Oleh:
Faris Naufal Ramadhan
MAK TANI
Mak Tani, bisikkan pada kami
biar orang-orang jadi tahu
apa yang preman-preman itu perkatakan padamu
ketika mereka datang
tanpa diundang ke rumahmu
sebelum subuh.
Dengan gagang besi
mereka mendobrak pintu
melempar batu-batu
yang memecahkan kaca rumahmu.
Mengacak-acak isi laci
dan lemari di dalam kamarmu
menodongkan senjata
tepat di ujung pelipismu.
Mengapa ketika itu
engkau tidak berteriak
saja?
Mengapa kedatangan mereka
malah menambah khusyu’
ibadah tengah malammu?
Berkali-kali engkau dipaksa pergi
dari tanah yang kau miliki
tubuhmu diseret kala sedang menanam
padi di ladang sendiri.
Kau yang bangkit kembali
hanya untuk tetap menunduk saja,
sembari terus mengayunkan arit
menebas rerumputan
Tak sekelebat pun terpikir olehmu
melayangkan ayunannya
pada leher manusia.
Wajahmu saban hari muncul
di televisi
mengenakan mukena saja,
sambil tidak berkata apa-apa.
Ceritakan kepada kami atau
pada siapa saja
yang engkau percayai.
Sebutlah nama
seragam bendera
tanda pada muka
atau apa saja.
Mak Tani!
Dari mulutmu tak terucap
barang sepatah kata, ketika
orang-orang di layar kaca
berebut bicara tanpa tanda
jeda.
Mak Tani! Mak Tani! Mak Tani!
Mata air
mata kaki
mata hati
dimata-matai!
Indonesia, 2018
DI LAHAN PERSENGKETAAN
Lalu kami bernyanyi di tepi jalan
ini, sekadar untuk mengantar pulang
seorang lagi yang tumbang
di lahan persengketaan.
Ini hari kain hitam tak mesti
sebab kami tidak sedang meratapi
nyanyian kami bernada lantang
menuntut sebuah pertanggungjawaban.
Kami menagih rasa malu
pada seorang yang kemarin waktu
datang dengan tangan berpangku.
Tidak ada pergantian hari
serta jadwal kerja dan jam
istirahat di masa gawat.
Kami tidak beranjak ketika
bel berbunyi dan lampu dipadamkan
kami terlanjur menyala tanpa
sanggup lagi diredam.
Telah kami persiapkan
segenap jiwa pula nurani
jalan membentang di hadapan
adalah suatu keniscayaan
segala yang pernah dari kami direnggut
segera kami rebut kembali.
Di lahan persengketaan
kami adalah badai
kami adalah petir
kami bertaruh martabat leluhur
kami bertaruh nasib anak-cucu
kami pasukan yang siap menerjang kapan saja.
Kami berjajar di sepanjang jalan
ini, sekadar untuk mengisyaratkan
pada setiap apa yang melintas
bahwa pertarungan belum selesai
dan nyanyian kami menolak usai.
Malang, 2017
_________________________________________________
*Penulis adalah Pegiat Sastra Komunitas Kalimetro Malang
*Sumber gambar utama: Yulius Herwindito, diambil dari scientiarum.com