Ketika Kuli Bangunan pengen Curhat

Agung Fery Widiatmoko

Pekerja lepas (freelance), kuli bangunan

 

Tahun lalu, ketua Dewan Pertukangan Nasional (DPN) menyodorkan data pekerja bangunan, menurutnya, di Indonesia perkiraan memiliki 27 juta tukang bangunan. Namun di sisi lain ia mengeluh, karena dari total itu, hanya sekitar 1,5 juta pekerja bangunan yang terdaftar sebagai anggota DPN. Dari total yang terdaftar pun, yang memiliki sertifikasi hanya 600.000, itu pun masih satu jenis sertifikat.

Memang, jika dilihat melalui aturan yang ada, pemerintah meminta para pekerja bangunan untuk meningkatkan kompetensi pekerja yang dibuktikan dengan sertifikasi. Tahun 2017, negara membuat Undang-Undang jasa konstruksi, sekarang yang diperkuat melalui Cipta Kerja. Aturan itu meminta pekerja bangunan untuk mengantongi setidaknya lima jenis sertifikasi kompetensi. Standar kompetensi, menurut pemerintah, sebagai upaya meningkatkan daya tawar ekonomi para pekerja bengunan, sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraanya.

Kita akan menemukan kondisi yang begitu bias daripada keinginan dari pemerintah juga DPN. Bahkan akurasi data pekerja bangunannya pun masih layak dipertanyakan. Di pelosok-pelosok desa, masyarakat pinggiran urban, untuk kerja bangunan, minim sebutan sebagai “pekerja bangunan”, yang ada hanyalah “tukang kuli”. Lebih-lebih soal sertifikasi, standard itu hanya berlaku bagi pekerja bangunan profesional yang terdidik. Di pelosok, para pekerja kuli, sama sekali tidak akan menemukan wacana sertifikasi apa lagi minat bergabung dengan lembaga sekelas DPN, mendengar namanya aja mungkin udah minder, sesuatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Dengan kata lain, mayoritas dari para tukang kuli bangunan hidup di tengah kondisi yang sulit, dengan relasi kerja lepas, tanpa perlindungan sosial, dan tentu saja dengan upah yang tak seberapa.

Bagaimana seorang kuli bangunan atau pekerja lepas harian mendapatkan upah nya? Berapa besaran upah yang diterimanya? Mari kita kulik bersama, jumlahkan, kemudian hitung besarannya.

Di Jawa khususnya Jawa Timur, pekerja harian lepas seperti kuli bangunan mendapatkan upah kerjanya selama kurang lebih delapan jam kerja dalam sehari sebesar Rp 120.000-130.000, itu untuk klasifikasi sebagai tenaga skill nya. Sedangkan upah untuk helper atau pembantu nya dengan pekerjaan yang sama berkisar antara Rp 85.000-100.000. Untuk pertengahan tahun 2023 hingga 2024 saat ini, belum menandakan akan adanya perubahan nilai upah tersebut. Jika dikalikan dalam satu bulan, perhitungan 26 hari, karena Minggu adalah hari libur mereka. Maka besaran upah tenaga skill nya berkisar antara Rp 3.120.000-3.510.000. Sedangkan upah Helper nya berkisar antara Rp 2.210.000-2.600.000.

Darimana perhitungan gaji tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah hasil dari penyesuaian upah minimum reguler yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Upah minimum reguler sendiri dimulai tahun 1997, UMR pertama kali dikenalkan melalui Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1997. Lalu pembahasan mengenai upah minimum ini lebih lengkap telah ada dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 mengenai Upah Minimum. Dengan analisa dan perhitungan jumlah tersebut apakah masih lazim untuk saat ini?

Sedangkan kebutuhan bahan pokok yang terus meningkat, dan belum lagi kebutuhan lainnya. Biaya sekolah juga tidak bisa dipandang remeh, sekalipun ada sekolah gratis. Tetapi pada kenyataanya iuran bermacam macam masih kerap kali terjadi. Jumlahnya pun tidak sedikit dan menjadi beban tersendiri. Lantas apakah dengan demikian mereka tidak boleh mempunyai anak yang bersekolah dan mempunyai pendidikan tinggi? Bukankah negara menjamin rakyatnya dan sudah termaktub dalam UUD 1945 yang katanya sebagai landasan dasar negara?

Kemudian mari kita bandingkan dengan gaji anggota DPR, tunjangan perbulannya dan uang operasional lainya apakah hal tersebut setara? Pekerjaan mereka lebih santai duduk di kursi yang empuk, ruangan ber AC, anti debu dan polusi tentunya. Tapi tidak dengan korupsi dan kolusi yang memang sudah menjadi ciri khas setiap anggota dewan. Tentu saja tidak semuanya tetapi hampir merata. Diketahui pendapatan anggota dewan per bulan mencapai Rp 36.000.000-45.000.000 meliputi gaji serta tunjangannya.

Darimana pendapatan anggota DPRD tersebut, secara rinci pendapatan mereka diperoleh dari beberapa item sebagai berikut per bulan.

  1. Gaji pokok DPRD Kabupaten sebesar Rp 2.100.000.
  2. Uang Representasi DPRD Kabupaten sebesar Rp 1.575.000.
  3. Uang Paket DPRD Kabupaten sebesar Rp 157.000.
  4. Tunjangan Jabatan DPRD Kabupaten sebesar Rp 2.283.750.
  5. Tunjangan Keluarga DPRD Kabupaten sebesar Rp 220.000.
  6. Tunjangan Transportasi DPRD Kabupaten Rp 12.000.000.
  7. Tunjangan Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten Rp 91.350.
  8. Tunjangan Beras DPRD Kabupaten sebesar Rp 289.000 .
  9. Tunjangan Reses DPRD Kabupaten sebesar Rp 2.625.000.
  10. Tunjangan Perumahan DPRD Kabupaten adalah Rp 12.000.000.
  11. Tunjangan Komunikasi Intensif DPRD Kabupaten sebesar Rp 10.500.000.

Silahkan dihitung sendiri berapa totalnya perbulan. Dengan perbandingan tersebut anehnya justru tidak menjadi cermin bagi para birokrat. Melainkan justru membuat peraturan dan kebijakan seenak udelnya sendiri. Undang-undang Omnibus Law misalnya yang justru banyak melahirkan kerugian-kerugian bagi para pekerja. Dan lagi tidak adanya payung hukum yang tetap pada pekerja harian lepas seperti kuli bangunan, ojol dan lain-lain.

Para birokrat yang dengan pede menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Dan dipilih oleh rakyat melalui bilik suara. Nampaknya justru sangat senang dan bernafsu melihat rakyatnya kelaparan, kekurangan, dan banyak hutang. Ini terbukti dengan banyak diterbitkannya undang-undang dan peraturan yang syarat dengan kepentingan bisnis para pemodal. Yang secara jelas mengesampingkan nilai moral dan sosial. Dengan dalih keamanan investasi, namun secara perlahan rakyatnya di “mutilasi”.

 


Gambar: https://konstruksimedia.co.id

Tinggalkan Balasan