Oleh: Abdurrachman Sofyan
Tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis
(Goldstone)
Apalah pentingnya mempertautkan problem ke-Negara-an, filosofi demokrasi dan ideologi pasar dengan meningkatnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)? Selain untuk mengasah keberpihakan kepada siapa Hak Asasi Manusia di Negara kita, dan selapang apa para penyelenggara Negara menerjemahkan demokrasi kita. Kemudian memposisikan korban-korban pelanggaran HAM sebagai subyek utama guna meneropong lebih jauh lagi bahwa apa yang sesungguhnya timpang di depan mata ialah kekeliruan dalam menggunakan kuasa (abusing of power).
Rabu, 3 Mei 2017, enam belas (16) orang aktivis sekaligus korban konflik agraria di Surokonto, Kendal, Jateng melapor pada KOMNAS HAM ikhwal kriminalisasi tiga (3) kawan aktivis agraria (Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mujiono) oleh PT. Perhutani dengan menggunakan UU P3H soal perkara pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan (lihat; http://www.kpa.or.id dan www.komnasham.go.id). Lanjut, bahkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2016 sebanyak 450 konflik terjadi di wilayah agraria, dengan rasio presentase konflik antara warga dan pihak swasta 38,22% dan antara warga dengan pihak pemerintah 22,44% dan antara warga dengan pihak BUMN 13,56%. Konflik tersebut sangat berpotensi untuk terus meningkat seiring dengan kebijakan pembangunan infrastruktur dan kepentingan korporasi swasta.
Meminjam paradigma Mansour Fakih, bahwa sesungguhnya “pembangunan” lambat laun menjadi semacam “agama baru” atau semacam ideologi baru bagi jutaan rakyat di belahan dunia ketiga. Janji-janji perubahan serta perbaikan nasib kehidupan tampak indah dikampanyekan. Namun, “slogan” pembangunan itu justru tidak senafas dengan kesejahteraan bagi sebagian banyak rakyat miskin di dunia ketiga. Manifestasi pembangunan ala madzhab barat dipahami sebagai tahapan menuju “modernitas”, dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi sebagai simbol dari sekian banyak indikator kemajuan sebagaimana yang telah dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Konsep pembangunan juga memiliki keterkaitan dengan revolusi industri, dimana akar sejarah dan intelektual pada periode tersebut menginspirasi banyak tokoh untuk mengembangkan paham tersebut. Dalam konteks perubahan sosial, pembangunan juga kerap dipahami oleh sebagian besar negara ketiga sebagai suatu proses perbaikan umum dalam standar hidup. Sementara di sisi lain, Pembangunan juga dipahami sebagai sarana untuk memperkuat negara, dengan proses industrialisasi sebagai pengarus utamaannya, lalu kemudian berkembang dengan mengikuti pola seragam dari satu negara dengan negara lainnya. Perspektif ini memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dengan memperlakukan rakyatnya sebagai objek penerima, klien atau bahkan partisipan pembangunan (Mansour Fakih, 2010: 65-66).
Secara garis besar, pembangunan dapat dipahami sebagai tahapan menuju modernitas melalui proses perbaikan umum, industrialisasi dan pembangunan infrastruktur dengan menjadikan negara sebagai subjek pembangunan dan menghilangkan peran keterlibatan rakyat dalam partisipasinya. Dengan faham yang lebih dalam lagi, pandangan ini dibangun di atas landasan logika kapitalisme, yang jika ditarik secara lebih jauh pada sumbernya, yakni bersumber pada pandangan filsafat ekonomi klasik ala Adam Smith dalam karya fenomenalnya Wealth of Nation (1776). Sebagaimana yang diketahui seksama bahwa pandangan kapitalisme sesungguhnya mengarah pada suatu konsep model pembangunan ekonomi yang menjadikan kebebasan sebagai prinsip utama. Dimana kapitalisme percaya bahwa pertumbuhan dicapai sebagai kewajaran dari “kompetisi bebas” dan “pasar bebas” dengan tanpa melibatkan pihak negara secuilpun, yang artinya bahwa “serahkan seluruhnya pada mekanisme pasar, biarkan pasar yang menentukan harga, akhiri inflasi, stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi, bebaskan ekonomi dari campur tangan pemerintah di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan pasar mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri, untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan”. Lalu hentikan subsidi negara kepada rakyat, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip campur tangan pemerintah dalam persaingan bebas. Pemerintah harus melakukan privatisasi semua perusahaan negara, dan akhirnya, dihapusnya ideologi kesejahteraan bersama dan kepemilikan komunal”.
Dengan manuver ideologi pembangunanisme dalam negara, berakibat juga pada perubahan sistem sosial masyarakat. Secara umum, masyarakat agraris sedari awal hidup diikat dengan rasa kepercayaan tinggi terhadap sesama, gotong royong, mandiri dalam soal pertanian harus merelakan hadirnya pola komunikasi konsumtif, spirit gotong royong berubah menjadi spirit pamrih, kepercayaan diikat oleh basis material, petani bergeser menjadi buruh tani akibat ganasnya industrialisasi lahan pertanian, dan intinya, terjadi pergeseran orientasi dari asas kebutuhan terhadap komoditas menjadi kebutuhan terhadap akumulasi uang, sebab mereka mulai meyakini bahwa uanglah yang sesungguhnya alat universal dari segala pemenuhan kebutuhan.
Lalu, masyarakat dicekoki oleh media tentang persoalan-persoalan yang jauh dari akar masalahnya secara masif, dari korupsi daging sapi, BLBI, hingga e-KTP baru-baru ini. Tanpa tahu harus bersikap bagaimana terhadap fenomena yang kian akut, kemarahannya kemudian terkanalisasi pada umpatan kebencian lewat media sosial. Keinginan perubahan menuju pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama hanya menjadi mimpi di media sosial tanpa ada pergerakan solid lagi nyata wujudnya, yang intinya adalah masyarakat kehilangan kendali politiknya. Mestinya, agenda politik rakyat lahir dan digerakkan oleh, atas kepentingan rakyat, justru hal tersebut dimanfaatkan menjadi kekuatan penyokong kelompok oligark untuk merongrong negara, hingga kekuasaan negara berhasil diompongi oleh gerakan yang mengatas namakan “masyarakat sipil”.
Semenjak ideologi pembangunan didengungkan dan privatisasi aset dilakukan oleh swasta, maka yang terjadi adalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap rakyat. Dua kata kunci inilah yang kemudian akan menjadi penghubung antara pengabaian terhadap pemenuhan HAM bagi rakyat (red, non-korporasi) dengan kepentingan swasta. Kemudian lahirlah fenomena agenda pemerataan penggusuran dan badai kemiskinan, bahkan upaya mengetas kemiskinan menjadi agenda besar proyek dunia (lihat rencana program MDGs-SDGs di bawah badan PBB). Sungguh, di situlah sebenarnya akar dari pada kekerasan negara yang lebih mementingkan agenda investor ketimbang pemenuhan hak-hak dasar dari warganya. Penggusuran menjadi agenda rutin pemerintah dan pengabaian hak rakyat untuk memiliki tempat yang layak mulai dilupakan. Apa–apa yang menjadi agenda pemerintah selalu dibayang-bayangi dengan kepentingan investasi, sehingga demikian, negara dengan orientasi kesejahteraannya bukan diperuntukkan bagi warganya, melainkan untuk segelintir kelompok saja.
Nilai HAM yang lahir dari rahim-rahim kovenan internasional, sejatinya tak berjalan seiring dengan penegakkan dan pemenuhan hak asasinya. Alih-alih dengan dalil HAM yang menekankan bahwa semua rakyat harus dilindungi dan dipenuhi setiap haknya, justru dengan ideologi pembangunan, masyarakatlah yang menjadi korban utamanya. Ketidakadilan tersebut persis seperti yang diuraikan oleh Felix Wilfred (Idjehar, 2003: 148) bahwa pertama, pasar memiliki fungsi yang serupa dengan mesin. Dimana ada kalanya mengalami semacam “gangguan” dalam proses berjalannya dan oleh sebab itu, gangguan tersebut haruslah disingkirkan. Salah satu dari sekian banyak “gangguan” tersebut ialah perjuangan dan advokasi HAM menjadi representasi dari yang dimaksud, sehingga penegakan HAM tak ubahnya dianggap sebagai pengancam dari sistem pasar yang harus disingkirkan, yang juga akan berakibat pada buruknya stabilitas pasar. Kedua, prinsip dasar dalam sistem ekonomi neoliberal ialah kekuatan “kompetisi”, yang mana diyakini bahwa yang kuatlah yang kuasa dan yang lemah pasti akan musnah. Sementara sistem kapitalisme global menghendaki adanya ketidaksetaraan (inequality) yang memang diperlukan untuk kebutuhan perdagangan dan akumulasi kapital. Dalam kondisi ini, prinsip dari pada HAM selalu dikalahkan dengan agenda pemenuhan keuntungan. Yang mana dari kapitalisme pasar pada prinsipnya akan selalu menghindari wilayah-wilayah yang tidak dapat memberikan jaminan profit dengan alasan apapun. Dengan demikian, artinya sistem ekonomi neoliberal telah mencabut hak dasar kaum miskin yakni hak untuk hidup.
Ketiga, HAM semestinya menempatkan subyek “korban” sebagai titik pusatnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kapitalisme malahan berkolusi dengan negara-negara patriarkis untuk menciptakan subyek-subyek “tanpa wajah” yang mudah dieksploitasi. Proses eksploitasi kapitalisme tersebut telah memunculkan protes dari kalangan petani di Thailand dan gerakan mahasiswa di Indonesia.
Keempat, Pasar dalam ideologi pembangunan yang telah terhegemoni dipaksa masuk dalam aturan aturan universal dengan pola tunggal, yang kemudian lebih sering disebut dengan sistem Globalisasi. Agenda globalisasi ini membuat korban dari pelanggaran HAM semakin merata, seperti pemaksaan terhadap masyarakat adat untuk menyerahkan hutannya dan sumber daya alamnya atas nama “pembangunan”.
Kelima, HAM yang tak berjalan seiring dengan penerapannya telah melahirkan konsekuensi pada negara. Dimana sosok negara harus menampilkan wajah keramahannya ketika berhadapan dengan desakan dan tekanan rakyat yang menuntut haknya. Namun, yang terjadi sesungguhnya ialah kontradiksi negara terhadap komitmen penegakannya dengan menjual aset-aset sumberdaya alam yang semestinya menjadi hak–hak publik.
Keenam, HAM kemudian dijadikan tameng pelindung oleh korporasi untuk membentengi kepentingan stabilitas pasarnya. Di sini mulai terlihat bahwa agen-agen dari kapitalisme membutuhkan keterlibatan negara dalam upaya melindungi dan memberikan keamanan pada korporasi.
Dari fenomena konflik serta tinjauan paradigmatik di atas, kiranya perlu dipertimbangkan ulang bahwa spirit penegakan HAM menemukan titik ambivalensi. Sebab, di samping lemahnya standing position negara dalam keberpihakannya, dilegitimasi pula dengan dibarengi kuatnya arus masuk pemodal dalam menguasai aset-aset milik rakyat.
Credits to: kobumi.blogspot.com
Relasi Ideologi Negara dan Pelanggaran HAM
Krisis finansial 1997 di Asia Timur dan Tenggara, berakibat pada merubahnya konstelasi politik Negara. Disusul pada 1998 terjadi gerakan reformasi di Indonesia, transisi tata kelola birokrasi pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sistem tata kelola pemerintahan demokratis didengungkan, salah satu petandanya adalah tata pemerintahan yang baik. Good governance dipercaya mampu menjadi penawar problem bobroknya birokrasi masa lalu, kemudian muncullah gerakan gerakan sebagai dampak afirmatif dari governance yakni seperti pemberantasan korupsi, pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, pengawasan peradilan, pengawasan otonomi daerah (R.Herlambang, 2007).
Massimo De Angelis (2016) mensinyalir sistem Governance tak ubahnya dengan sistem manajemen konflik yang lahir dalam konteks merebaknya aktor-aktor sosial pasca reorganisasi neoliberal di akhir 1970 an. Kemudian ditandai dengan tumbuh suburnya elemen masyarakat sipil sebagai aktor peredam lain guna menjaga stabilitas pasar di kelas bawah. Dengan hadirnya Governance kemudian peran negara lambat laut terkikis, terpangkas dan terompongi dengan menempatkan negara berdiri setara dengan pasar atau masyarakat sipil lain (stakeholders), di saat yang sama juga, governance menempatkan akumulasi kapital sebagai titik orientasi serta tujuan utama. Dengan prinsip umum negara maju melalui tahapan: unifikasi, industrialisasi, dan Negara kesejahteraan. Sayangnya, pemerintah Indonesia dalam konteks saat ini cenderung mencampuradukkan sekaligus dan berbarengan dari ketiganya untuk merealisasikan pembangunan. Sehingga dengan perspektif campuran tersebut melahirkan kegamangan dalam mengorientasikan setiap kebijakan. Hal lain yang lebih ironi ialah adanya dampak turunan lainnya yakni sebuah konsekuensi logis dari sistem governance yaitu diberlakukannya prinsip kemitraan, inklusi/eksklusi dan pengaturan sendiri, dengan begitu menjadikan suatu tatanan stabilitas organisasional sebagai alasan dan tujuan spesifik dalam upaya mengakomodasi dan mengartikulasi keragaman dari sebuah kepentingan.
Idealnya, pembangunan dilakukan secara komprehensif “memperhatikan hak asasi manusia: mencakup hak sipol-ekosob”, memenuhi aspirasi dan partisipasi rakyat serta keduanya tidak boleh bertentangan. Pembangunan hendaknya berarti membangun kedaulatan ekonomi, kedaulatan pangan, pembangunan politik sosial dan kebudayaan yang diakhiri dengan tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan tanpa menghadirkan korban korban baru dari rakyat itu sendiri. Dalam konteks HAM, negara-lah yang menjadi subjek hukum utama, sebab negara merupakan entitas yang bertanggung jawab melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukan HAM (Rhona K.M. Smith Dkk, 2008:53).
Pemenuhan hak sipol-ekosob tidak berarti sebatas pada dimasukkannya prinsip prinsip HAM dalam setiap kebijakan. Namun, sudah semestinya mampu melampaui dari sekedar “take line” penggunaan ide ide hak asasi manusia. HAM harus mampu dinikmati oleh setiap warganya. Umpamanya dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, pemerintah bukan hanya sebatas pada penjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan juga harus mampu melindungi pelaksanaan, penyebaran dan, hak untuk memilih kepercayaan yang diyakininya. Dalam wilayah hak ekosob misalnya, meski konflik-konflik yang terjadi di wilayah agraria ialah bersumber dari soal kepemilikian lahan, namun sejatinya juga ada hak memiliki pekerjaan dan hak untuk hidup layak yang diabaikan.
Sungguh, setiap kebijakan yang lahir dari rahim pembangunanisme dan kepentingan neo-liberalisme selamanya tidak akan memanusiakan manusia, melainkan hanya akan menjadikan kekayaan beredar terpusat pada pengarus utamaan pemegang kendali kekuasaan. Jika demikian sudah menjadi keniscayaan bagi setiap individu yang jauh dari kekuasaan, maka yang terjadi ialah meratanya kelas kelas marjinal yang kian hari kian bertambah jumlahnya.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh gerakan rakyat dalam menuntut negara untuk memenuhi hak-hak dasarnya. Awalan meminjam pandangan Roy Murtadho (diolah dari diskusi publik di komunitas Kalimetro Malang) bahwa sebagai langkah utama untuk masifikasi gerakan rakyat, yakni diperlukannya suatu visi bersama untuk bergerak seiring dan se-frame dalam pengidentifikasian lawan yang sesungguhnya, yakni Imperialisme, fasisme negara dan kapitalisme. Sambil lalu merajut gerakan alternative yang memungkinkan untuk dilakukan secara preventif maupun jangka panjang.
Daftar Bacaan
Muh. Budairi Idjehar, SH.M.HUM. HAM versus Kapitalisme, Insist Press, Yogyakarta, 2003.
Hamid Awaludin. HAM: Politik, Hukum & kemunafikan Internasional, Penerbit Kompas, Jakarta, 2012.
Massimo De Angelis, Toby Carroll, Tania Murray Li, Ben Fine. Petaka Neoliberalisme: Membongkar Proyek Pembangunan Sosial Sebagai Kuda Troya Neoliberal, Intrans Publishing, Malang, 2016.
Mansour Fakih. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Insist Press, Yogyakarta, 2010.
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Neo-Liberalisme, Good Governance dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Jentera XV, Januari-Maret, 2007
Gambar utama diambil dari: http://lpmhimmahuii.org/2016/12/petani-surokonto-wetan-menggugat-keadilan/