligensia borjuis memburuk: kapitalisme membutuhkan tenaga kerja yang cerdas dan terampil sehingga menyebabkan terjadinya overproduksi proletariat pekerja-mental. Posisi sosial kelas profesional yang sebelumnya dihormati dan diuntungkan juga menjadi semakin terkikis. Pada sisi lain, jumlah pernikahan turun. Sementara ekspektasi hidup individu semakin meningkat, basis material justru semakin memburuk. Sehingga, laki-laki dari latar belakang kelas menengah tersebut akan berpikir dua atau tiga kali sebelum melakukan pernikahan. Batasan umur untuk membangun keluarga terus naik. Di era kita, tidak ada tekanan bagi seorang laki-laki untuk menikah berkat hadirnya institusi sosial yang menawarkan bujangan tua hidup nyaman meski tanpa seorang istri yang sah. Eksploitasi kapitalis terhadap proletariat dengan upah murah memastikan adanya suplai besar pelacur sesuai dengan permintaan para pria. Sehingga, di dalam lingkaran borjuis jumlah perempuan yang tidak menikah terus-menerus meningkat. Para istri dan anak-anak perempuan dari lingkaran ini didorong untuk masuk ke dalam masyarakat agar dapat menetapkan penghidupan bagi diri mereka sendiri, yang tidak hanya harus memenuhi kebutuhan mereka atas penghidupan tapi juga kebutuhan atas kepuasan batin. Di dalam lingkaran ini, perempuan tidak setara dengan laki-laki dalam hal posisi sebagai pemilik atas properti pribadi, sebagaimana mereka yang berada di lingkaran yang lebih tinggi. Para perempuan dari lingkaran ini belum mendapatkan kesetaraan ekonomi dengan laki-laki. Kesetaraan ini hanya dapat mereka capai dengan melakukan dua tuntutan: tuntutan mendapatkan latihan profesional yang sama dan tuntutan kesempatan kerja yang setara bagi kedua jenis kelamin. Dalam istilah ekonomi, hal ini tidak lebih dari sekedar upaya realisasi akses bebas untuk segala jenis pekerjaan dan kompetisi bebas antara laki-laki dan perempuan. Realisasi dari tuntutan ini melepaskan sebuah konflik kepentingan antara laki-laki dan perempuan dari kalangan borjuasi dan inteligensia. Kompetisi perempuan dalam dunia profesional merupakan kekuatan yang mendorong para lelaki untuk bertahan menghadapi tuntutan para pembela hak-hak perempuan borjuis. Jadi, semata-mata karena ketakutan akan kompetisi. Alasan-alasan lain yang dituduhkan kepada kerja-mental perempuan, seperti otak perempuan yang lebih kecil atau dugaan kecenderungan, yang berasal dari sifat bawaan, untuk menjadi ibu hanyalah dalih. Perjuangan atas kompetisi ini mendorong perempuan dari strata sosial atas untuk menuntut hak politiknya. Sehingga, lewat perjuangan secara politik, mereka mungkin dapat meruntuhkan semua tembok penghalang yang dibangun untuk menghalangi aktivitas ekonomi mereka.

Sejauh ini, saya telah mengemukakan perhatian hanya pada hal-hal mendasar yang murni merupakan sub-struktur ekonomi. Sehingga, tidak adil jika kita menganggap gerakan menuntut hak dari perempuan borjuis semata-mata hanya didorong oleh faktor ekonomi. Tidak. Di dalam gerakan ini juga terkandung aspek spiritual dan moral. Perempuan borjuis tidak hanya menuntut hak atas penghidupan, tetapi juga menuntut untuk mengembangkan individualitasnya. Tepat di tengah-tengah strata ini kami menemukan hal-hal tragis, namun menarik secara psikologi. Ekonomi serta upaya-upaya intelektual dan moral para pendukung hak-hak perempuan borjuis sepenuhnya dijustifikasi sosok Nora[4], seorang perempuan yang lelah hidup seperti boneka di dalam rumah dan ingin andil dalam perkembangan budaya modern.

Terkait hubungannya dengan perempuan proletar, kebutuhan kapitalis untuk melakukan ekploitasi dan buruh murah secara terus menerus lah yang menciptakan persoalan perempuan. Hal ini pula yang menjaring perempuan proletar masuk ke dalam bengkel-bengkel dan mesin-mesin. Ia memasuki kehidupan ekonomi saat ini demi menunjang suaminya mencari nafkah. Namun, moda produksi kapitalis mengubah perempuan tersebut menjadi kompetitor yang tidak fair. Ia ingin memakmurkan keluarganya, tetapi yang datang kesengsaraan. Mereka ingin memberikan kehidupan yang lebih cerah dan menyenangkan bagi anak-anak, tapi malah terpisah sepenuhnya dari anak-anaknya. Mereka telah setara dengan laki-laki sebagai pekerja; hadirnya mesin membuat kerja otot menjadi tidak perlu dan di mana-mana hasil produksi kerja perempuan sama dengan yang dihasilkan laki-laki. Perempuan merupakan tenaga kerja murah dan, yang paling utama, penurut—sangat jarang dari mereka yang berani untuk melawan balik eksploitasi kapitalis. Oleh karena itu, para kapitalis melipatgandakan peluang kerja di dunia industri bagi perempuan. Hasilnya, perempuan proletar mendapatkan kemandiriannya, tetapi harga yang harus mereka bayar sesungguhnya sangatlah tinggi. Jika pada masa sistem keluarga lama laki-laki punyak hak untuk sesekali mencambuk istrinya (coba pikirkan hukum elektoral Bavaria!), kapitalisme menjinakkan perempuan dengan Kalajengking. Di masa lalu, aturan suami atas istrinya diperbaiki melalui hubungan personal keduanya. Tetapi, di masa kapitalisme sekarang, di antara majikan dan pekerjanya hanya ada “hubungan uang” (cash nexus). Perempuan proletar telah mendapatkan kemerdekaan ekonomi serta kesempatan mengembangkan individualitasnya, tetapi bukan sebagai manusia, perempuan, atau istri. Dalam perannya sebagai istri dan ibu, yang tersisa di meja hanya remah-remah roti dari produksi kapitalis.

Oleh sebab itu, perjuangan pembebasan perempuan proletar tidak dapat disamakan dengan perjuangan yang dilancarkan perempuan borjuis terhadap laki-laki di dalam kelas mereka (borjuis). Justru, perempuan proletar seharusnya berjuang bersama laki-laki dari kelas yang sama (proletar) melawan seluruh kelas kapitalis. Perempuan tidak perlu melawan laki-laki dari kelasnya sendiri untuk meruntuhkan tembok yang menghalanginya berpartisipasi dalam persaingan bebas pasar. Kebutuhan eksploitasi kapitalisme dan perkembangan moda produksi modern telah meringankan beban perempuan dalam memperjuangkan hal semacam itu. Sebaliknya, tembok baru perlu didirikan untuk menghalau eksploitasi terhadap perempuan proletar. Hak perempuan proletar sebagai seorang istri dan ibu harus dipulihkan dan dijamin secara permanen. Tujuan akhirnya bukanlah kompetisi bebas dengan laki-laki, tetapi pencapaian atas kekuasaan politik proletariat. Perempuan proletar bersama dengan laki-laki dari kelas yang sama (proletar) harus berjuang bahu-membahu melawan masyarakat kapitalis. Tentu saja, ia juga setuju dengan tuntutan gerakan perempuan borjuis, namun tuntutan tersebut hanya sebagai alat agar gerakan tersebut memasuki medan perjuangan, yang dilengkapi dengan senjata yang sama, bersama-sama dengan proletariat.

Bersambung ke bagian II


Clara Zetkin adalah seorang Marxis Jerman. Tokoh terkemuka dalam gerakan buruh internasional. Menyelenggarakan Konferensi Wanita Sosialis pada Maret 1915. Bersama Alexandre Kollontai, berjuang untuk hak pilih yang tidak dibatasi, dan melawan ‘feminis borjuis’ yang mendukung pembatasan suara berdasarkan properti atau pendapatan. Zetkin dan Rosa Luxemburg memimpin sayap kiri dan mengobarkan perjuangan sengit melawan revisionisme yang diwakili oleh Karl Kautsky


Artikel ini diterjemahkan Ahmad Gatra Nusantara dari Pidato pada Kongres Partai Demokratik Sosial Jerman, Gotha, 16 Oktober 1896. Berlin, Only in Conjunction With the Proletarian Woman Will Socialism Be Victorious.


Catatan kaki dari Penerjemah

[1] Sturm und Drang atau Storm and Stressmerujuk pada gerakan sastra Jerman pada akhir abad 18 yang ditandai oleh kemunculan karya-karya yang mengandung semangat dan emosionalisme tinggi yang terkait dengan pemberontakan individu terhadap masyarakat. (Merriam-Webster)

Dalam psikologi, Storm and Stress sering dikaitkan dengan masa remaja/pubertas, terkait dengan kecenderungan memberontak terhadap orang tua, sifat moody, dan kecenderungan mengambil resiko tinggi. (howstuffworks.com)

[2] The Upper Ten Thousand atau The Upper Ten merupakan sebutan lain untuk anggota-anggota kelas tertinggi (Merriam-Webster).

Merujuk pada frasa abad 19 yang berasal dari sebutan untuk 10 ribu orang terkaya di kota New York. Istilah ini diperkenalkan oleh penyair dan pengarang Amerika Serikat Nathaniel Parker Willis (Wikipedia.org).

[3] Carl Ferdinand von Stumm-Halberg (1836-1901)

[4] Karakter Nora berasal dari naskah drama berjudul “A Doll’s House” karangan Henrik Ibsen.


Gambar: https://www.marxist.com/video-women-the-family-and-the-russian-revolution.htm

Tinggalkan Balasan