Konsep Sosialisme Marx (Bagian I)

Peter Hudis

Anggota International Marxist-Humanist (imhojournal.org). Profesor filafat di Fakultas Filsafat dan Humaniora Oakton Community College, Illinois. Banyak menulis teori Marxis dan politik kontemporer. General Editor The Complete Works of Rosa Luxemburg (tiga volume telah muncul sejauh ini). Bisa dihubungi di phudis@oakton.edu.

Meskipun karya Marx terus memberi pengaruh sangat besar terhadap perdebatan mengenai watak kapitalisme, ada satu dimensi kerangka berpikirnya yang paling jarang diteorikan yaitu perihal konsepsinya tentang bentuk masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme. Meskipun Marx tidak pernah memfokuskan diri membuat karya khusus yang membahas kehidupan setelah kapitalisme, sebagian besar karena keengganannya terlibat dalam refleksi utopis dan spekulatif soal masa depan, kritiknya secara khusus perihal pusat realitas kapitalismeseperti karakter ganda dari kerja, waktu kerja yang diperlukan secara sosial, serta hukum soal nilai dan nilai lebihmengisyaratkan suatu bentuk relasi sosial di masa depan yang jauh lebih membebaskan daripada yang disadari secara umum.

Berbagai perdebatan dan diskusi sejak 2018 lalu yang mengiringi perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx telah menyediakan kesempatan berharga bagi pengujian kembali terhadap berbagai aspek politik dan filosofis dari peninggalan Marx yang sebelumnya terbengkalai. Yang paling utama di antaranya ialah sejauh mana kerangka berpikir Marx memberikan sumber daya konseptual untuk mengembangkan energi emansipatoris yang layak menghadapi kapitalisme di abad 21.

Kebutuhan suatu alternatif menjadi semakin jelas. Komodifikasi kapitalisme terhadap hubungan antar manusia menghasilkan kecemasan dan penderitaan sosial pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan pada saat yang sama pengerusakan terhadap alam memunculkan pertanyaan serius soal keberlanjutan kehidupan di planet ini. Meskipun demikian, alternatif yang cocok tetap belum tampak. Salah satu sebabnya adalah watak dari kapitalisme, yang berpusat pada memperbanyak nilai ekonomi dan keuntungan dengan mengkomodifikasi semakin banyak area-area kehidupan, sebagaimana hubungan antar manusia semakin menjadi hubungan antar benda. Inversi ini terlihat normal dan bahkan natural. Kapital tidak hanya menjajah bangsa, sumber daya ekonomi, dan ruang sosial, tetapi juga imajinasi manusia sejauh ia menampilkan diri sebagai ne plus ultra (puncak tertinggi) kehidupan manusia. Pada saat yang sama, ada alasan lain (yang tidak kalah penting) mengapa sulit mengembangkan sebuah alternatif yang layak, yakni kegagalan dari rezim yang disebut “sosialis” atau “komunis”.

Demokrasi sosial, meskipun kadang memperkenalkan beberapa reformasi yang berharga, sama sekali gagal mengajukan sebuah alternatif terhadap kapitalisme; penyerahan pada neoliberalisme membuatnya terdiskreditkan dan memberi ruang bagi kebangkitan kembali nasionalisme dan rasisme xenophobia. Negara Marxist-Leninist yang dianggap “sosialis”, meskipun terbebas dari imperialisme, terbukti gagal; mereka menggantikan “anarki pasar” dengan ekonomi komando negara, sehingga menghasilkan rezim represif yang merangkul kapitalisme ketika ketidakmampuannya semakin nyata.

Persoalan kita hari ini adalah bahwa ide sosialisme dan komunisme yang sudah lama disuarakan terbukti belum cukup. Tidak ada visi alternatif sebagai aspirasi massa rakyat yang dikembangkan sebagai pengganti.

Masyarakat Pasca-Kapitalis

Lalu, bagaimana untuk memulainya kembali? Jawabannya, menurut pandangan saya, ialah dengan melihat visi masyarakat pasca-kapitalis yang mengalir dari kritik Marx terhadap kapital. Hal ini mungkin terlihat kontra-intuitif, karena Marx sangat dikenal menahan diri dari spekulasi tentang masa depan. Dia menentang penulisan blueprint masyarakat baru dan secara tegas menentang kaum sosialis utopis karena melakukannya. Lebih lanjut, Marx tidak pernah menulis sebuah karya atau bahkan satu artikel pun tentang sosialisme atau komunisme. Lantas, mengapa kita meninjau Marx untuk merespons keresahan kita?

Alasannya karena kritik kapitalisme Marx–yang sepenuhnya dikembangkan di dalam tiga volume buku Capital–bukanlah sebuah kritik empiris terhadap suatu sistem ekonomi; melainkan sebuah kritik sistematis terhadap hukum gerak yang mengaturnya. Capital sering disebut sebagai suatu teori perkembangan kapitalis. Namun, pada kenyataannya, Capital menggambarkan proses penghancuran kapitalisme, yang pada akhirnya menggagalkan perkembangannya. Analisis Marx terhadap hukum gerak kapital menunjukkan bahwa “di bawah hukuman mati,” sistem harus memberi jalan bagi bentuk organisasi sosial yang lebih tinggi—sosialisme atau komunisme (kedua istilah ini di dalam karya Marx dapat dipertukarkan dan keduanya tidak menandakan periode historis yang berbeda). Maka, seharusnya tidak mengherankan jika pembahasan penting soal dasar masyarakat pasca-kapitalis muncul di berbagai tulisan Marx, termasuk dalam teks Capital itu sendiri.

Fakta bahwa visi positif tentang masa depan diisyaratkan oleh kritik negatif terhadap fenomena sosial yang ada seharusnya tidak mengejutkan kita, sebab hal itu merupakan bagian integral dari analisis dialektika (bukan analisis empiris semata). Seperti sudah ditulis Hegel, orang yang dianggap Marx sebagai gurunya, bahwa “Agar batasan yang diberlakukan terhadap sesuatu secara umum juga dapat menjadi pembatas, sesuatu harus melampaui dirinya sendiri melebihi batasan; ia harus, mengacu pada dirinya (dan) menghubungkan dirinya pada sesuatu sebagai sesuatu yang bukan dirinya” (Hegel, 1929: 144). Dengan kata lain, tidak mungkin memahami suatu objek secara total hanya dengan menjelaskannya; untuk dapat betul-betul memahaminya ialah dengan memahami bagaimana proses ia menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang dicapai Marx selama 40 tahun berusaha memahami logika kapital, itulah sebabnya ia tidak dapat menghindar dari memberikan isyarat tentang kehidupan setelah kapitalisme—bahkan saat ia sedang menahan diri dari spekulasi utopis-abstrak. Herbert Marcuse secara cemerlang menangkap hal ini, yang ditulis dalam kata pengantarnya untuk buku Raya Dunayevskaya yang berjudul “Marxism and Freedom” (1958):

Teori Marxian tidak menjelaskan dan menganalisis ekonomi kapitalis ‘di dalam dirinya dan untuk dirinya’ tetapi menjelaskan dan menganalisisnya dari segi yang lain dari dirinya–dalam hubungannya dengan kemungkinan historis yang menjadi tujuan dari tindakan yang realistis. (Marcuse, 2000: xxii)

Seperti sudah saya jelaskan di tempat lain, referensi sebuah masyarakat sosialis di masa depan dapat ditemukan di berbagai karya Marx (Hudis, 2016). Berbagai referensi tersebut muncul di berbagai surat, draf tulisan, kutipan buku catatan, dan khususnya pada polemik antara Marx dengan pemikir radikal pada masa itu, seperti Pierre-Joseph Proudhon, Ferdinand Lassalle, dan Mikhail Bakunin, yang Marx lihat sebagai para pemikir yang gagal paham soal sosialisme. Di sini, saya akan fokus pada berbagai tulisannya tentang ekonomi politik, karena inilah yang akan menyingkap konsepnya yang khas tentang masyarakat pasca-kapitalis. Maksudnya bukan dengan menyoroti satu frasa ke frasa lain dari Marx lalu menyusun teori sosialisme dari situ. Yang hendak didiskusikan adalah konsepsi sosialismenya yang secara logis mengikuti kritiknya terhadap kapitalisme. Bahkan jika Marx tak pernah menulis satu kata pun tentang pasca-kapitalisme, ini tidak akan mengurangi pentingnya meninjau konsep sosialisme yang diisyaratkan dari berbagai karyanya.

Konsepsi Demokratis Masyarakat Baru

Sebelum beralih ke tulisan-tulisan Marx, kita perlu memperhatikan pembeda radikal antara posisi Marx dari Marxisme ortodoks. Marx tidak pernah membayangkan sosialisme atau komunisme sebagai kontrol negara terhadap ekonomi. Dia juga tidak pernah menyokong gagasan negara satu partai yang memerintah atas nama massa. Konsepsinya tentang masyarakat baru sepenuhnya demokratis, yang didasarkan pada hubungan bebas dalam produksi dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Ia memberi prioritas pada pembebasan individu dari alienasi dan relasi sosial tak manusiawi—tak sesederhana dengan meningkatkan kekuatan produktif sehingga masyarakat yang berkembang dapat mengejar mereka yang telah maju. Puing-puing yang menimbun warisan Marx, baik oleh para pengkritik maupun para pengikutnya, membuat makin sulit memahami konsep Marx tentang masyarakat baru.

Marx tentu saja tidak mencipta konsep sosialisme atau komunisme. Di saat talak dengan masyarakat borjuis dan menjadi revolusioner pada pertengahan 1840an, ia bergabung dalam gerakan sosialis yang sudah ada jauh sebelumnya. Gerakan ini muncul pada era dimana pasar kapitalisme sangat kompetitif dan tidak teratur. Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan pemikir dan aktivis anti-kapitalis memandang kepemilikan privat atas alat-alat produksi sebagai fitur penentu yang perlu untuk diatasi melalui nasionalisasi atau kolektivisasi atas properti yang dimiliki secara privat. Bahkan banyak anarkis, yang menentang pendekatan statist (kenegaraan) sosialis mainstream, yang cenderung juga menganggap bahwa kepemilikan kolektif atau kooperatif tidak kompatibel dengan relasi sosial kapitalis.

Identifikasi “sosialisme” atau “komunisme” dengan bentuk kepemilikan negara dan/atau komunal ini telah berlaku sejak saat itu—bahkan ketika kapitalisme (di berbagai waktu dan tempat) lebih diatur dan bergantung pada kontrol negara. Beberapa teoritikus International Kedua atau Ketiga susah payah banyak berbicara soal masyarakat pasca-kapitalis karena dianggap wajar lantaran sifat dasarnya telah diketahui. Mengapa berspekulasi mengenai poin-poin penting tentang bagaimana mengorganisir masyarakat masa depan saat realitas menunjukkan kapitalisme sedang menuju ajalnya dengan dihapusnya pasar bebas dan kepemilikan privat? Kapitalisme memasuki dunia non-Barat secara masif melalui kekuatan imperialis yang bertindak atas nama bisnis privat. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa alternatif terhadap kapitalisme berpusat pada penggantian kepemilikan privat dan “anarki pasar” dengan produksi yang direncanakan.

Tentu saja, para teoritikus “Marxisme klasik” terkemuka–Karl Kautsky, V. I. Lenin, dan Rosa Luxemburg–tahu benar bahwa kapitalisme didefinisikan sebagai moda produksi tertentu. Meski demikian, mereka cenderung berasumsi bahwa penghapusan pasar anarkis dan bentuk-bentuk properti (kepemilikan) akan menggiring pada pelampuan atas kapitalisme. Sangat sedikit yang mengantisipasi bahwa suatu bentuk baru dominasi kelas dapat datang dari revolusi ‘sosialis’. Bentuk pasar yang diregulasi dan bentuk properti (kepemilikan) kolektif tidak hanya cocok dengan kapitalisme, tetapi bahkan mungkin diperlukan dalam konteks tertentu agar hubungan produksi kapitalis muncul dalam masyarakat tertentu, yang pada umumnya tidak terpikirkan oleh mereka.

Keadaan mulai berubah saat Revolusi Rusia 1917 diubah menjadi sebaliknya di bawah Joseph Stalin. Deklarasinya (pada tahun 1936) menyatakan bahwa sosialisme telah “diterima tanpa bisa diganggu gugat” (irrevocably established) melaui nasionalisasi kepemilikan di bawah Rencana Lima Tahun Pertama, bahkan ketika jutaan orang tewas di kamp kerja paksa dan puluhan juta lebih mengalami kontrol sosial dan politik totalitarian pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menyebabkan sejumlah kecil teoritikus radikal mempertanyakan premis-premis yang sebagian besar telah mempengaruhi gerakan-gerakan sosialis dan komunis waktu itu. Kelompok-kelompok seperti Johnson Forest Tendency di Amerika Serikat (dipimpin oleh C. L. R. James dan Raya Dunayevskaya), Socialisme ou Barbarie di Prancis (dipimpin oleh Cornelius Castoriadis dan Claude Lefort), serta kelompok-kelompok otonomis di Italia, Amerika Latin dan di tempat lain, berpendapat bahwa bentuk-bentuk properti (kepemilikan) tidak menentukan moda produksi; malahan moda produksi lah yang menentukan bentuk-bentuk properti (kepemilikan). Mengubah yang terakhir tanpa mengubah yang pertama hanya mengarah pada varian lain dari kapitalisme: kapitalisme negara. Marx menyatakan di dalam Capital Volume I bahwa dasar masyarakat kapitalis tak berubah bahkan jika seluruh kapital sosial dikonsentrasikan ke tangan entitas tunggal. Ini menandai awal dari serangkaian upaya puluhan tahun oleh arus Marxis independen di Barat dan dunia non-Barat untuk menantang batas-batas mental yang telah menyebabkan begitu banyak orang menyamakan alternatif dengan kapitalisme baik dengan reformisme atau otoriterisme statisme.

Meskipun demikian, para Marxis independen tersebut tidak pernah memperoleh basis massa—ini paling tidak karena semua contoh keberhasilan para penentang kapitalisme dalam merebut kekuasaan dicapai dengan menganut pandangan bahwa nasionalisasi properti (kepemilikan) serta perencanaan terpusat sama dengan sosialisme. Namun, kita sekarang menghadapi sebuah realitas baru. Kegagalan “demokrasi rakyat” untuk mengarahkan jalan yang berdikari dari kapitalisme telah melempar pendapat tradisional dari sosialisme ke dalam krisis. Klaim bahwa “tidak ada alternatif terhadap kapitalisme” kembali mendapatkan tempat. Tetapi, sejarah tidak memasuki pintu akhir karena beberapa orang memiliki pemahaman cacat tentang masyarakat baru. Semangat serta kekuatan baru demi pembebasan terus-menerus muncul, sebagaimana yang terlihat di dalam gerakan-gerakan baru belakangan ini oleh kaum perempuan, minoritas bangsa dan minoritas ras, petani, gay dan lesbian, serta transgender. Banyak di antara para aktivis generasi baru ini mencapai suatu visi masyarakat baru yang melampaui kapitalisme saat ini dan rezim masa lalu yang katanya “sosialis” dan “komunis.” Walaupun demikian, tekanan masa lalu (dead hand of the past) terus mempengaruhi kehidupan saat ini. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya orang yang menyamakan sosialisme dengan kontrol negara atau kontrol kolektif terhadap ekonomi, bahkan saat mereka mencari sumber konseptual baru untuk menempa alternatif baru sosialis dalam menghadapi ancaman kapitalisme terhadap kehidupan sosial dan alami kita.

Oleh karena itu, momen historis saat ini menyediakan ruang menguntungkan untuk memahami konsep sosialisme Marx yang tidak tersedia bagi generasi sebelumnya.

Alternatif terhadap Kapitalisme

Tidak lama setelah Marx memasuki komunisme pada akhir 1843, dia berdebat sengit dengan tendensi radikal lain dalam memahami alternatif dari kapitalisme. Seperti kawan revolusionernya yang lain, Marx tegas menentang kepemilikan privat alat produksi. Tetapi seperti yang tertera di dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, dia tidak sependapat dengan para “komunis mentah” (crude communists) yang menganggap bahwa mengganti properti (kepemilikan) privat dengan properti (kepemilikan) kolektif akan menjamin penghapusan kapitalisme. Marx berpendapat bahwa negasi atas properti (kepemilikan) privat hanyalah yang pertama, atau hanya negasi sebagian, yang tidak mengarah kepada isu esensial—transformasi kondisi kerja. Marx merujuk komunisme mentah sebagai “negasi abstrak atas seluruh dunia budaya dan peradaban” (MECW 3:295) di mana kerja yang teralienasi “tidak dilenyapkan, tetapi menyeluruh ke semua orang” (MECW 3:294). Hal itu akan membawa kepada suatu masyarakat yang disebut Marx, “komunitas (merupakan) kapitalis universal” (MECW 3:295). Suatu “tindakan penyetaraan dari sebuah prasangka minimum” tidak akan melampaui kapitalisme, tetapi malah mereproduksinya dengan nama berbeda. Ekspresi penuh dari sistem seperti itu ialah “seorang perempuan menjadi bagian komunal dan properti bersama (common property)” (MECW 3:294).

Statemen Marx bahwa fiksasi terhadap perubahan bentuk kepemilikan dengan mengorbankan transformasi kondisi kerja mengarah pada “komunitas (sebagai) kapitalis universal” (MECW 3:295) merupakan antisipasi luar biasa dari perkembangan yang terjadi pada abad ke 20. Pernyataan itu juga berimplikasi bahwa penghapusan kapitalis belum tentu berarti penghapusan kapitalisme. Properti (kepemilikan) kolektif, seperti halnya properti (kepemilikan) privat, juga dapat berfungsi sebagai alat dominasi, apabila kondisi kehidupan dan kerja yang teralienasi tetap utuh.

Marx tentu saja mendukung kepemilikan kolektif atas sarana produksi. Tetapi, yang dia maksud bukanlah semata-mata mengalihkan akta kepemilikan dari entitas privat ke entitas kolektif, melainkan memastikan bahwa kelas pekerja memiliki dan mengontrol alat produksi. Marx memperjelas ini di dalam tulisannya, “ketika berbicara soal kepemilikan privat, berarti berurusan dengan sesuatu yang berada di luar manusia. Ketika berbicara soal kerja, berarti berurusan secara langsung dengan manusia itu sendiri. Formulasi baru pertanyaan ini telah mengandung solusinya sendiri” (MECW 6:281). Penghapusan properti (kepemilikan) privat merupakan langkah menuju pembebasan sejauh ia mengarah pada transformasi hubungan sosial pada poin produksi.

Hal ini lebih lanjut digarisbawahi oleh pernyataan Marx, “Properti (kepemilikan) privat, dengan demikian, merupakan produk, hasil, atau konsekuensi penting dari kerja yang teralienasi” (MECW 3:279). Mungkin Marx terlihat menyajikannya terbalik: bukankah properti (kepemilikan) privat atas sarana produksi menyebabkan pekerja teralienasi dari pekerjaan mereka? Tetapi, maksud Marx ialah selama pekerja teralienasi dari kerjanya, sekelompok alien atau kelas harus hadir untuk mendorong mereka bekerja. Properti (kepemilikan) privat dalam arti properti (kepemilikan) kelas—kelas selain pekerja yang mengontrol sarana produksi—akan terus ada selama kerja yang teralienasi ada.

Penekanan pada prioritas relasi sosial produksi di atas bentuk properti (kepemilikan) dibawa ke semua karya Marx selanjutnya, khususnya Capital. Di sini, Marx mengulangi kritiknya terhadap gagasan bahwa properti (kepemilikan) kolektif atau negara merepresentasikan suatu masyarakat baru:

Kapital … kini memperoleh bentuk kapital sosial … berlawanan dengan kapital privat, dan perusahaan-perusahaannya tampil sebagai perusahaan sosial yang berlawanan dengan perusahaan swasta. Inilah penghapusan kapital sebagai milik privat di dalam batas-batas moda produksi kapitalis itu sendiri. (Marx 1981:567)

Banyaknya jumlah draf serta teks Capital, yang dikembangkan selama lebih dari tiga dekade secara teoritis dan intensif, menandai kritik atas logika kapital paling sistematis yang ia lakukan. Ia juga menyediakan petunjuk serta saran penting mengenai masyarakat pasca-kapitalis. Capital menembus permukaan masyarakat dimana bentuk properti (kepemilikan), relasi pertukaran, dan struktur politik menjadi lazim. Analisisnya menjangkau lebih dalam, dengan menentang terhadap hal-hal yang memungkinkannya ada. Kritiknya terhadap ekonomi dan politik kapitalis sukar dipahami (transcendental), sejauh itu menggambarkan kondisi terhadap kemungkinan dari seperangkat fenomena tertentu.

Inilah yang membuat Capital menjadi karya sulit dan mudah disalahtafsirkan, apalagi menilai sesuatu berdasarkan permukaan selalu “masuk akal” bagi mereka yang enggan menganalisis secara kritis. Marx sadar betul begitu mudahnya terjerat pada bentuk tampilan fenomenal yang dangkal, bahkan bagi para pengkritik kapitalisme sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Marx meyakini bahwa diperlukan “kemampuan abstraksi” untuk memahami hukum gerak kapital. Maksudnya ialah mengabstraksi dari faktor-faktor sekunder atau tersier yang mengaburkan pemahaman terhadap objek investigasi. Karena itu, Marx mengawali Capital dengan bab sulit soal bentuk komoditas, dimana ia melukiskan logika abstrak kapital.

Nilai yang Memperbanyak Dirinya

Dimulai dengan Bab 1, dan berlanjut hingga akhir buku, Marx memperlihatkan bahwa kapital merupakan nilai yang memperbanyak dirinya (self-expanding value), dan fitur penentu dari kapitalisme ialah bahwa kerja mengasumsikan suatu bentuk-nilai. Nilai, atau kekayaan yang diukur dalam uang, adalah produk dari suatu bentuk spesifik kerja–kerja abstrak atau homogen. Nilai suatu komoditas tidak ditentukan oleh jumlah waktu aktual yang dihabiskan untuk memproduksinya, tetapi oleh waktu kerja perlu secara sosial yang ditetapkan pada level global. Rata-rata waktu kerja perlu secara sosial bervariasi secara terus-menerus dikarenakan inovasi-inovasi teknologi yang meningkatkan produktivitas kerja. Kerja konkret—aneka jenis dari kerja yang digunakan dalam pembuatan nilai guna—semakin didominasi oleh kerja abstrak, yang merupakan substansi dari nilai. Nilai mungkin merupakan kategori yang agak abstrak, namun ia sangat tergantung dari aktivitas manusia yang paling nyata: kerja dibatasi oleh determinasi waktu abstrak di luar kendali pekerja. Inilah yang menjadi basis eksploitasi kelas kapitalis, penghancurannya terhadap alam, serta depersonalisasinya terhadap hubungan manusia.

Seperti yang beberapa kali dituliskan oleh Marx, kategori-kategori teori nilai yang digunakan di dalam Bab 1 Capital hanya terkait dengan kapitalisme. Produksi demi menambah kekayaan dalam bentuk moneter bukanlah suatu realitas transhistoris. Tentu saja, kegiatan pertukaran yang berdasarkan kepada nilai tukar sudah ada sebelum kapitalisme. Akan tetapi, hal ini terbatas pada masyarakat perbatasan, di zona-zona pertukaran antara komunitas-komunitas. Masyarakat kuno atau abad pertengahan tidak ditentukan oleh dorongan untuk menambah nilai tukar sebagai tujuan satu-satunya. Tidak juga oleh tenaga kerja sebagai komoditas. Kerja upahan yang diperluas hanya muncul di saat para produsen dipisahkan dari kondisi-kondisi objektif produksi (seperti tanah) dan kehilangan segala sarana penghidupannya kecuali kapasitas kerja yang mereka jual. Tidak satu pun kondisi ini berlaku secara luas sebelum kapitalisme, yang berarti bahwa mereka tidak mengenal pemisahan antara kerja konkret dan kerja abstrak. Dan karena kerja abstrak yang merupakan substansi dari nilai tidak dikenal, maka produksi demi memperbanyak nilai pun juga tidak dikenal. Para pekerja, tentunya, juga mengalami eksploitasi sebelum kapitalisme; mereka mengalami dominasi personal secara langsung. Tetapi, ini merupakan dunia yang dihilangkan dari kapitalisme, di mana impersonal, bentuk abstrak dari dominasi—seperti waktu kerja yang diperlukan secara sosial—merupakan bentuk utama dari kontrol.

Karena alasan ini, masyarakat kuno memandang perdagangan retail, perdagangan skala besar (commerce), dan riba sebagai sesuatu yang “tidak natural.” Dari pandangan mereka, hal-hal tersebut merupakan peyimpangan eksternal atas eksistensi sosial ketimbang sebagai hukum operatifnya. Pemisahan para produsen dari kondisi-kondisi objektif produksi serta komodifikasi tenaga kerja belumlah muncul. Sebaliknya, dalam kapitalisme, bahkan para pemikir terbesar sekalipun cenderung melihat produksi demi memperbanyak nilai sebagai sesuatu yang natural, sebab itulah hukum operatif masyarakat. Naturalisasi terhadap konstruksi sosial ini tercermin dalam pandangan luas bahwa nilai produksi mencirikan seluruh sejarah manusia. Namun, hukum nilai merupakan suatu kesatuan produk dari sebuah bentuk kerja sosial yang ganjil—kerja abstrak atau kerja yang teralienasi. Sekali yang terakhir diatasi, hukum nilai dilenyapkan; jika hukum nilai tetap ada, kapitalisme tetap hidup, terlepas dari nama apapun yang diberikan kepada sistem tersebut.

Marx bersentuhan langsung dengan kebingungan mental akibat produksi nilai dalam satu bab Capital yang terkenal, “The Fetishism of the Commodity and its Secret”. Beragam produk kerja dapat dipertukarkan secara universal satu sama lain apabila memiliki kualitas yang sama. Kualitas pada umumnya dilihat akan menentukan nilainya. Akan tetapi, sebagaimana yang ditulis Marx (1977:167), “Nilai tidak memiliki cap deskripsi di bagian depan; melainkan mengubah setiap produk kerja menjadi sebuah hieroglif (sistem tulisan masa Mesir kuno) sosial.” Karena nilai hanya dapat menampilkan dirinya di dalam hubungan fisik atau entitas material, tampaknya yang memungkinkan produk dapat ditukarkan ialah properti natural dari barang itu sendiri, bukan bentuk kerja yang spesifik secara historis. Kapitalisme harus tampil alamiah dan tanpa henti, karena ia merupakan sistem produksi nilai. Marx (1977:169) mengatakan bahwa kendala mental ini hanya akan berakhir ketika kita bertemu dengan “bentuk produksi lain.” Marx awalnya beralih ke masa lalu dengan mensurvei bentuk ekonomi pra-kapitalis di mana kepemilikan bersama atas sarana produksi berlaku. Hubungan ketergantungan perorangan mendominasi, “tidak perlu mengambil bentuk yang fantastis dari kerja beserta produk kerja yang berbeda dari kenyatannya” (Marx 1977:170). Tidak ada medium abstrak seperti nilai tukar yang memperantarai hubungan manusia. Marx kemudian beralih ke masa depan. Dia menulis: “Mari kita akhirnya membayangkan perkumpulan orang-orang bebas bekerja dengan sarana produksi yang dimiliki bersama” (Marx 1977:171). Apa yang dikatakan Marx ini bukan mengenai peralihan formal atas kepemilikan privat ke entitas-entitas kolektif atau negara. Peralihan akta kepemilikan menyangkut relasi yuridis, yang tidak mengakhiri dominasi kelas. Marx mengacu kepada “orang-orang bebas” yang memiliki sarana produksi, yang berarti mereka mengusahakannya secara efektif dan bukan hanya kontrol nominal atas proses kerja (labour process). Dan ini tidak mungkin, kecuali para produsen mengontrol proses kerja secara demokratis melalui aktivitas mereka sendiri.

Marx kemudian mengatakan bahwa dalam masyarakat pasca-kapitalis ini, produk “secara langsung merupakan objek kegunaan” dan tidak mengambil bentuk nilai. Nilai tukar serta komoditas yang diuniversalkan menjadi hilang. Para produsen yang menentukan cara produksi, distribusi, dan konsumsi atas total produk sosial. Sebagian digunakan untuk memperbarui sarana produksi; sementara yang lain “dikonsumsi oleh anggota-anggota kelompok sebagai sarana subsistensi” (Marx 1977:171-72). Marx meminta agar baik pasar maupun negara tidak berperan sebagai medium di saat hal ini telah tercapai. Sebaliknya, ia membayangkan suatu distribusi waktu kerja terencana kepada individu-individu yang tidak lagi menjadi subjek dari waktu kerja yang diperlukan secara sosial. Kerja abstrak dihapuskan, karena waktu kerja aktual lah—bukan waktu kerja yang diperlukan secara sosial—yang berfungsi sebagai ukuran dalam hubungan sosial. Mendistrbusikan faktor-faktor produksi berdasarkan waktu kerja aktual merupakan pemutusan radikal terhadap kapitalisme, sebab ia menandakan penghapusan atas bentuk yang ganjil dari kerja: kerja abstrak. Bentuk pengorganisasian waktu inilah yang menjadi inti konsep komunisme Marx dan merupakan dasar dari diskusinya tentang masyarakat baru dalam karya-karyanya yang lain.

Pembedaan antara waktu kerja aktual dengan waktu kerja yang diperlukan secara sosial sangat penting, karena menggabungkan keduanya menjadi satu dapat menyebabkan kekeliruan pandangan—yang sama-sama dialami oleh para sosialis pasar dan sosialis negara–bahwa waktu kerja yang diperlukan secara sosial adalah bagian tak terelakkan dari dan selalu menjadi bagian dari eksistensi manusia. Jika memang demikian, maka kerja abstrak, dengan segala karakteristiknya yang mengalienasi dan tidak manusiawi, akan selalu ada. Masyarakat “baru” akhirnya menjadi ditentukan oleh prinsip-prinsip yang mengatur masyarakat lama.

Sebaliknya, Marx berulang kali menekankan bahwa dalam sosialisme atau komunisme, waktu kerja yang diperlukan secara sosial dihapuskan. Waktu tidak lagi menghadang bagi pekerja untuk menjadi utuh; sebaliknya, waktu menjadi ruang bagi perkembangan manusia. Dia menuliskan di Capital Volume II,

Dengan produksi secara kolektif, kapital uang sepenuhnya disingkirkan. Masyarakat mendistribusikan tenaga kerja dan sarana-sarana produksi di antara berbagai cabang industri. Tidak ada alasan yang membuat para produsen tidak boleh menerima token-token kertas (paper tokens) yang memungkinkan mereka untuk menarik sejumlah tertentu dari simpanan konsumsi sosial yang sesuai dengan waktu kerjanya. Namun, token-token ini bukanlah uang; mereka tidak bersirkulasi. (Marx 1978:434)

Lalu pada draf-draf awal Capital, Marx menulis bahwa di dalam sosialisme atau komunisme,

Karakter produksi komunal sejak awal akan membuat produk tersebut menjadi produk komunal, produk umum. Pertukaran yang awalnya terjadi dalam produksi, yang tidak akan menjadi pertukaran nilai tukar tetapi kegiatan yang ditentukan oleh kebutuhan komunal dan tujuan komunal, akan mencakup sejak awal partisipasi individu dalam dunia produk komunal, … pekerja akan ditempatkan sebagai pekerja umum sebelum pertukaran, yaitu, pertukaran produk tidak akan dilakukan dengan cara menjadikan apapun sebagai perantara yang memediasi partisipasi individu dalam produksi umum. Mediasi tentu saja harus dilakukan. (MECW 28:108)

Aspek-aspek penting dari pandangan Marx soal alternatif kapitalisme juga dapat ditemukan dalam Capital Volume III. Objek kritiknya merupakan fenomena permukaan yang menggerakkan kapitalisme modern, seperti harga, kredit, kapital finansial, dan sebagainya. Akan tetapi, dia tidak menganalisis berbagai fenomena itu dan fenomena lain terkait dasar hukum permintaan dan penawaran. Dalam membahas kecenderungan kapitalisme terhadap krisis, Marx berargumen bahwa krisis tersebut merupakan akibat dari tendensi menurunnya tingkat laba. Ini berdasarkan prinsip Marx bahwa yang mengatur kapitalisme bukanlah kebutuhan terhadap pembayaran dari konsumen, tetapi dorongan untuk meningkatkan profit. Agaknya terlihat di awal bahwa perbedaan antara pendekatan Marx dengan underconsumptionism—yang menganggap bahwa kurangnya permintaan efektif menjadikan kapitalisme sistem penuh-krisis (crisis-ridden system) secara inheren—tidak ada hubungannya dengan alternatif terhadap kapitalisme. Tetapi, penampilan dapat menipu. Jika inti permasalahan kapitalisme ialah kurangnya daya beli para pekerja untuk menyerap kelebihan produk, maka permasalahan tersebut dapat diatasi dengan meredistribusi pendapatan secara adil. Bagi para Demokrat Sosial, jalan untuk mencapainya ialah melalui cara damai parlementer; bagi para Marxis-Leninis, melalui jalan keras perebutan kekuasaan oleh para revolusioner profesional. Kebijakan keduanya didasarkan pada pendekatan-pendekatan underconsumptionist yang tidak jauh-jauh dari menyokong redistribusi “adil” pendapatan yang dilandaskan kepada nasionalisasi kepemilikan privat. Kebutuhan untuk menghapus kerja yang dialienasi, nilai tukar, serta negara dikesampingkan. Hasil akhirnya adalah para sosialis dan komunis yang berada di tampuk kekuasaan terlihat mengerikan layaknya kapitalisme, dimana mereka mengklaim telah menggantinya.

Bersambung ke Bagian II

Daftar Pustaka

Hegel, G W F (1929): Science of Logic Vol 1, Trans W H Johnston and L G Struthers, New York: The MacMillan Company.

Hudis, Peter (2016): Marx’s Concept of the Alternative to Capitalism, Delhi: Aakar Books.

Marcuse, Herbert (2000): Preface to Raya Dunayevskaya, Marxism and Freedom, from 1779 until Today, Atlantic Highlands: Humanities Books.

Marx, Karl (1972): The Ethnological Notebooks, Lawrence Krader (ed), Assen: Van Gorcum.

— (1973): Grundrisse, Trans Martin Nicholaus, New York: Penguin Books.

— (1977): Capital Vol 1, Trans Ben Fowkes, New York: Penguin Books.

— (1978): Capital Vol 2, Trans David Fernbach, New York: Penguin Books.

— (1981): Capital Vol 3, Trans David Fernbach, New York: Penguin Books.

[MECW] Marx, Karl and Frederick Engels (1975–2004): Collected Works, Fifty Volumes, New York: International Publishers.

Sève, Lucien (2004): Penser avec Marx aujourd’hui: I Marx et nous, Paris: La Dispute.


Tulisan ini diterjemahkan Ahmad Gatra Nusantara dari Economic & Political Weekly atas seizin Peter Hudis yang dengan senang hati mempekenankan kami menerbitkannya dalam versi bahasa Indonesia.


Sumber gambar: https://rtuc.wordpress.com/2018/05/07/bicentenary-of-the-birth-of-karl-marx/

Tinggalkan Balasan