Kebijakan kelautan dan perikanan yang saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, secara konseptual sangatlah sederhana dan pragmatis. Kebijakan yang dijalankan hanya untuk menutup kekurangan dan membuat yang tidak ada. Model kebijakan yang seperti ini hanyalah mampu merespon kepentingan politik sesaat dan tidak akan mampu memberikan solusi-solusi yang sangat fundamen untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, khususnya masyarakat pesisir dan nelayan. Ketiadaan konsep besar tentang kebijakan kelautan (ocean policy) ini menunjukkan adanya kegagapan dan ketidaksiapan pemerintah untuk mengelola kekayaan laut. Indikator dari kegagapan tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kegiatan illegal fishing. Pada tahun 2008 kegiatan illegal fishing yang merugikan negara sekitar 30 triliun, sedangkan pada tahun 2010 potensi kerugian negara sebesar 30 triliyun lebih ikan yang hilang dan sekitar 50 triliun lebih yang berbentuk penerimaan negara bukan pajak. Jadi total potensi kerugian negara sekitar 80 trilyun lebih. Selain persoalan pencurian ikan, indikator lainnya adalah adanya kemiskinan yang tetap mendera pada masyarakat pesisir-nelayan, pemerintah tidak mampu melindungi dan memenuhi hak eknomi, sosial, budaya dan lingkungan.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk tidak segara melakkan perubahan desain atas kebijakan kelautan dan perikanan yang terjadi di Indonesia. Rekonstruksi kebijakan kelautan saat ini sangat diperlukan; pertama bagaimana menhadirkan kebijakan kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Kedua bagaimana mengantisipasi ancaman global warming bagi masyarakat pesisir-nelayan dan ketiga adalah bagaimana merevitalisasi paradigma kebijakan pembangunan kelautan.