Oleh:
Muhammad Nur Fitriansyah
Pendidikan, terma yang sudah menjadi khas dengan tingkat kemahalannya. Sudah bukan rahasia umum di negeri ini, bahwasanya menjangkau pendidikan tinggi adalah hak milik kaum berpunya. Sebab, bagaimana tidak, menjangkau pendidikan tinggi bagi rakyat menengah ke bawah ibarat mimpi di siang bolong. Masyarakat kelas sosial ini mestilah terlebih dahulu merogok kantong yang tidak sedikit jumlahnya. Dari pada menyekolahkan anak-anaknya di tengah kondisi ekonomi yang kian menghimpit, masyarakat golongan sosial ini lebih memilih mendahului takdir dengan memupus harapan untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya.
Terlebih saat momentum sakral memasuki tahun ajaran baru. Sebagian ada yang menghela nafas dalam-dalam sembari memasuki lahan basah pendidikan, ada juga sebagian yang hanya menyaksikan sambil memupus harapannya dalam-dalam. Beginilah kisah getir pendidikan di negeri ini. Kisah yang hanya akan berakhir bahagia, dengan syarat memiliki uang yang melimpah.
Sebab, dalam moda produksi kapitalisme, kapital adalah yang berkuasa di atas segalanya, dan proses untuk mengakumulasi kapital menjadi syarat wajib untuk mendapatkan hal tersebut. Bayangkan saja golongan masyarakat menengah ke bawah, yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari saja susah, lantas dengan cara apa mendapatkan biaya untuk dapat mengakses mewahnya pendidikan kini?
Kini kapitalisme telah mewabah ke berbagai lini. Segala hal yang berguna dan dapat menghasilkan nilai tukar demi meraup keuntungan pasti dengan segera dimasuki. Sudah menjadi dalil pokok, bahwa kerja kapitalisme yakni untuk mengakumulasi profit, kapanpun, dan di manapun ia berada. Ini adalah roh utama yang menjadi penggerak sistem tersebut. Roh brutal inilah yang kini menghantui masyarakat miskin memupus mimpi dan harapannya guna mencerdaskan anak-anaknya. Pendidikan di bawah cengkeraman kapitalisme tak hanya dimanfaatkan sebagai lahan basah akumulasi, namun juga telah diselaraskan guna mereproduksi ulang barisan kelas pekerja serta hubungan-hubungan sosial eksploitatif di dalamnya.
Komodifikasi Pendidikan: Gerbang Masuk Kapitalisme
Kapitalisme merupakan sebuah moda produksi yang buas. Ia tidak segan-segan menerkam siapapun dan apapun yang menghambat lajunya. Semua relung kehidupan ia masuki, asal dapat memuaskan nafsu alamiahnya. Ya, akumulasi profit. Tak terkecuali (bidang) Pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi. Dapat bersama kita saksikan kini, bagaimana tingginya biaya, sekaligus rendahnya tingkat akses oleh masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan merupakan dampak dari upaya pelebaran sayap kapitalisme yang telah jauh masuk dalam dunia pendidikan, sehingga mau tak mau pendidikan perlahan mulai dikondisikan sedemikian rupa agar sesuai dengan laju gerak kapitalisme.
Awal mula ekspansi kapitalisme dalam dunia pendidikan dapat kita telusuri sejak ditandatanganinya perjanjian GATT, dengan tujuan untuk memuluskan gerak ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), World Bank, dan IMF, dalam rangka menjejakkan kakinya untuk merampok lebih banyak kekayaan negara-negara Dunia Ketiga. Dengan dalih Globalisasi (yang tidak lain adalah wujud lanjutan dari kapitalisme; imperialisme) dan semangat kompetisi, kekuatan-kekuatan ini mencoba untuk mendikte negara agar melepaskan campur tangannya terhadap pasar dan membiarkan individu-individu untuk berkompetisi sebebas mungkin.[1] Ekspansi kekuatan ekonomi global ini dilakukan demi menjaga produktifitas pertumbuhan kapital, sebagai jalan keluar atas jenuhnya kapital yang tersentral pada negara-negara maju beserta korporasi besarnya, juga sekaligus mencari pasar-pasar baru bagi berlimpahnya produk-produk yang diciptakan. Sebagaimana Marx dan Engels katakan dalam Manifesto Komunis[2]:
“Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya telah mendorong borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, berusaha di mana-mana, dan membangun hubungan di mana-mana.”
Di Indonesia, ekspansi tersebut mendapatkan momentumnya saat Indonesia dilanda krisis 1997 dan penandatanganan Washington Consensus[3] oleh Soeharto. Penandatanganan perjanjian tersebut dapat dilihat sebagai pengesahan atas penjajahan yang dilakukan secara legal formal demi satu tujuan, akumulasi kapital tanpa batas. Sejak saat itu, Indonesia tak bisa lepas dari dikte IMF dan mesti menjalankan “resep penyembuh sakit” melalui regulasi-regulasi yang tidak lain merupakan bisikan halus IMF, sebagai upaya penjinakan dan pelumpuhan kuasa negara terhadap ekspansi kapital Internasional. Terkait pendidikan, dalam perjanjian tersebut tersiratkan bahwasanya, “negara perlu mengatur kembali regulasi (baca: pemotongan subsidi) terkait pengeluarannya atas pendidikan (juga fasilitas publik lainnya seperti kesehatan dan infrastruktur)”. Tak lama berselang setelah penandatanganan kesepakatan tersebut, lonceng petaka terdengar dalam dunia pendidikan dengan terbitnya regulasi yang ramah investasi seperti UU Badan Hukum Pendidikan dan UU Penanaman Modal, berlanjut kemudian beberapa Peraturan Presiden (Perpres) yang menjelaskan tentang penanaman modal asing dalam pendidikan dengan persentase kurang lebih 49%. Peraturan Presiden tersebut yakni PP No. 76 tahun 2007 dan PP No. 77 tahun 2007.[4] Dengan munculnya UU dan Perpres ini, pihak swasta kemudian melenggang masuk bersama kapitalnya dan menjadikan apapun yang bisa dijadikan uang sebagai sarana akumulasi.
Patuhnya negara terhadap desakan Internasional tersebut merupakan suatu malapetaka besar bagi kedaulatan dan kemakmuran masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Dengan hilangnya perlahan subsidi yang dikeluarkan negara, masyarakat jelas akan kehilangan satu payung perlindungan yang menaunginya. Alih-alih melindungi, sikap yang ditunjukkan negara malah justru jelas mencederai amanah konstitusi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sikap tersebut juga tak sesuai dengan komitmennya dalam Deklarasi Universal HAM, yang mana menjelaskan bahwasanya pendidikan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia dan negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan tersebut.
Kini dengan semakin mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan demi mendapat akses pendidikan, banyak generasi yang mesti memupus mimpinya melanjutkan langkah kakinya menuju gerbang sekolah. Dilansir dari data BPS, pada tahun 2017, Angka Partisipasi Sekolah (APS) umur 16-18 tahun merosot drastis ketika memasuki fase selanjutnya (19-24 tahun), yang mana pada rentang umur tersebut merupakan fase anak/remaja seharusnya mendapatkan akses ke Perguruan Tinggi. Pada tahun ini, Angka (APS) umur 16-18 tahun mencapai 71,20%, dan hanya 24,67% yang dapat menempuh pendidikan fase selanjutnya, yakni Perguruan Tinggi.[5] Kemerosotan ini sebenarnya tak hanya terjadi pada tahun tersebut. Bahkan dalam satu dekade sebelumnya, angka-angka ini tidak menunjukkan hal yang jauh berbeda, dimana tahun 2007, APS umur 19-24 tahun hanya menunjukkan angka 12,20%. Kemudian berturut-turut hingga 2017 yakni 12,43%, 12,66%, 13,67%, 14,47%, 15,94%, 20,04%, 22,74%, 22,79% dan 23,80%. Berdasarkan angka tersebut, nyatanya memang menunjukkan suatu perkembangan maju. Namun, takkan berarti apa-apa di tengah persentase yang bahkan jauh dari setengah populasi pemuda usia 19-24 tahun. Penumbalan sebagian manusia atas terpenuhinya kebutuhan manusia lain tersebut bukanlah suatu tren yang patut dibanggakan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, mahalnya biaya pendidikan (khususnya Pendidikan Tinggi) disebabkan juga oleh pemotongan subsidi (sebagaimana desakan Washington Consensus). Hal ini dapat dilihat dari dana APBN untuk Perguruan Tinggi yang terus menurun dari tahun ke tahun. Dari tahun 2014-2017, anggaran yang dikucurkan berturut-turut yakni 46 triliun, 42 triliun, 40 triliun, dan 39 triliun. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, dalam pidato ilmiahnya saat menghadiri Dies Natalies UNPAD dua tahun lalu. Tak hanya menjelaskan ihwal pemotongan subsidi, ia juga mengeluarkan statement yang cukup membingungkan. Dalam kesempatan pidato tersebut, ia mengungkapkan bahwasanya Rektor seharusnya bersikap layaknya seorang CEO (Chief Executive Officer), mencari cara bagaimana agar dapat menghasilkan uang, sehingga tidak terus-terusan menggantungkannya pada anggaran negara. Lanjutnya, hal itu dapat dilakukan dengan cara mengindustrialisasi penelitian dan mengkomersialisasikannya pada bidang industri.[6]
Suatu statement yang muncul dari pola pikir menyesatkan. Dengan pola pikir tersebut, secara tak langsung ia mengarahkan agar dunia pendidikan (baca: kampus) mestilah beroperasi layaknya pabrik dengan hitung-hitungan untung-rugi. Alih-alih menuntun pendidikan agar kembali pada relnya, yakni “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”, argumen ini justru membawa pendidikan jauh dari hakikat yang sebagaimana mestinya. Terlebih dengan menuntun Institusi Pendidikan menggadaikan martabatnya pada dunia industrialisasi, yang menjadi tonggak utama berdirinya pranata kehidupan kapitalisme. Melakukan hal tersebut sama halnya dengan bersekongkol mempertahankan dominasi dan status quo sistem.
Pendidikan: Dampak Komodifikasi
Tak disangsikan lagi, kondisi pendidikan bangsa ini telah memasuki zona merah yang sangat akut di bawah cengkeraman kapitalisme. Dengan berkuasanya sistem ini, pendidikan sangat menguntungkan bagi perkembangannya dalam berbagai lini.
Pertama, dengan terbukanya pintu gerbang dunia pendidikan atas investasi yang (sangat) bisa dimasuki modal swasta, dunia pendidikan akan menjadi ladang investasi yang sangat menguntungkan sebagai tempat tumbuh suburnya kapital. Dengan masuknya swasta, pengontrolan biaya masuk pendidikan bisa dengan mudah sesuai kehendak hatinya. Sebagaimana logika kapitalis yang tak ingin rugi, sudah semestinya ia menarik biaya yang jelas tidak sedikit jumlahnya bagi individu-individu yang ingin mencicipi manis asinnya kue pendidikan. Akibatnya, dengan biaya masuk yang mahal ini, banyak masyarakat (khususnya menengah ke bawah) yang jelas terlunta-lunta dan tak mampu mengakses fasilitas ini. Sebagai contoh, lihat saja biaya kuliah beberapa universitas ternama di negeri ini. Adapun jumlah biaya kuliah (tarif UKT) –tahun akademik 2017/2018- beberapa Universitas di Indonesia, misalnya Universitas Indonesia (UI) mencapai kisaran paling rendah Rp. 2.000.000,00 hingga Rp.7.500.000,00 per semester.[7] Lalu Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan biaya kuliah mencapai Rp. 10.000.000,00/semester bagi mahasiswa non-SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) dan Rp. 20.000.000,00/semester bagi mahasiswa SBM.[8] Kemudian Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan biaya kuliah per semester kurang lebih Rp. 2.500.000,00-Rp. 10.000.000,00.[9] Secara garis besar, tidak menutup kemungkinan angka-angka ini akan terus melonjak naik dalam tahun-tahun berikutnya.
Kedua, akibat dari pendidikan yang mahal dan jelas sulit terakses oleh kalangan menengah ke bawah, alhasil masyarakat golongan ini akan menjadi santapan empuk bagi kapitalis industri dalam memperpanjang Industrial Reserve Army –“tentara cadangan industri”- seperti yang dikatakan Marx. Tentara cadangan industri (baca: pengangguran) ini sangat dibutuhkan kapitalis untuk mendapatkan tenaga kerja murah, yang mana merupakan syarat mutlak baginya untuk mengeruk laba atau keuntungan. Bila melihat kembali asal muasal ekspansi Kapitalis Internasional atas negara Dunia Ketiga, tersedianya “tentara cadangan industri” memang menjadi salah satu tujuannya melebarkan sayap (selain bahan mentah dan pasar). Sebab, barisan tentara cadangan ini akan meminimalisir biaya produksi yang dikeluarkan, dengan upah yang sangat minim. Selain itu, dengan melimpahnya tenaga-tenaga ini, daya tawar masyarakat miskin pun semakin terbatas dan mau tak mau mesti pasrah menerima apapun yang disuguhkan kapitalis industri dengan tunduk dan patuh. Adapun sebagian yang memang telah mendapatkan pekerjaan, mesti rela dihargai murah atas tenaganya. Sebab, logika yang digunakan selalu bertolak ukur berdasarkan legalitas material (ijazah) dan dengan sendirinya mereduksi kreatifitas manusia berdasarkan kepemilikan legalitas material tersebut.
Data BPS tahun ini menunjukkan angka “pengangguran terbuka”[10], yakni lulusan SMA umum yang mencapai jumlah 1,6 juta jiwa, dan 1,4 juta jiwa untuk lulusan SMK/Kejuruan. Pada tahun 2017, jumlah lulusan ini yang menganggur mencapai jumlah 1,9 juta jiwa (lulusan SMA umum) dan 1,6 juta jiwa untuk lulusan SMK/Kejuruan. Pada tahun 2016, tren yang sama juga ditunjukkan dengan angka mencapai 1,9 juta jiwa (lulusan SMA umum) dan 1,5 juta jiwa untuk lulusan SMK/Kejuruan.[11] Individu-individu yang terhitung dalam jumlah inilah yang nantinya kelak menjadi tenaga kerja cadangan di rumah produksi kapitalis untuk memenuhi keuntungannya.
Sedangkan untuk lulusan yang sama –yang memang telah mendapatkan pekerjaan- data BPS tahun 2017 menunjukkan; angkatan kerja dalam bidang industri untuk lulusan tersebut – yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi– sangatlah banyak. Pada tahun tersebut, angka yang ditunjukkan mencapai 3 juta jiwa (untuk lulusan SMK/Kejuruan) dan 2,9 juta jiwa untuk lulusan SMA umum. Jumlah angkatan kerja industri yang sangat banyak juga ditunjukkan lulusan SLTP/SMP, dengan jumlah mencapai 3,6 juta jiwa. Tren negatif ini bahkan tidak jauh lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, angkatan kerja lulusan SMA/Sederajat mencapai 3,4 juta jiwa (untuk lulusan SMA umum) dan 2,9 juta jiwa untuk lulusan SMK/Sederajat. Pada tahun 2015, angkatan kerja lulusan SMA/Sederajat ini mencapai 3,2 juta jiwa (untuk lulusan SMA umum) dan 2,6 juta jiwa untuk lulusan SMK/Sederajat. Tren yang serupa dan tidak lebih baik juga dialami oleh angkatan kerja lulusan SLTP/SMP, dimana angka 3,5 juta jiwa ditunjukkan pada tahun 2016 dan 3,7 juta jiwa untuk tahun sebelumnya.[12] Kondisi-kondisi ini merupakan konsekuensi logis ekspansi kapitalisme atas pendidikan dengan menjadikannya sebagai komoditas mewah yang hanya dapat diakses dengan satu syarat, uang.
Reproduksi Kelas Pekerja dan Masifnya Ideologi Dominan
Menelusuri sistem pendidikan tanpa mengaitkannya dengan suatu relasi kuasa yang lebih besar, dalam hal ini ekonomi, takkan memberikan suatu gambaran yang menyeluruh tentang segala ihwal serta tujuan kerja di belakangnya. Terlebih, dengan berkuasanya sistem ekonomi kapitalisme sebagai ideologi dominan, dengan misi produksi dan akumulasi sebanyak mungkin. Tak pelak lagi, institusi-institusi lain (khususnya Pendidikan) jelas akan terpengaruh atau bahkan dipaksa tunduk untuk mengikuti logika dan cara kerja sistem ini. Sebenarnya, dengan kerja-kerja yang tak tampak dan sangat halus, kapitalisme telah menggiring pendidikan menuju suatu yang sangat jauh dengan visi misi pendidikan awalnya.
Maka itu, teruntuk individu-individu yang sempat mendapatkan akses atas pendidikan, jangan buru-buru senang dulu. Masa depan kita semua tak selalu berakhir baik di bawah naungan kerja kapitalisme. Sebab, dengan berkuasanya kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang dianut, sistem pendidikan pun (khususnya kurikulum) tak bisa seenaknya berulah, tanpa komando dan instruksi kapitalisme. Dengan segera, ia diatur agar sejalan dengan kerja-kerja sistem kapitalisme. Alhasil, pengetahuan-pengetahuan yang kini diajarkan dalam beragam institusi cenderung bersifat teknis dan dirancang sesuai kebutuhan demi memperlancar saluran pernapasan kapitalisme. Jangan heran, kini banyak ragam keahlian/jurusan teknis industrial maupun manajerial diciptakan, dan sejatinya sesuai dengan permintaan pasar. Contoh konkret dari hal ini dapat kita saksikan dari bermacam klasifikasi fokus ilmu-ilmu alam (teknik sipil, teknik industri, dan sebagainya) maupun ilmu sosial (khususnya hukum bisnis, manajemen dan perbankan). Eksistensi keahlian atau jurusan tersebut sejalan dengan kebutuhan yang diminati pasar (industri), demi menopang berjalannya aktifitas-aktifitas produksi. Dengan kata lain, fungsi pendidikan dalam sistem kapitalisme direduksi hanya sebagai sarana untuk mereproduksi tenaga kerja-tenaga kerja baru dan memperpanjangkan relasi penindasan antar kelas. Di bawah kondisi ini, jelaslah siapa yang akan diuntungkan dan siapa pula yang akan dirugikan.[13]
Selain kerja-kerja reproduksi di atas, institusi pendidikan juga memerankan salah satu peran penting lainnya bagi penopang berjalannya sistem ekonomi kapitalisme. Sebagaimana pengklasifikasian mengenai institusi-institusi penopang kapitalisme, apa yang Louis Althusser sebut sebagai “aparatus ideologi negara” sejatinya sedang dimainkan pendidikan kini.[14] Demi berjalannya sistem yang mereduksi kelas menjadi kaya dan miskin, sarana untuk menidurkan kesadaran sungguh-sungguh dibutuhkan kapitalisme. Hal demikian untuk menjaga penindasan agar tetap berlangsung tanpa penolakan (pemberontakan), sekaligus melegitimasi keadaan sekarang (baca: penindasan) sebagai keadaan yang sudah asali dan harus diterima sebagaimana mestinya. Bahwasanya apa yang sekarang sedang menimpa mereka (masyarakat miskin) adalah hal yang diinginkan Tuhan (baca: takdir) atau paling jauh karena sifat malas dan boros yang dilakukan masyarakat miskin hari-harinya. Inilah nilai yang sedang dan selalu dicekoki institusi pendidikan, entah disadari atau tidak, entah dengan cara tak kasat mata ataupun secara terang-telanjang sekalipun.
Penutup
Salah satu jalan untuk mewujudkan suatu visi pendidikan yang benar-benar membebaskan yang kini sedang di bawah cengekeraman kapitalisme bukan suatu hal yang mudah. Namun, bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan. Upaya menciptakan suatu sistem pendidikan yang berbeda, sebagai sarana menandingi kuatnya dominasi sistem yang sedang berlangsung sangat diperlukan. Sebab, kapitalisme selalu memakan tumbal tiap menitnya dan penumbalan tersebut kini sedang difasilitasi dengan baik oleh institusi pendidikan. Inilah tugas yang mesti dan sejatinya perlu untuk selalu dipikirkan, diperjuangkan, dipikirkan ulang, dan diperjuangkan kembali, dst –dalam suatu kesatuan yang utuh– sebagai subjek aktif yang berhadapan langsung dengan kompleksnya realitas.
Dominasi sistem kapitalisme dalam pendidikan perlu dibenturkan secara dialektis. Artinya, apabila dominasi sistem tersebut berusaha mereproduksi kekuasaan dominannya, maka tugas yang berseberangan perlu dilakukan untuk melawan dominasi tersebut. Konsekuensi dari komitmen ini adalah mengupayakan sebuah blok baru. Sebuah blok yang mengupayakan pembebasan dan penyadaran kritis dari subjek-subjek pendidikan. Alih-alih demi mengokohkan status quo, peran tandingan ini menjalankan visi yang sama sekali berlawanan dengan visi dan logika kerja kapitalisme. Memaklumi logika dan cara kerja Kapitalisme sama halnya dengan memperpanjang barisan kesengsaraan ini lebih jauh lagi, dan hal itu sangat mencederai berlangsungnya kehidupan, khususnya bagi masyarakat miskin yang jelas sangat tidak diuntungkan. Artinya, tanpa menciptakan upaya perlawanan dan secara langsung menolak kapitalisme sebagai sebuah sistem, mustahil rasanya memimpikan keselamatan dan kesejahteraan di muka bumi ini, terlebih lagi pendidikan.
_________________________________________________________________________
[1] Lebih lanjut, dapat dilihat pada Pengantar buku “Kapitalisme Pendidikan”. Francis Wahono, 2001. Kapitalisme Pendidikan (Antara Kompetisi dan Keadilan). Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras dan Pustaka Pelajar. Hal. xi-xii
[2] Lihat, Karl Marx & Friedrich Engel, 2015. Manifesto Partai Komunis, edisi terjemahan. Bandung: Ultimus, hal. 33
[3] Adapun poin-poin penting dalam kesepakatan Washington tersebut diantaranya; 1) menertibkan fiskal, 2) mengatur kembali pengeluaran masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, 3) reformasi perpajakan, 4) liberalisasi tingkat suku bunga, 5) tarif kurs yang kompetitif, 6) pasar bebas, 7) liberalisasi investasi dari luar negeri, 8) privatisasi, 9) deregulasi, dan 10) penjaminan hak milik. Lebih lanjutnya dapat dilihat dalam Darmaningtyas dkk, 2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani, hal. 29
[4] Ibid, hal. 22
[5]Data ini diambil dari data Badan Pusat Statistik mengenai Pendidikan. Lebih lanjut, dapat diakses pada https://www.bps.go.id/statictable/2010/03/19/1525/indikator-pendidikan–1994-2017.html
[6] Lebih lanjut, dapat diakses dalam harian online jabar.tribunnews.com. http://jabar.tribunnews.com/2016/09/14/anggaran-pendidikan-tinggi-dari-apbn-menurun-setiap-tahunnya-begini-penjelasan-menristekdikti
[7]Biaya ini berlaku bagi mahasiswa yang mengikuti mekanisme BOP-Berkeadilan, yakni sebuah mekanisme pemberlakuan biaya kuliah berdasarkan kemampuan penanggung biaya pendidikan dengan syarat pengajuannya harus disertai dengan beberapa data dan dokumen yang dibutuhkan (data mahasiswa, keluarga, penghasilan, pengeluaran dan aset). Sedangkan mahasiswa yang mengikuti mekanisme BOP-Pilihan, biaya yang dikeluarkan lebih besar lagi, dengan kisaran Rp. 10.000.000,00-Rp. 15.000.000,00 (untuk rumpun IPA) dan Rp. 7.500.000,00-Rp. 12.500.000,00 (untuk rumpun Sosial Humaniora). Lebih lanjut, dapat diakses pada http://biayakuliah.net/biaya-pendidikan-ui-universitas-indonesia/
[8]Angka ini kemudian naik pada tahun akademik 2018/2019 berdasarkan Keputusan Rektor ITB No:01/SK/I1/B02/KU/2018 tanggal 2 Januari 2018. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, biaya kuliah kemudian naik menjadi Rp. 12.500.000,00/semester bagi mahasiswa non-SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen). Lebih lanjut, dapat diakses pada http://biayakuliah.net/ukt-itb-bandung/
[9]Biaya kuliah pada kampus ini dibagi ke dalam enam golongan, yakni dengan biaya yang paling rendah Rp. 500.000,00 (untuk golongan I) dan berturut-turut hingga golongan VI, yakni Rp. 2.000.000,00, Rp. 3.500.000,00, Rp. 5.000.000,00, Rp. 10.000.000,00, hingga >10.000.000,00. Lebih lanjut, dapat diakses dalam http://biayakuliah.net/uang-kuliah-tunggal-ukt-ugm-2014-2015/
[10] Pengangguran Terbuka diartikan sebagai angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali dan telah berusaha mencarinya namun belum mendapatkannya.
[11] Lebih lanjut, dapat diakases dalam Website resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Lihat, https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/11/1932/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-yang-bekerja-selama-seminggu-yang-lalu-menurut-lapangan-pekerjaan-utama-dan-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-2008—2017.html
[12] Lebih lanjut, dapat diakases dalam Website resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Lihat, https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/11/1932/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-yang-bekerja-selama-seminggu-yang-lalu-menurut-lapangan-pekerjaan-utama-dan-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-2008—2017.html
[13] Dede Mulyanto, 2012. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: RESIST BOOK, Hal. 164
[14] Selain institusi pendidikan, beberapa institusi lain yang menjadi alat legitimasi penindasan ideologis lainnya yakni agama, keluarga, hukum, politik, maupun sarana komunikasi (media). Lebih lanjutnya, lihat edisi terjemahan, Louis Althusser, 2015. Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi), dengan judul asli Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation). Penerbit: IndoPROGRESS, hal. 24
__________________
*Penulis adalah Relawan Intrans Institute
*Sumber gambar utama: rebelyouth-magazine.blogspot.com
Pendidikan seperti perusahaan, orang mendirikan lembaga bukan lagi semata-mata untuk penyadaran dan “pendidikan”, banyak diantara mereka hanya mencari keuntungan..