Oleh:
Oktober mendatang, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan rezim ekonomi global yakni Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund-IMF) dan Bank Dunia (World Bank-WB). Pertemuan ini juga diikuti oleh bankir, akademisi, pengusaha, investor dan 189 perwakilan dari masing-masing negara anggotanya. Pertemuan akan diadakan di Nusa Dua Bali, 8-14 Oktober, untuk membahas isu-isu perekonomian global. Indonesia sebagai tuan rumah telah membuat anggaran untuk pertemuan ini kurang lebih 800 miliar rupiah. Berbagai fasilitas telah disiapkan oleh pemerintah bagi tamu-tamu yang akan menghadiri agenda tersebut. Mulai dari perbaikan bandara, hotel, tempat pertemuan peserta, dll. Jumlah anggaran yang sangat besar dan nampaknya akan lebih berguna jika dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat ketimbang membiayai pertemuan para penjajah elit borjuasi dan antek-anteknya. Mengapa?
Siapa IMF dan WB?
IMF dan WB muncul Pasca Perang Dunia (PD) II. Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris dan negara-negara pemenang perang mengadakan sebuah pertemuan yang membicarakan mengenai pengaturan perekonomian global. Pertemuan yang diadakan di Bretoon Woods tahun 1944 melahirkan IMF dan WB yang diklaim ideal untuk mengatur perekonomian global yang saat itu sedang carut marut akibat perang. Kedua institusi ini secara tertulis memiliki tujuan untuk meningkatkan standar hidup di negara-negara anggotanya. IMF mendorong kerjasama moneter internasional dan menyediakan saran kebijakan dan dukungan pengembangan kapasitas untuk membantu negara-negara membangun dan mempertahankan ekonomi yang kuat, serta memberikan pinjaman utang kepada negara-negara anggota yang memerlukannya. Sedangkan WB mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang dan pengentasan kemiskinan dengan menyediakan dukungan teknis dan keuangan untuk membantu negara-negara mereformasi sektor-sektor tertentu atau melaksanakan proyek-proyek spesifik, seperti membangun sekolah dan fasilitas kesehatan, menyediakan air dan listrik, memerangi penyakit dan melindungi lingkungan. Tujuan yang terdengar mulia namun penuh dengan retorika kosong tanpa makna. Mengapa?
IMF dan WB tak lain berperan sebagai salah satu agen yang memfasilitasi korporasi kapitalisme global dalam melakukan ekspansi pasar, bahan baku, tenaga kerja, dll, yang semata-mata untuk kepentingan akumulasi kapital. Akumulasi kapital, menurut Rosa Luxemburg memiliki satu karakter ganda[1]: aspek pertama terkait dengan pasar komoditi dan dengan lokasi dimana surplus nilai diproduksi, seperti pabrik. Dalam aspek ini, akumulasi merupakan suatu proses yang murni bersifat ekonomi dimana fase terpentingnya adalah transaksi antar kapitalis dan buruh. Aspek kedua dari akumulasi kapital terkait dengan relasi antar kapitalisme dan modus-modus produksi non kapitalis di panggung internasional. Dalam aspek ini, akumulasi didapatkan melalui ekspansi lembaga-lembaga internasional atas nama kerjasama untuk kepentingan kemajuan dan pembangunan.
Utang Rente
Dalam praktiknya, IMF dan WB meminjamkan uang kepada negara-negara. IMF untuk menggelontorkan utang untuk keperluan moneter, seperti ketika krisis. WB memberi utang rente untuk keperluan pembangunan, seperti untuk program mengurangi kemiskinan dan kesenangan. Dalam utang rente ini, negara peminjam diharuskan mengembalikan uang pinjaman berkali-kali lipat atau biasa kita kenal dengan bunga, telah membuat si peminjam terjerumus lebih dalam ke jurang utang, berutang untuk membayar utang, gali lubang tutup lubang. Sistem ini bagai lingkaran setan, lantas jangan heran jika utang negara dari waktu ke waktu terus naik.
Negara-negara yang berutang diharuskan melakukan reformasi-reformasi yang bercorak neoliberal. IMF dan WB pun lantas menjadi sentrum bagi penyebarluasan dan penegakan paham fundamentalisme pasar bebas dan ortodoksi neoliberal. Sebagai syarat diberikannya penjadwalan kembali utang, Negara yang berutang diharuskan untuk menerapkan reformasi kebijakan. Belakangan, contohnya seperti pemangkasan belanja kesejahteraan, pengesahan undang-undang pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel dan dilakukannya privatisasi.[2] Langkah tersebut diambil demi kepentingan ekspansi korporasi. Dalam rezim IMF dan WB, negara peminjam tidak akan dapat menyelesaikan permasalahannya dengan mengharapkan bantuan dari IMF dan WB, alih-alih menyelesikan masalah, peminjam justru malah membuat masalah baru dengan semakin bergantung pada kreditor. Jika utang yang diberikan tak dapat dibayar maka peminjam harus siap tunduk terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut.
Pembangunan adalah klaim IMF dan WB yang diterapkan kepada negara-negara peminjam dalam mencapai kemajuan dan kesejahtraan, untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera maka harus membangun infrastruktur, membangun pabrik-pabrik, menjadikannya pusat industrialisasi, mendorong investasi dan yang terpenting ikut serta dalam pertempuran pasar bebas.
Kompetisi Bebas
Perdagangan bebas yang dikampanyekan oleh IMF dan WB adalah kompetisi yang bersifat terbuka, yang dengan sendirinya akan menciptakan mekanisme pasar yang adil. Tangan-tangan tersembunyi pasar merupakan alat terbaik untuk memobilisasi naluri-naluri paling dasar manusia. Negara tak boleh ikut campur dalam menentukan mekanisme pasar, sebab keputusan-keputusan Negara akan cenderung bias secara politik karena bergantung pada kekuatan dari kelompok-kelompok kepentingan. Keputusan-keputusan Negara terhadap pasar akan cenderung keliru karena informasi yang dimiliki Negara tidak akan mempu mengimbangi kecepatan informasi yang terkandung dalam gejala-gejala pasar.[3] Negara hanya perlu berperan melindungi individu-individu pelaku pasar agar segala haknya dilindungi.
Pandangan diatas memiliki kontradiksi. Dalam pertarungan bebas niscaya akan memunculkan kompetisi monopolistik didalamnya. Adanya pihak yang telah memiliki pengaruh besar sebelum dijalankannya kompetisi ini sehingga proses (yang mereka sebut alamiah) mekanisme pasar ditentukan oleh pihak bersangkutan. Misalnya AS melarang akses bagi masuknya barang-barang Negara lain untuk masuk ke pasar AS. Sedangkan AS sendiri bisa bebas mengekspor barangnya ke Negara-negara lain. Apakah ini yang dinamakan perdagangan bebas yang adil? Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, AS berperan sebagai pemain sekaligus wasit.
Mendorong negara miskin terjun ke pasar bebas ibarat mengadu harimau dan ayam dalam satu arena pertarungan. Hasil dari pertarungan tentu sudah dapat ditebak meskipun pertandingan belum dimulai. Ayam tak akan pernah mengalahkan harimau. Negara berkembang tak akan pernah mengalahkan negara maju (imperialis) dalam pertarungan pasar bebas. Sehingga hubungan antar keduanya adalah hubungan baru antara pihak penjajah dan pihak terjajah. Distribusi kekayaan menjadi timpang, overakumulasi kekayaan di satu kutub dan penciptaan kemiskinan di kutub lain. Dari 189 anggota IMF, sebagian besar terdiri dari negara-negara miskin, namun selama ini semua kebijakan IMF hanya menguntungkan negara kapitalisme pusat yang secara kuantitas jumlahnya lebih sedikit. Wajar saja sebab hak suara dalam proses pengambilan kebijakan ditentukan seberapa besar iuran yang dibayar pada IMF bukan seberapa banyak negara yang menyetujui kebijakan tersebut. Sebagai contoh Amerika Serikat memiliki 17,8% hak voting, selain Amerika Serikat tak ada yang memiliki hak voting lebih dari 6%. Sedangkan mayoritas negara anggota IMF hanya memiliki hak voting kurang dari 1%.
Negara yang bergantung pada IMF dan WB hanya akan dijadikan objek akumulasi kapital korporasi-korporasi kapitalisme global. Berbagai model pembangunan yang didesakkan oleh IMF dan WB pada negara peminjam nyatanya tidak membuat keadaan menjadi lebih baik, sebaliknya malah membuatnya semakin buruk. Itulah sebabnya, pertemuan agen lintah darat global di Bali mesti kita tolak!
[1]R. Luxemburg, The Accumulation of Capital, (New York: Monthly Review Press, 1968)
[2]J. Stiglitz, Globalization and its Discontents, (New York: Norton, 2002)
[3] David Harvey, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, (Yogyakarta: Resist Book,2009)
_______________
*Penulis adalah relawan Intrans Institute Malang
*Sumber Gambar Utama: doomsteaddiner.net.