Oleh:
In’amul Mushoffa
Ia adalah ruh pencipta yang harmonis, seorang filsuf, seorang sistematikus praktik. Baginya, yang perlu ialah cita-cita sosial semata, bukan buat kepentingan diri sendiri (Bertrand Russel).
Dengan datangnya Lenin, Bumi Manusia lebih kaya (Pramoedya Ananta Toer)
Tidaklah cukup mengatakan bahwa hidup itu sulit lalu menyerukan pemberontakan. Setiap tukang gembar-gembor dapat melakukan itu. Tetapi, itu sedikit berguna. Kelas pekerja harus memahami secara jelas mengapa mereka hidup dalam kemiskinan seperti itu dan dengan siapa mereka harus bersatu untuk berjuang membebaskan diri … (Lenin)[1]
Hari ini, 22 April 1870, sosok revolusioner awal abad 20 itu lahir. Namanya, Vladimir Ilyich Ulyanov atau populer dengan Lenin. Dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang cukup, Lenin di masa sekolah adalah siswa disiplin berprestasi.
Barangkali, tak pernah terbesit sedikitpun di benak ibunya bahwa sang anak kelak bertransformasi menjadi sosok pemberontak. Namun, setelah kematian ayahnya karena pendarahan otak dan kakaknya yang dihukum gantung karena aktivitas politiknya melawan Tsar Aleksander III, ia mulai tertarik dengan ide-ide revolusioner.
Saat kuliah, ia mulai mempelajari banyak buku. Aktif dalam gerakan politik melawan rezim otokratik Tsar hingga dikeluarkan dari universitas dan diasingkan. Walau begitu, Lenin tak pernah surut. Badai rintangan justru menempa untuk meneguhkan cita-cita revolusionernya.
Menginjak usia 24 tahun, ia sudah memimpin lingkaran buruh marxis yang bergerak di bawah tanah karena kontrol ketat rezim. Salah satu pencapaian Lenin bersama-sama kelompok politiknya yang terkenal, tentu saja, Revolusi Bolshevik Oktober 1917.
Lenin berkontribusi besar bagi pengembangan Marxisme, baik pada level teoretik dan praktik. Bagi Lenin, teori dan praktik tak bisa dipisahkan. Teori membutuhkan praktik dan, sebaliknya, praktik membutuhkan teori. “Tak mungkin ada pergerakan revolusioner tanpa teori revolusioner,” tulisnya dalam What is to be Done? (1902). Integral dengan pengalaman revolusionernya, Lenin mewariskan begitu banyak karya, yang ditujukan sebagai senjata kelas pekerja mewujudkan sosialisme.
Tulisan ini akan mengulas salah satu buku penting Lenin, Sosialisme, Petani, dan Kaum Miskin Desa yang Desember lalu diterbitkan Tanah Merah Press (2018). Buku itu sebetulnya terdiri dari dua buah karya yang terpisah.
Bagian satu adalah Kepada Kaum Miskin di Desa—judul aslinya To the Rural Poor An Explanation for the Peasants of What the Social-Democrats Want, sebuah pamflet tujuh bab yang selesai ditulis Maret 1903 (terbit Mei 1903), setahun setelah Lenin menulis What is to be Done? (1902). Saat itu, Rezim Tsar Nikolai begitu berkuasa dan tak sedikitpun membuka ruang kebebasan politik di Rusia.
Bagian kedua, Sosialisme dan Kaum Tani, adalah sebuah pamflet yang ditulis pada 10 Oktober 1905. Beberapa bulan sebelum pamflet ini ditulis, Rezim Tsar membunuh sekitar seribu demonstran yang melakukan aksi damai untuk mengirim petisi protes kepadanya. Dari peristiwa inilah kemudian lahir Soviet (Dewan) di St. Petersburg yang dimanfaatkan menjadi organ kaum buruh dan tani untuk memukul borjuasi.
Buku ini, sesuai judulnya, ditujukan pada kaum miskin di desa. Saat itu, terjadi perkembangan politik yang signifikan di Rusia dengan munculnya kelas buruh yang oleh Lenin diorganisikan dalam sebuah partai yang ia dan beberapa kawannya dirikan pada tahun 1889, yakni Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (PBSDR).
Tak seperti kebanyakan kalangan Marxis dogmatis, Lenin berpendapat bahwa petani di pedesaan harus dilibatkan dalam perjuangan revolusi proletariat. Jumah petani pedesaan saat itu jauh lebih banyak, hampir 90% dibanding buruh manufaktur perkotaan karena kapitalisme yang masih muda di Rusia.
Petani Mana yang Revolusioner?
Perspektif marxis ortodoks memang menyatakan bahwa dalam corak produksi kapitalis, kelas buruh adalah kelompok yang paling maju dan dapat diandalkan sebagai kelas revolusioner. Sedangkan kaum tani, meski tertindas, dianggap sebagai entitas kelas yang memiliki watak kepemilikan atas tanah (borjuis) sehingga tak segaris dengan misi sosialisasi alat-alat produksi.
Namun, bagi Lenin, kaum tani tidaklah homogen. Ada diferensiasi kelas di dalamnya. Sebagian besar diantaranya tergolong proletariat sehingga harus dijadikan subjek revolusi.
Pada umumnya, kelas dipahami terdiferensiasi menjadi dua saja, yakni kapitalis dan proletar. Kapitalis adalah yang menguasai alat produksi (tanah, mesin, bahan baku, pabrik, uang). Sedangkan proletar adalah yang tidak berkuasa atas alat produksi sehingga mereka terpaksa bekerja pada kapitalis untuk memperoleh pedapatan.
Tetapi dalam pertanian, terlalu simplistis jika dipahami bahwa kaum tani hanya terdiferensiasi menjadi dua kelas saja. Bahwa yang memiliki alat produksi, khususnya tanah, adalah petani kapitalis; dan yang tidak memiliki alat produksi adalah petani proletar. Sebab, relasi kepemilikan, pekerjaan, pendapatan dan penggunaan hasil produksi[2] dalam pertanian tidak setegas dan serutin dalam industri manufaktur. Dalam pertanian, keempatnya (relasi kepemilikan, pekerjaan, pendapatan dan penggunaan hasil produksi) sangat bervarian. Untuk itu, Lenin lantas meriset diferensiasi kelas petani di Rusia. Dalam buku ini, hasil riset itu ia tuangkan di Bab III.
Menurut Lenin, terdapat empat kelas petani saat itu, yakni petani kaya, petani menengah, petani miskin (semi proletar), dan petani proletar.
Ciri utama petani kaya adalah mempekerjakan buruh tani dan buruh harian. Mereka memiliki lahan besar dan banyak kuda, menjual hasil pertaniannya untuk uang, menyimpan uangnya di bank, dan menyewa tanah besar negara atau tanah pembagian milik komune desa, juga dapat menyisihkan uangnya untuk mengakumulasi tanah.
Petani menengah memiliki taraf hidup menengah. Rata-rata memiliki dua kuda. Tapi, kemiskinan selalu mengintainya. Mereka memiliki sedikit tabungan atau tidak memiliki sama sekali. Ketika panen buruk, hasil pertanian mereka tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan. Kadang, mereka harus bekerja borongan pada tuan tanah. Begitu hutang, ia akan sulit lepas darinya. Minoritas di antara mereka menyewa buruh tani harian, tetapi mayoritas tak mampu untuk itu. Itu sebabnya, kata Lenin: “… dia bukan ikan, bukan daging. Dia tidak dapat menjadi majikan yang sungguh-sungguh, juga tidak bisa menjadi seorang buruh.” Maka dalam soal revolusi, petani menengah memiliki potensi ambigu. Satu sisi, mereka dapat satu suara dengan petani kaya yang memanipulasi kesadaran mereka. Sisi lain, mereka dapat dapat terlibat dalam perjuangan kelas buruh.
Melihat situasi itu, Lenin tidak ingin terburu-buru melabeli petani menengah sebagai kontra revolusioner, tetapi mengulasnya dalam satu bab tersendiri (Bab IV), Kemana Petani Menengah Harus Pergi? Ke Pemilik-pemilik Harta dan Kaum Kaya, atau Kaum Buruh dan Kaum Tak Berpunya?
Dalam bagian ini, Lenin menjelaskan bahwa petani menengah saat itu telah menjadi korban propaganda kaum borjuis bahwa kaum Sosial Demokrat (PBSDR) akan mengambil tanah-tanah mereka. Padahal, tanah yang hendak diambil kaum Sosial Demokrat hanyalah tanah kaum petani kaya.
Petani menengah juga menjadi korban sistem koperasi[3] yang di dalamnya mengesampingkan antagonisme kelas, campur aduk antara petani kaya dengan petani miskin, petani proletar, dan petani menengah, sehingga hanya menguntungkan petani kaya.
Selain itu, kesadaran petani menengah juga dimanipulasi oleh propaganda bahwa petani skala kecil itu rajin, mulia, dan lebih produktif lantaran mereka mengerjakan lahannya sendiri—ungkapan-ungkapan yang masih sering kita temui hari ini. Padahal, kenyataannya mereka terhimpit oleh dominasi tuan tanah, petani kaya, dan produksi komoditas kapitalis. Di Rusia saat itu, sebagian besar lahan, hasil produksi, kuda, dan perbankan dikuasai borjuasi dan tuan tanah.
Untuk itu, menurut Lenin, menjadi tugas kaum Sosial Demokrat untuk menyadarkan petani menengah agar terlibat dalam perjuangan bersama petani proletar, petani semi proletar, dan buruh industri di perkotaan.
Petani proletar adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian sehingga mereka bekerja sepenuhnya kepada orang lain, baik itu petani kapitalis maupun petani menengah. Sedangkan petani semi proletar adalah petani yang memiliki lahan pertanian kecil. Hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga sebagian besar tenaga mereka ia curahkan untuk bekerja pada orang lain.
Revolusi Dua Tahap
Setelah menawarkan perjuangan kepada petani menengah, Lenin selanjutnya menjelaskan perbaikan apa saja yang diperjuangkan Sosial Demokrat bagi seluruh rakyat dan kaum buruh. Hal ini diuraikan di Bab V.
Untuk seluruh rakyat, Sosial Demokrat memperjuangkan hak-hak berserikat dan kebebasan politik, diselenggarakannya pemilu, dijaminnya peredaran buku yang benar untuk dibaca, penghapusan perbudakan, penghapusan pajak tidak langsung (pajak pembelian yang biasa dibebankan kepada pembeli akhir/konsumen) dan menggantinya dengan pajak progresif, pendidikan gratis untuk anak-anak, kebebasan beragama, dsb.
Sedangkan untuk kaum buruh, Lenin menyinggung program-program reformis seperti pembatasan jam kerja menjadi 8 jam, penambahan hari libur, larangan lembur, kompensasi ketika kecelakaan, pembentukan pengawas dari kelas pekerja yang dibayar negara untuk memastikan lingkungan kerja dan tempat tinggal yang layak bagi buruh, pembentukan pengadilan industrial yang terdiri dari wakil buruh dan majikan dalam jumlah yang sama, dsb.
Di Bab VI, Lenin menjelaskan perbaikan yang diperjuangkan kaum Sosial Demokrat bagi seluruh rakyat dan bagi semua petani. Mengapa untuk semua petani? Karena di Rusia, semua petani, termasuk petani kaya, ditindas oleh tuan tanah. Saat itu, tuan tanah adalah kelompok kelas yang menikmati keuntungan dari penghapusan perbudakan pasca revolusi 1861.
Program-program reformis barangkali mengesankan bagi petani menengah dan petani miskin. Tapi, jika struktur yang mengandung diferensiasi kelas (feodalisme dan kapitalisme) tidak diubah, perjuangan reformis karena tidak akan membebaskan mereka. Untuk itu, Lenin menegaskan agar perjuangan kaum petani miskin tidak hanya berhenti pada perjuangan reformis. Di titik inilah, Lenin lantas menegaskan perlunya perjuangan kelas dua tahap.
Pada tahap pertama, kaum miskin pedesaan harus berjuang untuk membebaskan petani dari ikatan feodalisme atau tuan tanah terlebih dahulu. Perjuangan ini dilakukan di desa. Bentuknya adalah mewujudkan pemberian hak-hak penuh pada mereka, membentuk panitia-panitia tani untuk mengembalikan tanah-tanah potongan, dan merampas seluruh tanah dari tuan-tuan tanah (terbitan 1905).
Dalam perjuangan ini, kaum miskin desa harus bersama semua petani, termasuk petani kaya. Tetapi, aliansi ini tidak akan lama, sebab petani kaya memiliki kepentingan material dan watak kelas yang berbeda dengan petani miskin. Maka, segera setelah tahap pertama selesai, harus dilakukan tahap berikutnya.
Dalam tahap kedua, kaum miskin pedesaan harus bertarung melawan semua borjuasi. Perjuangan ini dilakukan bersama seluruh kelas pekerja.[4] Perjuangan ini dilakukan di kota dan desa. Bentuknya adalah pengambilan semua tanah dari tuan tanah dan semua pabrik dari borjuasi dan penghapusan hak milik perseorangan atas tanah (terbitan 1905).[5] Tujuannya adalah mendirikan masyarakat sosialis.
Dua tahap perjuangan kelas tersebut sama-sama pentingnya. Tanpa tahap pertama, tak mungkin ada tahap yang kedua.
Kedua tahap itu integral dengan dua tahap revolusi yang dicanangkan Lenin sebelumnya [6]. Tahap pertama adalah revolusi demokratik melawan otokrasi yang dilakukan bersama borjuasi yang kelak berhasil pada 1905, dan tahap kedua dilakukan untuk mewujudkan revolusi sosialis melawan borjuasi yang kemudian baru terwujud pada 1917.
Beberapa bulan menjelang Revolusi Oktober 1917, Lenin mempertegas kehadiran peran kaum buruh tani dalam Tesis April[7], sebuah tesis yang sangat mempengaruhi hari-hari Juli dan Revolusi Oktober.
Tesis April terdiri dari 10 poin. Beberapa diantaranya yang secara eksplisit menekankan pentingnya pelibatan kaum tani dalam revolusi adalah:
Pertama, ketika Lenin menerangkan bahwa perang yang terjadi (Perang Dunia I) adalah perang kapitalis yang menipu kesadaran rakyat agar mau berperang. Menurut Lenin, perang ini boleh dilakukan sebatas keharusan (mempertahankan diri), bukan atas niat menaklukkan negara lain. Proletariat yang berkesadaran kelas boleh menyetujui perang dengan syarat utama bahwa kekuasaan harus berada di tangan kaum proletariat dan lapisan-lapisan termiskin buruh tani yang bersekutu dengan proletariat. Tanpa menumbangkan kapitalis, mustahil mengakhiri perang dengan perdamaian.
Kedua, ketika Lenin menjelaskan bahwa detik-detik itu adalah masa-masa dimana Rusia sedang menuju revolusi tahap kedua, yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletar dan golongan-golongan termiskin dari kaum tani.
Ketiga, ketika Lenin menjelaskan bahwa yang diperlukan bukan republik parlementer, melainkan sebuah republik soviet-soviet (dewan-dewan) yang terdiri atas utusan pekerja, buruh tani, dan kaum tani.
Keempat, ketika Lenin menerangkan agar program agraria dialihkan kepada dewan-dewan yang terdiri dari utusan-utusan buruh tani untuk menyita tanah-tanah milik skala luas demi kolektivisasi.
Kelak, Tesis April benar-benar dilaksanakan dan berkontribusi besar dalam memenangkan buruh tani bersama kaum proletariat lainnya melalui Revolusi Oktober.
Bagaimana Mengorganisir Kaum Tani?
Setahun sebelum Kepada Kaum Miskin di Desa ditulis, meletup pemberontakan petani melawan Tsar. Namun, pemberontakan itu gagal. Setelah memuji pemberontakan itu, Lenin menunjukkan sebab-sebab kegagalan pemberontakan itu. Menurutnya, kegagalan terjadi karena para pemberontakan itu tidak memiliki target perubahan pada perubahan struktur negara, tidak terorganisir dengan baik, tanpa persiapan, dan petani yang memberontak belum bersatu dengan proletar perkotaan.
Karena itu, kepada kaum buruh di dalam Partai Sosial Demokrat, Lenin menekankan pentingnya memahamkan kaum miskin di desa tentang sebab musabab kemiskinan yang mereka derita. Ini menuntut kaum buruh Partai Sosial Demokrat memahami cara kerja kapital. Agar dapat mengorganisir kaum miskin di desa dan mengintegrasikan perjuangan mereka ke dalam perjuangan partai demi mewujudkan revolusi sosialis.
Dalam pengorganisasian itu, ajaran Sosial Demokrat tidak boleh diajarkan dari buku saja, tapi juga dari peristiwa sehari-hari dimana kaum tani mengalami penindasan tanpa henti. Lenin menulis, “Hanya dia yang tahu sabab-musabab penindasan dan selama hidupnya menentang setiap peristiwa penindasan yang dapat menjadi seorang Sosial Demokrat sejati”[8]. Secara tidak langsung, Lenin di sini menegaskan bahwa upaya penyadaran itu memerlukan perpaduan dua hal:[9] kapasitas teoretik dan pengalaman empiris.
Lalu bagaimana memulai upaya penyadaran itu di hadapan kaum tani? Dalam soal ini, Lenin tidak ingin gegabah. Setiap wilayah memiliki kondisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu, ia mendorong kaum Sosial Demokrat di setiap wilayah untuk merumuskan strateginya. Hanya saja, ia sempat memberikan contoh: kaum Sosial Demokrat dapat masuk ke desa yang dikuasai tuan tanah lalu mencari petani yang sadar, cerdas, dapat dipercaya, senantiasa mencari kebenaran, dan berani untuk menerangkan sebab struktural penindasan yang mereka alami. Setelah itu, barulah ia menyebarluaskan pengetahuannya pada petani proletar, semi proletar, dan menengah untuk diorgansir. Setelah terorganisir, barulah mereka dapat merumuskan secara bersama strategi dan taktik perjuangan kelas yang dilakukan.
Sepanjang uraian taktik pengorganisasian yang terekam dalam halaman 113-116 buku ini, narasi Lenin terlihat penuh pertimbangan. Terlalu panjang tentunya jika dikutip utuh di sini. Cukuplah kita kutip satu kalimatnya tentang pemogokan:
Jika pemogokan itu dengan suara bulat dan dicanangkan selama musim yang sibuk, maka tuan tanah bahkan pihak yang berwajib pun dengan pasukan-pasukannya akan merasa sukar untuk berbuat sesuatu—waktu terus hilang, tuan tanah terancam kebangkrutan, dan dia akan lekas menjadi lebih suka bersetuju.[10]
Dari kutipan itu, Lenin dengan kecerdasannya sangat menekankan efektivitas suatu perlawanan. Jika belum memungkinkan perlawanan besar, lakukan perlawanan kecil. Jika sebuah perlawanan kemungkinan tidak sedikitpun menganggu penguasa, kumpulkan kekuatan terlebih dahulu.
Pendeknya, setiap perlawanan—baik kecil maupun besar—harus diukur secara strategis dan taktis, apakah ia akan berhasil menghasilkan target atau tujuan yang dicanangkan. Seorang revolusioner akan menanggalkan prinsip “pokoknya melawan” ala kaum idealis dan aktivisme reaksioner, yang tidak tahu jalan untuk mematerialisasi perubahan yang dicita-citakan.
Menurut Lenin, kemenangan sejati kaum tani hanya bisa dicapai dengan mengubah struktur kapitalisme menjadi sosialisme. Ini dapat dilakukan jika kaum miskin desa bergabung dengan buruh perkotaan untuk melakukan perjuangan kelas meruntuhkan borjuasi dan memutus relasi produksi kapitalis.
Lenin mengkritik keras pendapat kaum populis (narodisme/rakyatisme) yang menyatakan bahwa pertanian skala kecil dapat dirangkaikan dengan kapitalisme. Saat itu, pendapat ini dikemukakan oleh Polska Partia Socyalisticna (PPS) dan Partai Sosialis Revolusioner (Esser)[11]. Dengan pisau analitik sosialisme ilmiahnya, Lenin membongkar pendapat PPS dan Esser yang meski kelihatannya progresif–seperti nasionalisasi, koperasi, dan land reform, tetapi tidak akan membebaskan kelas pekerja karena menafikan perjuangan kelas.
Bagi Lenin, tanpa memutus corak produksi kapitalisme, pembagian tanah seadil-adilnya justru akan membentuk syarat-syarat perkembangan kapitalisme dan akhirnya bermuara pada ketimpangan penguasaan tanah atau diferensiasi kelas secara lebih lanjut.
Relevansi: Urgensi Analisis Kelas dalam Studi Agraria dan Perjuangan Kelas dalam Gerakan Agraria
Dalam studi agraria, istilah narodnik/narodisme yang disebut Lenin itu tidak lain adalah apa yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “populisme”.
Bagi kaum populis, pertanian adalah corak produksi tersendiri yang homogen. Tidak ada diferensiasi kelas yang antagonistik di dalamnya. Petani juga memiliki watak tersendiri yang tidak terpengaruh oleh corak produksi lainnya. Sementara kapitalis berwatak rasional (memperhatikan cost and benefit) dan akumulatif, petani berwatak subsisten. Pertanian mandiri atau skala kecil konon lebih produktif dan lebih efisien dari pada pertanian skala besar kapitalis maupun sosialis. Sebab, petani mandiri memiliki tanah dan bekerja untuk dirinya sendiri. Karena itu, kalangan populis cukup puas dengan mendorong reforma agraria dalam bentuk pengembalian tanah-tanah besar kepada petani kecil atau petani tak bertanah.
Pendapat populis itu tentu berseberangan dengan pendapat kalangan marxis seperti Lenin yang menggunakan analisis kelas dan diarahkan pada perjuangan kelas.
Namun, Lenin bukan tipikal orang yang gegabah. Dalam pamflet Solialisme dan Kaum Tani (1905), Lenin tidak mendorong kaum kaum Sosial Demokrat merebut dan mengkolektivisasi tanah-tanah potongan (tuan tanah) yang direbut oleh aliansi kaum tani: proletariat dan petani borjuasi. Kepada kaum buruh PBSDR, Lenin mengatakan bahwa “tanah-tanah yang telah di situ itu bukan urusan kita (kaum Sosial Demokrat).” Kaum petani di desalah yang akan menyelesaikannya. Justru itu menjadi awal dimulainya pertentangan antara proletariat dengan borjuasi di kalangan kaum tani. Tugas PBSDR hanya memberikan masukan-masukan tentang permulaan jalan yang harus ditempuh.
Saat memimpin Soviet setelah keberhasilan Revolusi Bolshveik 1917, Lenin juga tidak menghabisi kalangan populis yang berbeda pendapat dengannya. Perdebatan agraria antara kalangan marxis dan populis benar-benar dipersilahkan Lenin dalam ruang akademik secara fair. Kalangan Marxis diwakili oleh Kritsman, sementara kalangan populis diwakili oleh A Chayanov. Namun, semua perdebatan ini buyar begitu Stalin mengambilalih kekuasaan pasca meninggalnya Lenin pada 21 Januari 1924. Mereka, baik yang marxis maupun yang populis, dipenjarakan dan rata-rata meninggal di dalam penjara.
Di Indonesia, pandangan agraria marxis nyaris absen dalam peredaran. Sebalinya, pandangan-pandangan agraria neo-pupulis lebih dominan. Pemikiran-pemikiran Chayanov mempengaruhi pemikir-pemikir agraria Belanda di Indonesia.[12] Bahkan mempengaruhi karakter UUPA 1960, yang menurut Gunawan Wiradi, mendekati visi aliran neo-populis[13]. Padahal, pandangan Chayanov itu telah mendapatkan banyak kritik. Beberapa yang paling mengemuka adalah karena ia menafikan historisitas perkembangan relasi produksi dalam pertanian [14]. Pendapatnya soal homogenitas petani dan watak subsistensi petani juga tidak sesuai kenyataan seperti yang ditunjukkan dari hasil analisis kelas Lenin terhadap kaum tani di Rusia.
Meski pikiran Chayanov itu dominan, kita sempat melihat representasi gerakan agraria berbasis kelas, seperti Barisan Tani Indonesia[15] hingga 1965. Namun, pasca genosida terhadap kekuatan kiri dan anti imperialis, hingga kini gerakan agraria dengan perspektif kelas hilang dari peredaran. Apalagi ditambah dengan larangan ajaran Marxisme-Leninisme dan ekspansi spasial kapitalisme yang menggila sejak krisis 1998.
Ada beberapa implikasi dari absennya gerakan agraria dengan perskpektif kelas ini.
Pertama, tentu saja tidak ada organisasi tani atau agraria yang memiliki agenda meruntuhkan kuasa borjuasi atas tanah dan sumber daya alam Indonesia. Akibatnya, kapitalisme agraria dan pengerukan habis-habisan sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan kompetisi borjuasi terus berlanjut.
Kedua, agenda reforma agraria populis yang didesakkan organisasi tani bersifat esensialis. Reforma agraria jenis ini tidak menyelesaikan penderitaan kaum tani karena mereka akan tetap terhimpit oleh produksi komoditas industri kapitalis untuk memenuhi kebutuhan hidup non pangan. Ini berbeda dengan reforma agraria sosialis, yang diarahkan untuk kolektivisasi, baik secara bertahap maupun secara cepat. Dalam sosialisme, surplus pertanian digunakan untuk menopang industrialisasi sosialis.
Ketiga, ketika istilah ‘reforma agraria’ dibajak dalam empat tahun terakhir oleh rezim Jokowi-JK, tidak ada perlawanan berarti dari kaum tani. Organisasi tani dan kaum tani sebagian menerima dan sebagian menolaknya. Padahal, reforma agraria palsu itu digunakan untuk memfasilitasi pra kondisi reinvestasi (dengan memastikan bukti hak milik privat atas tanah/setifikasi). Juga, sudah banyak terjadi bahwa reforma agraria secara antiklimaks justru menguntungkan petani kaya dan semakin membuntungkan petani kecil dan proletar.
Keempat, gerakan agraria lebih terfokus pada perjuangan spasial (menyelamatkan ruang dari ekspansi kapital), menafikan perjuangan kelas (borjuasi vs proletar). Padahal, bisa jadi aspirasi petani miskin, petani proletar dengan petani kapitalis dalam merespon ekspansi kapital itu berbeda. Namun karena tiadanya analisis kelas, semua petani dianggap memiliki kepentingan yang sama: menolak ekspansi kapital korporasi. Padahal, yang diuntungkan dari perlawanan ini bisa jadi hanya petani kapitalis saja. Begitu ekspansi perusahaan berhasil digagalkan, eksploitasi petani kapitalis terhadap petani miskin dan petani proletar tidak berakhir. Di titik inilah, perjuangan agraria yang ditopang oleh asumsi bahwa petani adalah kelompok yang homogen tidak membantu petani miskin dan petani proletar mengatasi eksploitasi petani kapitalis terhadap mereka.
Bagi kebanyakan aktivis agraria, tentu kesimpulan terakhir itu rumit. Di satu sisi, menggagalkan ekspansi spasial kapitalisme diyakini sebagai sebentuk upaya emansipatif menyelamatkan rakyat dari perampasan ruang hidup dan mencegah kerusakan ekologis. Di sisi lain, fokus perjuangan itu dapat mengaburkan antagonisme kelas antara petani kaya dengan petani miskin dan petani proletar.
Di tengah situasi itu, gerakan perlawanan spasial dan gerakan perlawanan kelas untuk sementara waktu barangkali dapat dinegosiasikan. Caranya:
Pertama, dilakukan analisis kelas terhadap komposisi gerakan tani dalam perlawanan spasial yang sedang atau berpotensi terjadi. Ini untuk melihat siapa yang berkepentingan dan akan diuntungkan dari keberhasilan perjuangan spasial itu.
Kedua, dilakukan penjajakan aspirasi terhadap petani miskin dan petani proletar, termasuk pendapat tentang kondisi sehari-hari dan ekspansi korporasi yang terjadi. Dalam penjajakan aspirasi ini, petani kapitalis mungkin paling getol mempertahankan lahan mereka. Sedangkan petani miskin dan petani proletar, karena tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertahan hidup atau tidak memiliki lahan sama sekali, memiliki dua kemungkinan: 1) mereka menerima ekspansi korpoasi itu dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sana; atau 2) yang mereka inginkan adalah memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Jika kemungkinan pertama terjadi, maka perlu mengajak mereka merefleksikan seberapa buruk dampak ekspansi korporasi terhadap nasib mereka. Jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka bisa dilakukan tahap selanjutnya.
Ketiga, menyatukan aspirasi antara petani kaya dan petani miskin dalam perlawanan spasial. Di sini, petani kapitalis yang hidup dari eksploitasi terhadap petani miskin dan proletar perlu diikat dalam komitmen awal: bahwa petani miskin dan petani proletar akan berjuang bersama mereka melawan ekspansi korporasi, tapi dengan syarat mereka harus menurunkan tingkat eksploitasi, meredistribusi lahan kepada petani tak bertanah dan petani miskin, atau mengkolektivitasi lahan kepada sesama kaum tani jika perjuangan itu berhasil. Jika komitmen itu tidak disepakati, tentu tidak pilihan selain memperjuangkan aspirasi petani miskin dan petani proletar.
Tanpa perjuangan kelas dalam agraria, cita-cita menumbangkan kapitalisme-borjuasi akan tetap jauh. Sebab, posisi dan peran kelas pekerja, termasuk pekerja pertanian, begitu sentral. Segala kebutuhan pangan, pangan, dan papan, berikut kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier lainnya tak mungkin ada di tangan konsumen akhir tanpa sentuhan produksi kelas pekerja. Kelas pekerjalah yang mampu ‘membuat dunia berhenti’ ketika aksi mogok mereka lakukan serentak sehingga membangkrutkan borjuasi.
Karena itu, hanya persatuan kelas pekerja yang dapat menumbangkan kapitalisme. Di titik inilah, membangun gerakan agraria dengan perspektif kelas berguna untuk mengakurasi perlawanan kaum tani menjadi perjuangan kelas untuk menumbangkan borjuasi-kapitalisme sekaligus memperjuangkan tatanan sosialisme. Buku Lenin ini adalah satu diantara sekian literatur penting yang perlu dikaji untuk melakukan ikhtiar itu.
Terima kasih. Selamat ulang tahun, Lenin!***
Data Buku
Buku : Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa
Penulis : V.I. Lenin
Terbit : Desember, 2018
Penerbit : Tanah Merah Press
Penerjemah : Aksara Media
Halaman : 164
[1] V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. (Yogjakarta: Tanah Merah Press. 2018) hal 61
[2] Mengacu Henry Bernstein, ada empat pertanyaan kunci ekonomi politik: Siapa memiliki apa? Siapa mengerjakan apa? Siapa mendapatkan apa? Digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan? Henry Berstein. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (Yogjakarta: Insist Press. 2016)
[3] Bagi Lenin, “koperasi” sejati yang dapat menyelamatkan Rakyat pekerja ialah persekutuan kaum miskin desa dengan kaum buruh Sosial-Demokrat di kota-kota untuk melawan seluruh burjuasi. V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. hal 59.
[4] V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. hal 80
[5] V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. hal 96
[6] Cikal bakal ide ini dapat kita lihat dalam tulisan Lenin di koran Iskra, No. 16, February 1, 1902 yang berjudul Agitasi Politik dan “Sudut Pandang Kelas”. Lenin menulis, “Di dalam perjuangan politik, “sudut pandang kelas” menuntut proletariat untuk memberikan dorongan kepada setiap gerakan demokratik. Tuntutan-tuntutan politik demokrasi kelas-buruh tidak berbeda secara prinsipil dengan tuntutan-tuntutan politik demokrasi borjuis. Mereka hanya berbeda dalam tingkatannya. Di dalam perjuangan untuk emansipasi ekonomi, untuk revolusi sosialis, kaum proletariat berdiri di atas prinsip yang berbeda dan kaum proletariat berdiri sendirian (para produsen kecil akan datang membantu hanya setelah ia masuk ke barisannya atau sedang bersiap-siap masuk ke barisannya).”
[7] V.I. Lenin. Tugas-Tugas Kaum Proletariat Dalam Revolusi Sekarang Ini (Tesis April). Pravda. 17 April 1917
[8] V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. hal 113
[9] Dede Mulyanto memberikan penegasan merarik soal ini. Lihat: Masya Alloh, Lenin, Masih Soal Kelas?! Harian Indoprogress. 28 October 2015
[10] V.I. Lenin. Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa. hal 116
[11] Kelompok lain yang mengklaim dirinya sosialis adalah Partai Sosialis Revolusioner (Esser). Tapi, baik klaim sosialisme PPS dan Esser hanya sebatas jargon, khas tipikal sosialisme reaksioner borjuis kecil. Esser memang ingin menghapuskan milik perseorangan atas tanah dan mendorong koperasi. Namun, mereka tak hendak menghilangkan produksi komoditas kapitalis. Selain itu, perekonomian swasta atas tanah juga tetap.
[12] Gunawan Wiradi. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir (Yogjakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2000). hal 32-34
[13] Gunawan Wiradi. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. hal 97
[14] Lihat: Muhtar Habibi. ‘Petani’ dalam Lintasan Kapitalisme. Harian Indoprogress. 18 April 2018
[15] Lihat hasil riset mereka: DN. Aidit. Kaum Tani Menganyang Setan-setan Desa (1964).
Gambar: Lukisan karya Mikhail Emelyanovich Andreychuk https://arthive.com