Kritik atas Kritik: Kebuntuan Kaum Anarkisme dan Masa Depan Pendidikan Sosialis

Muhammad Ifan Fadillah

Kader HMI Komisariat Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar

 

Saat bersantai di ruangan teras rumah dengan tangan yang sedang menggenggam HP, saya dikejutkan dengan satu artikel yang dikirim seorang teman via sosial media. Artikelnya ditulis oleh Evan Adiananta (Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana | Evan Adiananta) secara singkat mengkritik konsep pendidikan yang ditawarkan Ben Laksana (Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (3): Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan – IndoPROGRESS) (suatu tawaran pendidikan demokratis yang radikal). Berangkat dari itu, tulisan ini digarap untuk merespon tulisan bung Evan dari segi penjabaran ideologi yang digunakan, anarkisme.  Berikut relasinya dengan pendidikan, sekaligus melihat kekurangan elaborasi tulisan bung Ben, yang seakan-akan ingin memisahkan demokrasi proletariat dengan pendidikan demokrasi radikal itu sendiri. Tulisan ini bukan sebagai dukungan untuk membantah argumentasi dari bung Evan ke bung Ben, tetapi yang ingin penulis lakukan adalah menunjukkan bahwa landasan gerak dengan teori anarkisme tidak bisa menjadi dasar konseptual-teoritis untuk perubahan sosial. Seperti yang dikatakan Molyneux “Peristiwa-peristiwa dan berbagai pengalaman pergerakan berbasiskan ide-ide anarkisme dalam seratus lima puluh tahun terakhir ini, tanpa ragu-ragu, saya katakan bukan merupakan ‘buku panduan’ yang berguna untuk mengubah dunia’’.

 

Kaum Anarkisme dan Problem Di Dalamnya

Sejatinya tulisan bung Evan adalah khas dalam analisa kaum anarkisme, dikatakan khas karena doktrin anarkisme menurut Molyneux mempunyai tiga hal umum yang saling berkaitan satu sama lain dan ketiganya ditolak oleh seluruh aliran anarkisme, ialah negara, kepemimpinan/bentuk hirarki, dan partai revolusioner. Konsep negara dan kepemimpinan/bentuk hirarki ditolak secara eksplisit dalam tulisan bung Evan sebagai upaya menjelaskan bahwa pendidikan yang sejati, adalah pendidikan anarkisme. Walaupun konsep yang ketiga, partai revolusioner, tidak dijelaskan secara langsung oleh bung Evan, penulis akan tetap menjelaskannya sebagai bentuk konkrit kritik atas penolakan pentingnya merebut negara dan tidak menolak kepemimpinan/bentuk hierarki. Singkatnya, partai revolusioner diperlukan untuk merebut negara dan membentuk hierarki yang didasarkan pada kepentingan massa kelas pekerja.  Untuk itu penulis akan membahas ketiga konsep tersebut yang ditolak oleh kaum anarkisme dan menunjukkan problem epistemik dan praktisnya.

 

Negara

Pertama, dalam membahas soal negara, bung Evan mengutip junjungannya atau lebih tepatnya junjungan kaum anarkis, Mikhail Bakunin. Kutipannya sebagai berikut “Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin meniadakan negara –peniadaan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka

Sikap menolak keberadaan negara bagi kaum anarkisme didasarkan pada landasan filosofis bahwa individu seharusnya bebas, tidak ada apapun yang bisa mengambil, mengekang, mencerabut kebebasannya, siapapun itu termasuk negara. Anarkisme juga menolak negara karena didasarkan pada argumentasi anti pada bentuk otoritas, hirarki, atau apapun itu yang membuat subjek manusia tereksploitasi, tertindas, dikarenakan keberadaan negara tersebut.

Tepat di titik ini, kita perlu mempertanyakan landasan filosofis dari bung Evan, termasuk kaum anarkis pada umumnya, apakah benar pengekangan individu terjadi ketika hadirnya otoritas seperti negara? Bukankah ada alternatif lain, yakni ketika negara diorientasikan untuk kepentingan kelas tertindas, maka yang terjadi adalah sebaliknya, negara akan membuat kebebasan individu itu teraktual secara konkret. Bagi kaum Marxis, walaupun pada akhirnya negara akan dihapuskan dalam komunisme tahap tinggi[1], tetapi keberadaan negara masih tetap diperlukan pada masa transisi politik dari kapitalisme menuju komunisme. Seperti yang kita tahu bahwa menuju komunisme adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang datang langsung dari langit, saat kaum borjuis baru saja dikalahkan oleh kelas pekerja, maka kelas borjuis pasti akan mau mengembalikan kekuasaan yang telah direbut oleh kelas pekerja, entah melalui represif maupun ideologis.

Di sinilah penting keberadaan negara proletariat untuk melawan dan menjaga kekuasaan negaranya yang telah mereka rebut dari kelas borjuis. Selain mempertahankan kekuasaan negara kelas buruh, negara sosialis juga wajib untuk melakukan usaha-usaha agar sosialisme berlaku dalam skala internasional. Itu karena masyarakat sosialis memang harus terjadi secara aktual dalam skala internasional, jika hanya skala nasional saja, negara proletariat itu akan rentan direbut kembali oleh kelas kapitalis karena seperti yang kita ketahui kapitalisme juga bekerja dalam skala internasional atau global.

Setelah periode transisi, barulah keberadaan negara lenyap dalam masyarakat komunisme. Ini karena negara tetap dilihat sebagai  kekuasaan politik yang terorganisasi dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lain, walaupun fungsi-fungsi negara akan tetap ada. Peter Hudiz menjelaskan hal ini dengan sangat baik bahwa sebenarnya Marx tidak berbicara soal “bentuk negara” dalam komunis; tetapi soal fungsi negara sebelumnya yang dapat digunakan tanpa negara, atau fungsi negara independen dari bentuk historis masyarakat tertentu. Bisa dikatakan bahwa fungsi negara, seperti dewan wakil rakyat, badan perencaaan, pengorganisasiaan, pengarahan, dan pengawasan, itu semua di masa depan bisa dikelola tanpa bentuk negara.

Pertanyaan balik harus ditanyakan kepada bung Evan, jika kaum anarkisme menolak keberadaan negara, bagaimana bisa menghapuskannya? Molyneux menjelaskan bahwa kaum anarkisme biasanya akan melarikan diri dari pertanyaan ini dan tidak ingin memikirkan bagaimana perencanaan strategi dan taktik untuk  menghapuskannya. Kaum anarkisme juga akan pergi dari tindakan otoritas negara dan lebih memilih untuk membentuk komunitas-komunitas kecil untuk bertahan hidup.

Menurut Molyneux, sikap seperti ini bermasalah secara praktis, dikarenakan pertama komunitas-komunitas kecil yang mereka bentuk hanya dirasakan oleh segelintir atau sekelompok saja, tetapi mayoritas masyarakat masih harus bertahan hidup dalam kondisi tertindas oleh otoritas negara borjuis. Kedua, mau tidak mau, suka atau tidak suka, komunitas-komunitas kecil yang dibentuk oleh kaum anarkisme akan tetap terhubung dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Hal itulah mengapa penting untuk tetap membicarakan negara dan merebutnya, karena walaupun kita menolak keberadaan negara, secara faktual negara masih tetap eksis di bawah panji-panji logika kapitalistik.

 

Kepemimpinan/Bentuk Hierarki

Konsep kedua yang ditolak oleh kaum anarkisme, berikut juga bung Evan adalah kepemimpinan atau bentuk hierarki. Bung Evan dalam tulisannya mempertanyakan bentuk hierarki dalam konsep mayoritas dan minoritas dalam demokrasi dari bung Ben. Berikut kutipannya “belum lagi soal suara mayoritas dan minoritas, bukankah ini konsep yang ingin memisahkan umat manusia dalam dua kelompok ekstrim yang saling bertentangan? Lalu dimana letak peran radikalisme demokrasi yang dipercaya bisa memerdekakan manusia dari hegemoni kapitalisme, patriarki, rasisme dan tetek-bengeknya? Menurutku Ben terlalu omong kosong dalam hal ini, terutama di persoalan egaliter”. Pernyataan bung Evan bahwa bung Ben terlalu omong kosong patut dipertanyakan, apakah bung Ben yang omong kosong? Ataukah karena ketidaktahuan dari bung Evan itu sendiri? Hal pertama yang patut dipertanyakan dari argumentasi bung Evan di atas adalah, apa yang bermasalah dengan konsep mayoritas dan minoritas?

Dalam negara sosialis, kekuasaan negara bertumpu pada massa mayoritas kelas pekerja, bukan dari minoritas, yang mungkin saja bagi bung Evan itulah yang bermasalah ketika minoritas yang memerintah mayoritas. Pernyataan Rosa Luxemburg patut untuk kita perhatikan dan tentu saja juga berlaku untuk bung Evan. Rosa menjelaskan bahwa pemerintahan diktator sosialis haruslah menjadi tugas kelas dan bukan tugas kelompok minoritas yang mengatasnamakan kelas, ini berarti bahwa demokrasi sosialis memerlukan partisipasi aktif massa: juga harus berada di bawah pengaruh langsung mereka, dan tunduk pada pengawasan yang dilakukan publik; poin penting Rosa ketika ia menjelaskan bahwa itu semuanya muncul karena berkembangnya pendidikan politik bagi rakyat.

Disinilah penting untuk memahami bahwa masyarakat sosialis bertumpu bukan hanya keputusan beberapa orang, tetapi lahir dan berkembang di dalam nafas massa-massa itu sendiri. Hal ini juga selaras yang dikatakan Marx dalam Komune Paris yang dikutip oleh Peter Hudiz bahwa negara kekuasaaan kelas buruh tidak merepresentasikan kediktatoran minoritas partai atau kelompok, kediktatoran proletariat menandai penjinakan kekuatan negara oleh kekuatan masyarakat yang terorganisir. Terry Eagleton juga menjelaskan bahwa pemerintahan sosialis adalah tentang pemerintahan rakyat secara mandiri, maka tidak ada seorangpun bisa membuat revolusi sosialis atas nama anda. Eagleton juga mencontohkan pada revolusi bolshevik, dimana revolusi itu dibuat bukan oleh sekelompok kecil konspirator melainkan oleh para individu yang diseleksi secara terbuka dalam institusi-institusi rakyat yang dinamakan soviet.

Bung Evan juga mengulas pentingnya kebebasan individu, begitu pula dalam aspek pendidikan, tentu tidak lupa bung Evan kembali mengutip tokoh anarkisme lainnya, Emma Goldman. “Bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri namun tetap bersatu dengan orang lain, memiliki perasaan mendalam terhadap sesama manusia namun tetap mempertahankan kualitas karakteristiknya sendiri.” Dan saya sangat sepakat dengan Emma, karena bagi saya anak lahir bukanlah seperti kertas kosong yang harus diisi seenaknya oleh orang tuanya, guru-gurunya, dan masyarakat sekitarnya, seharusnya tulisan yang telah ada di dalam kertas anak dapat berkembang alur ceritanya seperti apa yang dikehendaki oleh anak-anak itu sendiri.

Disinilah kekacauan berpikir dari bung Evan, bagaimana mungkin kita memberikan anak berkembang sesuai alur cerita yang dikehendaki oleh anak-anak dalam sistem pendidikan? tanpa ada suatu perencanaan strategis, pengkoordinasian, pengarahan, dan evaluasi yang tersentralisasi oleh kehadiran suatu otoritas? Apakah yang diinginkan kaum anarkisme hanyalah kebebasan semu, hanya ada di angan-angan mereka tanpa pernah menjangkarkan pada kondisi spesifik dalam masyarakat? Jadi sebenarnya apa yang bisa ditawarkan oleh pendidikan kaum anarkisme? Selain jargon-jargon tidak bermakna semacam egaliter, kesetaraan, kemanusiaan, kolektivitas, dll? Seperti kalimat jargon mistik bung Evan “Status guru-murid terhapus, sistem peringkat pintar-bodoh menjadi usang, kebijakan-kebijakan yang berlaku bukan berasal dari suara mayoritas-minoritas lagi”. Mengapa bung Evan tidak menjelaskan kalimat itu secara detail?

Apakah memang ini kebiasaan kaum anarkisme ketika tidak bisa menjelaskan sesuatu secara lengkap? Saya teringat dengan surat Marx pada P.V Annenkov yang berisi komentar Marx atas tokoh terkemuka anarkisme, Joseph Prudhon. Marx secara gamblang menjelaskan bahwa Prudhon tidak bisa menjelaskan sejarah suatu rentetan perkembangan ekonomi-sosial, karena ketidaktahuan itu ia pergi pada kata-kata abstrak-mistikal seperti Tuhan dan Nalar Universal. Begini kalimat Marx lebih lengkapnya; “Tatkala Proudhon mengakui bahwa ia tidak mengerti sedikitpun tentang perkembangan historis kemanusiaan – ia mengakui hal ini dengan menggunakan kata-kata yang bernada-tinggi seperti: Nalar Universal, Tuhan, dan sebagainya – tidakkah dengan begini ia secara implisit dan mau tidak mau mengakui bahwa dirinya tidak mampu memahami perkembangan ekonomi?”

 

Engels dan Kritik Kaum Anti-Otoritas

Engels dalam tulisannya juga mengkritik kaum anarkisme yang tidak menerima konsep dan praktik otoritas yang menghadirkan hierarki. Makna otoritas menurut Engels adalah: “Pemaksaan kehendak pihak lain terhadap kehendak kita; selain itu, otoritas mensyaratkan subordinasi. Karena kedua kata ini terdengar buruk, dan relasi yang mereka wakilkan tidak diminati oleh pihak yang tertundukkan”. Engels dalam penjelasannya memberikan contohnya pentingnya otoritas pada aksi gabungan, menurut Engels jika berbicara tentang aksi gabungan, kita harus berbicara tentang organisasi, dan ketika kita berbicara tentang organisasi, pada dirinya pasti kita memerlukan sebuah otoritas. Engels juga mencontohkan dalam sebuah pabrik pemintal kapas.

Dalam pabrik pemintal kapas menurut Engels, setiap kapas ini harus melewati setidaknya enam proses produksi berturut-turut sebelum ia menjadi benang, dan proses-proses produksi ini dilakukan sebagian besar di ruang-ruang yang terpisah. Terlebih lagi, untuk menjaga jalannya mesin-mesin kita membutuhkan seorang teknisi untuk mengawasi mesin uap, mekanik untuk memperbaiki mesin tersebut, dan banyak buruh lainnya yang pekerjaannya adalah memindahkan produk-produk dari satu ruang ke ruang yang lain, dan seterusnya.

Berangkat dari hal ini lah, semua buruh ini, pria, perempuan dan anak-anak, harus memulai dan mengakhiri kerja mereka pada waktu yang ditentukan oleh otoritas mesin uap, yang tidak memperdulikan otonomi individual. Maka dari itu, para buruh harus pertama-tama memahami waktu kerja; dan waktu ini, setelah mereka ditentukan, harus dipatuhi oleh semua buruh, tanpa ada pengecualian. Disini jelas pentingnya otoritas dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan dalam manajemen pemintalan kapas tersebut.

Tepat di titik ini, kita mulai mempertanyakan, mengapa kaum anarkisme menolak otoritas? Jawaban Engels sangat telak dan pasti menusuk di hati para kaum anarkisme. Dalam tulisannya Engels menjelaskan “Oleh karena itu, hanya ada satu jawaban: kaum anti-otoritas tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dalam hal ini mereka hanya menciptakan kebingungan; atau mereka tahu  apa yang mereka bicarakan, dan dalam hal ini mereka mengkhianati gerakan proletariat”. Untuk itu berangkat dari sini kita memerlukan suatu visi sosialis, bukannya visi kaum anarkis, mengapa kita memerlukannya? Seperti yang dikatakan Michael Lebowitz bahwa kita harus menyadari kebutuhan akan suatu visi yang bisa memandu langkah kita dan menunjukkan kemana kita akan pergi, dan sekaligus menegaskan keharusan  untuk bertindak, keharusan untuk memperjuangkan itu sekarang juga.

 

Partai Revolusioner

Sebagai konsekuensi logis kritik atas bung Evan yang menolak terhadap negara, dan bentuk hierarki. Bagi kaum sosialis penting untuk merebut negara, dan mendasararkannya pada hierarki yang bukan dalam makna kepentingan minoritas atas mayoritas, tetapi bentuk partisipasi aktif massa-massa kelas pekerja yang tentu dengan membawa kepentingan kelas pekerja itu sendiri. Tepat di titik inilah partai revolusioner diperlukan sebagai bentuk wadah yang diinisiasi oleh kelas pekerja untuk merebut negara.

Yermakov dan Ratnikov dalam bukunya “Kelas dan Perjuangan Kelas” menjelaskan bahwa semakin genting perjuangan kelas, semakin besar pula kebutuhan sebuah kelas untuk menciptakan sebuah partai politik gabungan yang kuat dan bisa dengan konsisten melindungi kepentingan-kepentingan fundamentalnya. Tony Clif juga menjelaskan pentingnya partai revolusioner, meminjam argumentasi marx, Cliff menjelaskan dengan sangat baik dua alasan mengapa kelas pekerja membutuhkan sebuah wadah, yakni partai revolusioner. Pertama, karena mengingat pembebasan kelas pekerja dari sistem yang menindas harus dilakukan melalui aksi massa. Oleh sebab itu kelas pekerja memiliki alasan kuat untuk bergabung dalam sebuah partai revolusioner karena melalui organisasi lah sistem besar kapitalisme ini bisa dilawan. Kedua, mengingat hegemoni kapitalisme merasuki pikiran-pikiran dari kelas pekerja maka kelas pekerja harus bergabung dengan sebuah partai revolusioner untuk menghancurkan berkuasanya pikiran-pikiran dari kelas yang sedang berkuasa.

Tony Cliff menambahkan bahwa kedua alasan ini sifanya organik dan dialektis, tidak dapat terpisahkan dan saling berkaitan satu sama lainnya. Tujuan dibentuknya partai revolusioner bukan hanya bertujuan menyatukan kelas pekerja dalam satu kesatuan yang sistematis, melalui pemogokan, demonstrasi, dan aksi-aksi massa, melainkan  juga bertujuan  untuk membangun kekuatan ideologi penghancur kesadaran palsu yang diberikan kelas kapitalis pada setiap kepala manusia.

Tetapi analisa kita tidak boleh berhenti pada diperlukannya wadah untuk kesatuan kelas pekerja, tetapi mencermati bagaimana kondisi partai yang mengaku berpihak pada kelas pekerja saat ini. Michael Yates dalam bukunya “Dapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia” menjelaskan kondisi partai pekerja saat ini memang bisa sedikit memberikan kemenangan pada pekerja, tetapi belum berhasil mengalahkan modal dan membawa dunia ke jalur yang demokratis dan sepenuhnya egaliter. Yates mencontohkan bagaimana partai yang mengaku berpihak pada kelas pekerja  di Amerika Serikat dan Inggris dikooptasi oleh kepentingan kapital.

Di Amerika Serikat, buruh yang terorganisir mengikatkan dirinya pada Partai Demokrat, yang sebenarnya partai yang tidak mewakili buruh. Dalam tataran praktis, Partai Demokrat sama sekali tidak memperhatikan kelas pekerja, mereka justru percaya pada koalisi kaum pinggiran kota yang terdidik dan pendukung tradisional Demokrat dari kalangan minoritas adalah satu-satunya jalan untuk membawa Partai Demokrat merebut kekuasaan. Anehnya organisasi buruh AFL-CLIO dan mayoritas serikat buruh justru menyumbangkan puluhan juta dollar dan mereka menelpon ponsel warga, dari rumah ke rumah, dan melalui media sosial untuk memilih para politikus demokrat.

Tidak jauh berbeda dari itu, di Britania Raya partai buruh memutuskan komitmennya dengan kelas pekerja. Di bawah Tony Blair sebagai mantan Perdana Menteri, partai buruh memulai politik jalan ketiga, posisi politik yang berupaya duduk di antara keburukan ideologi kanan dan kiri, yang bergantung pada kelas profesional dan terdidik. Padahal dalam praktiknya jalan ketiga adalah bentuk kompromi terus menerus yang dilakukan kelompok kanan dan pemisahan elit partai dan serikat buruh kiri. Di belahan dunia lain pun terjadi, seperti yang dikatakan Yates, bahwa di Amerika Latin hingga India partai politik kiri-tengah kerap mendukung kebijakan yang menolong pekerja dan petani,  tetapi mereka justru terperosok dalam arus kepentingan modal, pembangunan yang digerakkan oleh ekspor, memberikan subsidi pada modal asing, dan gagal menarik pajak yang tinggi dari kaum kaya atau menerapkan reformasi agraria yang sejati.

Beginilah kondisi yang terjadi pada partai pekerja saat ini, tetapi penting diketahui realitas partai buruh tersebut tidak membuat kita kehilangan arah, malah sebaliknya kita bisa mempelajari hal-hal yang tidak efektif, bermasalah, tidak punya perencanaan, lalu diperbaiki untuk masa depan. Bagi saya sulit untuk menjelaskan bagaimana seharusnya partai revolusioner pekerja, tetapi sedikit pengetahuan yang diberikan Molyneux untuk menjelaskan empat hal penting yang harus ada di dalam partai. Pertama, Partai harus terlibat dalam perjuangan kelas pekerja sehari-hari, kedua, partai harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip revolusioner, ketiga, partai harus membuat peraturan dan menegakkan dengan tegas prinsip menolak hak istimewa material kepemimpinan dalam  partai, keempat, struktur dan aturan partai harus mengabungkan demokrasi (diskusi tentang kebijakan pemilihan, dan akuntabilitas kepemimpinan) dan sentralisme (kesatuan tindakan dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah).

 

Peristiwa Spanyol: Bukti Kecacatan Ideologis Kaum Anarkisme

Setelah membahas beberapa permasalahan konsep teoritis yang diangkat bung Evan juga kaum anarkisme pada umumnya, pembahasan kali ini akan menjelaskan contoh faktual-konkret peristiwa pergerakan massa Spanyol yang digerakan oleh ideologi anarkisme. Mengapa penting untuk melihat peristiwa revolusi Spanyol ini? Alasannya adalah karena kegagalan para buruh dalam mempertahankan kekuasaannya, terjadi karena dalam bahasa Molyneux sebagai “Cacat bawaaan ideologi anarkisme sebagai strategi revolusioner”. Peristiwa Spanyol terjadi pada tahun 1936, tepatnya di bulan Juli. Ini terjadi akibat respon rakyat atas kudeta yang dilakukan oleh Francisco Franco dalam mengambil pemerintahan Front Populer. Saat itu mayoritas kelas pekerja mengambil pijakan analisa anarkisme dan berhasil mencegah kudeta yang dilakukan kaum fasis saat itu. Buruh bersenjata mengepung dan menguasai barak di Madrid dan Barcelona. Para pekerja lalu mengirimkan pasukan bersenjata ke pedesaan dan mengamankan makanan, dan mendukung pergerakan kaum petani, lalu membebaskan rakyat dari penindasan yang mereka alami.

Hal yang terjadi selanjutnya, fasisme di bawah pimpinan Francisco Franco tidak tinggal diam, ia berhasil membangun kendali di Barat Daya Spanyol dan Fasis lainnya Jenderal Molo melancarkan serangan militer melalui arah utara. Di sinilah letak problem konseptual yang menjalar di tataran praktik kaum anarkisme, saat terjadi ancaman penyerangan fasisme, pimpinan-pimpinan anarkis malah bergabung dalam pemerintahan borjuis Catalonia dan Madrid. Tentu tindakan ini sangat kontraproduktif dengan perjuangan kelas pekerja revolusioner. Inilah konsekuensi logis dari logika anarkisme menolak negara dan otoritas. Seperti yang disinggung sebelumnya negara dan otoritas adalah badan khusus untuk mempertahankan kekuasaan kelas pekerja dalam melawan kaum fasisme. Dalam bahasa Molyneux, peristiwa Spanyol adalah kejadian yang menunjukkan ketidakmampuan anarkisme sebagai panduan dalam aksi revolusioner.

 

Perlunya Melihat Satu Kesatuan Pendidikan Demokrasi Radikal Dan Kekuasaan Negara Sosialis

Selanjutnya untuk tulisan bung Ben. Tiga sub pembahasan dari penjabaran bung Ben mengenai demokrasi radikal yakni: terbuka akan kelemahan, komitmen mendalam terhadap demokrasi, dan demokrasi yang radikal membutuhkan harapan. Ketiganya bagi saya hanya menjelaskan terkait pendidikan demokratis yang dekat dengan prinsip-prinsip sosialis, tanpa melihat hal itu sebagai satu kesatuan kekuasaan ekonomi dan politik oleh kelas buruh. Pemisahan antara demokrasi politik proletariat dengan pendidikan demokrasi pada akhirnya akan berdampak, setidaknya kita bisa melihat bahwa pemisahan ini punya dua dampak; teoritis dan praksis.

Dampak teoritisnya ada pada relasi basis (ekonomi) dan superstruktur (pendidikan), kedua hal ini berelasi secara dialektis, dimana basis ekonomi mengkondisikan secara absolut suprastruktur dan superstruktur juga bisa mengkondisikan basis tetapi secara relatif.[2]  Walaupun bung Ben menjelaskan bahwa pendidikan kita saat ini sangat bercorak kapitalistik (Manajerialisme gaya baru, industrialisasi pendidikan, hegemonisasi dan kampus merdeka) tetapi bung Ben gagal menjelaskan keterkaitan pendidikan radikal demokratis dengan upaya mencapai masyarakat sosialis yang tentunnya demokratis juga. Jadi, harapan bung Ben agar terciptanya pendidikan demokrasi radikal, menurut penulis harus dielaborasi untuk diletakkan pada upaya, harapan, dan kontekstualisasi demokrasi proletariat. Singkatnya, bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik dikuasai oleh buruh!. Problem inilah bagi saya yang membuat bung Evan gagal memahami demokrasi radikal yang dimaksud bung Ben.

Dalam buku “Masa Depan Masyarakat Sosialis” John Molyneux menjelaskan bahwa masyarakat sosialis haruslah didahului oleh perebutan kekuasaan ekonomi politik oleh kelas buruh, dan pembangunan negara yang bertumpu pada kelas buruh. Tentu kekuasaaan kelas buruh artinya kekuasaan yang menghimpun semua orang yang bekerja dan dieksploitasi oleh kapitalisme, tapi tidak terhenti hanya menghimpun, tetapi juga memosisikan kelas buruh sebagai pemegang kendali, mengontrol , dan menjalankan negara dan ekonomi, singkatnya kepemimpinan kelas buruh. Poin ini penting menjadi catatan, karena dalam masyarakat kapitalis seluruh aparatur negara, semacam polisi, tentara, pengadilan yang berciri hierarki bekerja untuk kepentingan para kapitalis. Seluruh aparatur negara dalam masyarakat sosialis harus diambil alih oleh kelas buruh, kemudian diisi dengan aparatus yang berasal dari buruh juga.

Dari sinilah pertanyaan bung Evan terhadap konsep demokrasi bung Ben juga akan  terjawab. Pertanyaan bung Evan terkait “rakyat yang mana yang bisa atau harus memegang kekuasaan? Jawabannya tentu, seperti yang dikatakan Molyneux, bahwa dalam masyarakat sosialis rakyat yang dimaksud adalah orang-orang yang berasal dari wakil-wakil dari tempat-tempat kerja (pabrik), dan pekerja-pekerja yang bergabung dengan dewan-dewan buruh  ada di tingkat lokal maupun nasional. Wakil-wakil itu juga dipilih oleh buruh, dan mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan tugasnya kepada buruh-buruh, mereka sewaktu-waktu bisa kembali dipanggil untuk digantikan (recall) jika apa yang mereka lakukan dalam dewan buruh tidak sesuai dengan tuntutan buruh-buruh yang memilih mereka.

Dewan buruh inilah yang akan menjadi perwakilan tertinggi dalam wilayah tersebut, tentara buruh dan setiap institusi buruh akan bertugas di bawah pertanggungjawaban dari dewan buruh nasional. Secara spesifik, demokratis dalam negara demokrasi buruh berjalan dalam proses yang perencanaannya yang akan dimulai dari tingkat basis, Molyneux menjelaskan bahwa basisnya ada di rapat di tempat kerja, melalui dewan pabrik dan buruh itulah nanti bisa mengukur prioritas kebutuhan masyarakat. Hasil dari rapat tingkat basis lah yang akan diserahkan pada dewan nasional yang nantinya akan dibuat perancangan regulasi.

Berangkat dari itu, karena seluruh sekolah/kampus juga bagian dari tempat kerja maka sekolah/kampus tersebut juga akan dikelola oleh komite pekerja yang dipilih secara demokratis, dan lagi-lagi orientasinya untuk pemenuhan kebutuhan hidup secara kolektif umat manusia, misal pendidikan gratis, bukan lagi logika akumulasi keuntungan tanpa batas. Suatu masyarakat yang dibayangkan oleh Marx sebagai alternatif atas kapitalisme, masyarakat yang di dalamnya relasi produksi akan menjadi relasi dari suatu asosiasi produsen-produsen secara bebas, individu-individu yang berasosiasi secara bebas, dan individu yang berasosiasi secara bebas ini pada akhirnya akan memperlakukan produktivitas komunal dan kolektif mereka sebagai kekayaan bersama.

 

Belajar dari Kuba

Setelah saya jabarkan bahwa pentingnya pendidikan radikal dilihat sebagai satu kesatuan dalam kekuasaan ekonomi dan politik oleh kelas buruh, maka dalam pembahasan ini, saya akan memberikan satu contoh negara, yakni Kuba yang mengajarkan bagaimana seharusnya melihat pendidikan di bawah panji-panji sosialisme. Daisy Maxwell dalam tulisannya menjelaskan sangat baik keterkaitan etos negara sosialis Kuba dengan pendidikan yang mereka rancang. Maxwell yang berprofesi sebagai guru di Inggris menceritakan pengalamannya saat menjadi relawan pengajar di sana. Maxwell menjelaskan bahwa di Kuba terlihat setiap sekolah yang ia kunjungi, ada pertunjukan dimana para siswa berbagi nyanyian, musik, tarian, puisi dan seni ekspresif lainnya. Menurutnya, siswa di Kuba menunjukkan bahwa mereka dapat mengembangkan potensi penuh mereka dan percaya diri dalam mengekspresikan dirinya.

Bahkan menurut Maxwell, di sekolah negeri non-spesialis, musik, menyanyi dan tari sangat dihargai dan semua itu merupakan bagian integral dari kurikulum, dari sekolah khusus untuk tunanetra, sampai dengan sekolah-sekolah masyarakat setempat. Menjadi catatan penting di sini bahwa semua itu dibiayai sepenuhnya oleh negara. Guru asal inggris ini juga menjelaskan bahwa etos sosialis di Kuba mempengaruhi pendidikan, termasuk relasi guru-siswa.  Maxwell menjelaskan bahwa  hubungan yang dimiliki para guru dengan para siswa dibangun di atas cinta. Maxwell membandingkan bagaimana relasi guru-siswa di Inggris yang berfokus pada nilai pengetahuan dan ujian, dimana guru merasa selalu di bawah pengawasan .

Membaca pengalaman Maxwell saat melihat bagaimana pendidikan di Kuba sangat menekankan pada pengembangan potensi individu, saya teringat kalimat Marx dalam Manifesto Komunis, seperti dikutip Lebowitz. Marx menjelaskan bahwa masyarakat baru adalah suatu asosiasi yang dalamnya perkembangan diri secara bebas dan setiap anggotanya menjadi syarat bagi perkembangan bebas seluruh anggotanya. Lebowitz menjelaskan bahwa ide mengenai perkembangan potensi manusia meresapi seluruh karya Marx. Marx menginginkan terealisasinya kekayaan potensi diri manusiawi dengan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya yang kaya, terealisasinya potensi terciptanya makhluk manusia sekaya mungkin dalam kebutuhan-kebutuhan maupun kemampuan-kemampuannya.

Setelah membahas hal di atas, menjadi penting bagi kita untuk menarik demarkasi antara kebebasan mengembangkan potensi individu yang diinginkan kaum sosialis dengan kebebasan yang diingin bung Evan bagi kaum anarkisme. Kebebasan yang diinginkan kaum sosialis bukanlah kebebasan semu yang hanya berputar-putar pada term-term jargonistik, kebebasan yang didambakan kaum sosialis perlu dilihat sebagai hasil dari bentuk teraktualisasinya perencanaan strategis dan sentralisasi kekuasaan dari suatu negara proletariat. Hal ini diperlukan agar apa yang diinginkan, yakni aktualisasi kebebasan setiap individu bisa dijalankan dan tetap terus bertahan.

 

Perlunya Pendidikan Radikal

Tulisan ini saya akhiri dengan elaborasi pentingnya pendidikan radikal (yang sempat disinggung dalam tulisan bung Ben) sebagai upaya transformasi perubahan sosial. Saya mengambil pendapat Michael Yates dalam membahas persoalan ini. Yates menjelaskan ada enam prinsip dalam pendidikan radikal yang penting untuk dipelajari. Pertama, harus ada saling menghormati antara guru dan murid, dan relasi sosial keduanya diorientasikan pada pembebasan kemanusiaan dari belenggu kapitalisme. Guru dan murid akan belajar secara demokratis. Guru mengarahkan pembicaraan ke karakter sistem atau topiknya. Guru bisa memulai dengan mempertanyakan bagaimana sains didanai? Apakah yang dilakukan ilmuwan bisa bebas dari nilai? Point penting dari ini adalah murid memang diarahkan untuk berpihak pada kepentingan kelas pekerja, bukan seperti yang dikatakan bung Evan, memberikan kebebasan sepenuhnya pada murid.

Kedua, pendidikan diberikan pada kaum buruh, guru harus menjelaskan sistem kapitalisme didasari pada penindasan umat manusia. Ketiga, setiap organisasi harus menjadikan  pendidikan sebagai komponen integral untuk perubahan sosial. Keempat pendidikan radikal harus membuat keterhubungan dalam setiap dimensi pengetahuan. Kita harus melihat bahwa problem-problem yang hadir di permukaan entah dari segi hukum, politik, budaya, dsb tidak bisa terlepas dari suatu iklim corak produksi yang kapitalistik. Kelima, mulailah dari kehidupan dan pengalaman sehari-hari murid, sebagai contoh mempertanyakan mengapa banyak orang mati karena kemiskinan akibat kelaparan? Kondisi apa yang membuat itu terjadi? Keenam, pendidikan radikal seharusnya mengajarkan pentingnya berbagi pengetahuan kepada orang lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya penyadaran sosial agar kesadaran kelas dapat tercapai.

Terakhir, tulisan ini pasti jauh dari kata komprehensif, tetapi satu hal yang saya harapkan pada pembaca tulisan ini, harapan itu ialah kita memerlukan sebuah teori yang komprehensif sebagai upaya perubahan sosial, tidak hanya terpaku pada kata-kata jargonistik, tanpa bisa merumuskan secara teoritis, objektif, sistematis, dan tentunya turun pada perencanaan sampai evaluasi yang dilakukan terus-menerus, singkatnya kesatuan teori-dan praktik.

 


Catatan Kaki

[1]  Untuk melihat perbedaan jelas antara komunisme tahap rendah dan tinggi silahkan baca lebih jelasnya pada artikel Peter Hudiz Konsep Sosialisme Marx (Bagian II) – Transisi

[2]  Silahkan baca penjelasan mengenai ini lebih lengkap di tulisan Martin Suryajaya berjudul “Menalar Marx” Menalar Marx – IndoPROGRESS

Daftar Pustaka:

Cliff Tony. Penerj, Rudi. (2020). Marxisme Abad Ke-21. Yogyakarta:Redbook

Eagleton Terry. Penerj, Cep Subhan KM. (2019). Mengapa Marx Benar. Jalan Baru.

Engels Friedrich, Penerj, Ted Sprague. (2010). Mengenai Otoritas. Marxis.org. Lihat: Engels: Mengenai Otoritas (1873) (marxists.org).

Hudiz Peter, Penerj, Ahmad Gatra Nusantara. (2020). Konsep Sosialisme Marx (Bagian II). Transisi.org. Lihat: Konsep Sosialisme Marx (Bagian II) – Transisi

Lebowitz, Michael A. Sosialisme Sekarang Juga, (2019). Yogyakarta:Resist Book.

Marx Karl. Penerj, Oey Hay Djoen. (2007). Lampiran Kemiskinan Filsafat. Marxis.org. Lihat: Karl Marx: Kemiskinan Filsafat (1847) (marxists.org)

Maxwell, Daesy. Cuba Socialist Ethos Drives Their Education Triumphs. For Peace and Socialism Morning Star. Lihat: Cuba’s socialist ethos drives its educational triumphs | Morning Star (morningstaronline.co.uk)

Mills, Charles Wright. Penerj, Gerda Proletariat Arkana. (2021). Yogyakarta;Red Book.

Molyneux John, Terj Syarif Atamini. (2020). Masa Depan Masyarakat Sosialis. Yogyakarta:Red Book.

Yates Michael. Penerj, Arif Novianto. (2020). Dapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia. Yogyakarta:Penerbit Independen

Yermakova, Antonia. Ratnikov, Valentine. Penerj, Ikhsan. (2020). Kelas dan Perjuangan Kelas. Yogyakarta:Red Book.


*) Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Pojok Wacana, republikasi disini untuk tujuan pendidikan

Gambar: blog.pmpress.org

 

Tinggalkan Balasan