Kota Batu Darurat Sampah: Sebuah Kehancuran yang Direncanakan

Ahmad Adi Susilo 
Pegiat Sosial Malang Corruption Watch

 

Akhir Juli 2023, puluhan warga Desa Tlekung Kota Batu memblokade akses jalan masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Tlekung. Aksi ini dilakukan karena warga kesal dengan Pemerintah yang gagal untuk meminimalisir dampak pengelolaan sampah. Pasalnya, pihak Pemerintah Kota Batu berjanji akan segera memproses tumpukan sampah yang membawa dampak terhadap warga sekitar. Untuk merealisasi janji ini, Pemerintah Kota Batu akhir nya memutuskan menutup TPA dan mendorong masing-masing Kepala Desa dan Lurah untuk menginisiasi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu/ reduce, reuse, recycle (TPST3R). Upaya Pemkot ini bagi warga belum cukup optimal untuk memenuhi janjinya, faktanya, masalah lama tumpukan sampah belum selesai justru muncul masalah baru, banyak sampah yang akhirnya dibuang di area pemukiman. Saat ini Kota Batu memang menjadi kota darurat sampah, dimana-mana sampah berserakan dan masyarakat kebingungan dalam mengelolanya.

TPA Tlekung menjadi satu-satunya tempat pembuangan sampah di Kota Batu, TPA ini telah beroperasi sejak Juni 2009, menggantikan TPA sebelumnya yakni TPA Ngaglik yang sudah tidak dapat menampung sampah dan lokasinya yang sangat dekat dengan pemukiman. Akhirnya seluruh timbunan sampah yang ada di Kota Batu berakhir pada TPA Tlekung yang luasnya sekitar 6 hektar ini. Jika dilihat melalui masa waktu beroperasinya TPA, masa operasionalnya seharusnya telah habis di tahun 2017 atau sekitar 9 tahun sejak beroperasi pada 2009, namun nyatanya hingga kini terus beroperasi. Efek dari pemaksaan ini, kini TPA Tlekung mengalami overload, tumpukan sampah kisaran setinggi 30 meter, hingga berpotensi longsor yang akan menimpa pemukiman warga di dataran yang lebih rendah tatkala saat musim hujan.

Sejak awal operasional TPA ini dapat menampung sampah sebesar 84 Ton per hari. Namun, dengan semakin menggeliatnya ekonomi sektor industri wisata di Kota Batu, produksi sampah bisa mencapai 120 hingga 130 Ton per hari, khusus di akhir pekan mencapai 158 Ton per hari. Puncaknya terjadi saat momen libur hari raya tahun 2022, saat pembatasan sosial karena pandemi berakhir, volume sampah tembus hingga 794,18 ton[1]. TPA Tlekung yang mengalami overload telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Mulai dari bau tidak sedap yang mengganggu pernafasan, terutama saat musim hujan, lalat berterbangan yang mengganggu aktivitas warga. Tumpukan sampah juga menghasilkan gas metana yang berpotensi menimbulkan ancaman ledakan. Sumur warga juga terkontaminasi sampah yang meresap ke dalam tanah, saat hujan, cairan dalam sampah mengalir menuju sumber air dan menyebabkan air sumur menjadi tidak sehat. Pada intinya, semua dampak ini, warga di area pembuangan sampah menjadi paling dirugikan. Pertanyaannya, darimana sampah ini muncul? apakah sepenuhnya menjadi tanggung jawab semua warga, dengan asumsi semua warga juga menyumbang sampah?

Akibat Industri Pariwisata                            

Fenomena darurat sampah yang terjadi di Kota Batu adalah dampak nyata dari pembangunan yang menempatkan komoditas sebagai penghambaan satu-satunya. Tulisan sahabat saya, “Ruang Hidup Kota Batu dalam Cengkraman Kapitalisme”[2], sirkulasi komoditas dan uang yang terjadi di Kota Batu telah mendorong aktivasi ruang-ruang ekonomi melesat tak terkendali. Kondisi ini merubah ruang yang dulunya kawasan hutan atau pertanian, menjadi kawasan industri pariwisata yang mengakibatkan rusaknya fungsi ekosistem bahkan sosial. Transformasi tersebut selain terjadi karena memang direncanakan (misalnya dalam rencana pembangunan Kota Batu), juga pengaruh pesatnya arus investasi yang merampas tanah-tanah milik masyarakat. Akibatnya terjadi alienasi atau pengasingan manusia dari alam, gentrifikasi atau pengusiran, dan ketergantungan warga terhadap sistem ekonomi politik dimana tempat perampasan ruang masif terjadi. Perampasan ruang ini hakekatnya memiliki korelasi dengan masalah sampah yang terjadi.

Faktor yang mempengaruhi jumlah sampah di Kota Batu lebih diakibatkan oleh aktivitas dalam kota yang kental akan pembangunan, perdagangan, dan industri, yang dihasilkan melalui perampasan ruang. Geliat ekonomi yang meningkat berbanding lurus dengan volume sampah. Hal ini dapat dibuktikan saat pandemi Covid-19 berlangsung[3], Ketika penutupan tempat wisata dan penginapan dilakukan, volume sampah juga menurun. Lokasi-lokasi industri inilah yang menjadi penyumbang terbesar sampah di Kota Batu.

Data yang diambil sebelum pandemi, menurut Dinas Lingkungan Hidup (2019), perhitungan sampah setiap individu dalam sehari berbeda-beda. Untuk skala rumah tangga di Kecamatan Batu menghasilkan rata-rata 0,36 kg, Bumiaji 0,35 kg, Junrejo 0,40 kg. Seluruh sekolah di Kota Batu menghasilkan 1 ton sampah, perkantoran 11 ton, Pasar Besar Batu 5,5 ton, rumah makan atau restoran 1 ton, hotel 11 ton, dan tempat wisata serta industri 8 ton[4]. Ada 3 tempat penyumbang volume sampah terbesar, yakni perkantoran, rumah makan atau restoran, dan tempat wisata industri. Mayoritas sampah berasal dari area-area komersil. Ketiga tempat ini ada dan bertambah pesat sejalan dengan lanskap perubahan ruang di Kota Batu dari wilayah pertanian menjadi prioritas sektor industri pariwisata.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan luas lahan pertanian dari total 2. 373 hektar pada 2013 menjadi hanya 1.998 hektar pada 2020. Hasil analisis BPS tersebut menyebutkan bahwa penurunan luas lahan pertanian disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi perumahan atau bangunan lain. Data statistik juga menunjukkan tren kenaikan jumlah hotel di Kota Batu dengan peningkatan yang cukup drastis, dari 2016 berjumlah 550 hotel menjadi 1.005 pada 2021. Wilayah pusat kota yang dulunya sebagian besar merupakan lahan pertanian kian hilang terdesak pembangunan infrastruktur fisik.

Visi atau slogan Kota Batu “Desa Berdaya Kota Berjaya” tidak bisa terlepas dari tujuan mewujudkan profit dan fasilitas kota yang modern. Pemerintah daerah pun akhirnya lebih terlihat “mengobral” izin pembangunan kawasan kepada para pengembang properti. Selama proses pergeseran dalam kota ini, komoditas properti menjadi pilihan pemodal karena dapat mengeruk nilai potensial lahan secara maksimal di daerah yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pariwisata. Neil Smith (1979) menyebutnya sebagai “kesenjangan sewa”, melihat perubahan ruang sebagai efek kesenjangan harga lahan, yakni antara harga waktu itu dengan harga potensial bila lahan difungsikan. Harga potensial ini bisa dicapai dengan mengubah fungsi lahan menyesuaikan karakteristik ekonomi suatu wilayah (highest and best use).[5]

Daya jual utama pada sektor pariwisata Kota Batu secara umum dibagi menjadi dua, yakni wisata alam (misalnya: Gunung Panderman, Coban, dan wisata agro) dan wisata buatan (misalnya : Jatim Park, BNS, Alun-Alun, Museum Satwa, dan Museum Angkut). Dinamika ruang kota yang bergeser ke sektor pariwisata inilah yang akhirnya membuat beberapa proyek infrastruktur berupa akomodasi wisatawan menjadi primadona. Pembangunan tersebut biasanya tampak dalam wujud hotel, perumahan, vila, dan guest house. Alih fungsi dan alih kepemilikan atas lahan tersebut telah mendorong kota pada kehancuran tata ruang. Sementara problem sampah menjadi salah satu biaya sosial yang ditanggung oleh masyarakat Kota Batu bukan pelaku industri.

Bukan Semata Masalah Tata Kelola

Penangan masalah sampah yang hanya menyasar pada sistem tata kelola justru dapat menimbulkan masalah baru. Seolah-olah yang paling salah dan bertanggung jawab justru masyarakat sebagai konsumen komoditas tertentu. Masyarakat dituntut untuk kreatif melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Kadang kala dengan cara-cara represif, seperti pembentukan satuan tugas (satgas) pembuangan sampah liar, yang tidak segan menyangsi masyarakat saat kedapatan membuang sampah sembarangan. Cara seperti ini tidak menyasar akar masalah dan justru mengaburkan kenyataan bahwa pemodal adalah pihak yang diuntungkan atas masalah yang terjadi. Karena itu, selayaknya mereka yang menjadi pihak paling bertanggung jawab.

Pokok masalahnya yakni kebuntuan sistem ekonomi-politik yang terus menerus memproduksi komoditas, mengurangi waktu pakai, menimbulkan lebih banyak komoditas yang dibeli untuk menggantikannya. Komoditas lama lalu dibuang bergabung dengan sisa-sisa komoditas terdahulu di tempat pembuangan akhir. [6] Ini yang disebut Vance Packard (1960) sebagai ‘keusangan yang terencana’, kapitalisme telah membuat konsumen terbujuk untuk membeli, lalu tahun depan sengaja memperkenalkan produk baru yang membuat produk awal menjadi ketinggalan zaman.[7] Komoditas yang dikonsumsi berputar secara cepat dan harga yang cenderung semakin mahal.

Friedrich Engels dalam “Condition of the Working Class in England” (1844)[8] telah menuliskan terdapat kesadaran yang meluas tentang sisi beracun pembangunan kapitalis. Namun, para pekerja dan petani tidak menggunakan analisis Engels untuk menjelaskan limbah dari pabrik-pabrik serta ancaman dari penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Sampah yang menumpuk adalah penampakan riil dari masalah ini.

Bagi kapitalis, sampah dipandang sebagai ‘biaya eksternal’, biaya sosial yang harus ditanggung oleh konsumen. Perusahaan-perusahaan kapitalis menjarah alam untuk mendapatkan sumber daya, taksiran pembuangan sampah ini sebelumnya tidak dipertimbangkan sama sekali oleh neraca keuangan perusahaan.  Kehidupan sosial, yang dipenuhi dengan komodifikasi dan konsumerisme, tidak dapat dengan mudah beralih ke bentuk-bentuk baru. Lagam pendaur ulangan sampah sama halnya dengan perdebatan mengenai mitigasi iklim -orang miskin diminta untuk mengencangkan ikat pinggang mereka, sementara orang kaya terus memuntahkan karbon ke atmosfer. Narasi pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan hanyalah sloganistik usang yang perlu dibuang jauh-jauh.

Dari sini, problem sampah di Kota Batu akhirnya menjadi masalah yang sistemik, dimana daya akumulasi kapital bagi pelaku industri, sejalan dengan kerawanan bencana seperti salah satunya adalah sampah. Sayangnya, sejauh ini Pemerintah Kota Batu dalam mengatasi masalah ini, hanya menyasar aktivitas warga yang dianggap sembrono karena perilaku membuang sampah sembarangan.

 


Catatan Kaki

[1] https://suryamalang.tribunnews.com/2022/07/05/produksi-sampah-di-batu-meningkat-setiap-tahun-perluasan-tpa-tlekung-masih-proses

[2] Ruang Hidup Kota Batu dalam Cengkeraman Kapitalisme – IndoPROGRESS

[3] https://radarmalang.jawapos.com/kota-batu/811069318/ada-geliat-ekonomi-volume-sampah-di-kota-batu-terus-meningkat

[4] https://radarmalang.jawapos.com/kota-batu/811069318/ada-geliat-ekonomi-volume-sampah-di-kota-batu-terus-meningkat

[5] Neil Smith (1979) Toward a Theory of Gentrification A Back to the City Movement by Capital, not People, Journal of the American Planning Association, 45:4, 538-548, DOI: 10.1080/01944367908977002

[6] As the ocean waters rise, so do the islands of garbage: The Thirtieth Newsletter (2019), oleh Vijay Prashad, diterbitkan The Tricontinental

[7] Vance Packard, dalam buku The Waste Makers, diterbitkan D. McKay Company (1960)

[8] As the ocean waters rise, so do the islands of garbage | MR Online

Tinggalkan Balasan