Kapitalisme Mendapat Lawannya di Meratus

Oleh:
Seno Abdul Khomar

Meratus adalah sebutan bagi barisan pegunungan yang terletak di pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Barisan pegunungan ini membentang sepanjang 600 km2 dari arah tenggara dan berbelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Timur. Akhir-akhir ini, isu tentang Meratus mencuat ke permukaan lantaran izin tambang batu bara oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM) ditolak keras Masyarakat Adat Meratus.

Tak hanya Masyarakat Adat Meratus yang menolak, tapi hampir seluruh elemen masyarakat Hulu Sungai Tengah pun menolak, bahkan Pemda Hulu Sungai Tengah juga menolak kegiatan eksplotatif tersebut[1]. Itu terlihat dengan tidak dikeluarkannya izin AMDAL untuk kegiatan pertambangan tersebut[2]. Namun yang menjadi aneh adalah, Dirjen Minerba justru memajukan tahap perjanjian karya perusahaan tambang batu bara PT Mantimin Coal Mining (MCM) ke tahap produksi pada tanggal 4 Desember 2017.[3]

Sebagai pemangku kebijakan, logika yang digunakan oleh negara merupakan sebuah kecacatan. Bagaimana mungkin bisa, izin AMDAL tidak dikeluarkan, tetapi izin produksi dikeluarkan. Tak hanya sampai di situ kecacatan berpikir negara. Dalam hal ini, Dirjen Minerba tak pernah melihat sisi eksploitatif dari perusahaan tambang batu bara dan tidak melihat keberlangsungan ekosistem Meratus sebagai salah satu hutan hujan tropis yang masih asri di Kalimantan. Hutan Meratus juga dijadikan masyarakat adat sebagai tumpuan keberlangsungan hidup, serta tetap dijaga keasriannya hingga kini oleh masyarakat adat.

Bagi masyarakat adat, hutan adalah tempat hidup yang wajib dijaga untuk anak cucu dalam bentuk yang sama, yang dimaksud adalah keasriannya. Namun beda halnya dengan sudut pandang para pemilik modal yang ekonomistik, apa yang berdaya jual, maka dimanfaatkan seefektif mungkin dengan menyingkirkan keberlangsungan hidup generasi selanjutnya, terlebih lagi ekosistem.

Penolakan keras itu akarnya bukan pada perbedaan pengetahuan tentang mengelola alam antara pemilik modal dan masyarakat, tetapi pandangan hidup dan nilai antara masyarakat adat dan pemilik modal-lah yang membuat mereka akan terus berhadapan dan berlawanan sampai kapan pun. Berikut penulis akan mengurai perlahan akar perbedaan nilai yang turut membawa perbedaan prisip keduanya.

Komunalisme Tradisional vs Individualisme Kompetitif

Masyarakat adat tidak pernah melihat sesuatu secara parsial dan hanya dari satu sudut pandang, pandangannya komprehensif dan menyeluruh. Begitu pun cara mereka melihat alam, tak pernah hanya melihat itu sebagai hal yang ekonomis, namun kelangsungan ekologislah yang mereka pertimbangkan. Inilah semangat komunal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Tentu saja semangat ini sangat mengakar, karena untuk dapat hidup secara harmoni hanya mungkin terjadi dalam semangat kebersamaan yang tinggi. Tidak heran jika musyawarah dan mufakat menjadi produk murni masyakat Indonesia yang memiliki semangat komunalisme tinggi.

Nilai komunal inilah yang membuat masyarakat adat cenderung tak berperilaku kompetitif terhadap sesama. Masyarakat adat justru condong hidup secara gotong royong dan memandang dunia sebagai sesuatu yang harus dikerjakan bersama. Dari sikap anti-kompetisi inilah, sikap eksploitasi dan dominasi tak pernah lahir secara murni di masyarakat adat.

Beda halnya para pemilik modal, konsepsi mereka terhadap dunia adalah parsial dan selalu melihat dari sudut pandang ekonomis. Pandangan hidup seperti inilah yang membuat mereka lebih individualis dalam segala hal. Tidak ada kebersamaan dalam ruang kapitalisme. Menghisap pekerja, mengeksploitasi alam, dan pengejaran nilai lebih dari pasar.

Sikap individualisme inilah yang mendorong mereka merasa bersaing dengan siapapun, mencari untung sebanyak-banyaknya adalah pondasi awal gerak pemilik modal. Dalam melihat sesama, para pemilik modal selalu berdiri di sudut pandang ekonomis, agar menang secara ekonomi, maka sikap yang akan mereka terapkan adalah kompetisi. Di sinilah titik awal pertentangan masyarakat adat dan pemilik modal terjadi di Meratus.

Masyarakat adat yang ingin hidup berdampingan dengan sesamanya, dan tentu berdampingan dengan alam, akan secara alamiah menolak pemilik modal yang datang dengan sikap kompetitif, baik terhadap mereka maupun terhadap alam. Dan lebih parahnya adalah, para pemilik modal justru bukan bagian dari entitas organik Masyarakat Adat Meratus. Mereka adalah orang asing di Meratus, namun ingin mengelola sumber daya alam dengan cara mereka.

Semangat Anti Penindasan Masyarakat Adat Meratus

Perbedaan nilai dan pandangan hidup itulah yang membuat masyarakat adat Meratus menolak keras pertambangan batu bara sejak izin produksinya dikeluarkan oleh Dirjen Minerba. Hal tersebut bukan tanpa alasan, jelas tambangan batu bara bertolak belakang dengan norma yang sudah terlembaga di Masyarakat Adat Meratus.

Bagi Masyarakat Adat Meratus, tambang batu bara yang akan berproduksi di daerah mereka adalah perampasan. Hal tersebut bukan karena mereka berfikir tertutup dan menolak kemajuan zaman yang selalu mengatasnamakan modernitas, padahal semangatnya adalah penindasan. Tapi perampasan yang mereka maksud adalah penguasaan oleh segilintir orang yang memiliki modal atas ruang hidup yang sudah mereka rawat secara turun-temurun.

Para pemilik modal yang memiliki kekuatan ekonomi akan dengan mudahnya mendapatkan izin pengelolaan alam dan menafikan keberadaan masyarakat adat yang selama ini sudah menjaga kelestarian alam, jika yang menjaga dan merawat adalah masyarakat adat, sedangkan yang mengeksploitasi dan mendapat keuntungan adalah orang asing yang berkekuatan ekonomi lebih, hal ini jelas dapat dikatakan perampasan.

Sampai dengan hari ini, Masyarakat Adat Meratus masih berjuang dan melawan tambang batu bara yang akan datang ke daerah mereka. Semangat anti penindasan itu kini sudah menyebar hampir di seluruh Provinsi Kalimatan Selatan. Hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya beberapa aliansi gerakan dengan hampir seluruh identitas, baik OKP, ORMAS, dan Aliansi Masyarakat Adat, semua entitas bersatu padu menyuarakan hal yang sama, yakni SAVE MERATUS.

Melihat kuatnya persatuan yang terbangun demi melindungi Meratus, maka niatan Pemerintah Pusat maupun pemilik modal untuk mengeksploitasi Meratus pun harus segera diurungkan. Jika tetap bersikukuh untuk melanjutkan tindakan tersebut, maka konflik horizontal antara pemilik modal dan Masyarakat Adat Meratus tidak akan terelakkan, sebab keduanya mempunyai nilai yang kontras dan berlawanan. Dan konflik merupakan hal yang alamiah jika dua entitas yang memiliki nilai berlawanan bertemu dalam satu tatanan sosial.

_______________________________________________________________________
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM
_______________________________________________________________________
*Sumber gambar utama: jejakrekam.com

[1] https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ptun-tolak-gugatan-walhi-ke-menteri-esdm- soal-tambang-mantimin-1540191488544105024. Akses tanggal 6 November 2018

[2] http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/10/24/gugatan-walhi-ditolak-kabupaten-hst-masih-punya-hak-menolak-tambang-ini-kata-kadis-esdm-kalsel. akses tanggal 6 November 2018

[3] http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/01/11/izin-produksi-perusahaan-tambang-ini-terbit-dinas-lh-hst-usul-sekda-tanyakan-ke-menteri-esdm. Akses tanggal 6 November 2018

Tinggalkan Balasan