Penindasan atas rakyat dan Bangsa West Papua terus terjadi. Penguasaan kaum kapitalisme dan imprealisme terhadap West Papua, ikut serta Kolonialisme Indonesia dengan keras menjajah rakyat dan Tanah West Papua melalui militerisme serta sistem kolonial yang menindas rakyat secara sistematis, yang kini telah 57 tahun dianeksasi bangsa West Papua ke dalam Negara Kolonial Indonesia.
Dalam perjuangan hak rakyat dan bangsa West Papua untuk penentuan nasib sendiri, diperhadapkan dengan militer dan sistem yang terstruktur menuju pemusnahan etnis (Genocide Silent), bahkan pada tingkatan yang keras adalah pembunuhan, penganiayaan, diskriminasi, pelecehan, pembungkaman, penghadangan, perampasan, perampokan, dsb terjadi terhadap rakyat dan Bangsa West Papua hingga saat ini.
Melihat penjajahan yang dilakukan oleh kolonialisme Indonesia atas West Papua, represif militer menjadi tindakan utama menindas rakyat West Papua, seperti tindakan militer (TNI-POLRI) yang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat sipil di Ndugama dan terhadap TPN-PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) sebagai rakyat sipil West Papua, yang berjuang menuntut hak demokratis untuk kemerdekaan. Sejak 11 Juli 2018, Militer (TNI- PORLI) melakukan penyisiran dengan senjata lengkap, penembakan, bom mortir diledakkan di Kampung Alguru pada pukul 11:01 WIT melalui empat helikopter yang mengakibatkan 50 hingga 200 Kepala Keluarga berpindah tempat, berlari ke hutan. Penambahan militer yang berlebihan melebihi masyarakat Ndugama, dengan alasan kedatangan militer mengamankan Pilkada 2018 yang berkedok kepentingan pemodal bahkan individu tertentu.
Data pihak kepolisian (Kapolda) Papua, sejak 22 Juni 2018, POLRI mengirimkan sebanyak 30 Anggota Brimob dan 150 personil yang ditempatkan di Kenyam pada 25 Juni 2018, 700 personil diminta dari Polda Papua serta 3000 personil untuk mengamankan pilkada 27 Juni 2018. Adapun pada 17 Januari 2018, Jendral Polisi Tirto Karnavian, mengatakan 14 ribu personel akan ke Papua termasuk 2.800 dari TNI, Linmas 4000 pesonel, sehingga hampir dari sebagian personil dikirim ke Nduga melebihi statistik data masyarakat Ndugama saat ini. Sehingga, selama dihitung dari sejak tanggal 22, 25, 27 Juni hingga 11 Juli 2018 merupakan tindakan represif militer kolonial Indonesia yang terus terjadi hingga saat ini. Bahkan, aktivitas rakyat menjadi tidak bebas akibat operasi represif militer yang berlebihan.
Tindakan Militer (TNI-PORLI) yang menyisir, melakukan kontak senjata, dan meledakkan bom mortir mendatangkan amarah, ketidaknyaman, ketakutan, bahkan mengingat tragedi serangan militer yang pernah terjadi di Papua dan khususnya Ndugama 1996, itu merupakan catatan sejarah tersendiri bagi masyarakat Nduga dan akhirnya, hampir dari seluruh masyarakat Nduga mengungsi ke hutan, juga ke daerah lain seperti Agast, Timika, Wamena mulai dari tanggal 27 Juni hingga 12 Juli 2018 dan terus berlangsung hingga saat ini.
Operasi Mapenduma yang dilakukan oleh militer (TNI-Polri) tahun 1996 dengan serangan dari udara menggunakan helikopter dan dari darat yang mengakibatkan 35 orang ditembak mati, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dibakar dan 166 rumah dibakar. Ketika itu, sejumlah 123 Masyarakat Nduga meninggal dunia karena sakit dan kelaparan di hutan bahkan diburu oleh Kopassus.
Ditinjau dari it, tingkatan mahasiswa Papua pun mendapatkan diskriminasi dan represif oleh gabungan militer, Ormas, Intel BIN/BAIS, dan sebagainya. Namun, tidak hanya sekali terjadi bahkan intimidasi kekerasan terus terjadi dari tahun ke tahun, termasuk di Malang pada 1 Juli 2018 ketika melakukan diskusi di Asrama Mahasiswa Papua mengenai “Hari Proklamasi Kemerdekaaan West Papua di Victoria 1 Juli 1971”. Acara tersebut dibubarkan secara paksa yang mengakibatkan beberapa orang terluka, dan perlengkapan serta peralatan milik mahasiswa Papua diambil, yang sampai saat ini sebagian belum dikembalikanDi Surabaya juga, Pada Hari Jumat 6 Juli 2018, Mahasiswa Papua melakukan diskusi bebas bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai pelindung. Namun, ketika itu Camat Tambaksari Surabaya bersama ratusan aparat melaksanakan Operasi Yustisi tanpa membawa surat izin masuk ke kawasan Asrama Papua Surabaya sehingga terjadi tindakan intimidasi terhadap para personil LBH dan mahasiswa Papua yang saat itu melakukan diskusi bebas. Secara umum, mahasiswa Papua mengalami berbagai intimidasi dari kolonial Indonesia mulai dari perkataan rasisme, pembunuhan masal, penganiayaan, pengejaran, perampasan, dan sebagainya, hal tersebut terus menerus terjadi sejak bangsa West Papua dianeksasi secara paksa ke kolonial Indonesia.
Sejarah mencatat, Bangsa West Papua sejak 01 Mei 1963 dianeksasi kepada Indonesia oleh UNTEA untuk melaksanahkan Pepera, yang ketika itu tanpa keterlibatan rakyat asli West Papua satu pun dan untuk berupaya memenangkan Pepera pada tahun 1969. Sebelumnya, penandatanganan Kontrak Karya pertama PT. Freeport sejak 1967 yang ilegal telah dilakukan. Terkait persoalan PT. Freeport, sampai saat ini, Kolonial Indonesia masih melakukan ekploitasi dengan saham yang dibagi 51% milik Indonesia dan Negara Imperialis Amerika serikat mendapatkan sekian persen-nya Sehingga itulah, Negara Indonesia telah mulai melakukan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak asasi rakyat Bangsa West Papua seperti hak hidup, hak berkumpul dan berserikat, hak menyampaikan pendapat di muka umum, hak kemerdekaan bangsa West Papua, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Politik, Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Kolonial Indonesia membangkitkan perasaan traumatis dan emosional pada Rakyat West Papua, terutama rakyat sipil Nduga, mahasiswa dan rakyat sipil lainnya, hingga aparatus militer Indonesia dengan kemauannya telah menyerang rakyat dengan bom mortir, senjata api, mereka menyisir dengan peralatan lengkap militer Indonesia, helikopter, serta operasi-operasi khusus. Mereka juga melakukan penyerangan terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai rakyat asli yang berjuang untuk hak demokratis Bangsa West Papua yang mana saat ini kolonial Indonesia dan sekutu-nya menuduh sebagai separatis, KKBS, KKB, TERORIST, OPM, dll. Bahkan, Kolonial Indonenisa juga menyebut mahasiswa Papua sebagai OPM, KKBS, KKB, dan berbahasa rasisme.
Dengan melawan cara kolonialisme yang diskriminasi terhadap mahasiswa dan rakyat West Papua serta situasi yang terjadi di Nduga, maka kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Solidaritas Ratapan Kemanusiaan Alguru Nduga West Papua menuntut:
- Jokowi-JK segera memberikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis atas beragam persoalan di tanah West Papua.
- Menuntut ULMWP menyikapi perjuangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di West Papua dan khususnya di Nduga.
- Berikan ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis dan media internasional dan nasional di West Papua terlebih khususnya di Nduga.
- Menuntut Kapolri Tito Karnavian, agar memerintahkan Kapolda Kolonial Papua segera menarik militer dari Nduga.
- Menuntut Negara Kolonial Indonesia segera menarik militer dari Nduga dan Tanah West Papua. West Papua dapat menjaga dirinya sendiri tanpa aparat militer kolonial Indonesia yang justru meresahkan Rakyat West Papua.
- PBB segera turun tangan menangani seluruh pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua dan khususnya di Nduga
- Hentikan kriminalisasi dan pembohongan publik serta media yang tidak aktual
- Menuntut dicabutnya izin usaha atas perusahaan-perusahaan yang beroperasi di tanah West Papua milik korporasi nasional dan internasional dan oknum Rakyat West Papua yang bersekongkol dengan kapitalis-imperialis yang dalam prakteknya juga bersekongkol dengan militer Indonesia terus menerus mengorbankan rakyat West Papua demi bisnis uang keamanan dan kelanjutan eksploitasi mereka.
- Hentikan dikriminasi, represifitas terhadap mahasiswa West Papua, khususnya di Malang serta Surabaya
- Berikan kebebasan berkumpul, berserikat, berekpresi, dan menyampaikan pendapat yang merupakan hak setiap manusia tanpa terkecuali mahasiswa dan Rakyat West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Malang, 30 Juli 2018
Juru Bicara
Yustus Yekusamon