Paul D’Amato
Editor International Socialist Review (ISR). Penulis buku The Meaning of Marxism (2006)
Sambungan dari Bagian I
Luxemburg dan Lenin
Meskipun Lenin tidak menyadarinya sampai dengan pecahnya Perang Dunia Pertama, Partai Bolshevik dibangun di atas landasan yang secara fundamental berbeda dari sosial demokrasi Jerman. Jika partai Jerman, sebagai partai yang bertujuan mewakili kelas pekerja Jerman, merangkul semua kecenderungan politik dalam gerakan, mulai dari reformis sampai dengan revolusioner, Lenin berjuang membangun partai yang terbebas dari kecenderungan reformis apa pun di gerakan sosialis Rusia. Lenin menyatakan bahwa perbedaan antara kaum sosialis Eropa Barat dengan Rusia adalah kondisi ilegal yang dihadapi kaum sosialis di Rusia. Tetapi dalam praktik, kaum Bolshevik membangun organisasi yang tidak mencakup seluruh kelas pekerja, tetapi hanya mencakup elemen termajunya yang revolusioner. Karenanya, Lenin terlibat dalam polemik tanpa henti dengan kaum Menshevik yang reformis, yang mengusung partai legal yang luas (dalam kondisi di mana sebuah partai legal tidak bisa menjadi apa pun kecuali sebuah partai reformis) dan berpendapat bahwa para pekerja Rusia jangan “menakuti” kelas borjuis. Lebih dari itu, Lenin juga menyatakan bahwa kaum Bolshevik yang revolusioner harus memiliki faksi terorganisir mereka sendiri, dan pada 1912, mereka harus menjadi sebuah partai yang terpisah, yang mengeksklusi kaum reformis dari barisannya.
Di Jerman, Rosa Luxemburg jauh lebih kritis dari Lenin terhadap karakter oportunis dari partai Jerman—pengerasannya, birokratismenya, dan “kretinisme” parlementernya.
Jenis parlementarisme yang sekarang kita miliki di Prancis, Italia, dan Jerman menyediakan lahan bagi ilusi oportunisme berupa penilaian berlebihan atas reformasi sosial, kolaborasi partai dan kelas, harapan terhadap perkembangan damai menuju sosialisme, dll.[1]
Luxemburg bisa menulis dengan jelas tentang cara yang tepat bagaimana kaum revolusioner seharusnya mendekati negara dan menggunakan parlemen:
Agar efektif, Sosial Demokrasi harus mengambil semua posisi yang bisa didapatkannya dalam Negara yang ada dan melakukan invasi di mana-mana. Meskipun demikian, prasyarat dari hal ini adalah bahwa posisi-posisi ini memungkinkannya menjadi tempat untuk melancarkan perjuangan kelas, perjuangan melawan kaum borjuis dan negaranya.[2]
Luxemburg benar-benar paham bahwa bahkan jika kaum sosialis mampu menjadi mayoritas dalam parlemen di suatu negara, ini bukan tanda kemenangan sosialisme. Kelas yang berkuasa akan menggunakan institusi-institusi negara yang paling mereka percaya—polisi, tentara, birokrasi negara dan politisi partai yang korup—untuk melawan parlemen jika diperlukan:
Di masyarakat ini, lembaga perwakilan, meski demokratis dalam bentuk, tetapi secara isi merupakan instrumen kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini mewujudkan dirinya secara nyata dalam fakta bahwa segera setelah demokrasi menunjukkan kecenderungan menegasi karakter kelasnya dan bertransformasi menjadi instrumen kepentingan riil masyarakat, bentuk demokratisnya akan dikorbankan oleh kaum borjuis dan wakil-wakilnya di negara.[3]
Ini bukanlah poin perdebatan teoritis, tetapi sering menjadi pengalaman historis yang pahit dari gerakan pekerja secara internasional. Di Chili, misalnya, pemerintahan sosialis reformis Salvador Allende digulingkan oleh sebuah kudeta militer berdarah pada 1973. Tambahan lagi, di banyak negara seperti Cina, Arab Saudi dan banyak lainnya, kapitalisme dan pasar saling bergandeng tangan dengan militer, monarki atau kekuasaan satu partai. Demokrasi—bahkan demokrasi borjuis—dalam beberapa kasus terlihat sebagai kemewahan yang tidak dapat diberikan oleh mereka yang berkuasa.
Luxemburg menjadi anggota partai yang mayoritas pimpinannya melihat negara dan parlemen dengan cara yang sama seperti Kautsky. Mereka ingin “mengambil semua posisi” dalam “negara yang ada” bukan sebagai sarana untuk menghancurkan negara, tetapi sebagai tujuan di dalam dirinya. Tanpa partai revolusioner, dan bukan partai campur aduk seperti sosial demokrasi Jerman, garis revolusioner tidak dapat dan memang tidak dijalankan oleh sebagian besar delegasi—meskipun Karl Leibknecht dan segelintir delegasi revolusioner lainnya memainkan peran itu.
Partai Bolshevik adalah yang pertama kali menggunakan pemilu dengan cara yang benar-benar revolusioner. Fakta bahwa kaum Bolshevik mengorganisir diri mereka terpisah dari kaum reformis, Menshevik,[4] membuat mereka bebas mengikuti jalur yang diikhtisarkan oleh Luxemburg, yakni menggunakan mimbar parlemen untuk melakukan agitasi dan propaganda revolusioner.
Sama seperti Jerman, Rusia belum melalui sebuah revolusi borjuis dan masih berada di bawah tumit otokrasi semi-feodal. Kaum revolusioner didorong untuk berjuang di bawah tanah, terpaksa beroperasi secara klandestin untuk menghindari persekusi, penahanan, pengasingan dan bahkan eksekusi.
Dalam pergolakan massa pada revolusi 1905, Tsar mengeluarkan sebuah manifesto yang mengumumkan pembentukan parlemen (Duma) sebagai konsesi untuk gerakan revolusioner. Ini bukanlah sebuah badan legislatif yang riil, tetapi sebuah dewan konsultatif untuk Tsar, yang bisa ia bubarkan semaunya. Tambahan lagi, sistem pemilihan Duma berat sebelah dalam memberikan lebih banyak perwakilan ke tuan-tuan tanah besar. Partai Bolshevik menganjurkan boikot “aktif” terhadap Duma yang pertama. Tetapi ketika revolusi mulai surut, Lenin mengubah posisinya dan menyatakan bahwa kaum sosialis harus berpartisipasi dalam Duma.
Kita diwajibkan untuk—dan telah—semampu-mampunya menghalangi pembentukan sebuah badan perwakilan palsu. Demikianlah. Tetapi karena ia tetap terbentuk, terlepas dari segala upaya kita, kita tidak bisa menghindari tugas untuk menggunakannya.[5]
Lenin harus melancarkan pertarungan keras dengan anggota-anggota partai yang berpandangan bahwa secara prinsip kaum Marxis harus memboikot Duma. Ia menyatakan bahwa di bawah kondisi yang sudah berubah dan non-revolusioner, boikot itu sia-sia:
Boikot merupakan sarana berjuang yang tujuannya adalah menggulingkan rezim lama secara langsung, atau seburuk-buruknya, ketika serangan yang dilancarkan tidak cukup kuat untuk penggulingan, memperlemah rezim sampai tingkat di mana ia tidak bisa membentuk institusi itu, tidak mampu mengoperasikannya. Karenanya, untuk berhasil, boikot mensyaratkan perjuangan langsung melawan rezim lama, sebuah pemberontakan terhadapnya dan pembangkangan massal kepadanya dalam sejumlah besar kasus.[6]
Lenin, dengan demikian, menyerang gagasan boikot “pasif”—yakni, sekadar abstain dari pemilu atau parlemen, menolak “mengakui” institusi yang ada bahkan ketika gerakan tidak dapat menghancurkannya. Ia tidak mengglorifikasi kerja pemilu, tetapi menyatakan, “karena kontra-revolusi yang terkutuk telah mendorong kita ke kandang babi terkutuk ini, kita juga harus bekerja di sana untuk kepentingan revolusi, tanpa mengeluh, tetapi juga tanpa menyombongkan diri.”[7]
Meskipun demikian, Lenin benar-benar paham bahwa kaum revolusioner harus menganggap partisipasi dalam pemilu hanya sebagai bagian kecil dari aktivitas mereka, dan bahwa perjuangan di tempat kerja dan jalanan jauh lebih penting.
Kita tidak boleh menolak masuk ke Duma Kedua ketika (atau ‘jika’) hal itu dibentuk. Kita tidak boleh menolak menggunakan arena itu, tetapi kita juga tidak boleh melebih-lebihkan signifikansinya yang sedang-sedang saja; sebaliknya, dipandu oleh pengalaman yang telah diberikan sejarah, kita harus sepenuhnya mensubordinasikan perjuangan kita dalam Duma di bawah bentuk perjuangan lain, yaitu pemogokan, pemberontakan, dll.[8]
Terdiri dari apakah kerja pemilu itu? Untuk kerja partai, itu berarti menggunakan kampanye pemilu untuk melakukan propaganda di antara massa yang biasa mereka jangkau atau yang tidak dapat mereka jangkau. Dan untuk anggota partai yang terpilih sebagai deputi, itu berarti menggunakan Duma sebagai panggung untuk menyebarkan propaganda, mengekspos sayap kanan dan borjuis liberal, serta membantu pengorganisiran perjuangan di luar Duma. Para deputi sosialis bisa menggunakan kekebalan parlementer mereka untuk melakukan propaganda yang di luar Duma akan dianggap sebagai ilegal. Mereka bisa melakukan pidato-pidato Duma yang, dengan dicetak ulang di penerbitan partai dan non-partai, bisa menjangkau khalayak yang lebih luas dari jenis propaganda partai yang lain, dan mereka bisa menggunakan mimbar Duma untuk mengekspos, dalam bentuk “penyisipan,” berbagai kekejaman sistem terhadap petani dan pekerja. Berbeda dengan SPD Jerman, di mana para wakil parlemen adalah bintang-bintang mahkota partai, Partai Bolshevik mensubordinasikan deputi-deputi Duma mereka di bawah kontrol partai dan memandang mereka sebagai pelayan dari perjuangan kelas pekerja.
Pendekatan dasar yang dilakukan Bolshevik menjadi tulang punggung dari posisi terhadap pemilu dan parlemen yang diadopsi oleh Komunis Internasional pada 1920.
Komintern
Komunis Internasional (Komintern) dibentuk pada 1919 atas inisiatif Partai Bolshevik setelah mereka berhasil mengambil alih kekuasaan di Rusia pada 1917. Tujuannya adalah untuk membentuk kembali sebuah wadah internasional baru bagi partai-partai pekerja yang dibangun atas dasar prinsip—dan praktik—revolusioner, yakni memimpin gerakan pekerja untuk merebut kekuasaan negara.[9] Politiknya didasarkan tidak hanya pada keberhasilan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik, tetapi juga pada pengkhianatan terhadap Revolusi Jerman oleh para pimpinan SPD yang reformis, yang membantu pengorganisiran kekuatan kontra-revolusi yang membunuh Karl Leibknecht dan Rosa Luxemburg pada 1918.
Lenin dan kaum Bolshevik, bersama-sama dengan sejumlah revolusioner di berbagai negara lain, mendirikan Internasional dengan tujuan membentuk partai-partai komunis baru yang revolusioner, yang terbebas dari partai-partai reformis dan bisa memimpin pergolakan massa di periode itu menuju kemenangan.
Kongres Pertama pada 1919 menekankan kebutuhan kaum sosialis untuk mengganti parlemen dengan soviet, atau dewan-dewan pekerja—untuk mengganti demokrasi palsu dengan kekuasaan pekerja. Komintern terus menyatakan pentingnya membangun partai-partai komunis yang bisa menggulingkan demokrasi borjuis dan menggantinya dengan demokrasi pekerja. Di seluruh Eropa, gerakan revolusioner menjadikan gagasan ini bukan sebagai mimpi yang jauh, tetapi sebagai kemungkinan yang konkret.
Tetapi, banyak kalangan revolusioner yang muda dan militan di Partai Komunis Jerman (KPD) yang baru terbentuk—karena tidak sabar dan sangat bersemangat untuk perubahan revolusioner—menafsirkan hal itu sebagai bahwa kaum revolusioner harus menolak secara prinsip segala partisipasi dalam parlemen. “Mereka mengusung dewan-dewan pekerja dan menentang parlemen,” tulis Duncan Hallas.
Dengan demikian, mereka pasti tidak melakukan apa-apa dengan parlemen. Karena melakukannya hanya akan membingungkan pekerja: “Segala upaya kembali ke bentuk perjuangan parlementer, yang telah usang secara politik dan historis,” sekelompok pengusung boikot menulis tidak lama kemudian, “dan kebijakan bermanuver serta kompromi apa pun harus ditolak dengan tegas.”
Parlementarisme tentu sudah usang dari sudut pandang beberapa ribu anggota KPD dan bahkan, pada saat itu, bagi lingkaran kelas pekerja militan yang lebih luas, mungkin berjumlah beberapa ratus ribu. Tetapi hal itu jelas belum usang sama sekali dari sudut pandang jutaan pekerja yang memberikan suaranya ke SPD….[10]
Di Kongres Komintern Kedua yang diadakan pada 1920, Lenin harus melakukan pertarungan melawan “ultra-kiri” ini di Jerman dan negara-negara lain. Adalah satu hal, kata Lenin, untuk mengakui bahwa parlemen secara historis sudah usang, dan adalah hal lain untuk bisa cukup kuat mengalahkan mereka dalam praktik.
Parlementarisme sudah “usang secara historis.” Itu benar dalam propaganda. Tetapi setiap orang tahu bahwa hal itu masih jauh dari diatasi dalam praktik. Kapitalisme dapat, dan cukup benar, dinyatakan sebagai “usang secara historis” puluhan tahun lalu, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kebutuhan untuk perjuangan yang sangat panjang dan persisten di tanah kapitalisme….
Partisipasi dalam pemilu parlementer dan dalam perjuangan di panggung parlemen merupakan kewajiban bagi partai proletariat revolusioner…. Selama Anda belum bisa membubarkan parlemen borjuis dan setiap jenis institusi reaksioner lainnya, maka Anda harus bekerja di dalamnya, persis karena di sana Anda masih akan menemukan pekerja yang dibuat bodoh oleh para pendeta dan kemuraman kehidupan desa; jika tidak, Anda beresiko hanya menjadi tukang ngoceh.[11]
Dalam perdebatan Komintern tentang parlemen, lawan utama Lenin adalah delegasi Italia bernama Bordiga, yang menyatakan bahwa “pengalaman taktis revolusi Rusia tidak bisa ditransfer ke negara lain di mana demokrasi borjuis telah berfungsi selama bertahun-tahun.”[12] Partisipasi apa pun dalam parlemen, menurut Bordiga, mengandung “bahaya ganda” menempatkan terlalu banyak signifikansi pada pemilu dan menghabiskan waktu partai yang sangat berharga yang bisa dipakai untuk kerja massa. Sebetulnya Bordiga sedang menyatakan bahwa kretinisme parlementer dari partai-partai Sosialis pra-perang adalah satu-satunya pengalaman yang mungkin, yang bisa dimiliki oleh kaum sosialis—bahkan kaum sosialis revolusioner—di arena elektoral.
“Anda mengatakan bahwa parlemen adalah instrumen yang membantu kaum borjuis menipu massa,” Lenin menjawab Bordiga,
tetapi argumen ini harus dikembalikan untuk membantah Anda, dan ia memang membantah tesis Anda. Bagaimana Anda bisa mengungkap karakter yang sebenarnya dari parlemen kepada massa yang masih benar-benar terbelakang, yang ditipu oleh kaum borjuis? Bagaimana Anda bisa mengekspos berbagai manuver parlementer atau posisi berbagai partai politik jika Anda tidak berada dalam parlemen, jika Anda masih di luar parlemen?….
Jika Anda mengatakan, “kawan-kawan pekerja, kami begitu lemah sehingga kami tidak bisa membangun sebuah partai yang cukup disiplin untuk memaksa anggota-anggotanya di parlemen untuk tunduk kepadanya,” maka para pekerja akan meninggalkan Anda, karena mereka akan bertanya ke diri mereka, “Bagaimana kita bisa membangun sebuah kediktatoran proletariat dengan orang-orang lemah seperti itu?”[13]
Kepada gerakan revolusioner di Inggris yang lebih kecil dan masih terfragmentasi, Lenin mengajukan argumen yang agak berbeda. Partai Buruh, yang dukungannya berasal dari serikat-serikat buruh, berwatak sangat reformis sama seperti SPD di Jerman—Lenin malah menyebutnya sebagai “partai pekerja borjuis.” Ia menganjurkan berbagai kelompok revolusioner di Inggris untuk menyatu ke dalam satu partai komunis yang tunggal, tetapi ia juga mendesak mereka untuk masuk ke Partai Buruh dan, menurut Hallas, “melakukan pertarungan untuk politik revolusioner di dalam barisannya.”[14] Lenin berpendapat bahwa untuk bergerak melampaui reformisme Partai Buruh, para pekerja harus memiliki pengalaman Partai Buruh berada di kekuasaan. Kaum revolusioner, dengan demikian, perlu berdiri di samping mayoritas pekerja yang melihat Partai Buruh sebagai partai “mereka” dan memberikan Partai Buruh dukungan kritis dalam pemilu, dan dengan ini memenangkan para pekerja ke politik komunis. (Lenin dengan tergesa-gesa menambahkan bahwa kaum Komunis hanya bisa bekerja di dalam Partai Buruh jika mereka diberikan kebebasan penuh untuk beroperasi sebagai sebuah organisasi yang mandiri dengan terbitannya sendiri).[15]
Fakta bahwa mayoritas pekerja di Britania Raya masih mengikuti kepemimpinan Scheidemann atau Kerensky Inggris dan bahwa mereka belum mengalami sebuah pemerintahan yang terdiri dari orang-orang ini … tak diragukan lagi menunjukkan bahwa kaum Komunis Inggris harus berpartisipasi dalam tindakan parlementer, bahwa mereka dari dalam Parlemen harus membantu massa pekerja untuk melihat hasil dari sebuah pemerintahan Henderson dan Snowden dalam praktik, bahwa mereka harus membantu Henderson dan Snowden untuk mengalahkan Lloyd George dan juga Churchill. Melakukan yang sebaliknya berarti memasang kesulitan di jalan revolusi; karena revolusi adalah mustahil tanpa perubahan pandangan dari mayoritas kelas pekerja, dan perubahan ini dibawa oleh pengalaman politik massa, dan tidak pernah hanya oleh propaganda.[16]
“Thesis on the Communist Parties and Parliament” dari Komintern yang disusun oleh Leon Trotsky, yang merangkum berpuluh-puluh tahun pengalaman dari kaum sosialis revolusioner di Rusia dan negara-negara lain, mengikhtisarkan pendekatan yang diambil secara umum oleh kaum revolusioner terhadap persoalan parlemen dan pemilu:
Komunisme menolak parlementarisme sebagai bentuk masyarakat masa depan…. Ia menolak kemungkinan mengambilalih parlemen secara permanen; tujuannya adalah untuk menghancurkan parlementarisme. Dengan demikian, kita hanya mungkin berbicara tentang penggunaan institusi negara borjuis dengan tujuan untuk menghancurkannya. Pertanyaannya bisa diajukan dalam pengertian ini dan hanya dalam pengertian ini.
Metode perjuangan paling penting dari proletariat dalam melawan borjuis, yakni melawan kekuasaan negara borjuis, adalah pertama-tama dan terutama aksi massa.
Aktivitas dalam parlemen terutama terdiri dari agitasi revolusioner dari mimbar parlemen, membongkar kedok musuh, dan mendorong unifikasi ideologis dari massa, yang, khususnya di daerah-daerah tertinggal, masih dipengaruhi oleh ilusi demokratis dan melihat ke mimbar parlemen. Kerja-kerja ini mesti sepenuhnya subordinat di bawah tujuan dan tugas perjuangan massa di luar parlemen.[17]
Kaum revolusioner di AS dan pemilu
Rosa Luxemburg menunjukkan dalam debatnya yang terkenal dengan Bernstein,
Orang-orang yang mengumumkan diri mereka menyukai metode reformasi legislatif sebagai ganti dari dan sebagai hal yang bertentangan dengan perebutan kekuasaan politik dan revolusi sosial, sebenarnya tidak memilih sebuah jalan yang lebih tenang, lebih teduh dan lebih lambat untuk tujuan yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda. Alih-alih berjuang untuk mendirikan sebuah masyarakat baru, mereka berjuang untuk modifikasi di permukaan dari masyarakat lama.[18]
Reformisme di masa modern telah terdegradasi ke titik yang bahkan lebih rendah dari yang dirumuskan oleh Bernstein. Banyak partai sosial demokrasi Eropa yang sebelumnya mengusung pandangan reformis klasik—yang dengan cemerlang dibantah oleh Luxemburg—sekarang berpendapat, dalam ekonomi yang “terglobalisasi” hari ini dan sejak runtuhnya Stalinisme, sosialisme tidak lagi dimungkinkan. Yang paling bisa kita lakukan adalah mengotak-atik sistem saat ini untuk membuatnya lebih manusiawi. Meskipun ini sudah selalu menjadi praktik riil dari reformisme, mereka sekarang menyatakan secara terbuka bahwa sosialisme adalah sebuah tujuan yang mustahil.
Seperti yang ditunjukkan Luxemburg, perdebatannya bukanlah tentang apakah kaum sosialis harus mendukung reformasi atau apakah kaum sosialis harus meninggalkan sistem elektoral. Sebagai sosialis, kita berjuang untuk segala reformasi yang memperbaiki kondisi kehidupan pekerja di bawah kapitalisme dan yang memberikan pekerja kepercayaan diri untuk memperjuangkan lebih banyak perbaikan. Tetapi pertarungan riil apa pun untuk reformasi memerlukan perjuangan untuk mencapainya. Kaum reformis mengatakan kepada para pekerja untuk duduk pasif dan bergantung kepada pejabat-pejabat terpilih. Dengan melakukan itu, mereka memperlemah dan mendemobilisasi perjuangan kelas yang memungkinkan adanya reformasi yang riil dan yang mempersiapkan pekerja secara kesadaran, organisasi, dan politik untuk menggulingkan kapitalisme.
Secara historis AS didominasi oleh sistem dua-partai borjuis yang mengeksklusi alternatif partai ketiga—apalagi partai buruh atau sosial-demokrasi. Tambahan lagi, organisasi sosialis yang revolusioner dan terorganisir masih sangat kecil untuk bahkan mempertimbangkan pemajuan calon-calon mereka sendiri. Seringkali kaum sosialis menemukan diri mereka—jika tidak terserap ke dalam pusaran Partai Demokrat—terpaksa mengajukan sebuah posisi yang secara esensial negatif: kaum sosialis harus tidak berbuat apa-apa dengan dua partai kapitalis itu. Ini seringkali berarti, karena terpaksa, bahwa mereka yang mencari perubahan nyata harus tidak mengikuti pemilihan presiden.
Tetapi seperti yang ditunjukkan tulisan Engels tentang AS pada 1880an, ada momen-momen di mana alternatif partai-ketiga dari kelas-pekerja, bahkan jika hanya sementara, menjadi tawaran. Dalam kasus-kasus seperti itu, kaum sosialis harus menyerukan kelas pekerja untuk memberikan suaranya ke partai-ketiga itu sebagai protes untuk melawan dua partai borjuis yang besar, dengan harapan hal itu akan membuat retak sistem dua-partai dan menciptakan celah untuk politik kelas pekerja yang independen.
Apa pun tugas-tugas yang ada di depan, ketika berurusan dengan persoalan pemilu di AS, kaum sosialis harus mengingat catatan kesimpulan Lenin dalam Left-Wing Communism:
Adalah jauh lebih sulit—dan jauh lebih berguna—untuk menjadi seorang revolusioner ketika kondisi untuk perjuangan langsung yang terbuka dan benar-benar berbasis massa serta benar-benar revolusioner belum ada, untuk membela kepentingan revolusi (dengan propaganda, agitasi dan organisasi) di lembaga-lembaga non-revolusioner dan bahkan di lembaga yang betul-betul reaksioner, dalam situasi non-revolusioner, di tengah-tengah massa yang belum mampu secara cepat memahami kebutuhan akan metode revolusioner dalam bertindak. Tugas utama Komunisme kontemporer di Eropa Barat dan Amerika adalah belajar mencari, menemukan, dan menetapkan dengan benar jalan spesifik atau peralihan peristiwa tertentu yang akan membawa massa dengan tepat ke perjuangan revolusioner yang besar, riil, final dan menentukan.[19]
Daftar Pustaka
[1] Rosa Luxemburg, “Organizational Questions of Social Democracy,” Rosa Luxemburg Speaks (New York: Pathfinder, 1980), hlm. 124.
[2]Dikutip dalam Tony Cliff, Rosa Luxemburg (London: Bookmarks, 1980), hlm. 21-22.
[3] Rosa Luxemburg, “Reform or Revolution,” Rosa Luxemburg Speaks, hlm. 56.
[4] Faksi Bolshevik dan Menshevik dari Partai Buruh Sosial Demokrasi Rusia berpisah pada 1903 dan masing-masing beroperasi secara relatif independen dari rivalnya, tetapi Bolshevik tidak benar-benar pecah secara formal dari Menshevik dan membentuk partai politik yang terpisah sampai dengan 1912.
[5] Dikutip dalam Tony Cliff, Lenin: Building the Party (London: Bookmarks, 1994), hlm. 250.
[6] Lenin, “Against Boycott,” Collected Works, Jilid 13 (Moscow: Progress Publishers, 1978), hlm. 25.
[7] Lenin, “Against Boycott,” Collected Works, Jilid 13, hlm. 42.
[8] Dikutip dalam Cliff, Lenin: Building the Party, hlm. 251.
[9] Lonceng kematian Internasional yang sebelumnya, yaitu Internasional Kedua, yang didominasi oleh partai Jerman, dibunyikan ketika deputi-deputi SPD di Reichstag memilih kredit perang untuk negara Jerman, yang mengindikasikan dukungan mereka terhadap mesin perang Jerman. Hanya satu deputi SPD, Karl Leibknecht, yang menolak kredit perang, dan kemudian hanya enam bulan setelah pemungutan suara yang pertama. Meskipun konferensi-konferensi sebelumnya telah menghasilkan resolusi yang menyerukan kaum sosialis di tiap negeri untuk bersatu melampaui perbatasan dan menolak perang dengan segala cara, dan ketika perang pecah, untuk membangkitkan perjuangan massa melawan perang di masing-masing negara, semua partai-partai Sosial Demokrasi yang besar menyerah kepada kelas berkuasa mereka dan menjadi pendukung patriotik dari perang.
[10] Duncan Hallas, The Comintern (London: Bookmarks, 1985), hlm. 38-39.
[11] Lenin, Left-Wing Communism: An Infantile Disorder (New York: International Publishers, 1989), hlm. 40-42.
[12]The Communist International in Lenin’s Time, Vol. 1, Workers of the World and Oppressed Peoples, Unite! Proceedings and Documents of the Second Congress, 1920 (New York: Pathfinder Press, 1991), hlm. 434.
[13]The Communist International in Lenin’s Time, Jilid 1, hlm. 459-60.
[14]Hallas, The Comintern, hlm. 44.
[15] Pada kenyataannya, Partai Buruh menolak Partai Komunis ketika yang terakhir ini mencoba bergabung ke dalamnya. Tetapi bahkan setelah itu, cabang-cabang Partai Buruh yang lebih sayap-kiri sering menolak mengeluarkan anggotanya yang komunis, dan mereka untuk sementara bisa beroperasi di pinggiran partai dan merekrut pekerja sayap-kiri.
[16] Lenin, Left-Wing Communism, hlm. 65-66.
[17]The Communist International in Lenin’s Time, Jilid 1, hlm. 470-479.
[18] Rosa Luxemburg, “Reform or Revolution,” Rosa Luxemburg Speaks, hlm. 77-78.
[19] Lenin, Left-Wing Communism, hlm. 77-78.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein dari “Marxists and elections,” International Socialist Review, Edisi 13, Agustus-September 2000, isreview.org. Dipublikasikan di sini untuk tujuan pendidikan.
Sumber gambar: jacobinmag.com