Oleh :
Abdul Hafidz Ahmad
(Peneliti Intrans Institute & Aktivis FNKSDA Malang Raya)
Meski tak lepas dari blow-up korporasi media mainstream yang cukup intensif, semaraknya aksi solidaritas untuk petani Kendeng dalam menolak pabrik semen patut diapresiasi. Syahid-nya Bu Patmi bukan malah menyiutkan mental perjuangan, tetapi justru semakin menggelorakan nyali perlawanan. Tragedi ini sekaligus menunjukkan dengan telanjang bagaimana bebalnya pemegang kuasa, penguasa modal dan aparatusnya dalam mengalienasi ruang hidup rakyat dengan modus kesejahteraan.
Sejatinya, polemik Semen di Kendeng bisa didudukkan dengan berbagai macam perspektif. HAM, hukum, ekologi, sosiologi, kebijakan, dan pertarungan sengit antar elit bisa digunakan dalam membedah kasus ini. Namun agar lebih memudahkan, dalam kesempatan ini penulis ingin mendudukkan perkara ini dari kerangka hegemoni wacana yang dikenalkan oleh Laclau & Mouffe[1], dan beberapa analisa menurut gerakan sosial secara umum, termasuk sedikit serpihan dari gerakan ekofeminisme dan dinamikanya kenapa warga Kendeng dan Sedulur Sikep melakukan protes.
Mitos : Benarkah Tambang untuk Kesejahteraan?
Tesis Hendra Try Ardianto yang kemudian dibukukan, Mitos Tambang untuk Kesejahteraan mengulas kasus Kendeng dengan perspektif analisis kebijakan. Namun tesis Hendra tidak seperti analisis kebiijakan mainstream yang apolitis dan terjerumus dalam logika prosedural-developmentalisme dan biasa diakhiri dengan kesimpulan “sebaiknya pihak negara begini…, pihak perusahaan begini…, dan pihak masyarakat begini…”.
Buku Hendra mendekonstruksi mitos bahwa tambang = sejahtera yang diwacanakan secara hegemonik oleh negara. Secara sederhana, hegemoni diartikan sebagai praktik kuasa bukan dengan cara kekerasan (coersive), melainkan sebagai praktik kuasa berbasis konsensus. Marx, Lenin, Gramsci, dan beberapa pemikir lain juga mempopulerkan istilah ini. Namun hegemoni Laclau & Mouffe berbeda dari pemikir sebelumnya yang mengedepankan tentang pola top-down, subordinasi dan objektifikasi kelas, dan perjuangan kelas. Inti pemikiran Laclau & Mouffe diletakkan pada nalar berlangsungnya wacana. Wacana ini kemudian dikontestasikan dan diperebutkan. Dari wacana ini kemudian menuju imaji sosial.
Dalam konteks kasus Kendeng, negara hendak membangun hegemoni pembangunan melalui wacana kesejahteraan. Untuk melengkapi hegemoni tersebut, negara menempatkan mitos tambang untuk kesejahteraan sebagai landasan yang menjustifikasi kebijakan-kebijakan yang menopang rencana pertambangan. Proses ‘mitosisasi’ ini bertujuan agar terjadi kemutlakan sosial bahwa kesejahteraan melalui tambang adalah kemutlakan.
Setidaknya, terdapat 3 bentuk proses ‘mitosisasi’ dalam konteks Kendeng[2]. Pertama, praktik pertambangan yang baik adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Kedua, kebijakan yang sesuai prosedur dan kajian ilmiah pasti benar. Ketiga, mobilisasi kesepakatan sebagai tanda persetujuan rencana pertambangan. Namun proses ‘mitosisasi’ itu sangat rapuh, sebab kemudian muncul dislokasi sosial dan antagonisme warga. Hal ini terjadi lantaran klaim green industry ternyata menjadi ancaman, baik terhadap alam maupun relasi sosial-kultural yang melekat dalam masyarakat. Selain itu, proses kebijakan yang diklaim pasti benar ternyata manipulatif dan koruptif. Kondisi seperti itu melahirkan counter hegemony tentang kesejahteraan yang dibentuk negara dari masyarakat.
Menggugat Mitos
Ada 3 cara pihak hegemonik untuk memitoskan wacana bahwa kesejahteraan dapat dicapai dengan pertambangan.
Pertama, Good Mining Practices : Jalan yang ‘Harus Ditempuh”
Logika globalisasi, pembangunan berkelanjutan, serta good governance[3] memberi keleluasan terhadap aktivitas eksploitasi. Satu hal yang patut dicermati adalah wacana tentang praktik pertambangan yang baik[4] atau Good Mining Practices (GMP). GMP adalah sebuah norma baku yang telah masuk dalam regulasi. Setiap korporasi penambangan wajib mengikuti kaidah-kaidah GMP. Namun lucunya, kehadiran GMP ini melahirkan banyak acara penghargaan bagi korporasi yang bergerak di bidang pertambangan. Bukan negara saja, banyak lembaga non-negara juga menyelenggarakan acara-acara penghargaan ini.
Secara normatif, memang tujuan penghargaan ini adalah mendorong korporasi-korporasi untuk memiliki tata-kelola yang baik dan ramah terhadap lingkungan. Namun secara politis, ada pembentukan kerangka publik bahwa sebuah korporasi yang mendapat penghargaan akan mendapat legitimasi sebagai perusahaan ramah lingkungan. Bayangkan saja, setiap tahun, ada berkali-kali agenda semacam itu. Dampak politisnya, pola ini menjadi komodifikasi dan alat kampanye baru bahwa usaha pertambangan yang mereka kerjakan sebagai “aktivitas ramah lingkungan”.
Strategi semacam ini turut juga dimainkan oleh PT Semen Indonesia. Korporasi ini tercatat telah memperoleh banyak sekali penghargaan lingkungan atas GMP yang mereka lakukan. Hampir setiap tahun, PT. Semen Indonesia berturut-turut mendapatkan penghargaan. Untuk memuluskan ekspansi dan menghindar dari tuduhan tidak ramah lingkungan, maka berbagai prestasi ini digunakan sebagai alat kampanye bahwa PT. Semen Indonesia adalah industri ramah lingkungan. Termasuk di dalamnya adalah pemberian wisata gratis khusus bagi pegiat medsos. Dengan label ‘Wisata Green Industry’, muncul banyak tulisan di media online bahwa aktivitas pertambangan PT. Semen Indonesia sangat ramah. Tak lupa pula, beragam teknologi dengan justifikasi para petinggi Semen juga turut dimunculkan bahwa memang pertambangan adalah ramah. Beragam bentuk bantuan dan kegiatan yang dilakukan juga salah satu bentuk kampanye untuk mengambil hati rakyat.
Padahal, majalah The Economist[5] menulis, “The cement industry is one of the world’s most polluting : it accounts for 5% of man-made carbon dioxide emissions each year”. Dengan teknologi macam apapun, industri semen adalah penyumbang terbesar pemanasan global. Atas sebab inilah, Cina menutup 2000 perusahaan yang dinilai penyebab polusi terbesar di sana. Dan 762 diantaranya adalah usaha pertambangan semen.
Kedua, Sesuai Prosedur dan Kata Ahli “Tidak Pernah Salah”
Setelah gagal mewujudkan rencana pertambangan di Pati, pihak semen dengan cepat mengantongi izin WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) di wilayah Rembang. Berikut juga dengan IUP (Izin Usaha Pertambangan), baik IUP eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Pihak semen pun dengan mudah mengantongi 35 izin dari pihak Gubernur dan memenuhi 12 persyaratan Amdal atas penilaian “ahli”. Karena seluruh perizinan sudah didapatkan, dengan logika proseduralisme, pihak semen mengklaim bahwa rencana pertambangan sudah sesuai dengan seluruh ketentuan dan regulasi lain.
Atas dalih bahwa segala prosedur telah terpenuhi, maka tegaslah bahwa seluruh rencana pertambangan di Rembang pasti berjalan baik dan benar. Selain pihak pemerintah yang memberikan penekanan kesesuaian prosedur, aktor-aktor non-negara juga menekankan bahwa segala urusan izin dan prosedur sesuai regulasi, maka kenapa pabrik tidak segera dibangun? Padahal, penyusunan Amdal yang dikerjakan para teknokrat pun penuh dengan ketidaksesuaian fakta data dan lapangan. Dengan mengatasnamakan ‘Taat Aturan’, manipulasi diperlukan. Bahkan penulis tahu sendiri bagaimana seringnya warga tolak[6] ‘menantang’ pihak semen untuk pembuktian kebodongan amdal, namun pihak semen beserta supporter-supporternya tidak ada yang berani.
Data Amdal | Fakta Lapangan | |
Gua | 9 | 64 |
Sungai Bawah Tanah | – | 4 |
Mata Air | 40 | 125 |
Ponor | – | 28 |
Kesimpulan | Boleh ditambang | Kawasan karst harus dilindungi |
Tabel Manipulasi Data dalam Dokumen Amdal PT. Semen Indonesia di Rembang
Ketiga, Mobilisasi Kesepakatan sebagai Penanda Persetujuan
Alur hegemoni selalu membutuhkan ‘restu’ dari berbagai golongan. Hal ini juga terjadi dalam kasus Kendeng ini. Doa dan kaidah fiqh dipakai guna menciptakan makna bahwa rencana pertambangan telah diridhoi oleh pemuka agama. Dukungan kalangan adat Samin dibentuk guna menunjukkan makna bahwa selama ini konfrontasi Samin vs Semen adalah salah. LSM dan para demonstran bayaran dipakai untuk menciptakan makna tentang penerimaan yang luas di akar rumput. Menurut pengalaman penulis sendiri yang berkunjung ke lokasi Desa Tegaldowo selama beberapa hari, pihak semen juga seringkali mengundang para ulama’ untuk ‘mengondisikan’ para warga.
Semua hal ini bisa dibaca sebagai upaya membangun jalinan kesamaan yang mengarah pada satu titik makna bersama : tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat luas. Bahkan saking seringnya, kedatangan Pabrik Semen di Rembang oleh sebagian warga yang secara tidak sadar terhegemoni dianggap sebagai ‘berkah yang ditunggu-tunggu’. Media cetak dan online juga sering mem-framing bahwa Tambang Semen = Sejahtera.
Menumbangkan Mitos, Kendeng Melawan Hegemoni
Kesejahteraan yang dipropagandakan negara dan korporasi bahwa pembangunan pabrik semen akan menghasilkan kesejahteraan adalah mitos. Bila melihat sebaran jumlah penduduk Kecamatan Gunem berdasarkan lapangan kerja, dari 4.764 penduduk, 3.268 warga adalah bekerja di bidang pertanian[7]. Selain bertani, secara bersamaan beberapa di antara warga adalah peternak sapi dan kambing. Bisa kita bayangkan sendiri jika pabrik semen yang dibangun di atas karst dan CAT (cekungan air tanah) beroperasi akan membutuhkan air tanah sekitar 23 liter per detik. Bila kita lakukan perbandingan dengan rata-rata penggunaan air masyarakat Gunem sekitar 15-20 liter/hari/orang, maka ditemukan kenyataan bahwa penggunaan air selama 5,5 jam pabrik semen di Rembang setara dengan satu hari penggunaan air seluruh warga di Kecamatan Gunem. Dalam jangka panjang, hadirnya korporasi pertambangan ini akan menyebabkan krisis sosial, budaya, dan tata nilai. Termasuk deruralization, depeasantization, dan deagrarianization (memudarnya nilai-nilai pedesaan, pekerjaan pertanian, dan semakin kecilnya andil kerja sektor agraris bagi ekonomi dan penghidupan rakyat).
Sumber Foto : http://sebarr.com/photo/3105/petani-kendeng-tolak-pabrik-semen
Sekali lagi, wacana akan kesejahteraan jadi pertarungan. Kesejahteraan versi negara adalah dengan pertambangan, sedangkan versi rakyat adalah dengan pertanian. Apakah salah bila warga Kendeng dan Sedulur Sikep melawan? Hegemoni pihak semen dan negara inginnya sempurna tanpa celah. Namun nyatanya retak dimana-mana. Dari keretakan-keretakan itulah, warga membangun wacana sendiri sebagai counter hegemony. Perlawanan rakyat terutama perempuan berupa pemboikotan akses jalan, pembangunan tenda, ‘menggeruduk’ UGM media, do’a rutinan bersama, menggalang dana, cor kaki, sampai bertamu ke Istana Presiden, semua dilakukan dengan sadar, ikhlas, dan rela untuk membela ibu bumi.
Salah satu wacana yang menjadi counter hegemony adalah wacana tentang ekofeminisme. Meskipun para Kartini Kendeng tak menyuarakannya secara eksplisit, namun sangat terpancar semangat-semangat ekofeminisme dalam setiap gerak perlawanan mereka. Ekofeminisme bertolak dari sebuah penentangan ketidakadilan terhadap perempuan dan lingkungan. Bumi bagi para ekofeminis adalah gambaran yang dapat dipadankan dengan perempuan, mengingat perempuan senantiasa diasosiasikan dengan alam (Arivia, dalam Kadir & Susilo, 2016)[8]. Baik perempuan maupun alam sama-sama mengalami represi sedemikian rupa oleh kuasa-kuasa maskulinitas. Lahirnya ekofeminisme ini adalah dari perspektif kritis bahwa bumi sebagai sosok ibu (feminity) yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan korporasi yang didukung oleh situasi global dan pemerintah. Perempuanlah tangan pertama (first hand) yang bersentuhan langsung dengan alam. Karena itu, perempuan itu sendiri yang kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap resiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Lebih jauhnya, gerakan Kendeng termasuk Kartini-Kartininya menyimpan potensi revolusi massa bawah yang sangat dahsyat[9]. Diakui atau tidak, mereka kini menjadi pusaran bagi revolusi kaum terpinggirkan. Teknologi informasi yang canggih, sebaran berita dan analisisnya di medsos bisa diserap menjadi bahan pelajaran sekaligus inspirasi untuk memperjuangkan hak atas tanah, ruang hidup, dan segala yang ada di atasnya. Dari satu ruang konflik akan tumbuh satu dan beberapa penggerak sosial untuk berpihak pada rakyat mustadh’afin. Bermain di akar rumput, kaki ke kaki dengan para organ gerakan sosial yang terdidik dan berpengalaman dalam berbagai gerakan sosial, kita mungkin bisa menyaksikan gambaran masa depan ‘daulat rakyat’ yang makin cerdas. Sementara pihak hegemonik dari lapisan manapun akan semakin susah bergerak menipu rakyat. Kelas menengah apolitis dan netralis akan dipaksa oleh sejarah untuk menyatakan sikap, dan berpihak.
*) Disampaikan dalam diskusi “Isu Kendeng dengan KSPA (Kelompok Studi Pendidikan Agraria) Universitas Negeri Malang”, Kamis, 30 Maret 2017. Dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.
Keterangan Foto Atas: Pembangunan Pabrik Semen Indonesia di Rembang dalam film Samin vs Semen.
Daftar Rujukan
[1] Penulis berterimakasih kepada Hendra Try Ardianto, Komite Nasional FNKSDA yang turut mengadvokasi kasus Semen selama bertahun-tahun, yang melalui bukunya, Mitos Tambang untuk Kesejahteraan, secara tidak langsung berkontribusi besar dalam penulisan makalah ini.
[2] Ardianto, H. T., & Santoso, P. (2015). Tambang untuk Kesejahteraan? Alternatif Model Untuk Memaknai Ulang Kebijakan Pertambangan di Rembang (Doctoral Dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[3] Secara sederhana, logika yang melegitimasi bahwa eksploitasi itu sah selama prosedurnya tepat
[4] Tertuang dalam pasal 95 dan 96 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba
[5] Lihat www.economist.com. “Cement Manufacturers:Cracks in the Surface”
[6] Pengalaman penulis selama berada di sana, kelompok masyarakat terbagi menjadi 2. Warga pro dan warga tolak
[7] Hidayatullah 2016:87 dalam Mitos Tambang untuk Kesejahteraan, Hendra Try Ardianto, 2016
[8] Susilo, D., & Kodir, A. (2016). Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan. Jurnal Politik, 1(2).
[9] Lihat ; Dwicipta – Ibu-ibu Rembang dan Mata Pusaran Revolusi Indonesia (dimuat di website www.literasi.co)