Oleh:
Muhammad Rahmat Hidayatullah*
Salah satu karya Lev Davidovich Bronstein atau Leon Trotsky, Revolusi Permanen, pertama kali diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pada 2009 silam. Bagi beberapa kalangan, nama Trotsky mungkin terdengar asing. Maklum saja, pada masa-masa kemunduran Negara Buruh Uni Soviet, kalau boleh saya katakan, Trotsky adalah “Husain-nya Marxis”. Bagi kalangan lain, Trotsky adalah seorang pejuang revolusioner yang menjadi salah satu aktor keberhasilan berdirinya negara buruh pertama di dunia. Ia juga menyelamatkan Marxisme dari penyimpangan dan penyesatan yang dilakukan oleh birokrat Stalinis. Sebagai salah satu tokoh utama dalam Revolusi Oktober (1917), takdir Trotsky terikat dengan nasib kaum proletar. Sehingga apa yang terjadi pada kaum buruh – khususnya di Uni Soviet – menentukan jalan perjuangan Trotsky.
Sebagai seorang Marxis yang melanjutkan tradisi Marxisme, ia merupakan ancaman bagi birokrat Stalinis. Seluruh karyanya pada masa tersebut dilarang untuk dipelajari. Alhasil, jika ada individu maupun kelompok yang tidak sependapat dengan Kremlin dan kawan-kawannya, stempel Trotkysm akan melekat pada orang-orang tersebut. Meskipun individu maupun kelompok itu tidak mengenal, atau bahkan tidak pernah membaca satupun karya Trotsky.
Di Indonesia, contohnya adalah Tan Malaka. Akibat pandangannya yang melihat bahwa perlunya Komintern (Internasionale ke-3) merangkul dan berjuang bersama semua elemen progresif-revolusioner yang memiliki tujuan bersama, termasuk salah satunya Pan-Islamisme. Namun, karena berbeda pandangan dengan birokrat Stalinis, Tan akhirnya dikeluarkan dari Komintern (Komunis International). Ia di cap sebagai Trotskysm, meskipun ia sendiri belum pernah membaca karya Trotsky. Hal tersebut bisa diketahui ketika ia menyinggung perbedaannya dengan Trotsky pada tulisannya “Thesis”. Jelas, disitu Tan tidak tahu sama sekali ihwal Trotsky dan karya-karyanya. Meskipun Tan sendiri pernah bertemu (tidak secara pribadi), atau lebih tepatnya melihat Trotsky ketika ia masih tinggal di Uni Soviet (1922-1923). Padahal pada periode awal Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1920-an, nama Trotsky dan Lenin merupakan dwi-tunggal Revolusi Oktober. Pada kongres PKI, tepatnya Desember 1921, diatas panggung kongres adalah foto Lenin dan Trotsky, bukan Lenin dan Stalin.
Sementara itu, salah satu sastrawan besar kita, Almarhum Sobron Aidit (adik dari D.N. Aidit) menuturkan:
“Dia (Asahan) sudah menamatkan bacaan dari Trotsky tentang riwayat hidup STALIN, tulisan ini setebal 900 halaman. Menurut dia – sangat menarik. Saya sendiri tidak tahu dan tidak memahami benar kenapa dulu kami diajarkan begitu sangat anti-Trotsky. … Padahal sebenarnya saya tidak tahu dan tidak mengerti benar apa paham dan ideologi Trotsky-isme itu.” [Kisah Serba-Serbi ( Omong-omong dengan ASAHAN ALHAM ), Sobron Aidit, Paris, 11 September 2006]
Di era sekarang, bagi beberapa kalangan yang tidak mengetahui Marxisme dan sejarahnya secara jelas, hanya akan ada dua kemungkinan baginya melihat Marxisme. Pertama, bahwa Marxisme dengan sosialismenya telah gagal, bahkan membusuk dengan sendirinya. Hal tersebut diekspresikan dengan jelas oleh runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya Partai-Partai Komunis di dunia. Kedua, mengamini keruntuhan Uni Soviet dan melihatnya semata karena bobroknya moral birokrat Stalinis tanpa menganalisa kontradiksi yang ada dengan ketat. Kemudian dengan semangat aktivisme berlandaskan materialisme vulgar, dibarengi dialektika-historis penuh distorsi, melangkahkan kaki menuju degenarasi yang sama pada masa-masa birokrat Stalinis. Bukanlah dengan demikian itu seorang Marxist melihat dan melakukan sesuatu!.
Relevansi Membaca “Revolusi Permanen”
Buku ini memuat dua karya penting Trotsky, yakni Hasil dan Prospek (1906) dan Revolusi Permanen (1929). Lantas, seberapa relevan karya tersebut dibaca pada masa sekarang?. Bagi beberapa kalangan Marxis, pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu diekspresikan. Namun jika memang perlu dijawab, maka buku ini merupakan rujukan penting dalam hal-ihwal revolusi. Tidak hanya tentang Revolusi Oktober di Rusia, tapi juga revolusi negara-negara lainnya di seluruh dunia.
Bagaimana secara khusus untuk Indonesia?
Sejak pertama kali diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pada 2009 lalu, karya kontroversial ini cukup menjadi polemik. Beberapa kawan di Indonesia tidak sepakat dengan teori Revolusi Permanen. Mereka yang tidak sepakat kebanyakan terjebak pada thesis bahwa “bangsa Indonesia itu unik, karena keunikan inilah maka ia membutuhkan teori revolusi yang berbeda dari yang lainnya”.
Begitu juga dengan teori Revolusi Permanen sendiri, banyak yang menganggapnya luput dari tugas-tugas pokok revolusi. Kawan-kawan yang tidak sepakat dengan Revolusi Permanen menarik kesimpulan bahwa revolusi tersebut mencampur-adukkan antara tugas revolusi demokratik dan revolusi sosialis. Padahal jika teliti membaca karya tersebut, justru Trotsky sangat menekankan untuk tidak melupakan tugas revolusi demokratik. Apa yang dimaksud “permanen” di sini bukanlah menggabungkan teori Revolusi Dua Tahapnya Stalin, tapi menghapus teori revolusi tersebut. Sehingga revolusi berjalan tanpa interupsi. Memang, diantara tugas demokratik menuju sosialisme terdapat satu jembatan penghubung. Justru disinilah sifat permanennya. Ia tidak terinterupsi hanya pada tugas demokratik saja, tapi langsung menuju sosialisme. Jika sebagian kawan masih menganggapnya sebagai pencampuran antara tugas-tugas revolusi, kalau boleh saya katakan; ia memang bercampur tetapi sifatnya percampurannya adalah “organik”.
Bagi kaum muda Indonesia, buku ini merupakan karya penting menyangkut formulasi teori Revolusi. Meskipun didalamnya secara jelas digambarkan kontekstualisasi teori tersebut di sebuah negara Eropa Timur. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadikannya eksklusif dan tidak bisa diadopsi di negara kita ini.
Mengutip salah satu tulisan pengantar buku tersebut oleh kawan Ted Sprague, Sekapur Sirih dari Penerjemah untuk Edisi Kedua, ia menggugat; “teori sosial modern mana yang tidak datang dari luar negeri?”. Dengan begitu kita harus tahu dan sadar, bahwa dengan latar belakang bangsa Indonesia yang unik ini, kita tidak boleh menutup diri. Justru kita memerlukan referensi dari bangsa lainnya. Bukan untuk dipraktekkan persis begitu saja, tetapi sebagai bahan analisa guna menentukan prognosis ke depan.
Mengenai keunikan tersebut, pada bagian pertama (Hasil dan Prospek), Trotsky mengekspresikan hasil analisis tentang keterbelakangan sebuah negara. Di mana hampir 90% rakyatnya buta huruf serta masih percaya takhayul, klenik dan sejenisnya. Selain itu, watak dari masyarakat Eropa Timur khususnya Rusia, sangat konsumtif. Sehingga mereka menjadi pasar bagi komoditas hasil produksi Eropa Barat. Sedikit gambaran tersebut mengekspresikan kesamaan sebagian watak sosialnya dengan masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, Trotsky menggambarkan kelas-kelas yang ada pada revolusi-revolusi yang terjadi di Eropa. Sekali lagi, kita akan melihat cermin kabur dari kelas sosial di Indonesia dengan kelas-kelas sosial disana. Dari karya inilah, kita akan belajar banyak tentang formulasi teori revolusi, sehingga perumusan proposal revolusi tidak berdasarkan avonturisme semata. Tetapi juga berdasarkan analisis kondisi material, yang akan menjadi salah satu penentu watak revolusi itu sendiri.
Selain itu, pada bagian kedua (Revolusi Permanen), kita bisa melihat perspektif baru dalam kerangka analisis Marxis. Ketika mengevaluasi hasil dari teori revolusi, serta kontradiksi-kontradiksi yang ada akibat distorsi teori sosialisme dalam pengimplementasiannya yang dilakukan oleh birokrat Stalinis.
Watak Kelas dan Revolusi
Pada bagian “Hasil dan Prospek”, Trotsky menulis 10 bab penting. Dalam bab pertama dan kedua, Trotsky memaparkan kondisi sosial masyarakat Rusia beserta kelas-kelas yang ada, sesuai konteks perkembangannya. Ia juga secara gamblang menggambarkan kondisi industri dan perekonomian Rusia. Totsky menuliskan:
“…Sistem pabrik industri tidak hanya mendorong kelas proletar untuk maju kedepan, tetapi juga menghancurkan pondasi berdirinya demokrasi borjuis.”
Dari tulisan itu, Trotsky ingin menjelaskan bahwa dengan kondisi perekonomian dan corak produksi yang khas, menyebabkan kaum borjuasi tidak mampu untuk menuntaskan tugas sejarahnya. Dengan level perkembangan kapitalisme di Rusia yang rendah secara ekonomi, dan secara politik memiliki kelas proletar yang lebih kuat dari Kelas Kapitalis. Maka dengan kondisi demikian – kelas borjuis yang semakin terpuruk –kaum proletarlah yang harus mengambil dan menuntaskan tugas sejarahnya sendiri!
Mengenai analisanya terhadap revolusi-revolusi sebelumnya dengan revolusi Rusia (1905), Trotsky menuliskannya pada Bab 3; “1789 – 1848 – 1905”. Pada bab tersebut, kita akan melihat beberapa revolusi yang ada beserta watak revolusinya, serta siapa yang menjalankan tugas sejarah tersebut. Revolusi Prancis (1789), Trotsky menuliskan bahwa memang revolusi borjuis merupakan revolusi nasional, dan mencapai kemenangan dengan ekspresi klasiknya. Pada periode Prancis, kelas borjuis, sebagaimana di gambarkan oleh Trotsky sebagai kelas yang tercerahkan, aktif, belum sadar akan kontradiksi-kontradiksi di dalam posisinya, dan oleh sejarah dibebankan tugas kepemimpinan perjuangan demi sebuah orde yang baru.
Selanjutnya pada 1848, kaum borjuasi sudah tidak mampu lagi memainkan peran yang sama. Sehingga dibutuhkan sebuah kelas yang mampu mengambil tampuk kepemimpinan gerakan tanpa keberadaan kaum borjuasi. Sebuah kelas yang bukan hanya mampu mendorong maju kaum borjuasi, tetapi juga menyingkirkan mayat politik kaum borjuasi. Sayangnya, di tengah kondisi demikan, kaum borjuasi kecil kota dan kaum buruh tidak mampu mengambil peran. Hal tersebut berbeda dengan Rusia, Trotsky menuliskan bahwa kaum buruh Rusia 1906 tidak sama dengan kaum buruh pada revolusi-revolusi sebelumnya. Sehingga dengan belajar dari revolusi-revolusi yang telah terjadi, antara hubungan buruh dan revolusi, maka tugas mempersenjatai revolusi berarti mempersenjatai buruh.
Mengenai peran buruh di Rusia, pada Bab 4 “Revolusi dan Kelas Proletar” Trotsky membandingkan antara kaum buruh Rusia dan di negara maju lainnya seperti Amerika. Berdasarkan perkembangan ekonomi, meskipun Rusia jauh tertinggal, namun kaum buruh di Rusia mengambil peran politik yang signifikan. Hal tersebut kelihatannya merupakan kontradiksi atas konsepsi sejarah materialis. Di sini kita akan belajar bagaimana cara melihat dan menggunakan sebuah konsepsi materialis. Kita akan banyak melihatnya sebagai sebuah metode investigasi. Bukan hanya sebagai sebuah stereotype yang sudah jadi.
Sosialisme Rusia dan Masa Depanya Pasca Revolusi
Kita mungkin telah banyak membaca teori revolusi, kontradiksi yang akan menyebabkannya, serta kondisi-kondisi umum yang menentukan hal itu akan menemui kemenangannya atau malah tiba pada tiang gantungannya. Dalam hal ini, Trotsky menuliskan tentang hubungan kaum proletar dengan kelompok-kelompok sosial revolusioner non-proletar lainnya. Tentang mereka, sikapnya terhadap revolusi, dan wataknya yang akan mempengaruhi kebijakan yang di ambil.
Mengenai revolusi menuju sosialisme, Trotsky memberikan analisanya terhadap konsepsi syarat-syarat sosialisme yang di jelaskan oleh Marx. Selanjutnya dipresentasikan oleh Nicolas Rozhkov dalam sikapnya terhadap “sosialisasi koperasi”.
Rozhkov mengambil konsepsi yang dijelaskan Marx, bahwa syarat terwujudnya sosialisme adalah dengan melihat level perkembangan teknik, yaitu dominasi skala produksi. Selanjutnya tentang syarat subjektif, yaitu pekembangan kesadaran kelas. Lalu terakhir, dominasi sistem produksi koperasi. Dengan menganggap syarat-syarat tersebut sebagai sebuah konsepsi yang harus di penuhi dan di pahami sebagai stereoptipe, maka Rozhkov telah mengubah Marxisme menjadi sebuah utopisme. Berbeda dengannya, berdasarkan syarat-syarat tersebut, Trotsky dengan cerdas menggunakan metode investigasi dengan dialektika-historisnya.
Masa Depan Rusia Pasca Revolusi
Pepatah mengatakan, yang lebih sulit dari mendapatkan sesuatu adalah mempertahankannya!. Setelah revolusi tercapai (penggulingan kekuasaan Tsar), selanjutnya adalah tentang; “apa yang harus dilakukan guna mempengaruhi masa depan revolusi itu sendiri”.
Bagian pertama karya Trotsky ini telah memaparkan bagaimana kondisi Rusia serta kelas-kelas di dalamnya, yang akan mempengaruhi hari-hari pasca revolusi. Bagian ini merupakan bagian penting yang sayangnya seringkali luput diperhatikan beberapa kawan yang telah membacanya. Kita melihat Trotsky tidaklah melupakan tugas-tugas demokratik, yang mana merupakan tugas yang sifatnya reformis; seperti pengurangan jam kerja, masalah pajak dan reforma agraria dsb.
Trotsky memberikan prognosisnya; bahwa revolusi Rusia akan menjadi awal dari revolusi-revolusi lainnya di Eropa. Revolusi tersebut akan menciptakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk revolusi, dalam hal kesadaran dan karakter kelas buruh Eropa. Di sinilah fungsi Partai menjadi penting untuk merevolusionerkan kesadaran kelas buruh, sebagaimana perkembangan kapitalisme merevolusionerkan relasi-relasi sosial. Selain itu, tujuan dari revolusi bukanlah menciptakan kesadaran sosialisme, tetapi menciptakan kehidupan sosialisme. Karena dari kehidupan itulah kesadaran akan terbangun.
Prognosis selanjutnya; bagaimana jika revolusi Eropa lainnya (Eropa Barat) menemui kegagalan? Maka kaum proletar Rusia akan menghadapi serangan terorganisir dari kaum reaksioner sedunia. Di sisi lain, Trotsky juga memberi prognosis tentang akan adanya pihak lain dari kaum proletar sedunia yang akan menemui kesiapannya untuk memberikan dukungan yang terorganisir.
Ketika revolusi di Rusia tidak di sambut oleh revolusi lainnya di Eropa, maka keterisolasian yang akan ia temui. Dengan keterisolasian itu, kelas buruh Rusia pasti akan dihancurkan oleh gerakan kontra-revolusi ketika kaum tani meninggalkan mereka. Kelas buruh dan kaum tani tidak punya pilihan lain selain menghubungkan nasib seluruh revolusi Rusia dengan nasib revolusi lainnya di Eropa.
Revolusi Permanen?
Secara ketat, pada bagian kedua (Revolusi Permanen), merupakan analisis Trotsky tentang praktek kebijakan yang berhubungan dengan teori revolusi permanen dan tuduhan terhadapnya berkaitan dengan teori tersebut. Trotsky menjelaskan postulat-postulat dasar tentang revolusi permanen pada Bab 10. Kemudian ia memaparkan bagaimana teori-teori tersebut dan kesalahpahaman (fitnah) dalam melihat Revolusi Permanen oleh kawan-kawan seperjuangannya saat itu. Bahkan, oleh kawan-kawan sekarang yang sudah membaca buku ini. Trotsky berusaha meluruskannya, salah satunya dalam Bab 2; “Revolusi Permanen Bukanlah Sebuah “Lompatan” oleh Proletariat, Namun Rekontruksi Bangsa Di Bawah Kepemimpinan Proletariat”.
Trotsky menjelaskan, Revolusi Permanen merupakan sebuah revolusi yang menggabungkan massa tertindas perkotaan dan pedesaan di sekililing kaum proletar yang terorganisir dalam soviet-soviet; sebagai sebuah revolusi nasional yang mendorong kaum proletar menuju kekuasaan. Oleh karena itu, membuka kemungkinan bagi Revolusi Demokratik untuk tumbuh menjadi Revolusi Sosialis, sehingga ia tidak terinterupsi. Berbeda dengan anggapan kawan lainnya bahwa kaum proletar akan menemui tampuk kepemimpinan setelah revolusi demokratik.
Jadi, revolusi bukanlah sebuah lompatan terisolasi oleh kaum proletar. Sifatnya yang tidak terinterupsi inilah yang menjadikannya permanen. Berbeda dengan birokrat Stalinis yang memberikan teori dua tahap, bahwa sosialisme bisa di bangun di satu negeri saja. Ini bertentangan dengan sosialisme. Bahwa dalam menuju sosialisme, maka revolusi harus dimulai dari skala nasional dan berakhir dalam skala internasional. Dari sinilah, sosialisme akan terwujud, dan ia tidak boleh terinterupsi!
Keterangan Buku
Judul Buku : Revolusi Permanen, Teori Revolusi untuk Dunia Ketiga
Penulis : Leon Trotsky (Lev Davidovich Bronstein)
Penerjemah : Ted Sprague
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tahun : 2013
Dimensi & Halaman : 14 x 21 cm, LVIII + 360 Halaman
*) Penulis merupakan Pegiat Intrans Institute, Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang.
* Pertama kali terbit di alienasi.com, diterbitkan ulang atas izin Penulis untuk tujuan pendidikan.
Sumber Gambar Utama: flickr.com