Intervensi Oligarki dalam Seleksi Capim KPK

Oleh:
Rudi Hartono*

Setelah presiden Jokowi menunjuk sembilan orang sebagai panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK), sehari kemudian muncul keberatan di lapisan civil society perihal beberapa individu tim pansel, yang dinilai tak senapas dengan visi dan agenda pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi selaku pemberi mandat dikritik kurang serius dalam membentuk tim tersebut. Kritik publik kian menguat tatkala Pansel meloloskan Capim bersoal secara integritas dan etik[1]—ada bukti formil dan materiil (meski belum ada putusan resmi instansi terkait)—mulai tahap administrasi sampai tahap wawancara dan uji publik.

Senin, (02/09), sepuluh nama (termasuk yang problematis) capim KPK diserahkan kepada Presiden Jokowi[2] untuk nanti diserahkan ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Salah satu tuntutan dari civil society adalah meminta agar presiden mengevaluasi hasil kerja Pansel dan mereken serius pribadi capim. Harapannya, presiden tidak menyodorkan orang bermasalah pada DPR. Apalagi di antara sepuluh nama, di antaranya dinilai memiliki masalah. Singkatnya, kerja Pansel dalam proses penjaringan komisioner itu bermasalah.

Kalau menilik susunan pansel dan modus operandi-nya, tak mengagetkan bila Capim “terduga” bermasalah, lolos seleksi. Dugaan adanya conflic of interest tak boleh dinafikan bila track record tiga orang Pansel[3] mengekspos adanya keterkaitan mereka pada lembaga tertentu sehingga menguatkan isu adanya “calon-calon titipan”. Keanehan ini merefleksikan interes terselubung kelompok eksklusif, yang dalam mitologi Yunani dikenal lewat kuda troya. Metaforis ini penting untuk melihat upaya-upaya mengendurkan KPK via penempatan persona yang tak paralel dengan agenda pemberantasan korupsi di internal institusi anti-rasuah.

Betapapun kalau sampai presiden mengafirmasi sepuluh nama yang ada dan menyerahkan ke DPR, maka saat fit and proper test, bisa diterka lima komisioner jenis apa yang diorbitkan oleh parlemen. Dan keputusan parlemen, apapun hasilnya, harus diterima secara konsekuen. Jika demikian, persoalannya bukan sekadar personalia, melainkan sistem dalam instansi anti rasuah yang relatif baik (dibandingkan institusi State auxiliary bodies lainnya) berpotensi di rusak. Apalagi kuatnya penetrasi neoliberalisme terhadap agenda anti-korupsi membuat peran esensial rakyat cenderung dinegasi. Ruang partisipasi terbuka ternyata belum begitu signifikan untuk intervensi agenda-agenda kerakyatan dalam melawan korupsi.

Tarik-menarik kepentingan seperti tercermin dalam proses seleksi Capim KPK terlalu naif bila ini diletakkan dalam konteks kepentingan sempit antar sektoral (Kepolisian dan Kejaksaan), apalagi mereduksi sebatas persoalan personalia semata-mata. Sebab, bergulirnya demokratisasi pasca-Soeharto diikuti oleh kembali berkuasanya aktor-aktor lama dan menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi dan politik tak tertandingin. Maka pasca-reformasi, sejauh struktur politik dan ekonomi dikuasai para predasi, aktor baru yang ingin memasuki arena kekuasaan mesti sudi jadi bagian dari oligarki.

Dalam situasi itu, sayangnya agenda pemberantasan korupsi terperangkap pada tawaran atau solusi yang bersifat tekhnokratis, ketimbang solusi ekonomi-politik: solusi non-kapitalistik.[4] Kalau mengamati polemik terkait, nampak terjadi perdebatan sempit dan tak menyentuh aspek esensial dari persoalan. Mestinya argumen yang dibangun berpijak pada realisme tatanan ekonomi-politik pasca-Soeharto. Argumen inti saya di sini adalah: faktor determinan untuk jadi komisioner adalah seberapa luas relasi/jaringan dimiliki dan seberapa kuat power dari relasi/jaringan yang ada.

Tarik Menarik Kepentingan

Pansel Capim KPK periode 2019-2023 dinilai paling buruk sepanjang sejarah penjaringan komisioner KPK.[5] Terlepas dari segi keilmuan mempuni, tapi hubungan eksklusif dengan lembaga negara patut dicurigai. Setiap individu tak dibentuk oleh satu unsur, tetapi dari beragam unsur dalam kurun waktu tertentu dan saling terpaut antara satu sama lain.

Memiliki di masa lampau memiliki catatan positif, belum tentu sekarang sama. Ada banyak aktivis dan cendekia yang dulu dikenal baik, ketika masuk gelanggang atau bersentuhan dengan politik praktis malah terkooptasi oleh kepentingan oligarki. Artinya, komitmen itu mesti diuji konsistensinya. Sulit untuk tidak mengatakan bila pansel merupakan preferensi politik. Presiden Jokowi ialah hasil proses politik dan karenanya keputusan-keputusannya selalu berdimensi politik (ini terkait suksesi visi-misi). Maka wajar jikalau publik sangsi akan Pansel. Terutama persoalan itu terpampang nyata.

Sejak awal, kekhawatiran akan adanya calon titipan sangat beralasan. Mulai dari Pansel bermasalah hingga disharmoni KPK dengan beberapa institusi publik, seperti: kepolisian, kejaksaan, dan DPR. Bahkan belakangan KPK mulai fokus menangani problem korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan menjadi alasan merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).[6] Tentu ini warning bagi pihak-pihak terkait yang tengah mengejar keuntungan di sektor tersebut. Apalagi Indonesia pasca-Soeharto masih terkunci dalam model pembangunan kapitalistis yang bertumpu pada eksploitasi SDA dan tenaga kerja tak terampil.[7] Kedudukan strategis KPK serta privilege-nya, ketimbang instansi penegak hukum lain, sudah barang tentu jadi rebutan dari beragam kepentingan.

Teori oligarki menempatkan para oligark semata sebagai kekuatan politik dan ekonomi tak tertandingi oleh kekuatan manapun. Hadirnya demokrasi pasca-Soeharto ditandai oleh minimnya peran kelas subordinat[8] – buruh, petani, rakyat miskin kota, dan lainnya. Kondisi ini mesti menjadi dorongan untuk mempertebal syak wasangka pada proses seleksi. Apalagi gradasi pansel mencerminkan politik akomodatif.

Pelbagai cara untuk mengintervensi pansel sangat terlihat. Salah satu yang paling tidak masuk adalah adalah dengan melempar isu radikalisme. Ini pula yang membuat pansel mengambil tindakan bunuh diri. Kala Pansel berkolaborasi dengan beberapa lembaga negara – antara lain adalah Badan Intelijen Negara (BIN), yang notabene diketuai Budi Gunawan – terlibat dalam proses seleksi. Seolah-olah lupa pada sosok calon Kapolri tetapi gagal lantaran KPK memberi catatan merah terhadap dirinya. Mencari legitimasi lewat isu radikalisme untuk berkolaborasi adalah keputusan destruktif.

Pansel seperti sengaja menerima narasi-narasi konspiratif yang dimainkan faksi-faksi tertentu. Tuduhan tendensius dan insinuatif terhadap instansi anti rasuah bahwa di dalamnya terdapat pasukan Taliban atau polisi India merupakan penegasan dari sengitnya pertempuran merebut lembaga anti-rasuah. Meski serangan ini lebih banyak muncul dari tataran graasroot, tapi pastinya aktor intelektual ada di balik serangan itu. Wacana konspiratif ini dan tindak-tanduk pansel nampak merefleksikan betapa vulgarnya intervensi terjadi justru sejak tahap seleksi di level Pansel. Lantas, di posisi mana kepolisian berdiri menyikapi upaya-upaya penyesatan ini?

Selain tudingan konspiratif itu, ada pula pelbagai macam kritik terhadap KPK yang sering kita dengar disampaikan elite politik senayan (DPR), tapi tak menyentuh esensi persoalan. Seperti mengkritisi kinerja yang sering gebyah-uyah melakukan penindakan, namun dinilai gagal dalam aspek pencegahan. Bahkan kerap dituding jadi alat penguasa untuk menjinakkan dan/atau menundukkan lawan politik dan ekonomi. KPK juga dinilai tak bertaring kala berhadapan dengan kasus besar yang melibatkan elite kesohor. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Centuri di antaranya.

Tentu kritik itu dalam taraf tertentu ada benarnya. Tapi problemnnya adalah bagaimana mungkin KPK dapat bertindak progresif bila KPK sendiri tercekik oleh kepentingan oligarki? Sekalipun lima komisioner merupakan orang-orang berintegritas dan track record bersih, langka progresif itu mustahil terjadi! Selama ruang-ruang intervensi oligarki masih terbuka, maka selama itu langkah tekhnokratis jadi pilihan dan cenderung “kompromistis”. Dalam konteks inilah agenda pemberantasan korupsi tampak berada dalam anomali. Seperti dikatakan In’amul Mushoffa, sulit berharap akan ada lima komisioner progresif, bila mereka adalah hasil proses seleksi dalam kerangka kepentingan oligarki pada level legislasi.[9]

Argumen esensialnya adalah akses dan kontrol jabatan publik dan otoritas masih menjadi penentu utama bagaimana kekayaan pribadi dan kekuatan sosial diakumulasi dan didistribusikan.[10] Posisi strategis KPK dan privalage-nya, bisa kita bayangkan betapa lembaga ini menjadi rebutan dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing. Dan polemik sekarang ini mensinyalir adanya intervensi oligarki saat penentuan Pansel KPK. Persis di sini kita perlu menancapkan perhatian tak sekadar pada ranah legislatif semata, tapi juga ranah eksekutif.

Ada dua postulat yang bisa dijadikan pijakan analisis. Pertama, bila presiden tidak terikat atau tersandera oleh kepentingan eksklusif, maka dalam pembentukan Pansel tak ada conflic of interest. Dengan demikian, secara personalia masing-masing dapat dipertanggung jawabkan – baik integritas dan track record-nya. Kedua, tetapi kalau presiden justru terikat atau tersandera interes sempit terbatas, maka sepuluh nama yang ia terima patut dicurigai, di kritik, kalau perlu ditolak, sekalipun pansel dan proses (seandainya) tak ada masalah.

Penutup: Tak Relevan Kriteria Etis-Moral

Kebanyakan orang cenderung memusatkan perhatian dugaan adanya intervensi oligarki hanya pada ranah legislatif. Rana legislatif dipandang sebagai faktor tunggal. Baik buruk komisioner KPK, tergantung proses politik DPR ketika fit and proper test. Apalagi DPR selama ini dikenal publik sebagai lembaga paling korup dan sering berupaya melemahkan lembaga anti-rasuah. Menganggap DPR sebagai faktor tunggal, sudah pasti keliru fatal. Polemik seleksi Capim KPK sekarang ini adalah bukti kalau terdapat berbagai faktor, saling memengaruhi.

Korupsi (bukan faktor determinan) juga turut berkontribusi terhadap tumbuh-berkembang masalah ketimpangan dan kesenjangan. Sedangkan oligarki merupakan produk dari politik stratifikasi material yang ekstrem dalam masyarakat dan bukan hasil defisit demokrasi.[11] Dari perspektif ini bisa dimengerti kalau semakin terkosentrasinya kekayaan material merupakan suatu cerminan dari watak kompromistis dalam proses penegakan hukum. Seperti penjelasan Jeffrey Winters bahwa, masalah rule of law terutama dikarenakan oleh ketidakmampuan sistem hukum dalam menjinakkan mereka yang sangat berkuasa. Di sinilah masalah kronis dari organisasi penegak hukum di republik ini, tak hanya KPK.

Persoalan seleksi Capim KPK tak dapat disempitkan hanya pada ranah personalitas. Persoalan personalia seperti integritas dan track record serta ukuran-ukuran etis dan moral lain kurang menemukan relevansi dalam struktur ekonomi dan politik oligarkis. Bagi saya, dalam tatanan politik pasca Soeharto, faktor determinan dari proses seleksi capim KPK bukan pada track record dan integritas calon, melainkan seberapa luas jaringan/relasi yang dimiliki calon dan untuk menjadi komisioner sangat bergantung pada seberapa kuat power yang dimiliki jaringan/relasi untuk memenangkan calon tersebut. Persis di titik ini intervensi oligarki terbuka lebar.

Hegemoni oligarki terhadap struktur ekonomi dan politik. Hanya orang-orang yang bersedia menjadi bagian dari koalisi besar oligarki yang dapat restu masuk dalam arena kekuasaan, atau sekurang-kurangnya membuka diri terhadap kompromi. Mengingat lembaga anti-rasuah sangat penting bagi politik pertahanan dan keamanan kekayaan.

 

*Rudi Hartono, anggota di Forum Intelektual Nuhu Evav Malang

 

[1] Tiga insan yang di duga bermasalah, yaitu Firli Bahuri, Antam Novambar, Jasma Pandjaitan. KPK juga sempat mengundang Pansel untuk memperlihatkan bukti-bukti terkait yang bisa di jadikan sebagai bahan pertimbangan. Saat tahapan wawancara dan uji publik, ketiga orang tersebut hendak mengklarifikasi ‘tuduhan’ yang dialamatkan pada dirinya. Dengan mengklarifikasi itu artinya peristiwa terkait pelanggaran etik benar adanya. Lihat, https://nasional.tempo.co/read/1242273/tiga-capim-kpk-dalam-sorotan-rekam-jejak-bermasalah/full&view=ok. Akses 3 September 2019

[2] Kompas.com. INFOGRAFIK: 10 Nama Capim KPK yang Diserahkan pada Jokowi. Lihat, https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/03/193400265/infografik–10-nama-capim-kpk-yang-diserahkan-pada-jokowi. Akses 3 September 2019

[3] Lihat, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190827071010-12-424876/rekam-jejak-tiga-pansel-kpk-yang-dituding-konflik-kepentingan?fbclid=IwAR2gjvIXBHeBn9WnoIGEtBPvJMu6cK84jbX1utGzDIjiGfQEuWWQWR_DmX8. Akses 3 September 2019

[4] Coen Husain Pontoh. Solusi Kiri. IndoPROGRESS, 27 November 2017. Lihat, https://indoprogress.com/2017/11/solusi-kiri/. Akses 3 September 2019.

[5] Kompas.com. Pansel Capim KPK periode 2019-2023 dinilai Sebagai Pansel Terburuk yang Perna Ada. Lihat, https://nasional.kompas.com/read/2019/09/01/13171011/pansel-capim-kpk-2019-2023-dinilai-sebagai-pansel-terburuk-yang-pernah-ada?page=all. Akses 3 September 2019

[6] Kpk.go.id. Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Jadi Alasan Pentingnya Revisi UU Tipikor. Lihat, https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/737-korupsi-sektor-sumber-daya-alam-jadi-alasan-pentingnya-revisi-uu-tipikor?fbclid=IwAR1vlKJgnCcCLrhRM4IuziFF6HZZQSFtNUVHVhpVmx8oVByqgPgkMKmzEMM. Akses 3 September 2019

[7] Andrew Rosser. Memahami Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia: Wawasan dari Indonesia The Rise of Capital. Prisma Vol. 32, No. 1, 2013. (Jakarta: LP3ES, 2013). Hlm, 48

[8] Edward Aspinall. Agensi dan Kepentingan Massa dalam Masa Transisi dan Konsolidasi di Indonesia. Prisma Vol. 33, No. 1, 2014. (Jakarta: LP3ES, 2014). Hlm, 76

[9] In’amul Mushoffa. Gerakan Anti Korupsi: Jalan Buntu dan Jalan Keluarnya. IndoPROGRESS, 4 Desember 2017. Lihat, https://indoprogress.com/2017/12/gerakan-anti-korupsi-jalan-buntu-dan-jalan-keluarnya/. Akses 3 September 2019

[10] Vedi R Hadiz dan Richard Robison. Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia. Prisma Vol. 33, No. 1, 2014. (Jakarta: LP3ES, 2014). Hlm, 35

[11] Jeffrey Winters. Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Prisma Vol. 33, No. 1, 2014. (Jakarta: LP3ES, 2014). Hl, 15

 

 

Sumber Foto: https://www.gatra.com/detail/news/442849/politik/polemik-revisi-uu-kpk-dpr-dan-kpk-tak-seirama

 

Tinggalkan Balasan