Pekan lampau ada diskusi yang dihelat kaum muda. Temanya terbilang cadas, juga berasa asing buat kebanyakan telinga: Rojava. Ruangan diskusi terisi penuh. Agak mengejutkan, acara seperti itu cukup diminati. Padahal tak ada joget TikTok sebagai menu pembuka, melainkan pemutaran film dengan cover perempuan menyandang bedil.
Adalah kaum perempuan yang kebanyakan hadir dalam diskusi. Air muka mereka tampak berseri-seri. Entah kenapa bisa terlihat begitu. Perbincangan bergulir secara santai, antusias, dan hangat. Saat satu persatu mulut mengucap yakin, seketika itu seakan-akan amat dekat saja jarak Rojava dan kota kami.
Di tengah diskusi, seorang perempuan beranak satu berdiri menahan tangis, ketika menuturkan bagaimana revolusi menjaga dan memenangkan kaumnya. Yang lain menoleh, bersorak, menyulut gairah. Pemantik diskusi melafalkan ‘Konfederalîzma Demokratîk’ berulang-ulang, seolah ia obat mujarab dari Kanton Afrin bagi seluruh jenis demokrasi yang melayu dan kudisan.
Saya tahu, Rojava tak setara Indonesia. Bangsa Kurdi yang mendiami Timur Tengah, rasanya tak menyerupai tiap-tiap kami. Alih-alih PKK (Partai Pekerja Kurdistan), pun HDP (Partai Demokratik Rakyat) tak punya padanan di sini. PKK bergerilya sejak penghujung 1970an, tahun di saat kebanyakan peserta diskusi belum diproduksi sebagai janin. Alih-alih mencium aroma mesiu seturut rutinitas gerilyawan, aktivis kita lebih nyaman menghirup bau arabika di selasar coffee shop.
Performa elektoral Partai Demokratik Rakyat (yang kerap dianggap payung elektoral Kurdi) juga tak sembarangan. Mendulang nyaris 11% suara di Pemilu dalam partisipasi langsung terakhirnya. Angka yang sedikit di atas PKB, jika berkenan diperbandingkan. Di Indonesia, partai yang namanya mirip, malah beralih rupa. Bukannya sukses meraih suara, dalam upaya lolos Pemilu saja mereka tumbang. Petingginya kini berharap-harap cemas diberi jatah jabatan, seraya mengomat-ngamitkan mantra ‘adil makmur’. Entah siapa gerangan yang sedang mengejar makmur duluan.
Abdullah Ocalan ‘Paman Revolusi’ dari keluarga besar PKK, bersedia melewati etape derita, hidup diburu dan bui. Dia penulis, pemikir, dan kombatan. Kombinasi yang langka. Lantas, apa kesemua ini hendak disetarakan Indonesia? Anda seperti melihat hiu dan batu akik. Atau Jung-Kook dijejerkan Che Guevara. Sehingga akan mudah menemukan 100 argumen untuk menyulitkan peserta diskusi. Bahwa, Rojava yang dipercayai sebagai utopia, jelas kontras dengan keadaan negeri kita: distopia.
Walau begitu, saya menetapkan hati menyimak acara diskusi hingga bubar. Demi merayakan dan menghormati imajinasi yang masih hidup bersama mereka. Ketidaknurutan anak-anak muda ini dalam bergagasan ialah pukulan balik bagi keseharian. Sehari-hari jamaknya orang diminta menjadi ‘realitis’, impian-impian besar dihalau, dianggap mengada-mengada. Proyek transformasi sosial radikal, digantikan proyek dari donor yang ramah pemangku kebijakan, dibilang lebih masuk akal. Imajinasi tak mendapat tempat lagi.
Di sanalah posisi diskusi Rojava malam itu. Anak-anak muda yang memutuskan berhadapan secara diametral dengan kejumudan. Puluhan tahun silam Salvador Allende pernah bilang, “To be young and not a revolutionary is a biological contradiction.” Mereka sedang bertumbuh dalam bingkai kredo tersebut. Sedangkan Si Tua makin membosankan, amat pamrih, dan konservatif. Hidupnya mereplikasi seloroh Margaret Thatcher, “There is no alternative”, seraya merasa diri sudah kenyang menelan asam garam kehidupan.
Anak muda membicarakan tema yang ‘berat-berat’ sudah menjadi kelakuan zaman. Mereka pernah memperdebatkan ‘People Power’ di Manila yang menjungkalkan Marcos, sembari mengangan-angankan Soeharto pun bisa diperlakukan serupa. Ada masa di kala sosok Hugo Chavez dibicarakan dengan menggaruk-nggaruk kepala, sambil berfikir apakah ini mungkin direplikasi? Perihal cita-cita perubahan mendasar. Hal-hal yang lekat di usia mereka.
Imajinasi sinonim dengan pernyataan tak bersedia memakbulkan status quo. Yang bermula dari imajinasi dalam sejarahnya kerap menghasilkan sejarah. Karl Benz merancang mobil pertama pengguna bensin. Yuri Gagarin meluncur ke luar angkasa. Duo Sergey Brin dan Larry Page membuat search engine. Oppenheimer serta kisah bom nuklir. Dan ‘Naar de Republik Indonesia‘-nya Tan Malaka nyaris 100 tahun lalu. Pendeknya, “imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”, ujar Einstein.
Mengenai bab ini, sekira setahun lalu, saya bersua bincang dengan seniman senior. Dia yang pernah ikut diciduk di Wadas. Salah satu topik obrolannya, mengenai partai dimana waktu itu saya masih bernaung. Pria ini tak pernah menahan diri dengan ucapannya, sejak kalimat pertama.
“Jadi ideologi mu apa? Sosdem? Atau apa?”
Mendapati pertanyaan lugasnya, saya memilih tersenyum. Tak berminat buru-buru masuk dalam diskusi yang bernuansa prinsipil, kendati sebetulnya saya punya jawaban. Celakanya gestur itu segera saja mendapatkan ganjaran setimpal. Digodam.
“Ada di gerakan kok gak punya ideologi. Gak punya imajinasi dong! Lalu mau apa? Cari makan di gerakan?! Berkarir?!”
Orang ini amat lancang. Nihil eufemisme. Tapi ucapannya bisa dibenarkan. Valid. Saya kira dia tengah menuding banyak orang, sebutlah golongan aktivis. Kebetulan saja saya yang tengah sial, duduk bertatap muka dengannya. Akhirnya wajah saya yang kecut memancingnya tertawa terbahak-bahak.
Tawa itu membawa ingatan saya pergi ke sebuah buku yang pernah saya baca lebih dari dua dasawarsa silam. Buku yang ditulis Patrick Seale dan Maureen McCoville (2000). Tentang peristiwa Perancis 1968. Di kala mahasiswa dan buruh bersekutu. Memporak-porandakan kemapanan Perancis dan mengirim pesan ketidakpatuhan kepada kapitalisme ke sekujur Eropa.
Suatu siang, buruh-buruh pabrik Renault sedang melakukan pemogokan. Salah seorang anggota serikat buruh di Billancourt berkata kepada Komite Pemogokan. “Kita harus realistis, kita tidak boleh meminta hal yang mustahil”. Tampak bijak kalimatnya, sama sekali tidak centang perenang. Tapi sekaligus hambar. Kering. Tak punya adrenalin. Tak bernyali membayangkan yang lebih. Khawatir sekali bermimpi.
Berjarak 10 km dari lokasi pabrik Renault, di Censier, sekumpulan pemrotes menjungkir balikkan apa yang diucap buruh Renault tadi. Mereka keluar dari silogisme itu. Maka beredarlah kalimat yang menjadi slogan terkenal sepanjang Pemberontakan Mei 1968. ‘Soyez réalistes, demandez l’impossible!’. ‘Bersikaplah realistis, tuntutlah yang mustahil!”
Malam di diskusi Rojava, saya melihat kembali spirit yang identik. Walau pelan, belum cukup menjanjikan dan masih samar-samar. Bisa jadi mereka juga keliru memahami sesuatu. Namun ada yang jelas-jelas menyala. Mereka yang muda tak sudi membebek kepada generasi tua yang makin lembek, korup, dan menipu. Mereka seperti hendak bilang dengan suara beroktaf tinggi, “Jangan mati imajinasi, biarlah orang tua saja yang mati.”
***
(Penulis tinggal di lereng Gunung Semeru)
Sumber gambar: https://www.truthdig.com/articles/rojavas-improvised-revolution/