Bulan lalu, Bapanas (Badan Pangan Nasional) menjelaskan tingkat keborosan pangan di Indonesia. Dipaparkan, Food Loss-nya mencapai 14%. Food Waste menembus 17%. Jumlah total keduanya menyentuh angka 31%. Tinggi sekali. Mungkin ada yang bertanya, apa perbedaan diantara dua istilah tersebut?
Food Loss sederhananya Anda pergi berbelanja ke pasar suatu pagi. Di sana membeli lima ikat kangkung, ikan tongkol, ayam, daging sapi, sekeranjang apel, beberapa iris tempe serta tahu, segepok bumbu-bumbuan. Kadang-kadang Anda berbelanja secara kalap. Hasrat jumbo, uang ada, nalar sehatnya ketinggalan di laci rumah. Ini trilogi untuk menjadi manusia brengsek-sebrengseknya.
Lalu setelah sekian waktu berlalu, semua bahan mentah tadi terbengkalai. Tidak bisa diolah menjadi makanan. Akhirnya dibuang begitu saja. Gara-garanya bisa karena kelamaan disimpan, layu, atau membusuk (persis seperti otak pembelinya). Sudah menjadi pemandangan sehari-hari orang membeli terlalu banyak dari yang dibutuhkan.
Di sisi pedagang, Food Loss bisa terjadi karena bahan-bahan makanan mungkin disimpan secara buruk. Tak memiliki teknologi memadai. Akhirnya rusak. Mungkin juga karena setelah sekian tempo dijajakan sama sekali tidak laku. Di hulu, proses panen yang tak sempurna juga bisa mengambil peran. Dan terdapat sebab-sebab lain yang beragam, berujung sama: dibuang.
Sementara apa itu Food Waste? Gampangnya kalian makan tidak dihabiskan atau tak disentuh sama sekali, kemudian dicampakkan ke tong sampah. Dalam beberapa kasus ini dikarenakan sikap mengambil makanan jauh melampaui porsi yang sanggup ditelan. Apa sebutannya? Rakus bin pandir. Bila Anda punya keinginan, sebaiknya juga punya otak. Jika tidak, ini akan selalu menimbulkan masalah.
Ada juga perilaku ‘manja-manjaan’ saat waktu makan tiba. Orang yang sebenarnya sehat, mulanya berniat bersantap. Lantas makanan yang tergolek di depan meja cuma diaduk-aduk. Ditengok-tengok dengan mata lesu. Ujung-ujungnya dibiarkan mubazir. Tolong tanyakan kepada jenis manusia yang seperti ini, apakah mereka berminat dikubur lebih cepat? Jika iya, kiranya ada tangan yang tak keberatan menunaikannya
Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia berada di peringkat 2 dunia untuk persoalan buang-membuang makanan. Peringkat pertama di tempati Arab Saudi. Amerika Serikat, dan Uni Emirat mengekor di belakang Indonesia. Anda semua tahu, mengenai urusan keterbelakangan dan kebobrokan di atas planet ini, bangsa mu selalu terpacu mengejar prestasi mencolok.
Jika melihat postur GDP per kapita diantara keempat negara ini, terdapat kesamaan dan sekaligus perbedaan. GDP per kapita Arab Saudi (2022) berada di kisaran 30.500 USD. Lebih dari dua kali lipat rata-rata dunia yang sebesar 12.688 USD. Mereka memang kaya sejak lama. Adapun Negeri Paman Sam, GDP per kapita-nya amat gagah, 76.300-an USD. Uni Emirat Arab moncer di angka 53.707 USD.
Indonesia? Di tahun yang sama angka GDP perkapita tercecer di bawah 5000 USD. Jauh dari rata-rata dunia. Jadi dari sini kita bisa tahu, ini seperti menonton empat sekawan yang suka menghambur-hamburkan makanan. Tiga diantara mereka memang tajir dan pongah. Seorang lagi yang melarat, sialnya bertabiat serupa. Ia sangat layak dilaknat.
Hasil studi komprehensif terkait food loss and waste di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2019 juga mencengangkan. Makanan yang terbuang mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 84-115 kilogram per kapita. Jumlah raksasa itu sepadan dengan kandungan energi yang bisa memberi makan 61-125 juta penduduk.
Konon, makanan yang terbuang itu nilai ekonominya juga sangat fantastis, 200 triliun per tahun. Dengan uang sebesar itu, Indonesia bisa lancar membangun lima istana negara IKN sekaligus dan Pak Joko Wi tak perlu pening. Di negeri di mana makanan diianiaya dan dihinakan setiap tahun, kenyataannya jumlah pengidap stunting juga terbilang tinggi. Memilukan dan memalukan.
Berapa orang yang seharusnya bisa diselamatkan dari rasa lapar oleh semua kesia-siaan ini? Anda mungkin akan menjawabnya: besar sekali. Sayangnya, Anda salah. Tidak ada yang gratis dalam kapitalisme. Si Miskin tidak memperoleh bahan makanan secara cuma-cuma betapapun dia dan keluarganya amat membutuhkan. Boleh sesekali saja diberikan, dan tentu saja tidak merata, terutama saat musim Pemilu tiba.
Di dalam sistem ini, apa yang berlimpah ruah, bahkan berkelebihan, bukan berarti otomatis akan didistribusikan kepada yang mengalami kekurangan. Kapitalisme berproduksi untuk komiditi, barang yang diperdagangkan. Motifnya akumalasi laba, bukan yang lain. 1 orang memiliki 100 rumah, sementata 100 orang cuma punya 1 rumah, itu hal lumrah dan dianggap wajar.
Dalam produksi kapitalistik, sepatu yang tak laku akan dihancurkan, tak peduli anak di Mamuju berangkat ke sekolah hanya berlapiskan sandal. Baju layak yang sedikit cacat dimusnahkan. Sudah menjadi pengetahuan umum, praktik jaringan restoran cepat saji membuang ayam gorengnya yang tak habis terjual, alih-alih disodorkan kepada yang perutnya kering kerontang. Irasional? Itu akan menjadi debat yang berbeda.
Di antara gemuruh penghambur-hamburan kalori pengisi perut. Dalam gempita kekinian yang menempatkan makanan sebagai ritus gaya hidup untuk dipamerkan di instagram. Tersebutlah pria tua bernama Darwin Mangudut Simanjuntak. Seorang yang meninggal dunia, diduga karena tak kuat menahan lapar.
Dia tewas pekan ini, di sebuah tanah yang dijanjikan gemah ripah loh jinawi. Kabarnya sudah dua hari pengemudi ojol asal Medan ini tak makan. Sementara sebagian kita membuang makanan selama dua hari terasa normal saja. Tak merasa ada hutang moral di atas perilaku itu. Betapa rusaknya kita.
Aktivis lampau, menetap di kaki Gunung Semeru
Gambar: https://id.pinterest.com