Persoalan kesenjangan ekonomi hingga kini masih terus menghantui. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memeranginya. Salah satu wujudnya adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada saat hampir bersamaan, manifesto politik Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelum terpilih dalam program Nawa Cita-nya berkomitmen “untuk membangun Indonesia dari pinggiran”. Namun, adanya jaminan yuridis dan political will tersebut bukan berarti bahwa usaha untuk membangun Desa—sebagai wilayah yang selama ini dominan termarginalkan—boleh berhenti begitu saja. UU Desa hanya merupakan pintu masuk bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat Desa. Sedangkan kesuksesannya tergantung banyak faktor, baik kematangan sistem dan peran seluruh elemen terkait. Jangan sampai, anggaran Rp. 750 juta hingga Rp. 1,4 M tidak tepat guna karena implementasinya tidak sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Jangan sampai aparatur desa justru gagap dalam mengelola dana sebesar itu. Jangan sampai pula implementasi UU Desa justru mengancam keanekaragaman budaya lokal. Gagasan para akademisi lintas keilmuan dalam Jurnal ini berusaha mengantisipasi kemungkinan munculya persoalan-persoalan tersebut. Harapannya, kehadiran UU Desa tidak menjadi sia-sia, sehingga misi bersama untuk “membangun Indonesia dari pinggiran” benar-benar dapat terlaksana dengan baik.