Kekasih
I
Terbilang rindu
Pada gitar yang menjadikannya musik
Pada kata-kata yang menjadikannya lagu
Pada imaji yang menjadikannya endapan
Kenangan dalam hati
Harmoni terbilang
Catatan ini amat melankolis
Tentang yang telah lalu
Yang tak ku biarkan berlalu
Sebab waktu adalah pelajaran
Sebab sejarah adalah empu
II
Duhai Kekasih!
Aku merasakan kehadiran-Mu
Seperti merasakan kehadiran angin
Hanya kehadiran Yang Abadi
Yang membuatku berani
Terus berjaga-jaga
Atas segala kemungkinan datangnya rayuan
Para perusak semesta-Mu
Duhai Kekasih!
Bila waktuku di jalan-Mu
Bila jiwaku di tangan-Mu
Kau hendaki aku
Menjadi bagian dari mereka
Yang berjuang di jalan-Mu
III
Cukup diri-Mu
Cukuplah setiap bayangan semu;
Kedudukan dan benda-benda
Penghias jumud, jargon-jargon keabadian
Aku di sini
Tak hilang diri
Dan masih berbentuk
Datang berbenah ke rumah-Mu;
Rumah yang tak berkamar
Rumah tanpa kelas
Rumah yang selalu berkumandang
Membesarkan nama-Mu;
Menghapus segala kesombongan
Yang mengatasnamakan keadilan!
IV
Kasih, aku telah berhenti menjadi bintang iklan di perusahaan itu, sebab di belakangnya ada sungai limbah yang gelap dan dalam
Kasih, aku telah berhenti menjadi tim kampanye partai itu, sebab di baliknya ada benalu. Semak-semak yang berisi mesin pencetak uang dan kepentingan hitam
Kasih, aku telah berhenti menjadi pembantu. Membudak pada komprador asing yang punya tujuan pesing
Kasih, aku telah berhenti menjadi orang ‘sok alim’, yang mendakwakan diri menjadi penjihad, sebab yang ada di hati hanyalah sifat Bal’am; si Pendusta
Kasih, hentikan aku dari setiap kepura-puraan ini; mengisi ruang demi mengabadikan diri, memburu waktu demi status tak tahan diri, membuat ilusi seribu wajah dari satu wajah yang penuh malu, berkumpul demi gengsi, berjuang demi gengsi, dan aku tak ingin mati dalam keadaan gengsi
Kasih, aku merasa takut
Tapi dalam takutku ada keberanian yang siap meledak!
Malang, 2015
Beri Aku Makna
__Lampu dan layar telah dimatikan__
Kesan apa yang bisa kau dapatkan
Dari sebuah nyala yang telah padam?
Beri aku makna
Pada lezat Sop Tom Yum
Juga pada air hangat di toilet mewahmu
Juga kemeriahan sorak-sorai; “Semangat!!”
Yang menggoncang ballroom hotelmu
Beri aku makna
Pada tusuk gigi yang berjatuhan di lantai
dan sajadah lusuh di mushala kecil
Yang terbaring di pojok restoran kelasmu
Seorang officeboy di sebuah hotel
Telah mati bunuh diri kemarin pagi
Istrinya baru diceraikan pekan lalu
Ohoi! Berita duka yang murung
Tak pernah dapat simpati dari bulatan kacamatamu
Dan koran-koran seperti mayat
Terbaring, berlalu di ruang lobby
__Seekor semut berhasil masuk di ruang full-AC,
walau akhirnya harus mati
di tanganmu__
Beri aku makna saja!
Malang, 2014
Romansa Petualangan
Dari ujung kuku sampai sel-sel DNA
Kujalankan tubuh kurusku
Lewat kata-kata lantang:
“Akulah diktat bagi diriku sendiri!”
Terikakku pada langit para pendikte
Dari sebuah kampung sampai ke pusat kota
Kuajak kakiku mengenali tanda-tanda
Kusalami lampu-lampu lalu lintas;
Kedipannya tak pandang bulu
Katanya ia lebih setia
Dibandingkan jargon-jargon hukum dan keadilan
Dari lurus punggungku sampai ke lekuk punggungMu
Kuajarkan hatiku membuka matanya
Lebih lebar dari sekedar bulatan kelamin dunia
Oi! Kupandangi lidah-lidah menjulur
Dari mulut lebar seorang penguasa
Melepaskan anjing-anjingnya
Oi! Kujumpai para penulis gagu dalam ngorok tidurnya
Lalu kudatangi para musafir sejati yang mengucapkan kata;
“Talak tiga” kepada mesin-mesin pendusta
Dan telah kutapaki rambut waktuMu
Yang terus tumbuh, bercabang hitam-hitam nan panjang
*Setiap hari Senin, redaksi akan menayangkan kumpulan puisi karya A. Musawwir.
Tentang Penulis: A. Musawir, Lahir pada 07 Mei 1989, Pamekasan, Madura. Minat belajar sastra, khususnya puisi dan karya fiksi. Pernah tinggal di Jogjakarta, mendalami karakter sebagai penjual Es Tebu di Jl. Gedongkuning, Pilahan, Kotagede (2016). Ketua Komunitas Seni-Budaya Lembah Ibarat, Kalimetro, Malang (2013-2014). Kepala Divisi Pendidikan Publik Malang Corruption Watch (MCW) (2013-2015). Singgah di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang (2008-2009), mutasi ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di kampus yang sama (2009-2012/tidak lulus). Kini penulis tinggal di Kota Malang bersama istri tercintanya, mendalami karakter sebagai penjual Molen Mini di daerah Watugong, Lowokwaru.
Sumber gambar utama: case.edu