Wahyu Eka Setyawan
Pegiat Walhi Jatim & FNKSDA
Apa yang berbeda di era kita saat ini dengan yang lampau? Tentu di era terkini ada lebih banyak dari kita yang menghuni setiap sudut ruang di bumi, kita memiliki teknologi yang semakin mutakhir dan berkembang. Kondisi tersebut dapat menjadi stimulan dalam melakukan kerusakan jauh lebih besar, dan melakukannya lebih cepat. Lalu kita juga memiliki sistem ekonomi yang tidak mengenal batas. Kerusakan yang terjadi begitu luas sehingga tidak hanya merusak struktur ekologi lokal dan regional, tetapi juga memengaruhi area lebih luas yakni lingkungan planet. Ada banyak alasan kuat mengapa kita bersama dengan banyak orang lain, prihatin dengan disrupsi lingkungan melalui eksploitasi sumber daya berlebih. Hingga dalam konteks dampak pasca eksploitasi, yakni transformasi alam akibat dari degradasi lingkungan hidup.
Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita, terutama untuk manusia-manusia yang resah oleh perubahan struktur alam. Bagaimana melihat relasi alam dengan kehidupan, serta dampaknya jika celah-celah alam tersebut remuk. Tentu akan ada eskalasi bencana ekologis, yang mana asal-muasalnya dipengaruhi oleh gerak material manusia, seperti mengeksploitasi alam secara masif dan banal. Kegagalan pasca konferensi iklim dunia di Kopenhagen 2009 silam menjadi bukti sebuah kegagalan perpolitikan mainstream dalam menanggulangi krisis ekologis. Juga menjadi bukti jika ekspansi ruang kapitalisme mengatasi problem batas ruang, di mana mereka gagal membendung kerusakan alam yang diakibatkan oleh relasi produksi-konsumsi mereka.
Kapitalisme telah mencapai batasnya, sebagaimana jika kita mengacu pada penelitian yang berjudul The Limit to Growth karya Dennis Meadows et al (1972). Pada karya yang juga berhubungan dengan organisasi Club of Rome tersebut, bersintesis jika dunia sama sekali tidak mampu menyesuaikan diri dengan masalah kelangkaan. Teknologi stagnan dan polusi diabaikan, bahkan akibat dari hal tersebut telah berdampak dengan menyiksa jutaan orang hingga mati perlahan. Kekurangan bahan baku membuat industri dan pertanian tidak bisa mengimbangi pertumbuhan populasi. Jika tren pertumbuhan saat ini terus tidak berubah, batas pertumbuhan di planet ini akan tercapai dalam kurun waktu seratus tahun ke depan.
Prediksi ini berkaitan dengan ketidakmampuan kapitalisme dalam melampaui batas ruang, di mana mereka mulai panik karena bahan baku dari alam mulai berkurang drastis. Akibat dari determinasi pasar yang terus mengeskalasi permintaan, produksi melimpah ruah tentu membutuhkan bahan baku, yang kebanyakan tersedia oleh alam. Dan ini menciptakan suatu kondisi yang tidak seimbang, di mana alam sudah kehilangan metabolismenya.
Krisis Ekologis Planet Bumi
Degradasi lingkungan hidup bukanlah suatu hal yang benar-benar baru. Foster dan Magdoff (2018) dalam buku ‘Lingkungan Hidup dan Kapitalisme,’ terutama pada bab krisis ekologi skala planet menjabarkan sebuah perspektif yang cukup materialis-historis. Mereka mengantar kita melihat krisis planet bumi dengan komentar Plato (427-347 SM) yang ditulis dalam Critias. Plato di sini mengungkapkan krisis lingkungan hidup di Athena muncul akibat keserakahan manusia membangun bangunan besar nan megah, menggunakan pohon-pohon yang menopang tanah. Sehingga terjadi situasi di mana wilayah tersebut menjadi gersang dan memunculkan problem lingkungan yang tak bisa diremehkan.
Komentar Plato dalam Critias sangat relevan dengan kondisi kekinian, di mana global warming hingga sebagai climate change menjadi ancaman serius bagi kontinuitas kehidupan umat manusia. Terlebih kini mulai tampak kerusakan-kerusakan yang cukup masif, dengan melampaui batasan-batasan dari daya dukung dan pulih bumi itu sendiri. Contoh konkretnya ialah, adanya perubahan iklim, pengasaman air laut, penipisan ozon stratosfer, batasan aliran biogeokimia, penggunaan air bersih global, perubahan pemanfaatan lahan, hilangnya kenekaragaman hayati, penempatan aerosol ke atmosfer dan tentunya penumpukan polusi kimia. Kondisi tersebut semakin menciptakan situasi hidup di bumi dengan penuh keterancaman, terlebih terkait perubahan iklim. Di mana kita tahu berbagai negara sedang kebingungan dan dalam pertemuan iklim di Paris (The Paris Agreement/UNFCCC)[1] mereka menetapkan batas ambang 1.5 derajat celcius. Sementara yang terjadi sekarang, dampak perubahan iklim yang nyata ialah meningkatnya suhu kira-kira 1 derajat celcius setiap tahunnya.
Realitas terkait semakin menurunnya kondisi lingkungan hidup saat ini, mau tidak mau harus diakui akibat dari transformasi kehidupan umat manusia, kebijakan terkait tata kelola lingkungan hidup, dan tentunya pengaruh dari kapitalisme itu sendiri. Persoalan menipisnya dinding lapisan es di kawasan Arktik sejak tahun 1970 hingga 2007, sekitar 40 persen lapisan tersebut menipis secara perlahan. Selain itu terjadi peningkatan permukaan air laut menjadi rata-rata 3 mm bahkan lebih sejak 1993. Hingga 90 persen glasier di muka bumi ini mulai mengalami pencairan perlahan.
Perlu diketahui jika lapisan es di Himalaya merupakan pemasok air bersih. Jika terjadi pencairan, maka akan mengakibatkan banjir serius. Seperti di Andes yang terletak di sepanjang wilayah Argentina, Chile, Bolivia, Peru, Kolombia, dan Venezuela. Pernah suatu ketika longsor, tepatnya pada tahun 2010 di Chile, mengakibatkan banjir akibat meluapnya Sungai Hualcan karena longsoran gunung es tersebut menjatuhi danau glasial yang terhubung langsung dengan sungai. Sebenarmya masih banyak lagi problem-problem akibat perubahan iklim, hingga problem lainnya yang masih memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Karena problem lingkungan hidup itu multidimensional dan menghasilkan efek multiplier.
Pertautan Kerusakan Lingkungan Hidup dengan Kapitalisme
Semakin menurunnya daya dukung lingkungan hidup dengan munculnya berbagai problem, seperti perubahan iklim yang menyebakan suhu naik, pencairan gunung es, meningkatnya permukaan air laut hingga bencana, menjadi salah satu bukti konkret betapa degradasi lingkungan turut mempengaruhi daya dukung lingkungan hidup. Lantas apa yang menyebabkan kondisi ini terjadi? Apakah karena takdir atau akibat dari eksploitasi masif demi akumulasi kekayaan segelintir orang?
Foster dan Magdoff (2018) dalam pemikirannya mengajak kita untuk menyelami lebih dalam penyebab krisis lingkungan hidup, atau populer dengan sebutan krisis sosial-ekologis. Bukan lagi karena perilaku manusia yang suka membuang sampah sembarangan, atau tidak hobi melakukan konservasi atau penghijauan. Namun lebih melihat ke problem suprastruktur yang direlasikan dengan infrastruktur, yakni peran korporasi dan negara. Negara sebagai pembuat kebijakan, sementara korporasi ialah yang mendapatkan atas kebijakan tersebut. Tetapi pangkal problem dari kerusakan masif lingkungan hidup adalah akumulasi kekayaan, relasi pertumbuhan ekonomi, produksi, dan konsumsi. Atas dalih pertumbuhan ekonomi agar tetap konstan, menjaga laju pendapatan negara dan kondusifnya iklim bisnis dan tenaga kerja, maka eksploitasi diwajarkan sebagai suatu upaya mencapai kesejahteraan. Inilah yang menjadi pangkal semakin kuatnya posisi tawar pasar, terutama dalam konteks imperatif yang relasional dengan kebijakan.
Di mana pasar selain menentukan arah produksi suatu barang dagangan, juga memengaruhi kebijakan pemerintah seperti regulasi yang pro terhadap investasi dan eksploitasi (arus intervensi neoliberalisme). Kondisi tersebut erat kaitannya untuk menjaga konstanta keuntungan, relasi dengan diskursus meningkatkan jumlah produksi untuk memenuhi pasar sebagai implikasi dari konsumsi. Kapitalisme tidak sekadar menumpuk kekayaan, tetapi melihat relasi-relasi yang ada di dalam aspek penguasaan properti, produksi, distribusi, dan reproduksi sosial. Secara umum, kapitalisme mengubah rumus produksi Commodity–Money–Commodity (C-M-C) yang ada sebelum kapitalisme menjadi Money–Commodity–Money (M-C-M). Inilah salah satu aspek kunci dalam kapitalisme yang mendorong krisis sosial-ekologis masif.
Bisnis seperti biasa, melanjutkan apa pun yang dianggap menguntungkan agar terus berjalan, tanpa harus memikirkan persoalan apa yang dihasilkan. Seperti digambarkan oleh Forsyth (2004), ia menyinggung persoalan negara memproteksi korporasi dengan melegalkan pengambilan sumber daya alam secara masif, lalu membuat aturan hijau untuk melindungi pola-pola perusakan yang masif. Hal ini juga dikuatkan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah dan beberapa komunitas ilmiah, untuk membuat sebuah penelitian yang bertujuan untuk melegitimasi konsumsi secara masif, dengan merekayasa situasi dan kondisi melalui teknologi serta perilaku agar terkesan hijau dan pro lingkungan padahal sebenarnya tidak. Seperti yang digambarkan oleh Lohmann dalam Forsyth (2004), dalam proyek kehutanan penyeimbang karbon yang dilakukan guna kampanye pemasaran, juga menyederhanakan proses biofisik. Sebagai contoh perusahaan otomotif Jepang, Mazda meluncurkan mobil di Britania Raya pada akhir 1990-an yang dilengkapi dengan sistem “pengendaraan karbon-netral”. Strategi ini memungkinkan Mazda menjadi perusahaan yang mengandalkan konsumsi bahan bakar fosil dengan sendirinya, dan pelanggannya tampak terlihat ramah lingkungan (pro-iklim) tanpa mengubah ketergantungan itu. Dan ide-ide itu telah terjadi sekarang. Setiap orang memimpikan sebentar lagi, mungkin diharapkan, setiap kali kita memutar kunci kontak, membalik saklar, berlibur, atau memasak makanan. Kita tidak hanya akan menggunakan bahan bakar fosil, tetapi juga menanam pohon di tanah orang lain.
Persoalan kerusakan lingkungan dengan beraneka krisisnya selalu dibebankan kepada rakyat biasa (generalisasi), sementara pola-pola konsumsi berlebihan yang dipraktikkan oleh para orang kaya tidak pernah disinggung. Seperti inilah pola-pola ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi sumber daya mereka diekstraksi dan dieksploitasi, pada sisi lainnya mereka dituduh sebagai ‘biang keladi’ kehancuran planet bumi. Situasi seperti ini menjadi catatan penting, di mana akar dari problem lingkungan hidup berasal dari relasi ekonomi politik, serta relasi produksi konsumsi.
Kapitalisme dengan segala komponennya menjadi faktor kunci dalam penghancuran planet bumi. Mereka selalu berkembang dan bernegasi menyesuaikan dengan konteks zaman. Bahkan ketika pertumbuhan mereka terbatas karena sumber daya, selalu ada cara untuk memodifikasi diri mereka sendiri dan bertransformasi. Prinsip dasar kapital adalah akumulasi, yang mana tanpa akumulasi mereka akan stagnan. Dengan pemahaman tersebut maka munculah sebuah perspektif C-M-C menjadi M-C-M, karena akumulasi merupakan kunci dari setiap relasi produksi konsumsi sebuah kapital. Mereka tidak melihat bahwa lingkungan atau tanah bahkan jenis pekerjaan itu memiliki nilai kultural, yang mempertautkan hubungan manusia dengan alamnya dan menunjukan sebuah metabolisme alam. Karena kepercayaan dari para pemuburu akumulasi menurut Richard Levins dalam Foster dan Magdoff (2018) adalah:
“Pertanian bukanlah untuk menghasilkan makanan tetapi keuntungan. Makanan adalah hasil sampingan. Layanan kesehatan adalah komoditas, kesehatan adalah hasil sampingannya.”
Maka tak heran lagi jika motif utama dalam setiap perusakan alam ialah akumulasi kekayaan, yang tergambar dari relasi produksi dan konsumsi, dengan determinasi pasar yang menentukan hukum permintaan dan penawaran. Secara kompleks lagi setiap produksi membutuhkan ruang dan bahan mentah, maka mereka berlomba-lomba satu sama lain untuk menginvasi sebuah ruang. Dan proses tersebut dipengaruhi oleh monopoli dan kompetisi, yang menjadi hukum pasti dari kapitalisme.
Kompetisi merupakan gerak persaingan yang memicu persaingan satu sama lain, sementara monopoli ialah dominasi pasar, yang mana kedua hal tersebut sangat inheren. Di mana ada kompetisi selalu ada upaya monopoli, tentu untuk menguasai suatu ruang dan sumber daya demi keuntungan maksimal, atau relasi dengan akumulasi profit. Hal ini turut menyebabkan suatu kondisi, di mana terdapat polarisasi pendapatan dan kekayaan, adanya kelompok cadangan pekerja yang semakin membesar, krisis ekonomi periodik, imperialisme dan perang sistematis, yang merupakan hasil dari derivasi problem penguasaan kapital, tentu atas sebuah ruang.
Manipulasi Green Industry
Perkembangan kapital yang terus berekspansi dengan memperluas ruang produksi dan mencari bahan-bahan mentah guna menunjang produksi, menimbulkan dampak yang cukup signfikan bagi perubahan struktur ekosistem. Kerusakan-kerusakan masif akibat dari eksploitasi tak bisa terelakan, penumpukan limbah, menipisnya sumber daya untuk produksi, perubahan iklim, dan tentu semakin menyempitnya ruang hidup rakyat. Semakin membuat kapitalisme dalam batasnya, untuk melanjutkan produksi dengan neraca profit tetap, maka salah satu yang sedang digaungkan ialah industri hijau. Seperti beralih menggunakan bahan bakar nabati, teknologi-teknologi pereduksi karbon, skema mengurangi gas rumah kaca dan insentif-insentif sosial untuk mengurangi dampak dari akumulasi mereka.
Moralitas hijau menjadi salah satu hal yang kerap kita jumpai. Di mana banyak produk-produk bernafaskan hijau, dengan label dapat didaur ulang maupun digunakan untuk penghijauan. Beberapa korporasi mulai berkompetisi menuju hijau, membeli produk mereka sama dengan menyelamatkan lingkungan, karena mereka meminimalisir sampah atau menggunakan produk-produk hijau yang bisa didaur ulang. Di satu sisi mereka mulai beralih menggunakan energi terbarukan atau teknologi yang lebih efisien, produksi-produksi yang bernafaskan hijau.
Kondisi tersebut merupakan salah satu strategi dalam mengurangi dampak kerusakan lingkungan hidup, tujuan dari tindakan-tindakan tersebut tak lain ialah menghijaukan perilaku konsumen. Walau beralih ke yang lebih hijau, tetapi watak akumulasinya tetap, ekspansi tetap berlangsung agar neraca profit tetap konstan. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel McGinn (2009), dalam Foster dan Magdoff (2018), jika menurut pengakuan pemimpin kapital besar seperti Tesco, Coca-Cola, dan Reckit Benckiser, bencana perubahan iklim dapat dihindari serta diminimalisir dengan modifikasi perilaku konsumen. Daripada harus susah-susah mengurangi profit melalui menekan konsumerisme dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana contoh lain manipulasi hijau dapat dilihat dalam konteks Wal-Mart yang berupaya pindah ke energi terbarukan dan menghasilkan nol sampah. Menggiatkan ke pekerjanya nilai-nilai hijau dan mendorong prinsip-prinsip hijau. Pada tahun 2005 mereka mengungkapkan akan mengurangi 20 persen emisi karbon (target 2013), yang tercatat dapat mencapai 2,5 juta metrik ton. Namun apa yang terjadi, pada setahun berikutnya angka emisi karbon mereka meningkat sebanyak 9 persen. Kondisi ini turut dipengaruhi penambahan toko-toko mereka terutama memasuki tahun 2007, konsumsi listrik mereka meningkat yang artinya menambah 1 juta metrik ton karbon. Memang benar mereka melakukan efisiensi energi, tetapi jumlah toko mereka terus ditambah demi menjaga konstansta neraca keuntungan.
Ini juga sama halnya dengan BP Petroleum yang mengatakan akan melakukan prinsip hijau dalam eksploitasi migas dan lebih peka pada konteks sosial. Namun apa yang dilakukan mereka tak berarti, ketika dengan dalih hijau mereka melakukan ekspansi pengeboran minyak sampai ke wilayah rawan seperti di Arktik. Mereka berdalih semua bisa diatasi dengan tanggung jawab sosial dan prinsip hijau. Tetapi hal tersebut berimplikasi pada pengurangan biaya keselematan, di satu sisi efisiensi tersebut meningkatkan laba korporasi. Namun implikasinya besar, banyak kecelakaan kerja yang terjadi. Laut tercemar oleh tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal pengangkut, semua berawal dari efisiensi yang dialokasikan ke sektor sosial. Tentu ini paradoks, di satu sisi bicara hijau dan sosial, tetapi demi keuntungan sektor lain dikorbankan.
Prinsip-prinsip bisnis seperti biasa tetap belaku, walaupun mereka memproklamirkan diri sebagai entitas hijau. Karena pada dasarnya masalahnya ialah relasi produksi dan konsumsi, ekspansi mereka guna memenuhi syarat dasar tersebut, yang pada titik konvergensi berwujud kepentingan akumulasi kekayaan. Penggunaan bahan bakar terbarukan, seperti biofuel juga menjadi problem tersendiri. Sebagaimana contoh sawit, perkebunannya membutuhkan ruang luas. Akibatnya hutan diokupasi, masyarakat adat tereksklusi dan hutan mengalami deforestasi massal. Bahkan di tingkat pemerintah global ada skema REDD+ di mana negara-negara dengan hutan terbesar seperti Indonesia dan Brazil, harus dijaga kelestariannya melalui skema penjagaan jumlah karbon, dan negara-negara yang membutuhkan akan mengadakan perjanjian, neraca karbon sekian ditukar dengan uang dengan jumlah sekian.
Skema lain ialah kewajiban menghijaukan suatu kawasan, sebagai konsekuensi mengeksploitasi suatu kawasan. Hal tersebut konon dilakukan demi menjaga stabilitas karbon. Namun, ini tak lebih dari manipulasi belaka. Lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang metabolis, tentu tak bisa dipertukarkan dalam skema seperti itu. Kapitalisme, kata Marx, akan melakukan alienasi terhadap alam, baik itu dalam aspek akumulasi primitif maupun akumulasi kapital (produksi nilai).
Memajukan Gerakan Lingkungan
Melihat kompleksitas diskursus lingkungan hidup dan kapitalisme, Foster dan Magdoff telah menjabarkan sebuah pengantar yang cukup dalam untuk menelaah problem degradasi lingkungan hidup. Krisis-krisis yang terjadi tidak begitu saja hadir dalam kehidupan manusia atau alam kita, namun ada yang menyebabkan. Relasi produksi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi, menjadi dalih yang begitu kokoh dalam melanggengkan dominasi modal atas alam. Bagaimana modal melalui skema pasar, telah memaksa kebijakan pemerintah hingga perilaku konsumen untuk sesuai dengan konstruksi mereka. Demi keutungan agar tetap konstan, semua hal dimanipulasi termasuk upaya pelestarian lingkungan hidup.
Tentu ini menjadi catatan tersediri, kunci dari problem krisis lingkungan hidup ialah determinasi kapitalisme atas semua aspek. Teknologi produksi hadir bukan sebagai solusi pelestarian lingkungan, namun hanya dijadikan alat untuk mempercepat gerak akumulasi kapital. Pokok dari persoalan sosial-ekologis ini ialah keharusan akumulasi dalam kapitalisme, yang semakin meneguhkan ketimpangan dan melanggengkan kerusakan sistematis masif terhadap lingkungan hidup.
Catatan dari Foster dan Magdoff di akhir bukunya ini, terdapat sebuah lampiran kesepakatan rakyat dengan berbagai solusi dan tuntutan. Namun semua itu tak berarti jika tak ada upaya meruntuhkan oligarki yang, bahkan menurut Jefferty Winters (2011) dengan pendekatan Weberian-nya, hanya bisa diruntuhkan melalui upaya revolusi. Upaya-upaya reformasi hanya memberikan keleluasaan bagi oligarki untuk mereorganisasi kekuatannya. Dan gerakan transformasi juga tak cukup menghentikan gerak kapitalisme yang terus mereproduksi krisis sosial-ekologis.
Untuk itu, gerakan lingkungan perlu menyusun kekuatan demokratis di level grassroot, memasifkan pengetahuan, dan memajukan gerakan-gerakannya yang selama ini berparadigma transformatif—dalam pengertian Mansour Fakih (1996)—menjadi berorientasi mengubah tatanan kapitalisme yang, tidak bisa tidak, memerlukan perjuangan politik. Tanpa upaya tersebut, penulis rasa mustahil menyelamatkan lingkungan hidup!***
Referensi
Fakih, M. (1996). Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Forsyth, T. (2004). Critical political ecology: the politics of environmental science. Routledge.
Foster, J. B. (2013). Ekologi Marx, Materialisme dan Alam (Pius Ginting, Penerjemah). Jakarta: Walhi
Foster, J. B., & Magdoff, F. (2018). Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar (Pius Ginting, Penerjemah). Tangerang: Marjin Kiri.
Winters, J. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka
Catatan kaki
[1]The United Nation Framework Convention on Climate Change adalah kesepakatan internasional terkait perubahan iklim sebagai tindak lanjut dan juga diadopsi dari konvensi Rio de Janiero pada 9 Mei 1992. UNFCCC berfokus pada stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, pada level di mana mencegah bahaya anthropogenic interference (gangguan/campur tangan manusia) pada sistem iklim. Ini berkaitan dengan pola pandang campur tangan manusia dalam memodifikasi lingkungan, seperti menyesuaikan lingkungan hidup dengan kebutuhan manusia.
Gambar: komun-academy.com
Baca Juga:
Revolusi Ekologis: Menyelamatkan Bumi dari Kehancuran Akibat Kapitalisme