Kekerasan Lintas Gender & RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Oleh:
Maryam Jameela

Penghujung tahun kembali datang, dunia tak akan pernah melupakan bulan November menuju Desember sebagai Hari Perlawanan Perempuan. Karena pada tanggal 25 November, dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama. Keputusan ini merupakan hasil keputusan bersama oleh organisasi-organisasi hak asasi perempuan.

Pada tahun 1999, Majelis Umum PBB secara resmi menyatakan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika waktu itu, Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik di Dominika, serta menjadi figur perlawanan terhadap kediktatoran Trujillo sebagai penguasa Republik Dominika. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menjadi tanda bahwa di luar sana, kekerasan bersasis gender bahwa ada dan diakui.

Kisah ini bermula dari tahun 1950-an, kakak-beradik ini aktif menentang rezim Presiden Rafael Trujillo yang otoriter. Mereka dan para suaminya, aktif melakukan aksi mengenang orang-orang yang telah dibunuh oleh Trujillo. Demi meredam pergerakan mereka, Trujillo kerap kali memenjarakan dan menyiksa mereka di dalam penjara. Meskipun belakangan dibebaskan atas desakan aliansi negara-negara Amerika, tapi tidak dengan ketiga suami mereka.

Hingga pada 25 November 1960, dalam perjalanan pulang dari menjenguk suaminya, kendaraan Patria, Minerva, dan Maria Teresa diberhentikan oleh sekumpulan preman suruhan Trujillo, lalu ketiga perempuan itu disiksa hingga mati dan jenazahnya didudukkan kembali di dalam jip. Sejak saat itu dunia mulai menyadari bahwa kekerasan berbasis gender benar-benar ada, dan kampanye anti kekerasan seksual dilakukan selama 16 hari sampai hari Hari Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 10 Desember dengan maksud mengaitkan kekerasan berbasis gender sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM.

Kegentingan Kekerasan Seksual.

Sesungguhnya Patria, Minerva, dan Maria tidaklah sendirian. Ada jutaan orang yang juga menjadi korban kekerasan berbasis gender. Di Indonesia saja, Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat telah terjadi 173 feminicide atau pembunuhan perempuan karena identitas seksual mereka. Data ini hadir bersama Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, dalam rentang tahun 2012-2015, rata-rata 3.000 sampai 6.500 kasus didominasi oleh kekerasan seksual setiap tahun, baik di ranah personal, rumah tangga, maupun komunitas. Selain itu, sepanjang tahun 2016, Komnas Perempuan mencatat terdapat 3.945 kasus kekerasan seksual. Data tersebut berasal dari 358 Pengadilan Agama dan 23 lembaga mitra Komnas Perempuan yang terdapat di 34 provinsi di Indonesia. Jika kita melihat dari angka tertinggi beserta hasil pemantauan selama lima tahun terakhir oleh Komnas Perempuan, 6.500 kasus kekerasan seksual terjadi dalam setahun.

Fakta ini menunjukkan, dalam sehari ada sekitar 18 kekerasan seksual yang terjadi. Atau jika dipersingkat, ada 3 kasus kekerasan seksual dalam empat jam. Seperti sebuah gundukan es di permukaan lautan, kita tidak pernah tahu setinggi apa gunung es di baliknya, dan paparan data ini hanya mencatat kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan

Di tahun 2018 ini, pada tanggal 23 November, Komnas Perempuan bersama dengan Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kembali menyuarakan gentingnya tren kenaikan angka kekerasan seksual. Jika kita berusaha membedah sedikit data kasus kekerasan seksual yang terlaporkan ini, kita akan menemukan fakta bahwa kasus kekerasan bukanlah sejenis kasus yang jarang muncul. Persoalan ini bisa ada di mana saja, kapan saja dan menyerang siapa saja. Kekerasan seksual kini menjadi permasalahan paling genting yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia.

Hal ini terkait dari dua kasus besar yang mencuat pasca baru-baru ini. Dalam pemaparannya di Kenferensi Pers siang tadi Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa, “Bertepatan dengan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2018 ini, Komnas Perempuan menemukan banyak pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi, karena ketiadaan payung hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi yang tepat tentang kekerasan seksual.”

Tren kekerasan seksual yang mencuat di media menjelang peringatan Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah:

Pertama, kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan. Penyelesaian kasus yang dialami oleh seorang mahasiswi UGM, menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di kalangan civitas akademik dan belum ada prioritas pemulihan bagi mahasiswi. Hal ini dikarenakan bagaimana perkosaan masih ditafsirkan secara kaku tanpa melihat pengalaman korban. Kedua, Komnas Perempuan juga mengungkapkan, tidak dikenalinya kekerasan seksual yang melatarbelakangi kasus pelanggaran Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 UU ITE (dalam hal ini kasus Ibu Baiq Nuril di Mataram), sehingga perbuatan merekam dan dapat membuat akses orang lain atas dokumen elektronik yang dilakukan Ibu Baiq Nuril tidak dilihat sebagai sebuah upaya membela dirinya sendiri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya.

Kondisi tersebut menggambarkan sistem hukum Indonesia belum menjamin perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual. Sistem hukum saat ini menunjukkan minimnya perlindungan terhadap korban dan pelanggengkan impunitas kepada pelaku.

Kebijakan yang Buta akan Pengalaman Perempuan

Setiap tahunnya, lahir puluhan hingga ratusan aturan baru, baik dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sejauh tahun 2018, baru tercatat 99 aturan yang dikeluarkan. Dan di antara semuanya, tak ada satupun yang menjawab kegentingan yang menimpa separuh lebih warga negara. Ini berarti bahwa pemerintah masih buta akan pengalaman perempuan.

Perempuan memang menjadi salah satu gender yang paling tidak berdaya dalam menghadapi segala jenis kejahatan. Karena sistem masyarakat kita mengonstruksi perempuan sebagai subjek pasif dan subordinat, perempuan yang berkelahi dianggap hina dan amoral. Sehingga perempuan cenderung tidak diberikan pendidikan untuk membela diri di situasi situasi genting.

Negara pun berdalih telah membuat kebijakan publik yang mencoba melindungi perempuan dari ancaman-ancaman kekerasan dan pelecehan seksual. Salah satu yang kita tahu, kebijakan publik sebagai turunan dari kebijakan sosial tersebut adalah KRL (Kereta Rel Listrik) dengan gerbong khusus perempuan, contohnya. Menurut subjektifitas penulis sebagai seorang perempuan, jika kita mendedah persoalan ini dalam-dalam, kebijakan ini hal ini cenderung konyol.

Pembuatan gerbong untuk perempuan justru semakin mengukuhkan stigma betapa lemah dan rapuhnya perempuan. Hal ini seolah menggugurkan anteseden sebenarnya, yakni pemikiran masyarakat yang mengkontruksi perempuan sebagai objek yang dapat dikuasai dalam kondisi tertantu. Akhirnya ketika pelecehan seksual terjadi di KRL, wanita akan selalu disalahkan karena mengapa mereka memilih gerbong bersama laki-laki jika mereka sudah disediakan ruang sendiri.

Beberapa waktu lalu viral tentang dua orang wanita yang melakukan catfaught (pertengkaran fisik antar wanita, mencakar dan menjambak) di KRL karena berebutan kursi. Anda bayangkan saja berapa proporsi jumlah perempuan di Jakarta dibandingkan dengan laki-laki. Namun di setiap kereta hanya disediakan dua gerbong, dan jauh lebih sesak dari gerbong biasa. Negara tidak memperhatikan dan mempertimbangkan baik-baik setiap keputusan yang diambil. Mereka tidak benar-benar serius dalam melakukan analisis sosial hingga akhirnya justru melahirkan kebijakan publik yang semakin merugikan salah satu gender. Dan cenderung membuat kebijakan serampangan demi menggugurkan kewajiban

Semestinya Negara berhenti membuat kebijakan publik yang semakin mengukuhkan kesenjangan sosial antara laki laki dan perempuan. dan mulai membuat aturan aturan yang melindungi semua gender dari potensi potensi kekerasan jenis apapun.

Laki-laki juga Turut menjadi Korban.

“Laki-laki diperkosa? Kok ngakak yaa… kan enak toh”, ada banyak celetukan yang muncul ketika kasus lelaki yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di viral di media sosial. Anda tidak perlu membayangkan betapa kejamnya netizen Indonesia. Tapi seperti itulah kenyataannya. Ketika lelaki yang menjadi korban, bukanlah dukungan yang didapatkan, justru bullying, kata-kata SARA dan kotor pun yang diterima.

Dan hal ini bisa terjadi di manapun, tidak hanya di ranah pendidikan. Bahkan dalam ranah keluarga pun kita sering menemui para orang tua yang melakukan pelecehan seksual secara verbal seperti, “yang tegas jadi laki laki jangan kaya banci”. Sesungguhnya jika merujuk dari Pasal 6 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bahwa, “Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang.” Dalam hal ini, siapapun bisa menjadi korban termasuk laki laki. Di sinilah negara tidak peka dalam menghadapi perbedaan ini.

Tidak hanya laki laki Straight (normal dalam pandangan awam, red) yang rentan terhadap kejahatan ini, lelaki homoseksual dan lelaki dari gender ketiga pun sama rentannya dengan potensi pelecehan dan kekerasan seksual. Penulis pernah menyaksikan sendiri bagaimana di depan umum ketika rapat kerja tahunan organisasi, seorang rekan saya yang homoseksual ditunjuk langsung dengan jari oleh bos penulis sembari mengatakan, “kamu yang rajin appointmen-nya ya, kalau kamu closing di atas 2M, kamu boleh tidur dengan lelaki manapun di tim. Saya yang sediakan kamar”, menurut penulis itu merupakan hal seloroh yang menjijikkan dan sangat seksis.

Di kasus lain dalam pembagian toilet semisal. Ada perbedaan yang cukup senjang antara toilet lelaki dan toilet perempuan. Penulis sebagai perempuan memahami betul bahwa dalam toilet perempuan, privasi sangat diperhitungkan. Namun hal ini berbeda bagi laki laki, sepengetahuan penulis, di toilet laki-laki, kita akan menemukan urinoir yang berjejer dan tanpa sekat. Sungguh tidak memperhatikan aspek privasi dan keamanan. Hal ini sering menjadi keluhan dari beberapa teman-teman gay. Mereka sering kali merasa risih dan mengeluh dengan perbedaan tersebut. Terkadang ada oknum nakal yang memanfaatkan hal tersebut untuk pelecehan sosial, meski kita jarang sekali mendapatkan laporan kasusnya. Namun kasus pelecehan seksual ini tidak pernah tertangani karena kekosongan hukum akan perlindungan

Selain itu, peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan akan semakin menggambarkan kekejaman laki-laki. Karena di negara patriarki, laki-laki adalah subjek, setiap bentuk pemaparan angka yang muncul akan selalu menjadikan laki-laki sebagai pelaku tertuduh yang harus bertanggung jawab. Hal ini merupakan suatu bentuk lain dari seksisme, salah satu jenis kekerasan yang cukup sering muncul meski tidak juga masuk dalam RUU PKS. Dalam sistem Negara Patriarki laki-laki pun ikut menjadi korban berkali kali

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Negara sering kali tidak memperhatikan beberapa paradoks yang muncul dalam pembuatan kebijakan. Atnike Sigiro pernah mengungkapkan dalam kuliahnya tentang “Kebijakan Publik dan Feminisme” bahwa dalam sebuah pengambilan kebijakan, terkadang kita menemukan singgungan dan tumpang tindih antara equality dan differencies.

Kasus KRL Gerbong Perempuan yang penulis kemukakan di atas adalah salah satu contoh dimana Pemerintah berusaha memperhatikan perbedaan kebutuhan antar gender, namun justru melahirkan kebijakan yang tidak equal. Adapula kebijakan di mana wanita dan laki-laki boleh sama-sama mengenyam pendidikan, masih belum memperhatikan faktor differences. Pemerintah tidak memperhatikan bahwa ada beberapa adat yang masih mengharuskan anak-anak perempuan harus menikah di usia tertentu. Sehingga mereka harus putus sekolah karena pemerintah masih belum mampu meng-cover pendidikan anak-anak perempuan yang terjerat budaya menikah muda. Ini adalah salah satu kebijakan yang berusaha melahirkan manfaat yang equal tanpa melihat faktor differencies.

Faktor interseksionalitas masih luput dari alat analisa yang digunakan pemerintah untuk sebuah pengambilan kebijakan. Sedangkan yang kita tahu, kebijakan publik bukanlah suatu kebijakan yang sederhana. Mereka menyangkut publik yang sangat kompleks dan multiproblem. Hal ini terlihat dari bagaimana kasus Bu Nuril maupun Agni masih harus berbenturan dengan kekosongan dan keringnya pemaknaan yuridis yang tidak peka pada pengalaman korban.

Dalam hal ini, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) telah meminta Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk mengawal pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) demi mengawal pencanangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan menjadi undang-undang. Dan tugas kita bersama adalah mengawal produk hukum yang nantinya akan melahirkan turunan aturan dan kebijakan baru untuk lebih memperhatikan faktor equal and differencies. Agar tidak ada lagi aturan-aturan perlindungan yang justru semakin merugikan dan memperkental kesenjangan gender.

_____________________________________________________________________________
*Penulis merupakan Aktivis Resister Indonesia & Divisi Kampanye Nasional 16 Hari Anti Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
*Sumber gambar utama: huffingtonpost.co.uk

 

 

Tinggalkan Balasan