Kaum Marxis dan Pemilu (Bagian I)

Paul D’Amato

Editor International Socialist Review (ISR). Penulis buku The Meaning of Marxism (2006)

 

Sikap apa yang diambil kaum Marxis terhadap pemilu dan negara perwakilan? Dalam sejarah gerakan sosialis, ada dua pandangan utama yang berkembang dan berjalan berdampingan serta pada akhirnya menjadi cukup berbeda dan bertentangan tentang persoalan itu. Pertama, reformisme, yang berpendapat bahwa negara perwakilan modern memberikan peluang bagi kelas pekerja untuk mencapai sosialisme dengan memilih mayoritas sosialis untuk menjabat dalam pemerintahan. Pandangan ini menekankan transisi yang gradual dan damai menuju sosialisme serta melihat kampanye di seputar pemilu dan kerja para pejabat sosialis yang terpilih sebagai aspek paling penting dari aktivitas sosialis. Kecenderungan satunya lagi, yang diurai pertama kali oleh Marx dan Engels dan kemudian dielaborasi oleh Rosa Luxemburg serta Lenin, menganjurkan penggulingan negara secara revolusioner yang didasarkan pada perjuangan massa kelas pekerja dan menggantinya dengan organ kekuasaan pekerja yang baru.

Kecenderungan reformis, yang tumbuh subur di Jerman pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, diekspresikan dalam bentuk penuhnya oleh mantan kolaborator Engels, Eduard Bernstein, yang menulis dalam karya reformisnya yang menghebohkan, Evolutionary Socialism.

Tugas sosial-demokrasi adalah mengorganisir kelas pekerja secara politik dan mengembangkan mereka sebagai sebuah demokrasi dan berjuang untuk segala reformasi di Negara, yang diadaptasi untuk meningkatkan kelas pekerja dan mengubah Negara ke arah demokrasi.[1]

Tetapi bahkan Karl Kautsky, pemimpin teoritis paling terkemuka dari Partai Sosial-Demokrasi Jerman (SPD) dan seorang kritikus pandangan Bernstein, melihat “perebutan kekuasaan politik” secara esensial sebagai penguasaan parlemen. Misalnya, ia menulis pada 1912,

Tujuan perjuangan politik kita masih sama terus sampai dengan sekarang: perebutan kekuasaan negara melalui penguasaan mayoritas dalam parlemen dan meningkatkan parlemen ke posisi memerintah di dalam negara. Sudah tentu bukan penghancuran kekuasaan negara.[2]

Kautsky menganggap aksi massa—protes jalanan dan pemogokan—sebagai metode berjuang yang tidak normal, mencela mereka sebagai “bersatu-sisi” dan mencerminkan “kretinisme aksi massa.”[3]

Dalam tradisi sosialis awal, dua kecenderungan ini seringkali tersamar oleh fakta bahwa baik kaum reformis maupun revolusioner menggunakan istilah “perebutan kekuasaan politik” oleh kelas pekerja untuk mengutarakan dua rangkaian tujuan yang sangat berbeda.

Marx dan Engels tentang negara, parlemen dan pemilu

Sepanjang kehidupan politik mereka, Marx dan Engels selalu menyatakan bahwa kelas pekerja—seberapapun ukuran dan tingkat perkembangan mereka—harus mengorganisir diri mereka secara independen sebagai sebuah kelas “dan karenanya ke dalam partai politik,”[4] seperti yang mereka tulis dalam The Communist Manifesto.

Hanya beberapa bulan kemudian, selama revolusi 1848 yang menyapu Eropa, Marx dan Engels, sebagai anggota terkemuka dari sebuah kelompok sosialis yang kecil dalam Liga Komunis, berpartisipasi dalam revolusi di Jerman sebagai sayap kiri jauh dari gerakan demokratik borjuis radikal.Dengan hanya beberapa ratus anggota di seluruh Eropa, Liga Komunis tentu tidak cukup besar untuk menegaskan dirinya sebagai sebuah kekuatan yang independen. Tetapi dalam perjalanan revolusi, menjadi jelas bagi Marx bahwa, karena watak penakut dan sementara dari elemen kelas-menengah radikal, menjadi penting bagi kelas pekerja untuk mengorganisir diri mereka secara independen demi menjaga kepentingan kelas mereka sendiri.

Dalam karyanya pada Maret 1850, “Address to the Communist League,” Marx merekomendasikan bahwa dalam perjalanan revolusi ke depan, partai pekerja perlu “’berbaris dengan’ kaum demokrat borjuis-kecil untuk melawan golongan yang mau mereka gulingkan.” Tetapi mereka perlu menentang “kaum demokrat borjuis-kecil dalam segala hal ketika kaum ini berusaha mengonsolidasikan posisi mereka untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri.”[5]

Selain mempersenjatai diri mereka sendiri dan mengorganisir perkumpulan-perkumpulan yang independen dan tersentralisasi, partai pekerja harus memajukan calon-calon untuk pemilihan di Jerman dalam peristiwa pembentukan majelis nasional sebagai hasil pergolakan revolusioner:

Bahkan ketika tidak ada prospek sama sekali bagi mereka untuk dipilih, para pekerja perlu memajukan calon mereka sendiri untuk mempertahankan kemandirian mereka, menghitung kekuatan mereka, dan memajukan ke publik sudut pandang partai dan sikap revolusioner mereka. Dalam kaitannya dengan hal ini, mereka tidak boleh membiarkan diri mereka digoda oleh argumen kaum demokrat semacam ini, misalnya, dengan melakukan hal itu mereka membelah partai demokrat dan memungkinkan kaum reaksioner untuk menang. Maksud pokok dari segala frase yang seperti itu adalah untuk menipu kaum proletariat. Kemajuan yang pasti akan dicapai oleh partai proletariat dengan tindakan mandiri seperti itu jauh lebih penting dari kerugian yang mungkin terjadi dengan kehadiran beberapa kalangan reaksioner dalam lembaga perwakilan.[6]

Argumen untuk memilih selain calon-calon sayap-kiri atau sosialis dengan alasan bahwa mereka tidak bisa menang, dan dengan demikian, membantu sayap kanan naik ke kekuasaan, tentu saja sudah menjadi argumen yang usang di AS dalam menentang perlawanan terhadap sistem dua-partai. Engels, dalam surat tahun 1893 kepada seorang kolega di Amerika, menunjukkan bahwa di AS, pembentukan sebuah partai pekerja terhalang oleh “Konstitusi…yang menampilkan seolah-olah setiap suara yang diberikan kepada seorang calon yang tidak dimajukan oleh salah satu dari dua partai yang memerintah, menjadi hangus.”[7]

Surat edaran Marx bulan Maret di atas dikesampingkan setelah kenaikan situasi revolusioner menjadi surut. Tetapi Marx dan Engels hidup menyaksikan pembentukan partai massa pekerja sosialis pertama di Jerman yang mampu menggunakan parlemen Jerman, yakni Reichstag, untuk memajukan tujuan mereka. SPD di Jerman dibentuk pada 1875 sebagai hasil penggabungan dua partai yang berbeda―yang satu dipengaruhi oleh Marxisme, yang satunya lagi didasarkan pada “memenangkan reformasi melalui kompromi dengan Negara Prussia.”[8] Tetapi, sekuat-kuatnya rasa memiliki mereka terhadap partai ini, Marx dan Engels sejak awal bersikap kritis terhadap apa yang mereka anggap sebagai kekurangan politiknya dan selalu melawan segala upaya melemahkan karakter kelas-pekerja partai ini.

Pada 1879, Marx dan Engels menulis surat edaran untuk para pimpinan partai dimana mereka bertanya apakah partai belum “terinfeksi penyakit parlementer, mempercayai bahwa dengan suara populer, Roh Kudus tercurahkan kepada mereka yang terpilih.”[9] Surat edaran itu juga menyerang artikel yang ditulis oleh, diantaranya, Eduard Bernstein. Artikel Bernstein dkk. menyambut baik gagasan tentang gerakan sosialis yang dipimpin oleh “semua orang yang memiliki cinta sejati kepada umat manusia,” dan menyerang mereka yang “mendegradasi” gerakan sosialis menjadi sebuah “perjuangan bersatu-sisi dari pekerja industrial untuk memajukan kepentingan mereka sendiri.” Artikel itu menyerukan partai untuk “tenang, bijaksana, dan penuh pertimbangan,” agar tidak membuat takut “kaum borjuis dengan mengusung momok merah.” Artikel itu juga menyerukan orang-orang “terpelajar” untuk mewakili partai di Reichstag.[10]

Marx dan Engels menyerang para pengarang artikel itu dengan menyatakan bahwa mereka harus meninggalkan partai jika mereka bermaksud “menggunakan jabatan resmi mereka untuk memerangi karakter proletariat dari partai.”[11] Bagi Bernstein dan yang lain:

Programnya tidak dihapuskan, tetapi hanya ditunda―untuk jangka waktu yang tak tentu. Mereka menerimanya―bukan untuk diri mereka saat mereka masih hidup, tetapi secara anumerta, sebagai warisan untuk anak-anak mereka dan untuk anak dari anak mereka. Sementara, mereka mengabdikan “seluruh kekuatan dan energi” mereka untuk segala macam tetek bengek yang tak penting, mengotak-atik tatanan sosial kapitalis sehingga setidaknya sesuatu tampak selesai tanpa pada saat yang sama menggelisahkan kaum borjuis.

Selama hampir 40 tahun, kami telah menekankan bahwa perjuangan kelas adalah kekuatan motif yang segera dari sejarah dan, secara khusus, perjuangan kelas antara borjuis dan proletar adalah tuas besar dari revolusi sosial yang modern; karenanya, kami tidak bisa bekerjasama dengan orang-orang yang ingin menghilangkan perjuangan kelas dari gerakan. Saat pendirian Internasional, kami merumuskan dengan tegas seruan perang: Emansipasi kelas pekerja harus dicapai oleh kelas pekerja itu sendiri. Karenanya, kami tidak bisa bekerjasama dengan orang-orang yang mengatakan secara terbuka bahwa para pekerja masih sangat tidak terdidik untuk mengemansipasi diri mereka sendiri, dan pertama-tama harus diemansipasi dari atas oleh anggota kelas menengah atas dan bawah yang dermawan.[12]

Engels hidup cukup lama untuk menyaksikan pertumbuhan suara elektoral partai Jerman. Pada 1884, setahun setelah kematian Marx, partai itu mendapatkan lebih dari setengah juta suara. Pada 1890, suara mereka bertambah dua kali lipat, dan bertambah dua kali lipat lagi pada 1898, dan lagi pada 1912 menjadi lebih dari empat juta suara. Regulasi Anti-Sosialis, yang berlaku antara 1878 sampai 1891 dan bertujuan membatasi pengaruh sosialis, malah menambah reputasi sosial demokrasi sebagai partai oposisi. Engels senang dengan kesuksesan partai. Ia melihat dalam pemilu parlementer sebuah cara cemerlang bagi partai untuk memperluas keanggotaan dan pengaruh politiknya. Dalam pengantar 1895 yang ia tulis untuk karya Marx, The Class Struggles in France, Engels merangkum signifikansi penggunaan pemilu Reichstag oleh sosial demokrasi Jerman:

Jika pemilu tidak memberikan manfaat lain selain bahwa ia memungkinkan kita untuk menghitung suara kita setiap tiga tahun; bahwa dengan peningkatan pesat suara kita secara tak terduga dan terus-menerus, yang meningkatkan pula dalam ukuran yang sama kepastian kemenangan kaum pekerja dan kecemasan musuh-musuh mereka, maka hal itu menjadi alat propaganda terbaik kita; bahwa hal itu memberitahu kita tentang kekuatan kita sendiri dan pihak-pihak yang berlawanan dengan kita, sehingga memberikan kita cara terbaik untuk mengukur tindakan-tindakan kita, menjaga kita dari ketakutan dan juga kenekatan yang tak pada tempatnya―jika inilah satu-satunya manfaat yang kita dapat dari pemilu, maka hal itu masih lebih dari cukup. Tetapi, sejauh ini, pemilu memberikan lebih dari itu. Dalam propaganda pemilu, ia memberikan kita cara terbaik untuk menjangkau massa rakyat yang masih berdiri jauh dari kita; memaksa semua pihak untuk membela pandangan dan tindakan mereka dari serangan-serangan kita di hadapan rakyat; dan lebih jauh lagi, ia memberikan perwakilan kita di Reichstag sebuah panggung di mana mereka bisa berbicara kepada musuh-musuh mereka dalam parlemen, dan kepada massa di luar, dengan kebebasan dan otoritas yang agak berbeda dari ketika mereka berbicara di media atau di pertemuan-pertemuan. Apa kegunaan Regulasi Anti-Sosialis bagi pemerintah dan kaum borjuis ketika kampanye pemilu dan pidato-pidato sosialis di Reichstag terus menerobos?[13]

Tetapi Engels juga dapat melihat bahwa keberhasilan elektoral memunculkan sebuah tendensi pada para pimpinan partai untuk membuang tujuan jangka-panjang demi capaian-capaian yang segera. Pertumbuhan dukungan elektoral yang relatif lancar dari tahun ke tahun, perluasan ekonomi Jerman, ditambah dengan tingkat perjuangan kelas yang rendah selama bertahun-tahun, cenderung menguatkan tendensi reformis dalam partai. Ini terutama terjadi di strata atas pimpinan serikat buruh, perwakilan parlemen dan pengurus partai, yang melihat pada tindakan “percepatan” kemungkinan represi negara yang bisa membahayakan organisasi yang sudah mereka bangun dengan sangat susah payah. Kepemimpinan partai Jerman, karena ingin menyokong oportunisme mereka sendiri, menyensor “Introduction” yang ditulis Engels dan dikutip di atas. Mereka, misalnya, menghilangkan sebuah paragraf yang menyatakan, sebagai ganti dari taktik revolusioner lama berupa pertempuran jalanan di antara barikade, diperlukan “serangan yang terbuka.”[14]

Dalam karyanya, Critique of the Draft Program of 1891, Engels mengkritik program Erfurt dari SPD Jerman yang berpikir bahwa di Jerman, Reichstag—yang walau bagaimanapun merupakan sebuah lembaga tak berdaya yang bertanggung jawab kepada Kaisar―bisa menjadi sesuatu yang lebih daripada sekadar daun ara bagi absolutisme Prussia. Engels mengingatkan tentang

oportunisme, yang menjadi populer di sebagian besar media Sosial-Demokrasi. Karena takut dengan pembaruan Regulasi Anti-Sosialis, atau mengingat segala macam pernyataan yang dibuat secara tergesa-gesa selama regulasi itu mencengkeram, mereka sekarang ingin partai memandang bahwa tatanan hukum di Jerman saat ini cukup untuk memenangkan semua tuntutan partai dengan cara-cara damai. Ini adalah upaya untuk meyakinkan diri sendiri dan partai bahwa “masyarakat saat ini sedang berkembang menuju sosialisme” tanpa bertanya, apakah dengan demikian hal itu tidak perlu melampaui tatanan sosial yang lama dan apakah hal itu tidak harus meledakkan cangkang lamanya dengan kekuatan, seperti seekor kepiting yang memecahkan cangkangnya….

Melupakan yang besar, pertimbangan-pertimbangan prinsip demi kepentingan sementara hari ini, berjuang dan berupaya untuk keberhasilan hari ini terlepas dari konsekuensinya di kemudian hari, mengorbankan masa depan gerakan demi hari ini, mungkin berasal dari ‘niat baik,’ tetapi hal itu adalah dan tetap merupakan oportunisme, dan oportunisme dengan ‘niat baik’ mungkin adalah yang paling berbahaya dari semuanya![15]

Dua posisi ini—yang satu berpandangan bahwa cangkang masyarakat lama harus diledakkan dengan kekuatan; yang satunya lagi berpandangan bahwa negara yang ada bisa diambil alih secara damai dengan mendapatkan kendali atas lembaga perwakilan borjuis—mencerminkan pandangan yang berbeda tentang negara di bawah kapitalisme.

Satu-satunya perubahan yang dibuat Marx dan Engels terhadap Communist Manifesto dilakukan setelah Komune Paris 1871—ketika, dalam waktu yang singkat, para pekerja Paris yang bersenjata merebut kendali atas kota dan membentuk lembaga demokrasi langsung mereka sendiri. Komune mengajarkan Marx bahwa kelas pekerja tidak dapat “mengambil alat-alat negara yang sudah ada, dan menggunakannya untuk maksud-maksudnya sendiri.”[16] Yakni, sebuah negara yang dirancang untuk menegakkan kekuasaan kelas yang paling kuat secara ekonomi tidak bisa diambil begitu saja dan digunakan oleh pekerja untuk menciptakan sebuah masyarakat sosialis yang baru.

“Sejak sangat awal,” kata Engels dalam pengantarnya tahun 1891 untuk karya Marx, Civil War in France,

Komune terpaksa mengakui bahwa kelas pekerja, ketika berkuasa, tidak bisa terus mengelola dengan alat-alat negara yang lama; bahwa agar tidak kehilangan lagi supremasi yang baru saja mereka dapatkan, kelas pekerja harus, di satu sisi, menyingkirkan semua alat represi yang lama yang sebelumnya digunakan terhadap mereka, dan di sisi lain, menjaga diri mereka dari wakil-wakil dan pejabat mereka sendiri dengan menyatakan bahwa mereka semua, tanpa kecuali, dapat di-recall kapan pun.[17]

Dalam karyanya yang terkenal, Origin of the Family, Private Property and the State, Engels berpendapat bahwa karena negara adalah negara dari kelas terkuat yang secara ekonomi dominan, pemilu tidak bisa menjadi alat untuk menaikkan pekerja ke kekuasaan, tetapi hanya bisa menjadi alat ukur dari pengaruh sosialis dalam kelas pekerja.

“Negara perwakilan modern,” menurut Engels, “adalah instrumen eksploitasi kerja upahan oleh kapital.”

Ia melanjutkan:

Bentuk tertinggi negara, republik yang demokratis, yang dalam kondisi sosial modern kita semakin menjadi kebutuhan yang tak bisa dihindari dan merupakan bentuk negara di mana pertempuran terakhir yang menentukan antara proletariat dan borjuis bisa dilakukan.

Tetapi, meskipun Engels berpendapat bahwa “dalam ukuran di mana [kelas pekerja] menjadi matang untuk menuju emansipasi-dirinya sendiri … mereka membentuk partai mereka sendiri dan memilih wakil-wakil mereka sendiri, dan bukan wakil-wakil kapitalis.” Ia juga berpendapat bahwa pemilu bukanlah kunci untuk emansipasi kelas-pekerja. Hal itu membutuhkan benturan yang tidak dapat diputuskan oleh suara:

Pemilu, dengan demikian, merupakan alat ukur dari kematangan kelas pekerja. Ia tidak bisa dan tidak akan pernah lebih dari itu dalam negara modern, tetapi hal itu sudah cukup. Pada hari di mana termometer pemilu menunjukkan titik didih di antara pekerja, mereka dan juga kapitalis akan tahu di mana mereka berdiri.[18]

Engels tentang Amerika Serikat

Tetapi, bagaimana dengan negara yang, tidak seperti Jerman, partai pekerjanya belum terbentuk dan gerakan kelas-pekerjanya masih dalam masa pertumbuhan? Inilah yang terjadi di AS dalam beberapa dekade terakhir abad kesembilan belas, yang menyaksikan gelombang perjuangan nasional di mana para pekerja AS mengambil langkah pertama untuk mengorganisir diri mereka secara ekonomi dan politik.

Dalam nasihatnya kepada kaum sosialis di AS, Engels menekankan pentingnya mereka mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan kelas pekerja apa pun agar, terlepas dari keterbatasannya, hal itu bisa membantu para pekerja mengembangkan partai politik mandiri mereka. Pada 1886, Serikat Buruh Pusat di New York membentuk Partai Buruh Independen New York dan Sekitarnya untuk berpartisipasi dalam kontestasi walikota New York City. Partai baru itu memilih pengusung pajak tunggal Henry George sebagai calon mereka. George sendiri tidak berasal dari gerakan buruh. Ia adalah seorang kelas-menengah populis. Ia menulis sebuah buku yang terkenal, Progress and Poverty, yang menyerang kemiskinan dan ketidaksetaraan. Dalam bukunya, ia mengusung pajak tunggal atas kepemilikan tanah sebagai obat untuk menyembuhkan sebagian besar penyakit masyarakat. Dalam kontestasi yang sengit di mana kelas berkuasa lokal berusaha mati-matian untuk mencegah kemenangan partai-buruh, George memperoleh tempat kedua dari tiga calon dengan 31 persen suara.

Engels bersikap positif terhadap pemilihan itu terlepas dari berbagai kekurangannya:

Di sebuah negara yang gerakannya baru saja tumbuh, langkah pertama yang amat sangat penting adalah pembentukan partai politik mandiri oleh para pekerja, apa pun caranya, selama ia bisa dibedakan sebagai partai buruh. Dan langkah ini telah diambil jauh lebih cepat dari perkiraan kita, dan itulah yang utama. Bahwa program pertama partai ini masih terbelakang dan sangat tidak memadai, sehingga mereka harus memilih Henry George sebagai pimpinan simbolik mereka. Itu tak terhindarkan dan hanyalah keburukan sementara. Massa harus mempunyai waktu dan kesempatan untuk berkembang; dan mereka tidak akan memperoleh kesempatan itu kecuali mereka memiliki gerakan mereka sendiri―apa pun bentuknya, selama itu gerakan mereka sendiri—di mana mereka akan terdorong maju oleh kesalahan-kesalahan mereka dan belajar dari pengalaman pahit.[19]

Engels melontarkan kritik khusus kepada kaum sosialis Jerman di AS yang mempertentangkan doktrin “murni” mereka dengan kelemahan-kelemahan gerakan buruh Amerika. Ia menyatakan bahwa mereka seharusnya bekerja dalam organisasi seperti Ksatria Buruh (the Knights of Labor)—organisasi massa buruh pertama di AS yang mencapai puncak popularitasnya dalam kebangkitan besar pekerja pada pertengahan 1880an—terlepas dari fakta bahwa pimpinannya, Terence Powderly, misalnya, menentang pemogokan. Gerakan, menurutnya, “seharusnya tidak diremehkan dari luar, tetapi direvolusionerkan dari dalam.”[20] Ini dimungkinkan, kata Engels, tanpa kaum sosialis harus larut dalam gerakan.

Saya pikir semua praktik kami telah menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk bekerja bersama dengan gerakan kelas pekerja secara umum di tiap tahapnya tanpa harus menyerahkan atau menyembunyikan posisi dan bahkan organisasi kami yang berbeda.[21]

 

Bersambung ke Bagian II

 

Daftar Pustaka

[1] Eduard Bernstein, kata pengantar Evolutionary Socialism (New York: Schocken Books, 1961), hlm. 33.

[2] Dikutip dalam Massimo Salvadori, Karl Kautsky and the Socialist Revolution, 1880-1938 (London: New Left Books, 1979), hlm. 162.

[3] Salvadori, hlm. 163.

[4] Karl Marx dan Frederick Engels, The Communist Manifesto (New York: Progress Publishers, 1999), hlm. 18.

[5] Marx, “Address to the Central Committee of the Communist League,” On Revolution, ed. Saul K. Padover. (New York: McGraw-Hill, 1971), hlm. 113.

[6] Marx, “Address to the Central Committee,” hlm. 117.

[7] Engels kepada Frederick Adolph Sorge, 2 Desember 1893, dalam Marx and Engels on the United States (Moscow: Progress Publishers, 1979), hlm. 333.

[8]Chris Harman, The Lost Revolution (London: Bookmarks, 1982), hlm. 16.

[9] Marx dan Engels, “Circular Letter to August Bebel, Wilhelm Liebknecht, Wilhelm Bracke and others,” Collected Works, Jilid 27, Engels: 1890—1895 (New York: International Publishers, 1990) hlm. 261.

[10] Marx dan Engels, “Circular Letter,” hlm. 263.

[11] Marx dan Engels, “Circular Letter,” hlm. 264.

[12] Marx dan Engels, “Circular Letter,” hlm. 266-269.

[13] Engels, “Introduction to Karl Marx’s The Class Struggles in France,” Collected Works, Jilid 27, hlm. 516.

[14] Ini paragraf yang dihilangkan: “Apakah itu berarti bahwa di masa depan, pertempuran jalanan tidak lagi akan memiliki peran? Tentu tidak. Itu hanya berarti bahwa kondisi yang ada sejak 1848 telah menjadi sangat tidak menguntungkan bagi para pejuang sipil dan jauh lebih menguntungkan bagi militer. Dengan demikian, di masa depan, pertempuran jalanan hanya bisa menang jika situasi yang tidak menguntungkan ini diimbangi oleh faktor-faktor lain. Karenanya, pertempuran jalanan akan terjadi lebih jarang di awal sebuah revolusi besar daripada di tahapan selanjutnya, dan harus dilakukan dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun demikian, sama seperti di keseluruhan Revolusi Perancis yang agung atau pada 4 September dan 31 September 1870 di Paris, situasi ini lebih cocok untuk serangan terbuka daripada taktik-taktik pasif.” Collected Works, Jilid 27, hlm. 519.

[15]Engels, “Critique of the Draft Social-Democratic Program of 1891,”Collected Works, Jilid 27, hlm. 226-227.

[16] Marx dikutip dalam pengantar Communist Manifesto1888 oleh Engels (New York: International Publishers, 1994), hlm. 7.

[17] Engels, “Introduction to Karl Marx’s The Civil War in France,” Collected Works, Jilid 27, hlm. 189.

[18] Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State (New York: Progress Publishers, 1985), hlm. 232. Marx dan Engels memang membuat beberapa pernyataan yang seperti mengatakan bahwa sosialisme bisa dicapai dengan damai melalui perolehan mayoritas dalam parlemen. Tetapi hal itu selalu bersyarat, seperti dalam teks ini di pengantar Engels untuk edisi bahasa Inggris pertama dari Capital: “Setidaknya di Eropa, Inggris adalah satu-satunya negara dimana revolusi sosial yang tak terhindarkan, mungkin dijalankan sepenuhnya dengan cara-cara damai dan legal.” Ia tentu tidak pernah lupa menambahkan bahwa ia tidak berharap kelas berkuasa Inggris akan tunduk, tanpa sebuah ‘pemberontakan pro-perbudakan,’ kepada revolusi yang damai dan legal ini.

[19] Engels kepada Friedrich Adolph Sorge, Collected Works, Jilid 47, Engels: 1883-1886 (New York: Progress Publishers, 1995), hlm. 532.

[20] Engels kepada Florence Kelley-Wischnewetzky, Collected Works, Jilid 27, hlm. 541-542.

[21] Engels kepada Florence Kelley-Wischnewetzky, Marx and Engels on the United States, hlm. 317.


Tulisan ini diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein dari “Marxists and elections,” International Socialist Review, Edisi 13, Agustus-September 2000, isreview.org. Dipublikasikan di sini untuk tujuan pendidikan.


Sumber gambar: socialistworker.org

Tinggalkan Balasan